Sabtu, 01 Oktober 2016

Bila Pilgub Jakarta 2 Putaran; Ahok Bakal Kalah

Berbeda dengan daerah lain, Pilkada DKI Jakarta  dimungkinkan dilakukan dalam dua putaran jika calonnya lebih dari dua pasang, karena persyaratan pemenang harus meraup minimal 50 persen +1 suara.  Bagi calon gubernur petahana Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, peraturan KPU seperti ini jelas kurang menguntungkan. Bila Pilkada hanya berlangsung satu putaran  maka Ahok, yang elektabilitasnya lebih tinggi dibandingkan dua kompetitor lain, bakal langsung memenangkannya. Tetapi bila berlangsung dua putaran maka Ahok diprediksi bakal kalah, karena sangat dimungkinkan perolehan suara dua kompetitornya bakal bergabung.

Tiga pasangan kontestan
Tiga poros telah terbentuk dalam kontestasi Pilkada Jakarta, yaitu Poros Teuku Umar mengusung Ahok-Jarot Saiful Hidayat (Ahok-Jarot); Poros Cikeas mengusung Agus Harimurti  Yudhoyono - Sylviana Murni (Agus-Silvi); dan Poros Kartanegara mengusung Anies Baswedan-Sandiaga Uno  (Anis-Sandi).
Poros Teuku Umar yang dikomandoi Megawati Sukarno Putri merupakan koalisi dari Partai Nasdem, Hanura, Golkar dan PDIP; sedangkan Poros Cikeas yang dikomandoi oleh Susilo Bambang Yudhoyono merupakan koalisi dari Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PPP; dan Poros Kartanegara yang dikomandoi oleh Prabowo Subiyanto merupakan koalisi dari Partai Gerindra dan PKS. Jadi tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Pilkada Jakarta 2017 merupakan pertarungan 3 tokoh sentral, yaitu Megawati, SBY, dan Prabowo.
Kemunculan ketiga poros ini sangat sulit diprediksi hingga last minute menjelang pedaftaran di KPU Jakarta.  Kesulitan ini karena faktor “kegalauan” Megawati dalam memutuskan pilihannya, apakah Ahok ataukah Risma. Sosok Tri Rismaharini merupakan penentu bagi terbentuknya poros Kompetitor Ahok. Bila Megawati mengusung Risma, sudah dapat dipastikan partai lain akan merapat, sebagaiman koalisi yang telah terbangun sebelumnya yaitu koalisi kekeluargaan.
Namun karena Megawati mendukung Ahok, maka koalisi kekeluargaan pecah menjadi dua poros penantang Ahok yaitu Poros Cikeas mengusung Agus -Silvi; dan Poros Kartanegara mengusung Anies -Sandi

Polarisasi dua kutub
Sejak awal bergulirnya atmosfer Pilkada DKI Jakarta, sosok Ahok telah tampil terdepan dengan  menyatakan kesiapannya untuk berkompetisi di Pilkada 2017 sebagai bakal calon gubernur Jakarta. Didorong oleh relawan “Teman Ahok” dia maju melalui jalur independen. Dengan berbagai statemen dan prilaku kontroversialnya menjadikan Ahok sebagai kandidat gubernur Jakarta terpopular dengan elektabilitas sangat meyakinkan.
Berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga menunjukkan elektabilitas Ahok jauh mengungguli bakal calon gubernur lainnya yang muncul saat itu, seperti Yusril Ihya Mahendra,Sandiaga Uno,  Lulung Lunggana, dan Adhyaksa Dault. Dengan elektabilitas yang sangat meyakinkan, membuat seolah Ahok tidak mempunyai penantang yang sepadan, kecuali Rismaharini, walikota Surabaya, yang tak kunjung secara tegas menyatakan kesediaan atau penolakannya.
“Fenomena Ahok” akibat kontroversi terkait karakter, kebijakan, dan latar belakangnya, serta elektabilitas yang tinggi berimplikasi terhadap prilaku politik. Konstelasi politik Pilkada Jakarta jauh hari telah memunculkan dua kutub polarisasi, yaitu kutub pendukung Ahok; dan kutub “penentang” (bukan penantang) Ahok, atau bias dikatakan dengan Kutub “Asal Bukan Ahok (ABA)”.  Kutub ABA didukung oleh beberapa komunitas “anti Ahok” dan sejumlah partai politik yaitu Partai Demokrat, Partai Gerindra, PAN, PKB, PPP, dan PKS.  
Meskipun alasan verbal Kutub ABA mengusung Cagub alternatif adalah hasil survei yang menunjukkan aspirasi mayoritas masyarakat Jakarta yang menginginkan figur baru  sebagai pemimpin Jakarta, namun sesungguhnya ada dua alasan utama, yaitu; Pertama, tidak menyukai karakter Ahok yang keras, kasar, tidak santun, dan tidak bijak, serta kebijakannya yang tidak berpihak pada kalangan bawah.  Kedua,  masyarakat Jakarta yang mayoritas muslim tidak menghendaki pemimpin yang non-muslim.
Dalam kalkulasi politik, pasangan penantang dari Kutub ABA berpeluang menang jika “head to head” dengan pasangan petahana, Ahok-Jarot.  Namun karena kompromi tidak tercapai akhirnya Kutub ABA pecah menjadi dua  poros, yaitu Poros Cikeas yang dikomandoi SBY dan Poros Kartanegara yang dikomandani Prabowo. Dengan pecahnya Kutub ABA menjadi dua poros ini maka harapan “head to head” tidak terjadi, dan ini menjadi keuntungan bagi petahana Ahok-Jarot.

Prilaku pemilih
Aspek penting yang mempengaruhi analisis Pilkada adalah prilaku pemilih.  Secara sederhana, perilaku pemilih dibagi dalam tiga golongan, yaitu rasional, sosiologis, dan psikologis.
Golongan pemilih rasional berorientasi pada figur dan rekam jejak kandidat, serta tawaran program dalam menyelesaikan berbagai masalah. Mereka tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kandidat atau partai. Hal yang terpenting adalah apa yang bisa dilakukan oleh kandidat.
Golongan pemilih sosiologis berorientasi pada latar belakang dan ikatan sosial yang meliputi  aspek etnik, ras, agama dan gender.  Agama merupakan faktor sosiologis yang sangat kuat dalam mempengaruhi sikap pemilih terhadap kandidat. Selain agaman, faktor kelas sosial (kalangan atas, menengah dan bawah) juga merupakan unsur yang berpengaruh terhadap pilihan politik seseorang.
Golongan pemilih psikologis merupakan golongan masyarakat pemilih yang bukan partisan, yang tidak terlalu care dengan masalah politik dan tidak terikat oleh faktor sosiologis, sehingga sangat mudah terpengaruh oleh isu-isu yang berkembang. Mereka ini sebagian besar adalah pemilih pemula.
Pada titik ini, Ahok-Jarot sebagai pasangan calon petahana lebih banyak mendapat dukungan dari golongan pemilih rasional, karena hasil kinerjanya yang dapat dirasakan secara nyata dan mudah dinilai. Itulah sebabnya mengapa petahana lebih diuntungkan (bila kinerjanya baik) dibanding kompetitornya. Sedangkan dua pasangan penantang, yaitu Anis-Sandi dan Agus-Silvi banyak didukung oleh golongan pemilih sosiologis, terutama terkait aspek keyakinan agama dan karakter budaya ketimuran. Mereka ini cukup militan.
Dari segi kuantitas, partisipasi kedua golongan pemilih ini (rasional dan sosiologis) cukup berimbang. Maka dari itu sebagai faktor penentu adalah golongan pemilih psikologis. Bagaimana para pasangan kandidat bisa merebut suara dari golongan pemilih ini sebanyak-banyaknya, akan sangat ditentukan oleh strategi kampanye tim sukses dan relawan masing-masing kandidat.

Ahok-Jarot bakal kalah pada putaran kedua
Bagi pasangan Ahok-Jarot, pecahnya Kutub ABA menjadi dua poros merupakan suatu keuntungan, karena berimplikasi pada pecahnya dukungan suara para kompetitornya. Semakin banyak pasangan kompetitor maka elektabilitas Ahok-Jarot akan semakin jauh meninggalkan lawan-lawannya.
Namun peraturan KPU yang memberi kemungkinan Pilkada Jakarta dapat dilakukan dua putaran merupakan kerugian bagi pasangan Ahok-Jarot.  Dalam putaran kedua, sangat dimungkinkan dukungan suara para kompetitornya akan bersatu kembali menjadi suara Kutub ABA.  Selain itu, tambahan waktu hingga pelaksanaan putaran kedua memberi keuntungan bagi kompetitor untuk menaikkan popularitas dan elektabilitasnya.
Konstelasi politik Pilkada DKI Jakarta saat ini menunjukkan bahwa kekuatan masing-masing pasangan kandidat cukup berimbang, meski elektabilitas Ahok-Jarot sedikit lebih tinggi dibanding yang lain. Sehingga dapat diprediksi pada putaran pertama, perolehan suara Ahok-Jarot lebih unggul dibanding dua kompetitornya yaitu Anis-Sandi maupun Agus-Silvi.  Namun pada putaran kedua, dukungan suara Anis-Sandi dan Agus-Silvi akan bergabung sehingga perolehannya lebih tinggi dari Ahok-Jarot.

Dengan demikian maka diprediksi Ahok-Jarot akan mengalami kekalahan pada kontestasi Pilgub DKI Jakarta 2017 di putaran kedua.


Tulisan ini juga ditulis di kompasiana, http://www.kompasiana.com/kalimana/bila-pilgub-jakarta-2-putaran-ahok-bakal-kalah_57f08100bc22bd3f07707c9d

Tidak ada komentar:

Posting Komentar