Sabtu, 19 November 2016

Ber-Islam ala Cak Nun

Otentisitas Pemikiran Cak Nun dalam Riuh Pemikiran Islam Kontemporer 

Cak Nun adalah cendekiawan muslim otodidak. Pemikiran ke-Islam-annya berada di luar jalur utama Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia yang umum dikenal. Seperti disampaikan oleh Greg Barton, “Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia” dipelopori oleh 2 pendekar dari Jombang ditambah Djohan Effendi dan Ahmad Wahib di awal 1970an. Kedua Pendekar dari Jombang yang notabene basis Pesantren dan Nahdatul Ulama itu adalah Nurcholis Madjid yang lebih akrab dipanggil Cak Nur. Seorang pendekar lagi adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Nurcholis Madjid sejak kecil masuk Pesantren di tanah kelahirannya dan terakhir belajar di Pondok Modern Gontor. Setamat dari Gontor, Cak Nur  melanjutkan belajar di IAIN Syarif Hidayatullah (Sekarang UIN Syahid).

Sementara Gus Dur adalah darah biru Kiai. Gus Dur cucu dari KH. Hasyim Asy’ari –pendiri Nahdatul Ulama- dan putra dari KH. Wahid Hasyim yang pernah menjabat sebagai Menteri agama diawal kemerdekaan. Gus Dur kenyang dengan pengalaman nyantri di  Pesantren. Namun, Gus Dur juga menghabiskan buku-buku hasil pemikiran Barat disela-sela kegiatan rutinnya di Pesantren.  Gus Dur kemudian pergi ke Al Azhar yang membuatnya bosan hingga akhirnya pindah ke Baghdad. Dari Baghdad, Gus Dur ingin melanjutkan belajar ke Eropa tapi gagal karena ijazah dari Baghdad tidak diakui di Eropa.

Sedangkan Djohan Effendi adalah pemuda Banjar yang menempuh study di IAIN Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta, kota yang secara tradisional memiliki akar intelektual yang kuat. Banjar sendiri dikenal sebagai produsen ulama Islam Tradisional. Di Yogyakarta, Djohan Effendi memiliki teman seperjuangan, yaitu: Ahmad Wahib, seorang pemuda   dari Sampang Madura yang juga basis Islam Tradisional. Mereka berempat adalah generasi yang lahir menjelang tahun 1940.

Pemikiran-pemikiran mereka tentang masa depan ummat Islam kemudian didukung oleh Mukti Ali, Harun Nasution dan Munawir Sadzali dengan membangun infrastruktur pemikiran dan memfasilitasi  para “calon pembaharu” ini dan generasi sesudahnya untuk belajar ke universitas-universitas di luar negeri. Cak Nur belajar ke Chicago, USA, kepada Fazlur Rahman –cendekiawan Muslim asal Pakistan yang masygul karena tidak diterima di tanah airnya sendiri. Djohan Effendi  menjadi pegawai negeri. Sedangkan Ahmad Wahib tidak sempat mencicipi penjelajahan intelektual lebih lama karena wafat dengan cara yang tragis di usia 30 tahun.

Mereka berempat–belakangan oleh para peneliti Barat- dikategorikan sebagai kalangan Neo-Modernis. Kategorisasi ini merujuk dari paradigma keempat orang tersebut yang jika dirunut, asal mulanya adalah dari pemikiran yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman. Neo-Modernis adalah gagasan yang men-sintesa-kan Rasionalisasi Pemikiran Islam dengan Kajian Kitab-kitab Klasik.

Baik Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid maupun Djohan Effendi merupakan representasi yang akurat untuk kriteria tersebut. Pertama, mereka adalah lulusan Pesantren yang menguasai kitab-kitab klasik karya cendekiawan Muslim abad-abad awal Islam mulai berkembang hingga abad pertengahan Eropa. Kedua, mereka belajar ke perguruan tinggi Islam modern yang membuka wawasan mereka pada hasil ijtihad baru dan wacana-wacana diluar kitab klasik.

Diantara arus besar pembaruan pemikiran Islam itulah, satu generasi sesudahnya-lahir pasca 1950- ada seorang remaja bandel dari  Jombang yang “disingkirkan” dari sekolahnya di desa dan kemudian “diusir” dari Pondok Modern Gontor. Pemuda itu kemudian lari ke Yogyakarta. Dia melanjutkan sekolah di SMA Muhammadiyah 1. Setelah lulus SMA, remaja itu sempat mencicipi hampir satu semester kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Dia kemudian memilih hijrah sepenuhnya ke Malioboro dan hidup menggelandang disana bersama para seniman dibawah mentor Umbu Landu Paranggi. Pemuda ini adalah Muhammad Ainun Nadjib yang kemudian dikenal dengan panggilan Cak Nun.

Jika kelompok  Neo-Modernis adalah pemuda-pemuda pencari lulusan pesantren dan IAIN, maka Cak Nun muda adalah “orang usiran” dari sekolah, Pesantren dan drop out dari Universitas umum. Cak Nun tidak mengenyam pendidikan formal Islam secara baik dan terstruktur. “Pendidikan Agama”nya otomatis selesai setelah dia diusir dari Gontor. Seperti yang diakuinya sendiri, bahwa ”Saya tidak pernah memiliki Guru.”

Namun, dalam pada itu, di Malioboro dia bertemu dengan seorang Pangeran Sumba yang memilih menjalani hidup sebagai zahid. Laki-laki yang meninggalkan Kerajaan dan seluruh hartanya serta kesenangan-kesenangan yang ditawarkan oleh posisinya untuk hidup menggelandang di Malioboro. Pilihan hidupnya seperti pilihan Sidharta Gautama atau pun Muhyi Din Ibn Arabi.  Laki-laki inilah –Umbu Landu Paranggi- seorang guru bagi Para Penyair dan Sastrawan di Yogya era akhir 1960an hingga akhir 1970an.

Kehidupan Umbu sangat unik. Pilihan-pilihan hidupnya juga diluar mainstream pemikiran orang pada umumnya. Keterlibatan yang intens dengan Umbu Landu Paranggi inilah yang diakui Cak Nun sebagai “pengalaman yang menjadi gurunya”. Umbu tidak pernah mengajarinya namun Umbu mengajaknya menikmati pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang membuatnya belajar jauh lebih banyak tentang kehidupan.

Jika boleh dideskripsikan, waktu itu Cak Nun muda adalah seorang “Pencari” dan Umbu memberikan metode-metode –mungkin dengan disadari atau tidak- yang membantu Cak Nun muda menjalani pencarian itu, tanpa mengarahkan akan menemukan apa. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Cak Nun menirukan Umbu,”Orang mengalami pencarian mungkin pada usia 17 tahun, 25 tahun atau saat menjelang ajalnya dan baru menyadari apa sejatinya hidup ini. Dan N (panggilan Umbu untuk Cak Nun) telah selesai itu semua pada umur 17-18 tahun”.

Kelak, “pendidikan ala Umbu” ini sangat kuat mewarnai corak pemikiran Cak Nun. Hal inilah yang membuat pemikiran-pemikiran ke-Islaman Cak Nun orisinil. Pengalaman-pengalaman hidup menempa dirinya untuk membuka dimensi-dimensi baru bagi pemikiran Islam. Wilayah-wilayah yang dulunya tak terjamah bahkan tabu untuk dimasuki. Cak Nun memiliki peluang untuk bergerak bebas karena dia tidak berada di dalam wacana pemikiran-pemikiran Islam yang dikembangkan oleh para Sarjana atau pun para pemikir Islam baik di Pakistan dan Afghanistan,  Timur Tengah maupun Afrika Utara yang menjadi referensi utama Islam.

Menemani Para Pencari

Poin paling utama dari Pemikiran Cak Nun adalah Menemani Para Pencari. Cak Nun berperan besar dalam membuka kunci pencerahan, mengulur-mengembang cakrawala ilmu dan menginisiasi kesadaran Tauhid kepada para pencari  Tuhan. Bisa jadi, kecenderungan ini tumbuh dari pengalaman pribadinya bersama Umbu Landu Paranggi. Maka, kecenderungan untuk menemani Para Pencari menjadi ekosistem  bawah sadar. Hal ini dibuktikan dengan “Orang Maiyah” yang pada umumnya tidak menerima dan tidak diterima doktrin-doktrin cara ber-Islam yang secara umum ada.

Kegelisahan pencarian ini kemudian menemukan oase-nya pada pemikiran-pemikiran Cak Nun. Pemikiran Cak Nun lebih responsif  menemani Para Pencari dibandingkan dengan doktrin-doktrin agama pada umumnya. Hal ini bisa jadi  karena pendekatan Cak Nun yang berangkat dari persoalan dan bersifat personal.

Misalnya, sebagai salah satu pondasi keilmuwan Islam adalah Tauhid. Berbeda dengan doktrin ulama pada umumnya yang memperkenalkan Tauhid sebagai pengetahuan atau knowledge,  Cak Nun memperkenalkan Tauhid sebagai pengalaman personal. Cak Nun menginstall mesin pencari pada kesadaran seseorang sehingga dia akan aktif bergerak sendiri untuk menemukan apa yang dia butuhkan. Dan, “Terserah Allah”. Cak Nun bukan penganut anthroposentris. Dia sepenuh-penuhnya Tuhan-sentris.  Pendekatan ini merupakan sintesa dari metode tasawuf dan knowledge.

Tasawuf memperkenalkan Tauhid hanya sebagai pengalaman personal yang “tidak diizinkan” untuk dideskripsikan dan peredarannya dibatasi hanya pada hubungan guru dan murid yang telah dibai’at. Sementara Tauhid sebagai pengetahuan sangat mungkin hanya berhenti sebagai pengetahuan. Cak Nun men-sistesa-kan keduanya dengan cara yang memikat. Cak Nun “membuka rahasia” kaum sufi di hadapan khalayak ramai sehingga setiap orang bisa mengakses kearifan tasawuf tanpa perlu menjadi anggota salah satu kelompok thoriqot. “Tidak boleh ada siapa pun yang berada diantara manusia dan Tuhannya.” Cak Nun juga dikaruniai kharisma untuk menggugah hati, mencerahkan akal dan “menundukkan kucing liar”.

Menjelajahi Islam, Membuka Dimensi

Orisinalitas Cak Nun dalam gagasan dan pemikiran Islam nampak jelas dari pendekatan-pendekatan yang digunakan. Dalam satu hal, gagasan Cak Nun boleh dibilang “dekat” dengan Neo-Modernis. Pada kesempatan lain, Cak Nun siyap memberikan perlindungan kepada Ust. Abu Bakar Baasyir yang diidentikkan dengan fundamentalis di kediamannya.

Di lain waktu, Cak Nun bersama dengan Ibu-ibu Nahdliyin di desa-desa bersholawat bersama-sama menyampaikan kerinduan dan cinta kepada Rosulullah Muhammad. Pada waktu yang lain lagi, Cak Nun memberikan ceramah di Universitas Muhammadiyah atau dikunjungi para elit partai yang dikesankan turunan dari paham salafi atau wahabi. 

Hari berikutnya, Cak Nun dituduh penganut Syiah. Dimasa sebelumnya, Cak Nun mendatangi orang yang mengaku dirinya Nabi. Betapa sikap dan perilaku Cak Nun membuat mentah kategori-kategori, membatalkan teori dan menghancurkan pemikiran yang telah dikonstruksi.

Hal ini bisa menjadi indikator bahwa gagasan-gagasan Cak Nun bersinggungan-beririsan dengan Neo Modernisme. Namun, Cak Nun terasa lebih radikal dan lebih progresif. Sebagai contoh, Cak Nun bersama Kiai Kanjeng dengan tanpa beban berceramah di gereja Pugeran,  Yogyakarta. Cak Nun dan Kiai Kanjeng juga mengunjungi gereja dan synagog di Belanda untuk menginisiasi komitmen perdamaian diantara agama-agama.

Sedangkan di Finlandia, Cak Nun juga pentas di dalam gereja dengan menolak Patung Yesus ditutup kain karena menurut pandangan Cak Nun,”Patung itu simbol Tuhan  Yesus bagi orang Nasrani, tapi bagi kami itu patung biasa.” Dalam filsafat, pandangan ini disebut Hermeneutik.

Segala kategori kajian Islam yang dibuat akan mentah begitu dipakai untuk menilai aktivitas dan pemikiran Cak Nun. Karena sebagian Cak Nun berdiri pada titik fundamentalis, sebagain yang lain liberal. Satu kaki Cak Nun terasa Muhammadiyah, sedangkan satu kaki yang lain beraroma Nahdatul Ulama. Masakannya kadang berasa Syiah, namun bumbu-bumbu di dapurnya Sunni belaka.

Cak Nun adalah pelintas batas. Cak Nun menjelajah padang-padang pemikiran Islam yang tumbuh, menyeberangi sungai-sungai madzhab yang mengalir dan akhirnya berdiam di lautan. Seperti yang diungkapkannya yang kurang lebih isinya: Kita mengikuti Islamnya Rosulullah. Sebelum lahir Sunni dan Syiah. Sebelum cabang-cabang ilmu Islam dikonstruksi. Jauh sebelum madzhab-madzhab lahir. Semua madzhab dan pendekatan yang kita gunakan ini muaranya adalah Islam-nya Rosulullah. Setiap madzhab ibarat sungai-sungai yang mengalir dan akan menuju ke muara-lautan.

Bangunan orisinilitas pemikiran Cak Nun terjadi karena Cak Nun menggali pemikiran ke-Islam-an secara otodidak. Sehingga, pengaruh wacana pemikiran Islam yang diperkenalkan para Pemikir dan Sarjana Islam –kendati bisa jadi ada- menjadi relatif kecil.

Maiyah: Karya Sufistik Cak Nun

Setelah berusia menjelang 50 tahun, Cak Nun menemukan format untuk membingkai seluruh aktivitas dan pemikirannya. Bingkai itu diberi nama Maiyah, akronim dari Maiyatullah. Menurut Dr. Nursamad Kamba, Maiyah merupakan karya Sufistik Cak Nun. Dr. Kamba menemukan konsep Maiyah sepanjang sejarah hanya dalam 3 konteks. Pertama adalah saat Rosulullah dan Abu Bakar dalam perjalanan hijrah ke Yatsrib dan hampir tertangkap oleh pasukan Qurays Mekah. Kedua diperkenalkan oleh Ibn Arabi. Dan ketiga diperkenalkan oleh Syaikh Yusuf al Makassari.

Sebagai karya sufistik, Maiyah mengandung nilai-nilai akhlaq yang dimiliki para sufi, namun oleh Cak Nun diartikulasikan dengan kehidupan modern. Tidak diragukan lagi bahwa Cak Nun adalah seorang “salik”, penempuh jalan spiritual dengan kemampuan mengartikulasikan pemikiran-pemikiran filosofis serta menerjemahkan dunia metafisik untuk menuju Tauhid. Tidak salah jika Dr. Kamba menyatakan bahwa Cak Nun adalah “murid spiritual” Ibn Arabi.

Dalam pada itu, Cak Nun memiliki kemampuan komunikasi yang memikat. Suaranya bagus dan berkarakter. Sebagai orang yang pernah bersentuhan dan terlibat dalam teater, Cak Nun menggunakan pengetahuannya tentang panggung  dan keaktoran untuk mendukung metode komunikasi massanya. Dibantu oleh selera humornya yang tinggi, Cak Nun menjadi idola pentas.

Ditambah lagi latar belakangnya sebagai Penyair. Pilihan-pilihan katanya, susunan kalimatnya, senantiasa indah dan menghunjam kendati diucapkan secara spontan.  Karakter yang khas ini tentu tidak bisa dicetak atau disamai oleh siapa pun.  Ia distinguish. Cak Nun membawakan pemikiran ke-Islam-an, filsafat, tasawuf, Tauhid dan pemahaman-pemahaman keilmuwan  kepada khalayak dengan bahasa yang mudah dipahami, gembira serta membahagiakan.

Itulah yang menjadi bingkai Cak Nun dalam aktivitas pelayanan sosialnya. Didukung oleh Kiai Kanjeng –kelompok musik avant garde multigenre- Cak Nun melakukan pelayanan sosial dibingkai dalam pigora Maiyahan.  Kendati hingga saat ini pun, Maiyah masih terus bergerak untuk menemukan formula yang tepat bagi dirinya,  pada zamannya.* 


Majalah Sabana edisi 7 th II. Mei 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar