Oleh: DR. Moeflich Hasbullah
(Pakar Sejarah Islam, Dosen UIN Sunan Gunung Djati)
Jagat pengamat politik Indonesia belakangan dimeriahkan oleh hadirnya seorang yang tidak biasa atau di luar mainstream. Ya, seorang pengamat politik dari latar belakang filsafat yang kuat. Oleh kehadirannya, pengamatan politik tidak lagi sekedar wacana tindakan-tindakan pragmatis dan transaksi kekuasaan tapi lebih dalam lagi ke perenungan, pembongkaran nilai-nilai dan substansi. Ini tidak biasa dan tak ada presedennya di Indonesia. Pemikiran politik mengalami pencerahan.
Filsafat
itu narasi abstrak logis rasional, sedangkan politik dunia pragmatis oportunis
sehari-hari. Karenanya, filsafat hampir tidak pernah tertarik pada dunia
politik praktis. Filosof ini adalah kekecualian
Banyak
diakui, pengamatan politiknya cerdas, kritis, lugas, menggelitik dan tajam dan
itu karena latar belakang filsafatnya. Membicarakannya tokoh yang populer
melalui ILC ini karenanya menjadi menarik. He
is one of the newest Indonesian phenomena!!
Menyimak
Rocky Gerung adalah menyimak ketajaman dan kedalaman. Banyak orang, terutama
yang pernah dibimbingnya, menilainya genius, di atas cerdas. Kepiawaian memilih
diksi-diksinya membuktikan itu, analisis dan kelugasannya membuat para penyuka
pikiran kritis mengalami ekstase. He
is smart and enlighthening!
Sebutan
“Prof” dari banyak orang menempel sebagai kelayakan atas kecerdasan yang
dimilikinya walaupun dia hanya S1. Tapi kecerdasan dengan jenjang studi dan
gelar sering tak otomatis berkaitan.
Apa
yang membuat kemunculan Rocky Gerung menyedot perhatian publik dan mempesona
banyak penggemarnya? Retorikanya menarik, argumentasinya berisi dan
kata-katanya bermagnet, dibalut ketenangan, percaya diri dan meyakinkan saat
berbicara.
Tapi
yang paling menonjol dari RG adalah kemampuannya memilih diksi-diksi yang
sering mengejutkan. Banyak ungkapannya menyengat dan mencengangkan dan ketika
dijelaskannya dengan logis dan rasional orang kemudian faham walaupun harus
sambil mengernyitkan dahi tanda berpikir keras.
Pernyataannya
yang mengejutkan bagi alam pikiran agama dan keilmuan di Indonesia misalnya
“kitab suci itu fiksi.” Itu ucapan luar biasa berani, menohok dan mengejutkan.
Kalau bukan dari mulut RG, mengatakan kitab suci fiksi mungkin sudah kena pasal
penistaan agama dan masuk penjara.
Tapi
RG tenang, tak berbeban dan tak bergeming. “Kalau saya pakai definisi bahwa
fiksi itu mengaktifkan imajinasi, maka kitab suci itu adalah fiksi,” katanya
dalam ILC, 10 April 2018. Argumetasinyalah yang menyelamatkannya yang orang dibuat
menerima. He knows what he is saying!!
Yang
berusaha menyanggahnya di diskusi-diskusi ILC rata-rata adalah para politisi
yang menurutnya “defisit pikiran” sebagaimana kritik RG pada penguasa sebagai
“rezim anti pikiran.” Pikiran-pikiran kritis diberangus, dipersekusi, dicap
radikal dan diadili. Defisit pikiran, baginya, sering membuat orang tampak
dungu. Tak mengerti tapi bersemangat menyanggah dan membantah.
Melalui
ketajaman dan diksi-diksinya yang memukau, RG banyak memberi khalayak gizi
pemikiran dan pemahaman baru tentang banyak hal seperti bedanya fiksi dan
fiktif yang banyak orang baru tersadarkan.
Pengertian hoax-nya berbeda dengan
mainstream sebagai pernyataan tak bermakna yang informasi nol. Dan dia
menemukan hoax justru banyak diproduksi negara dan para pejabat tinggi melalui
pembodohan-pembodohan pernyataan yang isinya nol.
Saat
pemerintah merasa harus memberantas hoax, RG justru menghentak publik dengan
statement yang mengejutkan bahwa pembuat hoax terbaik adalah penguasa. “Hanya
pemerintah yang bisa membuat hoax secara sempurna, karena data statistik dia
punya, intelijen dia punya, media dia punya,” katanya.
Banyak
pernyataannya yang tak lazim dalam tradisi bahasa intelektual baku. RG
menyumbangkan diksi-diksi baru dalam tradisi intelektual Indonesia modern yang
itu menjadi pesonanya tersendiri.
Negara
dilihatnya mengarahkan diri sebagai pengendali kebenaran (the
state governing the truth). Saat pemerintah sering dikritik, menurutnya, ia
harus menutup telinganya bukan menutup mulut pengkritik karena pemerintah itu
memang ditakdirkan untuk dikritik kalau perlu terus-terusan dikritik. Kritik
itu sejenis fantasi juga. Tak suka kritik menunjukkan kita terlalu norak dengan
fantasi.
Pikiran-pikiran
RG banyak yang memecah kebekuan dan kebakuan. Tentang ijazah S2-S3 yang tidak
dia miliki dan ditanyakan orang, dia berteori dengan santai: “Ijazah adalah
tanda seseorang pernah ke sekolah, bukan tanda seseorang pernah berpikir.”
Tentang wanita dia berfatwa: “Wanita itu indah sebagai fiksi, berbahaya sebagai
fakta.”
Kajian-kajian dan seminar-seminar tentang Pancasila bagi dia tak perlu,
buang-buang dana dan energi. “Kalau Pancasila sudah final sebagai ideologi
negara, ngapain diseminarkan lagi? Itu justru membuka peluang untuk
interpretasi-interpretasi baru yang akan melemahkan Pancasila sendiri.” Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pun tak lepas dari kritiknya sebagai
lembaga yang tidak perlu sementara gajinya ratusan juta. Itu pemborosan dana
dan pikiran.
Filsafat
pasti bersinergi dengan liberalisme karena liberalisme adalah paham kebebasan
sebagai ciri filsafat. Tapi, “Islam liberalnya” Ulil Abshar, ia tertawakan.
Bagi RG, Islam liberal itu sepenuhnya contradictio
in terminis (secara istilah sudah kontradiksi -red). Itu teknik
pemasaran saja. “Dari awal dia (Ulil) mencegah kejernihan pikirannya tentang
beda antara ideologi sekular dengan doktrin agama. Ini digabung. Resultantenya
ya nol. Islam kok disandingkan dengan liberal. Tidak ada logikanya itu”. Saya
sendiri sudah mengupas kontradiksi-kontradiksi Islam liberal lebih detail di
buku saya sebelum RG mengatakannya.
Masyarakat
pun menyambut RG dengan antusias. Bermunculanlah komunitas-komunitas penggemar
Prof Rocky Gerung. Tv-tv banyak mengundangnya dalam acara-acara talkshow.
Videonya ratusan di youtube.
Mengapa
itu muncul? Bagaimana seorang filsuf bisa jadi idola baru masyarakat?
Jawabannya, selain masyarakat sekarang lebih melek literasi karena keterbukaan
infomasi, juga karena rakyat selama ini merasa berada dalam posisi terdakwa
oleh kekuasaan. Dalam Cultural Studies, RG seakan memerankan diri sebagai
outlet gagasan-gagasan sub-altern yang terpinggirkan.
Nalar
publik berada dalam situasi psikologis yang tersudutkan. Munculnya
pemikiran-pemikiran kritis kepada penguasa, yang itu sehat bagi demokrasi,
malah diperlakukan sebagai musuh, dilaporkan, diperiksa, dibully, dipersekusi
dan dicap radikal.
Bagi
RG, dengan begitu pemerintah sedang mengatur kebenaran dan ini berbahaya karena
bisa mengarah kepada totaliarianisme. Kritik-kritik filosofis yang tajam pun
membuka cakrawala berpikir masyarakat.
Karenanya,
ketika muncul “kalimat-kalimat Robinhood” dari Rocky Gerung, masyarakat seperti
menemukan Mesiah atau Ratu Adil yang menyantuni mereka, yang menyuapi
perut-perut lapar, menyambut aspirasi-aspirasi yang terhambat, yang memapah
pikiran-pikiran yang diadili, yang memberi harapan milenial rakyat. Tanpa
sadar, RG seperti sedang menjadi lakon utama dalam film “Sang Pencerah.”
Adakah
kelemahan RG? Tentu. Ada kelemahan-kelemahannya yang membuatnya banyak diserang
juga.
Pertama,
pikiran-pikirannya banyak yang tak terjelaskan sepenuhnya sehingga berpeluang
membuka mispersepsi dan misinterpretasi. Pikirannya banyak yang masih butuh
penjelasan ketika menjadi konsumsi publik.
Kedua,
RG tegas tak pro penguasa sehingga dia harus berhadapan dengan kaum
protagonist. Bila tidak tegas, tampaknya ia merasa mengkhianati kritisitas dan
ketajaman pikirannya sendiri.
Ketiga,
dia berbicara di ruang publik yang itu bukan ruangnya untuk gugatan-gugatan
radikal-filosofis. Maka, serangan-serangan ketakfahaman dan ketaksekufuan
pikiran adalah resiko yang harus ditangggungnya walaupun RG sudah terbiasa
menikmatinya.
Masyarakat
penonton ILC pun terbelah. Yang tak menyukainya meminta RG tak ditampilkan
lagi. Kritik-kritiknya atas rezim khawatir mempengaruhi masyarakat. Sebaliknya,
penyukanya minta dia dipertahankan karena dia selalu jadi bintang kejora yang
menerangi. Diskusi ILC tanpa RG, dirasakan mereka, tak bermutu dan tak
menyuguhkan hajatan supremasi intelektual. Istilah “No Rocky No Party!! pun
menjadi imajinasi, fiksi dan fantasi.
Bravo
Prof. Rocky Gerung, make Indonesia better with your intellectual
enlightenment!!
(Sumber: fb)
***
“Logika yang buruk, punya efek inflasi
pada upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Karena itu, pemimpin yang tak
berpikir, bukan saja dungu, tapi seklaigus melanggar konstitusi.” (@rockygerung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar