Berbeda dengan daerah lain, Pilkada
DKI Jakarta dimungkinkan dilakukan dalam
dua putaran jika calonnya lebih dari dua pasang, karena
persyaratan pemenang harus meraup minimal 50 persen +1 suara. Bagi calon gubernur
petahana Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, peraturan KPU seperti ini jelas kurang
menguntungkan. Bila Pilkada hanya berlangsung satu putaran maka Ahok, yang elektabilitasnya lebih tinggi
dibandingkan dua kompetitor lain, bakal langsung memenangkannya. Tetapi bila
berlangsung dua putaran maka Ahok diprediksi bakal kalah, karena sangat
dimungkinkan perolehan suara dua kompetitornya bakal bergabung.
Tiga pasangan kontestan
Tiga poros telah terbentuk
dalam kontestasi Pilkada Jakarta, yaitu Poros Teuku Umar mengusung Ahok-Jarot Saiful
Hidayat (Ahok-Jarot); Poros
Cikeas mengusung Agus Harimurti
Yudhoyono - Sylviana Murni (Agus-Silvi); dan Poros Kartanegara
mengusung Anies Baswedan-Sandiaga Uno (Anis-Sandi).
Poros Teuku Umar
yang dikomandoi Megawati Sukarno Putri merupakan koalisi dari Partai Nasdem,
Hanura, Golkar dan PDIP; sedangkan Poros Cikeas yang dikomandoi oleh Susilo
Bambang Yudhoyono merupakan koalisi dari Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PPP;
dan Poros Kartanegara yang dikomandoi oleh Prabowo Subiyanto merupakan koalisi
dari Partai Gerindra dan PKS. Jadi tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Pilkada
Jakarta 2017 merupakan pertarungan 3 tokoh sentral, yaitu Megawati, SBY, dan
Prabowo.
Kemunculan ketiga poros ini sangat sulit diprediksi hingga last minute menjelang pedaftaran di KPU
Jakarta. Kesulitan ini karena faktor “kegalauan”
Megawati dalam memutuskan pilihannya, apakah Ahok ataukah Risma. Sosok Tri Rismaharini
merupakan penentu bagi terbentuknya poros Kompetitor Ahok. Bila Megawati
mengusung Risma, sudah dapat dipastikan partai lain akan merapat, sebagaiman
koalisi yang telah terbangun sebelumnya yaitu koalisi kekeluargaan.
Namun karena Megawati mendukung Ahok, maka koalisi
kekeluargaan pecah menjadi dua poros penantang Ahok yaitu Poros Cikeas mengusung Agus -Silvi; dan Poros Kartanegara mengusung
Anies -Sandi
Polarisasi dua kutub
Sejak awal bergulirnya
atmosfer Pilkada DKI Jakarta, sosok Ahok telah tampil terdepan dengan menyatakan kesiapannya untuk berkompetisi di
Pilkada 2017 sebagai bakal calon gubernur Jakarta. Didorong oleh relawan “Teman
Ahok” dia maju melalui jalur independen. Dengan berbagai statemen dan prilaku
kontroversialnya menjadikan Ahok sebagai kandidat gubernur Jakarta terpopular dengan
elektabilitas sangat meyakinkan.
Berbagai
survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga menunjukkan elektabilitas Ahok jauh
mengungguli bakal calon gubernur lainnya yang muncul saat itu, seperti Yusril Ihya Mahendra,Sandiaga Uno, Lulung Lunggana, dan Adhyaksa Dault. Dengan elektabilitas
yang sangat meyakinkan, membuat seolah Ahok tidak mempunyai penantang yang
sepadan, kecuali Rismaharini, walikota Surabaya, yang tak kunjung secara tegas
menyatakan kesediaan atau penolakannya.
“Fenomena
Ahok” akibat kontroversi terkait karakter, kebijakan, dan latar belakangnya,
serta elektabilitas yang tinggi berimplikasi terhadap prilaku politik. Konstelasi
politik Pilkada Jakarta jauh hari telah memunculkan dua kutub polarisasi, yaitu
kutub pendukung Ahok; dan kutub “penentang” (bukan penantang) Ahok, atau bias dikatakan
dengan Kutub “Asal Bukan Ahok (ABA)”. Kutub ABA didukung
oleh beberapa komunitas “anti Ahok” dan sejumlah partai politik yaitu Partai
Demokrat, Partai Gerindra, PAN, PKB, PPP, dan PKS.
Meskipun alasan
verbal Kutub ABA mengusung Cagub alternatif adalah hasil survei yang
menunjukkan aspirasi mayoritas masyarakat Jakarta yang menginginkan figur baru sebagai pemimpin Jakarta, namun sesungguhnya
ada dua alasan utama, yaitu; Pertama, tidak menyukai karakter
Ahok yang keras, kasar, tidak santun, dan tidak bijak, serta kebijakannya yang tidak
berpihak pada kalangan bawah. Kedua, masyarakat Jakarta yang mayoritas muslim tidak
menghendaki pemimpin yang non-muslim.
Dalam
kalkulasi politik, pasangan penantang dari Kutub ABA berpeluang menang jika “head to head” dengan pasangan petahana,
Ahok-Jarot. Namun karena kompromi tidak
tercapai akhirnya Kutub ABA pecah menjadi dua poros, yaitu Poros Cikeas yang dikomandoi SBY
dan Poros Kartanegara yang dikomandani Prabowo. Dengan pecahnya Kutub ABA menjadi
dua poros ini maka harapan “head to head”
tidak terjadi, dan ini menjadi keuntungan bagi petahana Ahok-Jarot.
Prilaku pemilih
Aspek penting yang mempengaruhi
analisis Pilkada adalah prilaku pemilih.
Secara sederhana, perilaku pemilih dibagi dalam tiga golongan, yaitu
rasional, sosiologis, dan psikologis.
Golongan pemilih rasional berorientasi
pada figur dan rekam jejak kandidat, serta tawaran
program dalam menyelesaikan berbagai masalah. Mereka tidak begitu mementingkan
ikatan ideologi kandidat atau partai. Hal yang terpenting adalah apa yang bisa
dilakukan oleh kandidat.
Golongan pemilih
sosiologis berorientasi
pada latar belakang dan ikatan sosial yang meliputi aspek etnik, ras, agama dan gender. Agama merupakan faktor sosiologis yang sangat
kuat dalam mempengaruhi sikap pemilih terhadap kandidat. Selain agaman, faktor
kelas sosial (kalangan atas, menengah dan bawah) juga merupakan unsur yang
berpengaruh terhadap pilihan politik seseorang.
Golongan
pemilih psikologis merupakan golongan masyarakat pemilih yang bukan partisan,
yang tidak terlalu care dengan masalah
politik dan tidak terikat oleh faktor sosiologis, sehingga sangat mudah
terpengaruh oleh isu-isu yang berkembang. Mereka ini sebagian besar adalah
pemilih pemula.
Pada titik ini, Ahok-Jarot sebagai
pasangan calon petahana lebih banyak mendapat dukungan dari golongan pemilih
rasional, karena hasil kinerjanya yang dapat dirasakan secara nyata dan mudah dinilai.
Itulah sebabnya mengapa petahana lebih diuntungkan (bila kinerjanya baik) dibanding
kompetitornya. Sedangkan dua pasangan penantang, yaitu Anis-Sandi dan
Agus-Silvi banyak didukung oleh golongan pemilih sosiologis, terutama terkait
aspek keyakinan agama dan karakter budaya ketimuran. Mereka ini cukup militan.
Dari segi kuantitas, partisipasi kedua
golongan pemilih ini (rasional dan sosiologis) cukup berimbang. Maka dari itu
sebagai faktor penentu adalah golongan pemilih psikologis. Bagaimana para
pasangan kandidat bisa merebut suara dari golongan pemilih ini sebanyak-banyaknya,
akan sangat ditentukan oleh strategi kampanye tim sukses dan relawan
masing-masing kandidat.
Ahok-Jarot bakal kalah
pada putaran kedua
Bagi pasangan Ahok-Jarot, pecahnya
Kutub ABA menjadi dua poros merupakan suatu keuntungan, karena berimplikasi
pada pecahnya dukungan suara para kompetitornya. Semakin banyak pasangan kompetitor
maka elektabilitas Ahok-Jarot akan semakin jauh meninggalkan lawan-lawannya.
Namun peraturan KPU yang memberi
kemungkinan Pilkada Jakarta dapat dilakukan dua putaran merupakan kerugian bagi
pasangan Ahok-Jarot. Dalam putaran
kedua, sangat dimungkinkan dukungan suara para kompetitornya akan bersatu
kembali menjadi suara Kutub ABA. Selain
itu, tambahan waktu hingga pelaksanaan putaran kedua memberi keuntungan bagi kompetitor
untuk menaikkan popularitas dan elektabilitasnya.
Konstelasi politik Pilkada DKI Jakarta
saat ini menunjukkan bahwa kekuatan masing-masing pasangan kandidat cukup
berimbang, meski elektabilitas Ahok-Jarot sedikit lebih tinggi dibanding yang lain.
Sehingga dapat diprediksi pada putaran pertama, perolehan suara Ahok-Jarot lebih
unggul dibanding dua kompetitornya yaitu Anis-Sandi maupun Agus-Silvi. Namun pada putaran kedua, dukungan suara
Anis-Sandi dan Agus-Silvi akan bergabung sehingga perolehannya lebih tinggi
dari Ahok-Jarot.
Dengan demikian maka diprediksi Ahok-Jarot akan mengalami kekalahan pada kontestasi Pilgub DKI Jakarta 2017
di putaran kedua.
Tulisan ini juga ditulis di kompasiana, http://www.kompasiana.com/kalimana/bila-pilgub-jakarta-2-putaran-ahok-bakal-kalah_57f08100bc22bd3f07707c9d
Tidak ada komentar:
Posting Komentar