Anda mungkin masih ingat saat Hubert A. Wenas memodifikasi mobilnya sehingga
terlihat perkasa. Mobil tersebut dinamai Ichiro. Setelah itu Hubert menertibkan secara paksa para
pengendara yang tidak tertib berlalu lintas. Menurut media, bentuknya bisa teguran,
cacian, serempet, hingga menabrakkannya. Kita bisa menyaksikan rekamannya di
YouTube.
Film Serial TV “Dark Justice”
Apa yang dilakukan Hubert mengingatkan saya akan
sebuah serial TV yang pernah populer pada awal era 1990-an, Dark Justice. Ini
tentang sosok penegak hukum yang putus asa karena aturan hukum formal tak mampu
menjaring para pelaku kejahatan. Maklum, para pelaku kejahatan itu kebanyakan orang
berduit. Sehingga mereka mampu membayar para pengacara yang dengan lihainya
membolak-balik logika hukum.
Sang hakim, bernama Nicholas Marshall yang menjadi tokoh
utama film Dark Justice tersebut, geram. Sebagai hakim, dia tahu belaka mana
yang salah dan yang benar. Tapi, pengadilan di Amerika Serikat-tempat film itu
diproduksi– memakai sistem juri. Salah
tidaknya seorang terdakwa ditentukan juri, bukan hakim.
Pengadilan yang seharusnya menegakkan
keadilan, namun kenyataannya memihak kepada kelaliman, dengan memanipilasi
hukum. Hal
itu sangat mengecewakan
pihak korban yang mencari keadilan di pengadilan. Kepada terdakwa
yang sebenarnya patut dihukum tetapi akhirnya dibebaskan itu, dia berucap “Indeed,
justice is sometimes blind but it can also see in the darkness.”
Maka, ketika seorang terdakwa dinyatakan bebas, meski
hakim tahu dia bersalah, bekerjalah dark justice tersebut. Malam hari sang
tokoh melepaskan baju hakimnya dan memulai aksinya sebagai penegak keadilan.
Dia menghukum
terdakwa itu dengan caranya sendiri.
Aksi Menjengkelkan
Kita, kalau boleh, sebetulnya ingin juga seperti Hubert. Hanya
mungkin tak punya nyali untuk bertindak seberani dia. Cobalah siapa yang tidak
gemas dengan terjadinya pembiaran terhadap perilaku-perilaku semacam ini.
Contraflow.
Siapa di antara Anda yang belum pernah melihatnya? Bahkan, di jalan-jalan
protokol saya kerap menemukan para pengendara sepeda motor yang dengan
seenaknya melaju melawan arus. Beberapa kali saya lihat ada beberapa petugas
kepolisian di kejauhan sana, tetapi mereka hanya berdiam diri. Hanya menatap
dari kejauhan dan tidak melakukan tindakan apa pun.
Dengan pembiaran semacam ini, saya tidak heran kalau pelaku
contraflow kian hari kian banyak. Bahkan, yang celaka, sebagian dari mereka
melakukannya dengan memboncengkan anak dan istrinya. Alhasil, sejak kecil
anak-anak kita sudah mewarisi teladan yang buruk dari orang tuanya. Lalu apa
jadinya dengan nasib bangsa ini kalau sejak dini anak-anak kita terbiasa
menyaksikan pelanggaran hukum seperti itu?
Merasa Lebih Penting. Di jalan raya, saat macet, saya
juga kerap menyaksikan kendaraan dengan sirene yang meraung-raung dan lampu LED strobo yang
biasa dipakai polisi. Mulanya saya mengira itu ambulans atau iring-iringan
mobil jenazah. Rupanya bukan. Mobil itu milik sebuah organisasi massa keagamaan.
Kita semua tentu geram dengan perilaku tersebut. Apa
hak mereka untuk meminta kita menepi? Perilaku merasa lebih dari yang lain
seperti ini bukan hanya milik organisasi massa, tapi juga para pejabat negara
kita. Anda sering melihatnya, bukan? Di saat kemacetan mendera, dipaksa menepi
oleh petugas
voorijder agar
mobil para tuan-tuan pejabat tadi bisa lewat. Bukan hanya di
jalan-jalan raya, tetapi juga di jalan tol.
Menjengkelkan sekali. Padahal, kitalah yang membayar gaji mereka
dengan uang pajak yang kita setorkan setiap tahun. Jadi, sebenarnya siapa tuan
dan siapa majikan sih!
Mengapa kalau sudah tahu jalan raya macet, para
pejabat itu tidak naik sepeda motor saja? Misalnya dengan meminta diboncengkan
petugas voorijder. Memangnya mereka bakal turun gengsi kalau naik sepeda motor?
Atau takut kotor kena asap dan debu? Juga takut basah oleh air hujan?
Cobalah sekarang bagaimana kita bisa menjelaskan
kepada anak-anak kita perilaku yang semacam ini. Tengoklah bagaimana iring-iringan pengawal jenazah
yang
membawa bendera kuning bersepeda motor meniru cara pengawal menutup
jalur sesuka perut mereka.
Mungkin kita akan mengatakan kepada anak kita begini:
Oh, mereka boleh melanggar aturan, Nak. Mereka cuma meniru cara pejabat negara.
Sweeping. Ah,
saya tak tertarik untuk mengulasnya lebih jauh. Kita sudah tahu siapa
pelakunya. Kita bisa menduga-duga motif di baliknya. Kita juga bisa
menduga-duga mengapa pihak berwenang melakukan aksi pembiaran.
Lebih Serius
Silakan kalau Anda mau memperpanjang lagi daftarnya. Misalnya, ada angkutan
umum yang parkir dan mengangkut penumpang seenaknya. Mobil-mobil kontainer atau
truk-truk besar dilarang melintas di jalan tol pada jam-jam tertentu karena
bisa menimbulkan kemacetan. Kenyataannya?
Dengan beberapa contoh di atas, saya bisa memahami
mengapa Hubert begitu geram kepada para pelanggar lalu lintas –meski saya tidak
sepenuhnya menyetujui tindakannya.
Maka, supaya jangan muncul ”Hubert-Hubert” yang lain, ayolah
Pak Polisi, lebih seriuslah dalam menegakkan aturan. Dan itu harus dimulai dari
dalam kepolisian sendiri. Kalau polisi bersalah, ya jangan malah dibelain.
Biarkan hukum berdiri tegak, maka cinta kasih akan tumbuh. (Sumber : Jawa Pos,
26 Februari 2015).
Tentang penulis:
Rhenald Kasali,
Akademisi, praktisi bisnis dan guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar