Jumat, 25 Januari 2019

NO ROCKY, NO PARTY! ; The Newest Indonesian Phenomena


Oleh: DR. Moeflich Hasbullah
(Pakar Sejarah Islam, Dosen UIN Sunan Gunung Djati)

Jagat pengamat politik Indonesia belakangan dimeriahkan oleh hadirnya seorang yang tidak biasa atau di luar mainstream. Ya, seorang pengamat politik dari latar belakang filsafat yang kuat. Oleh kehadirannya, pengamatan politik tidak lagi sekedar wacana tindakan-tindakan pragmatis dan transaksi kekuasaan tapi lebih dalam lagi ke perenungan, pembongkaran nilai-nilai dan substansi. Ini tidak biasa dan tak ada presedennya di Indonesia. Pemikiran politik mengalami pencerahan.
Filsafat itu narasi abstrak logis rasional, sedangkan politik dunia pragmatis oportunis sehari-hari. Karenanya, filsafat hampir tidak pernah tertarik pada dunia politik praktis. Filosof ini adalah kekecualian
Banyak diakui, pengamatan politiknya cerdas, kritis, lugas, menggelitik dan tajam dan itu karena latar belakang filsafatnya. Membicarakannya tokoh yang populer melalui ILC ini karenanya menjadi menarik. He is one of the newest Indonesian phenomena!!
Menyimak Rocky Gerung adalah menyimak ketajaman dan kedalaman. Banyak orang, terutama yang pernah dibimbingnya, menilainya genius, di atas cerdas. Kepiawaian memilih diksi-diksinya membuktikan itu, analisis dan kelugasannya membuat para penyuka pikiran kritis mengalami ekstase. He is smart and enlighthening!
Sebutan “Prof” dari banyak orang menempel sebagai kelayakan atas kecerdasan yang dimilikinya walaupun dia hanya S1. Tapi kecerdasan dengan jenjang studi dan gelar sering tak otomatis berkaitan.
Apa yang membuat kemunculan Rocky Gerung menyedot perhatian publik dan mempesona banyak penggemarnya? Retorikanya menarik, argumentasinya berisi dan kata-katanya bermagnet, dibalut ketenangan, percaya diri dan meyakinkan saat berbicara.
Tapi yang paling menonjol dari RG adalah kemampuannya memilih diksi-diksi yang sering mengejutkan. Banyak ungkapannya menyengat dan mencengangkan dan ketika dijelaskannya dengan logis dan rasional orang kemudian faham walaupun harus sambil mengernyitkan dahi tanda berpikir keras.
Pernyataannya yang mengejutkan bagi alam pikiran agama dan keilmuan di Indonesia misalnya “kitab suci itu fiksi.” Itu ucapan luar biasa berani, menohok dan mengejutkan. Kalau bukan dari mulut RG, mengatakan kitab suci fiksi mungkin sudah kena pasal penistaan agama dan masuk penjara.
Tapi RG tenang, tak berbeban dan tak bergeming. “Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, maka kitab suci itu adalah fiksi,” katanya dalam ILC, 10 April 2018. Argumetasinyalah yang menyelamatkannya yang orang dibuat menerima. He knows what he is saying!!
Yang berusaha menyanggahnya di diskusi-diskusi ILC rata-rata adalah para politisi yang menurutnya “defisit pikiran” sebagaimana kritik RG pada penguasa sebagai “rezim anti pikiran.” Pikiran-pikiran kritis diberangus, dipersekusi, dicap radikal dan diadili. Defisit pikiran, baginya, sering membuat orang tampak dungu. Tak mengerti tapi bersemangat menyanggah dan membantah.
Melalui ketajaman dan diksi-diksinya yang memukau, RG banyak memberi khalayak gizi pemikiran dan pemahaman baru tentang banyak hal seperti bedanya fiksi dan fiktif yang banyak orang baru tersadarkan.
Pengertian hoax-nya berbeda dengan mainstream sebagai pernyataan tak bermakna yang informasi nol. Dan dia menemukan hoax justru banyak diproduksi negara dan para pejabat tinggi melalui pembodohan-pembodohan pernyataan yang isinya nol.
Saat pemerintah merasa harus memberantas hoax, RG justru menghentak publik dengan statement yang mengejutkan bahwa pembuat hoax terbaik adalah penguasa. “Hanya pemerintah yang bisa membuat hoax secara sempurna, karena data statistik dia punya, intelijen dia punya, media dia punya,” katanya.
Banyak pernyataannya yang tak lazim dalam tradisi bahasa intelektual baku. RG menyumbangkan diksi-diksi baru dalam tradisi intelektual Indonesia modern yang itu menjadi pesonanya tersendiri.
Negara dilihatnya mengarahkan diri sebagai pengendali kebenaran (the state governing the truth). Saat pemerintah sering dikritik, menurutnya, ia harus menutup telinganya bukan menutup mulut pengkritik karena pemerintah itu memang ditakdirkan untuk dikritik kalau perlu terus-terusan dikritik. Kritik itu sejenis fantasi juga. Tak suka kritik menunjukkan kita terlalu norak dengan fantasi.
Pikiran-pikiran RG banyak yang memecah kebekuan dan kebakuan. Tentang ijazah S2-S3 yang tidak dia miliki dan ditanyakan orang, dia berteori dengan santai: “Ijazah adalah tanda seseorang pernah ke sekolah, bukan tanda seseorang pernah berpikir.” Tentang wanita dia berfatwa: “Wanita itu indah sebagai fiksi, berbahaya sebagai fakta.”
Kajian-kajian dan seminar-seminar tentang Pancasila bagi dia tak perlu, buang-buang dana dan energi. “Kalau Pancasila sudah final sebagai ideologi negara, ngapain diseminarkan lagi? Itu justru membuka peluang untuk interpretasi-interpretasi baru yang akan melemahkan Pancasila sendiri.” Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pun tak lepas dari kritiknya sebagai lembaga yang tidak perlu sementara gajinya ratusan juta. Itu pemborosan dana dan pikiran.
Filsafat pasti bersinergi dengan liberalisme karena liberalisme adalah paham kebebasan sebagai ciri filsafat. Tapi, “Islam liberalnya” Ulil Abshar, ia tertawakan. Bagi RG, Islam liberal itu sepenuhnya contradictio in terminis (secara istilah sudah kontradiksi -red). Itu teknik pemasaran saja. “Dari awal dia (Ulil) mencegah kejernihan pikirannya tentang beda antara ideologi sekular dengan doktrin agama. Ini digabung. Resultantenya ya nol. Islam kok disandingkan dengan liberal. Tidak ada logikanya itu”. Saya sendiri sudah mengupas kontradiksi-kontradiksi Islam liberal lebih detail di buku saya sebelum RG mengatakannya.
Masyarakat pun menyambut RG dengan antusias. Bermunculanlah komunitas-komunitas penggemar Prof Rocky Gerung. Tv-tv banyak mengundangnya dalam acara-acara talkshow. Videonya ratusan di youtube.
Mengapa itu muncul? Bagaimana seorang filsuf bisa jadi idola baru masyarakat? Jawabannya, selain masyarakat sekarang lebih melek literasi karena keterbukaan infomasi, juga karena rakyat selama ini merasa berada dalam posisi terdakwa oleh kekuasaan. Dalam Cultural Studies, RG seakan memerankan diri sebagai outlet gagasan-gagasan sub-altern yang terpinggirkan.
Nalar publik berada dalam situasi psikologis yang tersudutkan. Munculnya pemikiran-pemikiran kritis kepada penguasa, yang itu sehat bagi demokrasi, malah diperlakukan sebagai musuh, dilaporkan, diperiksa, dibully, dipersekusi dan dicap radikal.
Bagi RG, dengan begitu pemerintah sedang mengatur kebenaran dan ini berbahaya karena bisa mengarah kepada totaliarianisme. Kritik-kritik filosofis yang tajam pun membuka cakrawala berpikir masyarakat.
Karenanya, ketika muncul “kalimat-kalimat Robinhood” dari Rocky Gerung, masyarakat seperti menemukan Mesiah atau Ratu Adil yang menyantuni mereka, yang menyuapi perut-perut lapar, menyambut aspirasi-aspirasi yang terhambat, yang memapah pikiran-pikiran yang diadili, yang memberi harapan milenial rakyat. Tanpa sadar, RG seperti sedang menjadi lakon utama dalam film “Sang Pencerah.”
Adakah kelemahan RG? Tentu. Ada kelemahan-kelemahannya yang membuatnya banyak diserang juga.
Pertama, pikiran-pikirannya banyak yang tak terjelaskan sepenuhnya sehingga berpeluang membuka mispersepsi dan misinterpretasi. Pikirannya banyak yang masih butuh penjelasan ketika menjadi konsumsi publik.
Kedua, RG tegas tak pro penguasa sehingga dia harus berhadapan dengan kaum protagonist. Bila tidak tegas, tampaknya ia merasa mengkhianati kritisitas dan ketajaman pikirannya sendiri.
Ketiga, dia berbicara di ruang publik yang itu bukan ruangnya untuk gugatan-gugatan radikal-filosofis. Maka, serangan-serangan ketakfahaman dan ketaksekufuan pikiran adalah resiko yang harus ditangggungnya walaupun RG sudah terbiasa menikmatinya.
Masyarakat penonton ILC pun terbelah. Yang tak menyukainya meminta RG tak ditampilkan lagi. Kritik-kritiknya atas rezim khawatir mempengaruhi masyarakat. Sebaliknya, penyukanya minta dia dipertahankan karena dia selalu jadi bintang kejora yang menerangi. Diskusi ILC tanpa RG, dirasakan mereka, tak bermutu dan tak menyuguhkan hajatan supremasi intelektual. Istilah “No Rocky No Party!! pun menjadi imajinasi, fiksi dan fantasi.
Bravo Prof. Rocky Gerung, make Indonesia better with your intellectual enlightenment!!
(Sumber: fb)
***
“Logika yang buruk, punya efek inflasi pada upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Karena itu, pemimpin yang tak berpikir, bukan saja dungu, tapi seklaigus melanggar konstitusi.” (@rockygerung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar