Kamis, 31 Januari 2019

Menyikapi Jaman (yang semakin) Edan


Zaman Edan adalah istilah yang menggambarkan situasi sosial masyarakat yang dirasakan oleh kebanyakan orang sebagai situasi yang tidak menentu, penuh ketidak pastian dan diliputi kecemasan.  Di zaman edan, orang pandai (berilmu) belum tentu sukses. Kebanyakan mereka yang sukses adalah orang-orang yang cerdik dan licik. Orang jujur malah dijauhi koleganya, karena dianggap tidak bisa diajak kerjasama dalam konspirasi dan akhirnya terpinggirkan.
Di zaman edan, orang kaya makin kaya, sementara orang miskin semakin sulit untuk memperoleh kehidupan. Untuk mendapatkan pekerjaan atau jabatan orang harus mengeluarkan uang pelicin (menyuap). Maka hanya orang-orang kayalah yang akhirnya mudah mendapatkan pekerjaan dan jabatan. Sementara orang-orang miskin hidupnya semakin sulit dan terpuruk.
Zaman Edan telah digambarkan dan diramalkan oleh Prabu Jayabaya (abad 12) dan Rangga Warsita (abad 19).  Prabu Jayabaya, yang hidup abad 12 menyebutnya sebagai Kalabendu (zaman kekacauan). Sedangkan Rangga Warsita, pujangga Kasunanan Surakarta yang hidup tahun 1860-an menyebutnya sebagai  Kalatidha (zaman keraguan/edan).

Jauh berabad-abad sebelum Prabu Jayabaya, pada abad ke 6, Rasulullah SAW telah memperingatkan kepada kita umatnya melalui hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Dari Abu Hurairah Ra, dia berkata; Rasulullah SAW bersabda:
Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah).

Menurut PRABU JAYABAYA, di zaman edan nanti paradigma hidup menjadi terjungkir-balik (wolak walik ing jaman). Tata nilai buruk merajalela mengalahkan tata nilai yang baik.  Tanda-tanda zaman edan antara lain sebagai berikut: 
>  Wong jujur ajur – wong ala mulya. Orang jujur nasibnya malah hancur (tidak beruntung), karena bakal ditinggalkan orang-orang sekitar yang buruk moralnya.  Dan sebaliknya orang “ala” (tak berintegritas) malah mendapat kedudukan, karena ia berani menghalalkan segala cara (semisal suap menyuap)
>  Wong apik ditampik - wong jahat munggah pangkat.  Orang baik disingkirkan, sedangkan orang jahat, yang licik dan munafik justru mendapat kedudukan.
>  Wong lugu kebelenggu - wong mulyo dikunjoro. Orang yang lurus (apa adanya) malah terbelenggu, tidak mendapat tempat dan kepercayaan.  Demikian pula orang mulia (yang menegakkan amar makruf nahi munkar) justru banyak yang masuk penjara.
>  Ngumbar nafsu angkoro murko. Kebanyakan manusia hanya berorientasi pada uang dan kedudukan, dengan melupakan nilai kebajikan. Mereka inginnya hidup serba mewah dengan mengumbar syahwat kekuasaan (nafsu angkoro murko).
>  Wani nglanggar sumpahe dhewe. Banyak orang dan pejabat yang tidak segan-segan melanggar sumpahnya sendiri. Mereka mudah mengumbar janji-janji namun tidak ditepati.
>  Ora ngendahake aturaning Gusti. Mereka sudah tidak lagi takut dan taat terhadap aturan Tuhan.
>  Podho seneng nyalahke.  (Untuk memenuhi ambisi) antar mereka saling menyalahkan. Banyak orang suka mencari-cari kesalahan orang lain, dengan berbagai fitnah dan menebar kebencian.

Menurut Jayabaya, jaman kalabendu (oleh sebagian kecil orang) terlihat seperti Jaman Kasukan, yaitu zaman yang menyenangkan karena penuh kenikmatan dunia, tetapi sebenarnya zaman itu dirasakan oleh sebagian besar orang lainnya sangat berat.  Jaman kalabendu merupakan zaman kehancuran dan rusaknya dunia (jaman ajur lan bubrahing donya).
Jayabaya menasehati kita, meski pada zaman itu kondisinya sangat berat, namun kita harus tetap berusaha, serta tetap tabah dan tegar.  Jangan terbawa dan terbuai oleh arus zaman yang memabokkan (jo kepranan ombyak ing jaman).  Sebab zaman itu bakal sirna dan diganti dengan zaman kemuliaan yaitu zaman Ratu Adil.

Sementara RANGGAWARSITA, pujangga Kasunanan Surakarta (tahun 1860-an) menggambarkan zaman edan dalam sebuah bait dalam Serat Kalatidha.  Serat Kalatidha merupakan sebuah syair yang sangat mashur. Ketenaran Serat Kalatidha telah mencapai kota Leiden, Belanda.  Di sana petikan dari Serat Kalatidha dilukis di tembok sebuah museum di kota Leiden.
Serat Kalatidha terdiri dari 12 bait, berisi falsafah atau ajaran hidup Ranggawarsita. “Kala” berarti "zaman" dan “tidha” adalah "ragu". Kalatidha berarti zaman penuh keraguan. Walau demikian banyak yang memberi pengertian “Kalatidha adalah zaman edan” mengambil makna dari bait ke tujuh serat ini, bait yang sangat popular.
Zaman edan dalam serat kalatidha digambarkan secara ringkas sebagai zaman yang serba susah dalam bertindak (éwuhaya ing pambudi). Kalau tidak mengikuti edan bakal tidak kebagian  (boya kéduman mélik). Namun sebahagia-bahagianya orang yang edan, masih lebih baik orang yang senantiasa “ingat” dan waspada (begja-begjaning kang edan  luwih begja kang éling klawan waspada).
Bait ke-7 Serat Kalatidha adalah sebagai berikut:
>  Amenangi jaman édan (mengalami zaman edan) ; 
>  Ewuhaya ing pambudi (serba susah dalam bertindak); 
>  Mélu ngédan nora tahan (ikut edan tidak sampai hati); 
>  Yén tan mélu anglakoni boya kéduman (tapi kalau tidak mengikuti edan tidak kebagian); 
>  Ndilalah kersaning Gusti Allah (sudah menjadi kehendak Allah); 
>  Begja-begjaning kang édan (seberuntungnya orang yang edan);  
>  Luwih begja kang éling klawan waspada (akan lebih beruntung/bahagia orang yang tetap ingat dan waspada).

SUNAN KALIJAGA (yang hidup sekitar tahun 1450M), juga telah meramalkan datangnya zaman edan.  Sunan menggubah sebuah tembang yang sekarang sering didendangkan para dalang wayang kulit untuk menggambarkan situasi “goro-goro” atau kekacauan.  Tembang tersebut adala sebagai berikut:
>  Kali ilang kedunge (Sungai sudah kehilangan lubuknya, karena kerusakan alam) 
>  Pasar ilang kumandange (Pasar kehilangan gaungnya,karena sistem ekonomi sudah berubah) 
>  Wong wadon ilang wirange (Kaum perempuan sudah tidak punya rasa malu, karena kerusakan moralitas);  
>  Wong lanang ilang wibawane (Para pria sudah hilang kewibawaannya);  
>  Wong jujur tambah kojur (orang jujur justru celaka) ;  
>  Wong clutak tambah galak (Orang serakah semakin menjadi-jadi, karena budi baik dikalahkan oleh kejahatan, ketidakadilan merajalela, tatanan hukum kacau balau) 

Di zaman edan, moral tidak dipentingkan lagi. Tidak ada persahabatan dan tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan. Kawan bisa menjadi lawan, dan yang tadinya lawan bisa menjadi kawan asalkan menguntungkan.
Saat sekarang ini kita saksikan bersama, korupsi terus terjadi dimana-mana. Korupsi justru dilakukan oleh orang yang sudah kaya. Mereka terus menerus menguras uang negara. Harta mereka sudah bertumpuk namun masih saja merasa kurang  Mereka tak peduli dengan penderitaan orang miskin. Keserakahan telah menutupi hati nuraninya.  Empati dan kepedulian sudah luntur dari qalbunya  Apakah ini zaman edan?.

Jayabaya dan Ranggawarsita menasehati kita, meski pada zaman itu kondisinya sangat berat, namun kita harus tetap berusaha, serta tetap tabah dan tegar.  Karena sebahagia-bahagianya orang yang edan, masih lebih baik orang yang senantiasa “eling” dan waspada. Jangan terbawa dan terbuai oleh arus zaman edan.  Sebab zaman itu bakal sirna dan diganti dengan zaman kemuliaan yaitu zaman Ratu Adil.

*****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar