Minggu, 13 Januari 2019

Intelijen 1

Memaknai Profesi Intelijen

Jakarta (18/07/2014)- Intelijen di Indonesia belum sepenuhnya mendapatkan posisi yang tepat, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Belum tepatnya posisi intelijen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, disebabkan oleh beberapa hal, Pertama, pemahaman dan pemaknaan masyarakat tentang intelijen masih kurang, termasuk para elit maupun kalangan akademisi sekalipun. Kedua berbagai pengalaman empiris di masyarakat tentang intelijen masa lalu, masih membawa efek trauma berkepanjangan, akibatnya persepsi masyarakat terhadap dunia intelijen bervariasi. Ada pihak yang menyamakan intelijen seperti mata-mata pada zaman penjajahan untuk mengkhianati perjuangan bangsanya sendiri. Ada juga pihak yang menganggap orientasi kerja intelijen hanya demi kepentingan sekelompok elit penguasa. Bahkan ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa intelijen adalah makhluk yang serba bisa dan serba tahu.
Beragamnya persepsi masyarakat terhadap intelijen, tentu saja akan berpengaruh terhadap sikap dan perilakunya aparat intelijen dalam melaksanakan tugasnya. Sikap dan perilaku masyarakat terhadap intelijen yang diwujudkan dalam bentuk sinisme, cacian dan cercaan, sehingga bisa kita jadikan motivasi untuk meluruskan dan menempatkan intelijen pada posisi yang seharusnya. 

Pemahaman Umum tentang intelijen 
Di Indonesia sering muncul satire (sindiran) melalui istilah “intel melayu” yang dipersepsikan oleh sebagian masyarakat dengan sosok petugas serem, bertubuh kekar, berkumis tebal, berambut cepak, berkacamata hitam, dan dengan pistol tersembul dibalik baju. Sindiran tersebut nampaknya kurang tepat. Menurut tokoh intelijen, Irawan Soekarno, jika berbicara intelijen, maka akan membicarakan intelijen dalam tiga aspek bungkusan, yakni intelijen sebagai sebuah organisasi, intelijen sebagai pengetahuan, dan intelijen sebagai aktivitas. Menurut UU intelijen nomor 17 tahun 2011, pengertian intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan kegiatan yang terkait dengan perumusan kebijakan, strategi nasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan analisis dari informasi dan fakta yang terkumpul melalui metode kerja untuk pendeteksian dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional. 
Intelijen sebagai organisasi adalah struktur formal dalam sebuah negara sebagai wadah sejumlah sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan keterampilan khusus dengan karakteristik khusus secara umum bersifat tertutup, bertujuan mengamankan kepentingan nasional. Intelijen sebagai pengetahuan merupakan informasi yang sudah diolah sebagai bahan perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.  Intelijen sebagai aktivitas, dimaknai sebagai semua usaha, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan penyelenggaraan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Pemahaman pengertian intelijen dapat menggunakan berbagai pendekatan dengan  berbagai literature. 

Aktivitas dan Profesi 
Dalam filsafat, aktivitas atau kegiatan adalah suatu hubungan khusus manusia dengan dunia, suatu proses yang dalam perjalanannya manusia menghasilkan kembali dan mengalihwujudkan alam karena ia membuat dirinya sendiri sebagai subjek dan gejala-gejala alam sebagai objek. Dalam psikologi, aktivitas adalah sebuah konsep yang mengandung arti fungsi individu dalam interaksinya dengan alam sekitarnya. Aktivitas psikis adalah hubungan khusus dari benda hidup dengan lingkungan.  
Uraian tersebut menggambarkan bahwa antara kegiatan dan profesi, terdapat jarak yang sebenarnya cukup jauh. Masyarakat pada umumnya sering rancu memaknai “pekerjaan” dengan “profesi”. Tidak banyak para ahli memberikan pengertian tentang hal-hal tersebut secara khusus. Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasa punya asosiasi profesi, kode etik serta sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. 

Kontemplasi 
Profesi intelijen memang unik, dan orang-orangnya dapat disebut aneh karena terkesan melawan kodrat, keharusan menekan ego ke bawah sadar, karena tidak terpenuhinya kebutuhan manusiawi mendapatkan pujian saat berhasil melaksanakan tugas yang sebenarnya merupakan sifat kodrati manusia, tidak dapat memberikan klarifikasi secara adil untuk membantah tuduhan-tuduhan yang disertai hujatan masyarakat kepada intelijen yang mungkin salah alamat, tergerusnya eksistensi pribadi dan jati diri ketika dalam pelaksanaan tugas harus menggunakan “cover” berlapis, bahkan ‘deep cover”, dan sebagainya.
Sebelumnya manusia tidak tahu apa profesinya kelak setelah dewasa. Akankah ia memiliki profesi sebagaimana dicita-citakan sejak kecil, atau ternyata ia harus menjalani profesi yang tidak ia bayangkan sebelumnya, bahkan bisa saja profesi yang tidak ia senangi, tetapi terpaksa ia jalani karena tidak ada pilihan lain. Manusia juga tidak mengetahui bahwa kelak akan menjadi intelijen. Mungkin sebelumnya bercita-cita lain. Bila demikian halnya, tidak ada pilihan lain saat ini suka atau tidak suka, saat ini profesinya adalah intelijen. Tugasnya sebagai manusia senantiasa harus berusaha keras, maka ia harus juga bekerja sebaik-baiknya. Bahwa besok pagi, lusa dan seterusnya apakah akan tetap menjadi intelijen ataukah ternyata mendapat profesi lain yang berkaitan dengan profesi intelijen atau mungkin juga tidak berkaitan sama sekali, itu hanya Tuhan yang mengetahui. Manusia akan merugi dan membuang umur bila hanya menyesali profesi yang harus digeluti saat ini yang menurut pendapatnya sebenarnya bukan profesi yang dikehendaki. Manusia tidak perlu mengeluh. Tugasnya adalah bekerja sebaik-baiknya dan kelak Tuhan yang akan menentukan. Tuhan Maha Tahu apa yang terbaik bagi setiap manusia.
Di dunia ini banyak sekali profesi, tidak dapat dihitung jumlahnya, dan setiap saat bertambah dan berkembang muncul profesi baru yang tidak terbayangkan sebelumnya. Misalnya pada masa awal keberadaan manusia, berburu binatang merupakan profesi yang umum dan merupakan pusaran dari profesi varian lain seperti berdagang hasil buruan, membuat pakaian dari kulit hasil buruan, dan sebagainya, yang kesemuanya merupakan adalan manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dalam perkembangan berikutnya, banyak aneka profesi.Semua profesi yang berkembang dewasa ini pada umumnya mudah dikenali masyarakat, mudah dipahami, mudah ditiru, dan mudah diterima masyarakat.
Dalam hal pengertian yang melekat pada profesi intelijen, lebih cenderung pada pengertian yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Jarang ditemukan”, dalam arti masyarakat umum jarang menemukan adanya orang-orang intelijen ditengah mereka. Juga masyarakat umum jarang menemukan ilmu pengetahuan intelijen secara benar, sehingga banyak yang tidak tahu apa itu intelijen, fungsi dan peranannya dalam kehidupan bernegara secara tepat, dan akibatnya pemahamannya dapat berbeda sesuai pengalaman masing-masing.
Profesi intelijen mengalami situasi dilematis diantaranya adalah situasi dilematis dimensi pribadi atau diri sendiri. Kemudian yang lebih repot lagi adalah situasi dilematis yang berada dalam dimensi kemasyarakatan, dan yang paling rumit adalah situasi dilematis dalam dimensi kenegaraan. Situasi dilematis yang berada dalam dimensi pribadi seseorang yang berprofesi intelijen, lebih banyak terkait dengan takdir dan kodratnya sebagai intelijen dalam menjalankan tugasnya, bahkan ketika tidak sedang bertugas sekalipun. 
Sesuai kodratnya manusia memiliki kecenderungan kuat untuk menceritakan kembali apa yang dilihat atau yang didengarnya kepada orang lain yang belum mengetahui. Apapun motivasinya. Terlebih lagi bila hal yang dilihat dan didengar tersebut dianggapnya memiliki nilai lebih, baik karena keunikan, kehebatan, atau yang lainnya termasuk sifat kerahasiaannya. Tentu saja insan intelijen menempatkan dirinya dalam situasi dilematis, disatu sisi sebagai manusia biasa ia memiliki kecenderungan untuk menceritakan kembali apa yang telah dilihat dan didengar, dan di sisi lain sebagai insan intelijen yang tahu karakteristik dan etika profesi melarangnya untuk melakukan hal yang oleh masyarkat umum dianggap sesuai kodrat.
Selain semua insan intelijen harus mampu mengatasi situasi dilematis yang berada dalam dimensi pribadi tersebut, ia juga harus mampu menyiasati situasi dilematis yang berada dalam dimensi kemasyarakatan. Salah satu contoh sederhana dan hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan kegiatan intelijen yang bersifat tertutup, yang tentu sering terjadi dan banyak bersinggungan dengan masyarakat diantaranya adalah penggunaan kedok atau cover ketika sedang melaksanakan kegiatan atau operasi tertutup, bahkan seringkali juga ketika tidak sedang bertugas.
Setelah situasi dilematis yang berada dalam dimensi kemasyarakatan berhasil dilalui dengan baik, persoalan lain yang menunggu adalah situasi dilematis yang berada dalam dimensi kenegaraan. Satu diantara situasi demikian diantaranya adalah adanya kenyataan, bahwa di negara manapun, kapanpun dan sampai kapanpun profesi intelijen diperlukan oleh masyarakat dan oleh pemerintah, dan disinilah dibutuhkan intelijen berperan dalam mewaspadai adanya ancaman, gangguan dan hambatan.  Pemerintah di manapun akan senantiasa memerlukan lembaga intelijen untuk memasok data, informasi dan analisa serta melaksanakan jasa lain atas perintah user, yang tidak dapat dilakukan oleh instansi atau lembaga lainnya.
Disinilah letak situasi dilematis dalam dimensi kenegaraan yang menempatkan user maupun lembaga intelijen sama-sama berada dalam situasi sulit. Di satu sisi user memerlukan, tetapi di sisi lain mewaspadai. Di lain pihak, para personil intelijen yang menguasai informasi, juga bisa tergoda untuk menyelewengkan pemanfaatan informasi untuk hal yang tidak semestinya. Itu sebabnya, diperlukan usaha untuk memperkuat keyakinan salah satunya dasar pokok dalam bisnis intelijen adalah “kepercayaan”. Dengan kepercayaan, situasi dilematis dalam konteks ini dapat lebih mencair. Itu sebabnya, tidak heran apabila seorang Kepala Lembaga Intelijen adalah orang yang paling dipercaya oleh Kepala Negara. Demikian pula struktur hierarkis yang ada di bawah kelembagaan intelijen secara internal dan berjejang tentu merupakan orang kepercayaan Kepala Lembaga yang juga pastinya ditopang dengan profesionalisme. 
Dalam hal penggunaan cover dalam menjalankan tugasnya, petugas intelijen ditempatkan dalam situasi dilematis ditinjau dari dimensi kenegaraan, terutama terkait dengan keterpaksaan seperti “berbohong”, konsekuensi yang ditimbulkan dari keterpaksaan “berbohong” yang dilakukan berkali-kali sebagai akibat kurang kreatif dalam melakukannya, dikhawatirkan juga akan berdampak dan ditujukan kepada atasan dengan mengarang cerita “bohong”.  Apabila hal ini terjadi, dapat dipastikan suatu saat atasannya akan melihat indikasi ke arah itu, sehingga atasan sudah mulai kurang mempercayainya. Jika demikian, maka tentu sudah merupakan lampu kuning dalam hal pembinaan personil sehingga dibutuhkan pembinaan khusus dalam hal penanganannya. Petugas intelijen menjadi merasa tidak nyaman bekerja ketika merasakan gejala atasannya kurang mempercayainya lagi. Sebaliknya atasan juga merasa kurang nyaman memberikan penugasan kepada anak buahnya yang sudah kurang ia percaya. Demikianlah rumit dan peliknya mengatasi situasi dilematis terkait dengan ‘kebohongan” ketika semua pihak menyadari arti penting “kepercayaan” dalam bisnis intelijen. Sebuah profesi yang penuh dengan situasi dilematis yang sungguh menantang dan unik, sekaligus mengherankan karena terdapat orang-orang yang dengan kreatif mampu melakukannya dan dengan senang melaksanakannya.
Seorang analis senior CIA menyebut salah satu tugas intelijen adalah “to pierce the fog of the future”, yakni menembus kabut masa depan. Untuk bisa menembus kabut masa depan, tentu harus mengetahui situasi masa kini, bahkan masa lalu. Pertanyaannya adalah personil-personil atau lembaga intelijen memang serba mengetahui berbagai hal, yakni apakah masa lalu berikut hal-hal yang masih menjadi misteri, masa kini termasuk hal-hal yang masih menjadi teka-teki, bahkan masa datang tentunya masih terselimuti kabut.
Dalam kehidupan pengetahuan di dunia ini terdapat sedikitnya enam predikat bagi orang-orang yang berkonotasi “tahu”, yaitu: (1) orang yang tahu bahwa dirinya tahu tetapi bersikap pura-pura tidak tahu; (2) orang yang tahu bahwa dirinya tahu dan bersedia memberitahu orang lain tentang apa yang diketahuinya; (3) orang yang tidak tahu bahwa dirinya tahu tetapi tidak bersedia memberi tahu orang lain yang belum tahu; (4) orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu tetapi merasa tahu sehingga menjadi orang yang sok tahu; (5) orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu dan bersedia mencari tahu; (6) orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu tetapi tidak mau mencari tahu. Dari enam kelompok orang berkonotasi tahu tersebut di mana intelijen berada, dapat bermacam-macam.
Dengan demikian, ketika seorang intelijen tidak memberitahu kepada penanya tentang apa yang ditanyakan, belum tentu ia benar-benar tidak mengetahui sesuatu, atau sebaliknya juga belum tentu ia berpura-pura tidak mengetahui. Jadi dalam hal konotasi “tahu”, seorang intelijen memang sulit ditebak. Ia belum tentu tahu, dan sebaliknya juga belum tentu tidak tahu. Memang profesi yang dihuni orang-orang yang unik dan misterius sekaligus aneh.

Profesi Unik 
Mungkin tidak berlebihan apabila ada yang mengatakan bahwa intelijen adalah sebuah profesi unik dilakukan oleh orang-orang aneh. Dalam kaitan unik dan aneh tersebut, akan dicoba melihat keunikan dan keanehannya sampai dengan saat ini. Profesi tersebut menjadi unik, sebab bentuknya memang tersendiri, lain dari yang lain dan berbeda. Pada beberapa aspek tetap terdapat persamaan antara profesi intelijen dengan profesi-profesi lain. Namun, pada aspek-aspek khusus, walaupun memiliki persamaan, terdapat kekhususan yang membedakan antara profesi intelijen dengan profesi lain, yang justru menambah keunikannya.
Dalam hal berkomunikasi, juga terdapat keunikan pada profesi intelijen, sebab saat tertentu harus menggunakan komunikasi klandestin yang tidak sederhana. Pada dasarnya, komunikasi dapat juga dilakukan dengan menggunakan sarana publik. Akan tetapi, dalam situasi tertentu ada kalanya perlu menggunakan bahasa sandi atau tulisan yang menggunakan crypto, atau juga menggunakan cara lama yang manual seperti tulisan rahasia, kadangkala tidak boleh diabaikan.
Cukup besarnya risiko bahaya yang dipertaruhkan dalam pelaksanaan tugas intelijen, terutama bersifat kegiatan dan operasi klandestin; mudah tergelincir atau bahkan mudah tergoda untuk memanfaatkan informasi sebagai sebuah kekuatan untuk kepentingan kelompok dalam rangka memperoleh, mempertahankan dan meningkatkan kekuasaan. Sampai saat ini, ditengarai tidak sedikit insan intelijen yang masih mudah tergelincir dan tergoda oleh kekuasaan dibanding semangat pengabdian, lebih mengejar jabatan dibanding mengedepankan sikap amanah dan pelaksanaan tugas, lebih mementingkan materi dibanding kehormatan pribadi atau kelompoknya, diantaranya telah berusaha memanfaatkan dan menyalahgunakan situasi melalui perilaku kurang terpuji, yakni keliru memaknai atau justru dengan sengaja memelintir pemaknaan terhadap karakteristik profesi intelijen. Dalam upaya meningkatkan kualitas pengabdian melalui profesi intelijen, kondisi tersebut merupakan pekerjaan rumah bersama yang tidak akan pernah ada habisnya, akan tetapi sangat menantang, unik sekaligus aneh.(*) 

(Disarikan dari buku karya Supono Sugirman, “Intelijen, Profesi Unik Orang-Orang Aneh”, Jakarta: Media Bangsa, 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar