Jumat, 01 Februari 2019

Inikah Jaman Edan?


Kebanyakan dari kita (terutama bagi orang jawa) tentu pernah mendengar sebuah syair yang cukup popular di telinga, yaitu Jaman Edan.  
Orang jawa saat sekarang mengenal syair jaman edan itu secara singkat dan sederhana:
·         Zaman edan (Jaman gila)
·         Melu edan ora tahan (Mau ikut gila tak sampai hati)
·         Ora melu edan ora keduman (Tak ikut gila tak bakalankebagian)
·         Sak beja bejane wong edan (Seberuntungnya orang yang gila)
·         Luwih beja wong sing eling lan waspodo. (Lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada).

Karya Rangga Warsita
Syair jaman edan merupakan karya sastra jawa yang ditulis oleh seorang pujangga Kasunanan Surakarta  bernama  Raden Ngabehi Rangga Warsita.  Syair itu ditulis oleh Rangga Warsita pada sekitar tahun 1860 Masehi, yang saat itu dikenal dengan nama Serat Kalatidha, yang artinya Jaman Ketidak pastian.
Dalam bahasa aselinya, bunyi Serat Kalatidha sebagai berikut:
·         Amenangi zaman édan (berada pada zaman edan) ; 
·         Ewuhaya ing pambudi (serba susah dalam bertindak); 
·         Mélu ngédan nora tahan (mau ikut edan tidaklah sampai hati); 
·         Yén tan mélu anglakoni boya kéduman melik (tetapi kalau tidak ikut edan tidak bakal kebagian); 
·         Begja-begjaning édan (namun seberuntungnya orang yang edan);  
·         Luwih begja kang éling klawan waspada (akan lebih beruntung/bahagia orang yang tetap ingat dan waspada).
Kalatidha merupakan sebuah syair yang sangat termashur. Ketenaran Serat Kalatidha telah mencapai negeri Belanda.  Di sana petikan dari Serat Kalatidha dilukis pada tembok di sebuah museum, di kota Leiden Belanda.

Situasi penuh kecemasan dan kebimangan
Konon Rangga Warsita menulis serat ini karena adanya satu kegalauan terhadap situasi sosial masyarakat saat itu.  Situasinya saat itu penuh ketidak adilan dan penuh ketidak pastian, sehingga masyarakat diliputi kecemasan dan kebimbangan. 
Dalam pandangan Rangga Warsita, situasi seperti itu membuat masyarakat serba susah dalam bertindak (éwuhaya ing pambudi).  Mau mengikuti arus kegilaan hatinya tidak tega (mélu ngédan nora tahan), Namun kalau tidak ikut-ikutan edan maka tak bakal kebagian rejeki (boya kéduman mélik).
Di jaman itu orang pandai (berilmu) belum tentu hidup nyaman, dan orang bodoh belum tentu juga sengsara. Yang sukses adalah orang yang cerdik dan licik, yang bisa mengambil hati penguasa.  Sedangkan orang jujur, meski pekerja keras hidupnya tetap sengsara. 
Situasi seperti itu, kemudian dalam beberapa pepatah jawa disebutkan antara lain:

·         Jujur ajur - ala mulya, yang maknanya adalah orang jujur bisa bernasib sial (ajur), karena bakal ditinggalkan orang-orang sekitar rusak moralnya, karena dianggap tidak bisa diajak kerjasama.  Sedangkan orang  ala  yaitu orang yang rendah moralnya justru kehidupannya bisa jadi baik (mulya), karena berani menghalalkan segala cara.
·         Wong apik ditampik - wong jahat munggah pangkat. Orang baik disingkirkan, sedangkan orang jahat  justru mendapat kedudukan .
·         Wong mulyo dikunjoro - wong lugu kebelenggu. Orang berilmu (mulya) justru dipenjara, dan orang yang jujur kehidupannya terbelenggu.
·         Podho wani nglanggar sumpahe dhewe. Banyak orang dan pejabat yang tidak segan melanggar sumpahnya sendiri. Mereka mudah mengumbar janji-janji namun tidak ditepati.
·         Podho seneng nyalahke.  (Untuk memenuhi ambisi) antar mereka saling menyalahkan. Banyak orang suka mencari-cari kesalahan orang lain, dengan berbagai fitnah dan menebar kebencian.
·         Ora ngendahake aturaning Gusti. Mereka sudah tidak lagi taat dan takut terhadap aturan Tuhan.
Konsekuensi dari situasi jaman edan, orang kaya makin kaya sementara orang miskin semakin sulit untuk memperoleh kehidupan yang layak. Untuk mendapatkan pekerjaan atau jabatan orang harus mengeluarkan uang pelicin (menyuap). Maka tak heran bila hanya orang-orang kayalah yang akhirnya mudah mendapatkan pekerjaan dan jabatan. Sementara orang-orang miskin hidupnya semakin sulit dan terpinggirkan.

Ramalan Jayabaya
Zaman Edan telah diramalkan oleh Prabu Jayabaya (abad 12) dengan menyebutnya sebagai Kalabendu (jaman kekacauan).  Di jaman kalabendu, moral tidak dipentingkan lagi. Tidak ada persahabatan dan tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan. Kawan bisa menjadi lawan, dan yang tadinya lawan bisa menjadi kawan asalkan menguntungkan.
Menurut Jayabaya, jaman kalabendu  terlihat seperti Zaman Kasukan, yaitu jaman yang menyenangkan karena penuh kenikmatan dunia, tetapi sebenarnya jaman itu dirasakan oleh sebagian besar orang lainnya sangat berat.  Jaman kalabendu merupakan jaman kehancuran dan rusaknya tatanan dunia (jaman ajur lan bubrahing donya).
Jayabaya menasehati kita, meski pada jaman itu kondisinya sangat berat, namun kita harus tetap berusaha, serta tetap tabah dan tegar.  Nasehatnya, Jo kepranan ombyak ing jaman (Jangan terbawa dan terbuai oleh arus zaman yang memabokkan). Sebab jaman itu bakal sirna dan diganti dengan jaman kemuliaan yaitu Jaman Ratu Adil.

Inikah Jaman Edan?
Saat sekarang ini kita saksikan bersama situasi bangsa kita, banyak pejabat melanggar sumpahnya sendiri, mereka mudah mengumbar janji namun tidak ditepati. Banyak orang suka menebar fitnah dan kebencian. Orang jujur terpinggirkan, orang berilmu (kritis) dipenjara.  Korupsi terus terjadi dimana-mana, keserakahan telah menutupi hati nuraninya.  Empati dan kepedulian sudah luntur dari qalbunya.  Mereka sudah tidak lagi taat dan takut terhadap aturan Tuhan.  Inikah jaman edan?.
Jauh berabad-abad sebelum Raden Rangga Warsita dan Prabu Jayabaya, pada abad ke 6 Rasulullah SAW telah memperingatkan kepada kita umatnya tentang situasi jaman edan.  Melalui hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, beliau dijelaskan:
Dari Abu Hurairah Ra, dia berkata; Rasulullah SAW bersabda,“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah).

Senantiasa Ingat dan Waspada
Di bait akhir serat kalatidha, Rangga Warsita menasehati  dengan kalimat “begja-begjaning kang edan  luwih begja kang éling klawan waspada”, sebahagia-bahagianya orang yang edan, masih lebih baik orang yang senantiasa “ingat” dan waspada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar