Zaman Edan
adalah istilah yang menggambarkan situasi sosial masyarakat yang dirasakan oleh
kebanyakan orang sebagai situasi yang tidak menentu, penuh ketidak pastian dan
diliputi kecemasan. Di zaman edan, orang pandai (berilmu) belum tentu
sukses. Kebanyakan mereka yang sukses adalah orang-orang yang cerdik dan licik.
Orang jujur malah dijauhi koleganya, karena dianggap tidak bisa diajak
kerjasama dalam konspirasi dan akhirnya terpinggirkan.
Di zaman edan, orang kaya makin kaya,
sementara orang miskin semakin sulit untuk memperoleh kehidupan. Untuk mendapatkan
pekerjaan atau jabatan orang harus mengeluarkan uang pelicin (menyuap). Maka
hanya orang-orang kayalah yang akhirnya mudah mendapatkan pekerjaan dan
jabatan. Sementara orang-orang miskin hidupnya semakin sulit dan terpuruk.
Zaman Edan telah digambarkan dan diramalkan
oleh Prabu Jayabaya (abad
12) dan Rangga Warsita (abad 19).
Prabu
Jayabaya, yang hidup abad 12 menyebutnya sebagai Kalabendu (zaman kekacauan). Sedangkan Rangga Warsita, pujangga Kasunanan Surakarta yang hidup tahun
1860-an menyebutnya sebagai Kalatidha (zaman keraguan/edan).
Jauh berabad-abad sebelum Prabu
Jayabaya, pada abad ke 6, Rasulullah SAW telah memperingatkan kepada kita umatnya melalui hadis
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Dari
Abu Hurairah Ra, dia berkata; Rasulullah SAW bersabda:
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan
penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah
didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap
sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya,
“Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut
campur dalam urusan masyarakat luas.”
(HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah).
Menurut PRABU JAYABAYA, di zaman edan nanti
paradigma hidup menjadi terjungkir-balik (wolak walik ing jaman). Tata
nilai buruk merajalela mengalahkan tata nilai yang baik. Tanda-tanda zaman edan antara lain sebagai
berikut:
>
Wong jujur ajur – wong ala mulya. Orang jujur nasibnya malah
hancur (tidak beruntung), karena bakal ditinggalkan orang-orang sekitar yang buruk
moralnya. Dan sebaliknya orang “ala”
(tak berintegritas) malah mendapat kedudukan, karena ia berani menghalalkan
segala cara (semisal suap menyuap)
>
Wong apik ditampik - wong jahat munggah pangkat. Orang baik disingkirkan, sedangkan orang
jahat, yang licik dan munafik justru mendapat kedudukan.
>
Wong lugu kebelenggu - wong mulyo dikunjoro. Orang yang
lurus (apa adanya) malah terbelenggu, tidak mendapat tempat dan kepercayaan. Demikian pula orang mulia (yang menegakkan amar makruf nahi munkar) justru banyak
yang masuk penjara.
>
Ngumbar nafsu angkoro murko. Kebanyakan manusia hanya
berorientasi pada uang dan kedudukan, dengan melupakan nilai kebajikan. Mereka
inginnya hidup serba mewah dengan mengumbar syahwat kekuasaan (nafsu angkoro
murko).
>
Wani nglanggar sumpahe dhewe. Banyak orang dan pejabat yang tidak
segan-segan melanggar sumpahnya sendiri. Mereka mudah mengumbar janji-janji
namun tidak ditepati.
>
Ora ngendahake aturaning Gusti. Mereka sudah tidak lagi takut dan
taat terhadap aturan Tuhan.
>
Podho seneng nyalahke. (Untuk
memenuhi ambisi) antar mereka saling menyalahkan. Banyak orang suka
mencari-cari kesalahan orang lain, dengan berbagai fitnah dan menebar kebencian.
Menurut Jayabaya, jaman kalabendu
(oleh sebagian kecil orang) terlihat seperti Jaman Kasukan, yaitu zaman
yang menyenangkan karena penuh kenikmatan dunia, tetapi sebenarnya zaman itu
dirasakan oleh sebagian besar orang lainnya sangat berat. Jaman kalabendu merupakan zaman kehancuran
dan rusaknya dunia (jaman ajur lan bubrahing donya).
Jayabaya menasehati kita, meski pada zaman
itu kondisinya sangat berat, namun kita harus tetap berusaha, serta tetap tabah
dan tegar. Jangan terbawa dan terbuai
oleh arus zaman yang memabokkan (jo kepranan ombyak ing jaman).
Sebab zaman itu bakal sirna dan diganti dengan zaman kemuliaan yaitu zaman
Ratu Adil.
Sementara RANGGAWARSITA, pujangga
Kasunanan Surakarta (tahun 1860-an) menggambarkan zaman edan dalam sebuah bait
dalam Serat Kalatidha. Serat Kalatidha merupakan sebuah syair yang
sangat mashur. Ketenaran Serat Kalatidha telah mencapai kota Leiden, Belanda.
Di sana petikan dari Serat Kalatidha dilukis di tembok sebuah museum di
kota Leiden.
Serat Kalatidha terdiri dari 12 bait,
berisi falsafah atau ajaran hidup Ranggawarsita. “Kala” berarti "zaman"
dan “tidha” adalah "ragu". Kalatidha berarti zaman penuh
keraguan. Walau demikian banyak yang memberi pengertian “Kalatidha adalah zaman
edan” mengambil makna dari bait ke tujuh serat ini, bait yang sangat popular.
Zaman edan dalam serat kalatidha
digambarkan secara ringkas sebagai zaman yang serba susah dalam bertindak (éwuhaya ing pambudi). Kalau tidak
mengikuti edan bakal tidak kebagian (boya
kéduman mélik). Namun sebahagia-bahagianya orang yang edan, masih lebih
baik orang yang senantiasa “ingat” dan waspada (begja-begjaning kang edan
luwih begja kang éling klawan waspada).
Bait ke-7 Serat Kalatidha adalah
sebagai berikut:
> Amenangi jaman édan (mengalami zaman
edan) ;
> Ewuhaya ing pambudi (serba susah dalam
bertindak);
> Mélu ngédan nora tahan (ikut edan tidak
sampai hati);
> Yén tan mélu anglakoni boya
kéduman (tapi kalau tidak mengikuti edan tidak kebagian);
> Ndilalah kersaning Gusti Allah (sudah menjadi
kehendak Allah);
> Begja-begjaning kang édan (seberuntungnya orang
yang edan);
> Luwih begja kang éling klawan waspada (akan lebih
beruntung/bahagia orang yang tetap ingat dan waspada).
SUNAN KALIJAGA (yang hidup sekitar
tahun 1450M), juga telah meramalkan datangnya zaman edan. Sunan menggubah sebuah tembang yang sekarang
sering didendangkan para dalang wayang kulit untuk menggambarkan situasi
“goro-goro” atau kekacauan. Tembang tersebut
adala sebagai berikut:
> Kali ilang kedunge (Sungai sudah kehilangan lubuknya,
karena kerusakan alam);
> Pasar ilang kumandange (Pasar kehilangan gaungnya,karena
sistem ekonomi sudah berubah);
> Wong wadon ilang wirange (Kaum perempuan sudah tidak punya rasa
malu, karena kerusakan moralitas);
> Wong lanang ilang wibawane (Para pria sudah hilang kewibawaannya);
> Wong jujur tambah kojur (orang jujur justru celaka) ;
> Wong clutak tambah galak (Orang serakah semakin menjadi-jadi,
karena budi baik dikalahkan oleh kejahatan, ketidakadilan merajalela, tatanan
hukum kacau balau),
Di zaman edan, moral tidak
dipentingkan lagi. Tidak ada persahabatan dan tidak ada kawan abadi, yang ada
adalah kepentingan. Kawan bisa menjadi lawan, dan yang tadinya lawan bisa
menjadi kawan asalkan menguntungkan.
Saat sekarang ini kita saksikan
bersama, korupsi terus terjadi dimana-mana. Korupsi justru dilakukan oleh orang
yang sudah kaya. Mereka terus menerus menguras uang negara. Harta mereka sudah
bertumpuk namun masih saja merasa kurang Mereka tak peduli dengan
penderitaan orang miskin. Keserakahan telah menutupi hati nuraninya.
Empati dan kepedulian sudah luntur dari qalbunya Apakah ini zaman edan?.
Jayabaya dan Ranggawarsita menasehati
kita, meski pada zaman itu kondisinya sangat berat, namun kita harus tetap
berusaha, serta tetap tabah dan tegar. Karena sebahagia-bahagianya orang yang edan, masih
lebih baik orang yang senantiasa “eling” dan waspada. Jangan terbawa dan
terbuai oleh arus zaman edan. Sebab zaman itu bakal sirna dan diganti
dengan zaman kemuliaan yaitu zaman Ratu Adil.
*****