(Feinbild Islam – Zehn Thesen gegen Hass)
------------------------------------------------------
Seorang politikus dari partai
CDU (Kristen-Demokrat) yang pernah 18 tahun duduk di parlemen Jerman, Jürgen Todenhöfer, telah
membaca Quran.
Setelah membaca, mengamati dan berpikir, ia menulis. Hasilnya: sebuah buku “Feinbild Islam – Zehn Thesen gegen Hass” (Potret Buruk Islam - Sepuluh Tesis Anti Kebencian), yang terbit di akhir tahun 2011.
Berikut Ringkasannya:
1. Barat Lebih “Brutal“ dari Dunia Islam
Todenhöfer, dalam
tesis pertama, mengingatkan fakta sejarah yang sering terlupa di dua abad
terakhir. Barat jauh lebih brutal daripada dunia Muslim. Jutaan warga sipil Arab
tewas sejak kolonialisme dimulai. Atas nama kolonialisasi, Prancis pernah membunuh
lebih dari dua juta penduduk sipil di Aljazair, dalam kurun waktu 130 tahun.
Atas nama kolonialisasi, Italia
pernah menggunakan
phosphor dan gas mustard untuk menghabisi penduduk sipil di Libya. Atas nama
kolonialisasi, Spanyol
juga pernah
menggunakan senajata kimia di Marokko.
Tidak berbeda di
era setelah perang dunia kedua. Dalam invansi Perang Teluk kedua, semenjak
tahun 2003, UNICEF menyebutkan, 1,5 juta penduduk sipil Irak terbunuh. Sepertiganya
anak-anak. Tidak sedikit dari korban terkontaminasi amunisi uranium. Di
Baghdad, hampir setiap rumah kehilangan satu anggota keluarganya.
Sebaliknya, di dua
abad terakhir, tidak satu pun negara islam menyerang, mengintervensi,
mengkolonialisasi Barat. Perbandingan
jumlah korban mati (dunia Islam: dunia Barat) adalah 10:1. Problema besar
dunia, di dua abad belakangan ini, bukan kebrutalan Islam, tapi kebrutalan beberapa
negara-negara Barat.
2. Mempromosikan Anti-Terorisme, Melahirkan
Terorisme
Terorisme jelas
tidak dibenarkan. Menilik secara objektiv, terorisme justru lahir dari politik
anti-terorisme Barat yang keliru. "Seorang pemuda muslim," tulis
Todenhöfer, "yang secara rutin memantau berita di televisi, hari demi
hari, tahun demi tahun, akan situasi di Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina
dan di tempat lain, di mana perempuan, anak-anak dan penduduk sipil, dihabisi
oleh Barat dengan brutal, justru diprovokasi untuk menjadi seorang teroris."
Beruntung saja,
sebagian besar pemuda islam tidak terpancing. Mereka memilih jalan yang
berbeda. Di Tunisia, Mesir, Libya, Marokko, dan negara-negara muslim lainnya,
mereka menjawab ketidak-adilan yang menimpa mereka melalui jalan demokrasi dan
teriakan kebebasan, bukan teror dan kekerasan.
3. Terorisme: Fenomena Dunia, Bukan Fenomena Islam
Pemeo favorit di setiap diskursi
bertemakan terorisme: “Tidak
setiap muslim teroris, tapi seluruh teroris adalah muslim.” Selain jauh dari
benar, dengan data dan fakta, propaganda ini mudah dipatahkan.
Data resmi Badan
Kepolisian Eropa, Europol, menyebutkan: Dari 249 aksi teror di tahun 2010, hanya tiga yang
pelakunya berlatar belakang Islam. Bukan 200, bukan 100 – tapi tiga!
Data di tahun-tahun sebelumnya, juga tidak kalah mengejutkan: Dari 294 aksi
terror di tahun 2009, hanya satu yang berlatar belakang Islam. Hanya satu dari
515 aksi teror di tahun 2008. Hanya empat dari 583 di tahun 2007.
4. Hukum Internasional untuk Semua
Di hadapan hukum
internasional, dunia Barat selalu mentematisir, dan merekam dengan baik, 3500
korban terorisme yang jatuh atas nama “teror-Islam“ semenjak pertengahan
1990-an (termasuk korban WTC, pada 11/9). Tapi mengapa ratusan-ribu warga sipil yang
terbunuh dalam intervensi di Irak tidak pernah ditematisir?
Lebih jauh,
Todenhöfer bertanya kritis: “mengapa elite Barat, tidak pernah sekalipun
menimbang; membawa George W. Bush dan Tony Blair ke hadapan mahkamah
internasional, atas serangan
sepihaknya ke Irak? Apakah hukum internasional hanya berlaku untuk orang-orang non-Barat?“
Perang, bukan
jawaban untuk aksi-aksi terorisme. Perang, hanya manis untuk mereka yang tidak
mengenalnya. Teroris yang membunuh orang-orang tidak berdosa, bukanlah pejuang
kebebasan, bukan pahlawan, bukan pula syuhada. Mereka mengkhianati agama
mereka. Mereka adalah pembunuh.
5. Muslim, Toleransi dan “Perang Suci“
Bukan Muslim, yang atas nama
kolonialisasi membunuh 50
juta nyawa di seantero Afrika dan Asia. Bukan Muslim, yang atas nama perang
dunia pertama dan kedua menghabiskan 70 juta nyawa. Bukan pula Muslim, yang
menggencarkan genosida
terhadap 6 juta orang-orang Yahudi.
Islam tidak
mengenal kata suci dalam kaitannya dengan perang. Jihad bermakna
sungguh-sungguh di jalan Tuhan. Tidak ada satu tempat pun di Quran
yang memaknakan jihad dengan perang suci. Karena perang tidak pernah suci, dan kesucian hanya ada di jalan perdamaian.
6. Kontekstual Quran dan Islam-Teroris
Permasalahan besar
dalam perdebatan Quran di dunia Barat, adalah setiap orang bernafsu membicarakannya,
sangat-sangat sedikit yang pernah membacanya.
Sebagian besar
mereka tidak lagi rasional dan ilmiah. Hanya mengutip beberapa tekstual yang
mengesankan islam pro “perang” tanpa pernah mau tahu konteksnya. Padahal
pesan-pesan Quran yang dikesankan seperti itu, spesifik diterima Muhammad,
dalam konteks perlawanan antara penduduk Mekkah dan Madinah, waktu itu.
Seperti Musa dan
Isa, Muhammad tidak dilahirkan pada situasi dunia yang sedang vakum, apalagi
damai. Mereka hadir
pada saat moralitas dunia bobrok, penuh perang, perjuangan dan
perlawanan. Adalah sangat lumrah beberapa tekstual yang terkesan pro “perang”
itu bisa ditemukan di Quran, semudah bisa ditemukan di kitab Perjanjian Lama
dan kitab Perjanjian Baru.
Secara semantis,
diksi “islam-teroris”, “kristen-teroris” atau “yahudi-teroris” adalah sebuah
penyesatan bahasa. Terorisme, menurut Todenhöfer, berdiri di atas instrumen
setan, tidak boleh dikaitkan dengan kesucian Tuhan dan keagamaan. Memang benar,
di dalam Islam, Kristen, atau Yahudi ada ideologi teror - tapi bukan ajaran
agamanya. Ideologi ini tidak mengantarkan mereka ke surga, tapi ke neraka.
7. Fakta atau fake ?
Kalimat andalan
kritikus anti-Islam di barat: “siapa yang menginginkan panggilan azan terdengar
di kota-kota kami, harus membiarkan juga lonceng gereja berbunyi di kota-kota
mereka!" Padahal nyatanya: Di Teheran, semisal, berdiri banyak
gereja. Loncengnya berbunyi tidak jarang, dan tidak pelan. Lebih jauh,
anak-anak kristen memiliki pelajaran agamanya sendiri (sesuatu yang luxus untuk
anak-anak muslim di Barat).
Barat
megidentifikasi jilbab sebagai simbol pengekangan dan ketertindasan. Dari
survey resmi, wanita-wanita pemakai jilbab, yang begitu dipedulikan barat itu,
justru berkata bukan (tetapi atas kesadaran pribadi). Sinisme jilbab, sebagian
besar justru datang dari mereka yang tidak berjilbab dan anti-jilbab. Memaksa
seseorang berjilbab, jelas menyalahi hak asasi. Tidak jauh berbeda, dari
prosesi pemaksaan untuk melepasnya.
Barat menuduh
perempuan-perempuan islam tidak berpendidikan. Fakta dari dunia islam menjawab
lain. Secara statistis, perempuan
di negara-negara mayoritas islam, justru lebih berpendidikan dibanding Barat: 30% Profesor di
Mesir perempuan, padahal di Jerman jumlahnya hanya sekitar 20%. Lebih dari 60%
mahasiswa di Iran adalah perempuan. Di Uni Emirat Arab, sudah semenjak tahun
2007, mahasiswa perempuan menginjak angka yang sulit dipercaya: 77%.
8. Seorang Muslim = Seorang Yahudi = Seorang
Kristen
Tidak ada seorang
bayi pun terlahir sebagai seorang teroris. Barat harus memperlakukan seorang
Muslim, persis seperti seperti mereka memperlakukan seorang Kristen atau
Yahudi.
Tidak jarang kita
dengar politikus dan aktivis Barat, demonstratif, mengumbar kalimat penuh kebencian
terhadap Islam. Frank Graham, penasehat George W. Bush, menyebut Islam sebagai “agama
iblis dan sihir”. Politikus kanan Belanda, Geert Wilders, menyebut Islam
sebagai “agama fasis”. Thilo Sarrazin, politikus Jerman memberikan thesis:
“secara genetis, anak-anak dari keluarga Islam, dilahirkan di bawah tingkat
kecerdasan rata-rata.”
Bayangkan sejenak,
jika Frank Graham, Greet Wilders, dan Thilo Sarrazin mengganti objek
tesis-nya bukan kepada "Islam", tetapi menjadi "Yahudi"
atau “Kristen”. Tidakkah ucapan seperti itu akan menjadi badai kemarahan yang dahsyat?
Mengapa Barat boleh mengatakan hal-hal penuh fasistik dan rassist terhadap
Islam, yang justru di kalangan orang-orang Kristen dan Yahudi sesuatu yang
tabu? Barat harus mengakhiri demonisasi Islam dan Muslim.
9. Muslim Melawan Teror
Di tesis
kesembilan, Todenhöfer mengajak umat Islam, melalui sebuah reformasi sosial,
menjejak Nabi Muhammad yang berjuang untuk sebuah Islam yang beradab dan
toleran. Untuk tatanan ekonomi dan politik yang dinamis, bukan statis – sambil
mempertahankan identitas keagamaannya. Untuk persamaan yang penuh, pria dan
wanita. Untuk kebebasan beragama yang nyata.
Tidak seperti
politikus umumnya, Muhammad, bukan seorang reaksioner. Dia adalah seorang
revolusioner, berani berpikir dan berani mematahkan belenggu tradisi. Islam di masa
Muhammad bukanlah agama stagnan, apalagi regresif, tetapi pembaruan dan
perubahan. Muhammad berjuang untuk perubahan sosial, ia pahlawan orang miskin
dan orang lemah. Dia mengangkat hak-hak kaum perempuan, yang di periode
sebelumnya nyaris tidak ada.
Muhammad bukan seorang
fanatik atau seorang ekstrimis. Dia hanya ingin membawa orang-orang Arab, yang
kala itu terjebak pada belenggu politeistik, untuk kembali ke sumber aslinya
yang murni, agama Ibrahim, persis seperti yang disuarakan Musa dan Isa.
Terorisme, yang
berada di sekelumit dunia Islam pada hari ini adalah distorsi ajaran
Muhammad. Ini adalah kejahatan melawan Islam. Dunia Islam tidak boleh membiarkan
citra baik Islam, yang dibangun Muhammad 14 abad yang lalu, dihancurkan
seketika oleh ideologi kriminal ini. Dunia Islam perlu memerangi ideologi
terorisme ini, persis seperti Muhammad memerangi berhala-berhala dari periode pra-Islam.
10. Politik Bukan Perang
Kalimat bijak
pernah mengajarkan: "ketika kamu tidak bisa menaklukan musuhmu, peluk
dia!"
Masalah kompleks di
Timur tengah, hanya bisa diselesaikan dengan jalur politik, bukan dengan perang.
Barat harus membuka pintu diskusi yang lebih lebar untuk dunia Islam. Barat
harus membuka ruang bilateral dan unilateral lebih besar untuk negara-negara
Arab. Kesatuan dan stabilitas yang perah terjadi di Uni Eropa, nyatanya, tidak
berdiri di atas invansi senjata, tapi di atas politik diplomatisasi yang penuh
visi.
Sebuah visi akan
sebuah dunia, yang setiap negara di dalamnya dihargai. Sebuah penghargaan yang
tanpa diskriminasi. Politik anti-diskriminasi yang dibangun di atas keadilan
dan kebebasan, bukan perang, apalagi penindasan.***
-----
ditulis Yudi Nurul Ihsan, Mahasiswa Indonesia S3 di Jerman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar