Islam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq. Ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, satu sama lainnya saling terkait dan saling menyempurnakan.
Ketiganya terhimpun dalam ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu : USHULUDDIN dan FURU’UDDIN.
Umat Islam wajib sepakat dalam perkara Ushul dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam masalah ushul adalah penyimpangan yang jelas mengantarkan kepada kesesatan.
Sedangkan Furu’uddin biasa disingkat Furu bisa berarti cabang, yaitu ajaran Islam yang juga sangat penting namun bukan prinsip dan tidak mendasar, sehingga Umat Islam boleh berbeda dalam masalah furu’.
Karena perbedaan dalam Furu’ bukan penyimpangan dan tidak mengantarkan kepada kesesatan, tapi dengan satu syarat yakni: Ada dalil yang bisa dipertanggungjawabkan secara syari.
Penyimpangan dalam Ushul tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan.
Sedang perbedaan dalam Furu’ wajib ditoleran dengan besar hati dan lapang dada serta sikap saling menghargai dan menghormati.
.
Contoh Ushul dan Furu
1. Dalam Aqidah.
Kebenaran peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW adalah masalah Ushul, karena dalilnya Qothi, baik dari segi Wurud maupun Dilalah.
Namun masalah apakah Nabi Muhammad SAW mengalami Isra’ Mi’raj dengan Ruh dan Jasad atau dengan Ruh saja, maka ini masuk masalah Furu’. Karena dalilnya Zhonni, baik dari segi Wurud maupun Dialalah.
Itu sebabnya, barangsiapa menolak kebenaran peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW maka ia telah sesat, karena menyimpang dari Ushul Aqidah.
Namun barangsiapa yang mengatakan Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’raj dengan Ruh dan Jasad atau Ruh saja, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah Furu Aqidah.
2. Dalam Syariat
Kewajiban Shalat 5 Waktu adalah masalah Ushul, karena Dalilnya Qothi, baik dari segi Wurud maupun Dilalah.
Namun masalah apakah boleh dijama’ tanpa udzur, maka masuk masalah Furu’, karena dalilnya Zhoni, baik dari segi Wurud mau pun Dialalah.
Jadi jelas, barangsiapa menolak kewajiban shalat lima waktu maka ia telah sesat karena menyimpang dari Ushul Syariat. Namun barangsiapa yang berpendapat bahwa boleh menjama’ shalat tanpa ’udzur atau sebaliknya, maka selama memiliki dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah Furu Syariat.
3. Dalam Akhlaq.
Berjabat tangan sesama muslim adalah sikap terpuji adalah masalah Ushul, karena salilnya Qothi, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah.
Namun masalah bolehkah jabat tangan setelah shalat berjama’ah, maka masuk masalah Furu’, karena dalilnya Zhonni, baik dari segi Wurud maupun Dilalah.
Itu sebabnya, barangsiapa menolak kesunnahan jabat tangan antar sesama muslim, maka ia telah sesat, karena menyimpang dari Ushul Akhlak. Namun perkara kebolehan berjabat tangan setelah shalat berjama’ah itu masalah Furu Akhlak.
Nah dari sini sebetulnya bisa kita ketahui pentingnya ilmu yang memadai, jiwa yang tegas dan hati yang bersih dalam memahami suatu masalah. Sehingga furu’iyah atau perbedaan pendapat dikalangan kaum Muslimin bisa lebih teratasi dengan sikap saling menghormati. Bukan malah membid’ahkan dan mengkafirkan antar sesama.
Wallaahua’lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar