Saya tidak
mempunyai tujuan tertentu yang jelas dalam tulisan ini. Saya kira, saya hanyalah sekedar bergumam
mengenai apa yang saya pikirkan manakala saya sedang sendiri. Mungkin juga tulisan ini tidak lebih dari
pembicaraan yang sering kita lakukan saat kita duduk-duduk bersama alias
cangkruk.
Saya tidak mengajak
anda mengurusi wanita, sebab mereka dapat mengurusi dirinya sendiri. Saya tidak juga membicarakan wanita. Saya
tidak tahu banyak tentang wanita. Saya hanya akan membicarakan laki-laki yang
membicarakan wanita.
Beruntunglah wanita
Indonesia
yang mempunyai sebutan per”empu”an, empu berarti
: induk, pangkal atau pemilik. Bukan “lady” atau “Frau” –
tuan putri, yang terdengar lembut namun mengandung penghinaan seakan tak lebih dari
benda mahal yang mudah pecah dan tak berdaya.
Mari kita mulai
dari pendapat Jean Jacques Rousseau : “ Jika kau
ingin memahami laki-laki, pelajarilah dulu wanita”. Apabila kita berdiri di sudut netral, ucapan
itu akan terdengar wajar, akan tetapi bila kita berada pada sudut pandang Rousseau dan zaman perintisan rasionalisme
yang pada hakekatnya anti-femina maka ucapan itu bisa berarti: Jika anda ingin
memahami laki-laki yang begitu kacau balau, ketahuilah dulu si biang keladinya
… wanita.
Begitu pula Jan
Grasshof : “Laki-laki yang tak berarti adalah nol, tetapi wanita yang tak
berarti adalah tetap wanita”. Bila kita
berbaik sangka, maka kita akan melihatnya sebagai kewajaran. Tetapi coba kita merasakan kata-kata
itu. Sepotong kesinisan bahwa wanita
tidak perlu berbuat apa-apa bagi kehidupan alias tergantung pada laki-laki.
Kita tahu bahwa
ungkapan diatas adalah pendapat para cerdik pandai, tetapi tidak seharusnya
kita terima begitu saja, cendikiawan bisa salah. Banyak pemikiran besar yang tidak bebas dari
kepicikan pemikiran yang pada hakekatnya membenarkan posisi yang menguntungkan
dirinya atau kaumnya.
Aristoteles
misalnya, berpikir bahwa perbudakan adalah sesuatu yang alamiah. Menurutnya setiap bangsa mempunyai kodrat
yang berlainan, “Orang Yunani berkodrat merdeka, orang-orang Barbar-Thracian
dan Asia berkodrat budak”. Kita bisa melihat bahwa pemikir besar seperti
Aristoteles melihat keadaan social yang menguntungkan dirinya sebagai kewajaran
alamiah.
Dalam pepatah
tradisional, banyak pepatah yang notabene diciptakan laki-laki. Kita tahu bahwa tradisi adalah sesutau
ciptaan dunia laki-laki pada banyak bangsa.
Ungkapan Jawa
misalnya: “Wanito iku nek awan dadi teklek, nek bengi dadi lemek”. Orang-orang Jerman atau Rusia : Jika setan
tak berdaya, ia akan mengirimkan wanita”.
Ungkapan senada juga kita jumpai di Nigeria : “Wanita sudah menemukan 99
tipu muslihat, sementara iblis belum lagi mencari yang ke 100”. Dari Perancis dan Mongolia : “Dua
wanita bertemu… terbentuk pengadilan. Tiga bertemu jadi keramaian. Empat bertemu jadi pasar besar”
Pun begitu,
persepsi tentang wanita bukanlah suatu yang a priori cetakan pikiran yang
beku. Manusia adalah mahluk yang
belajar, sebab itu kita juga melihatnya pikiran-pikiran baik tentang
wanita, yang kadang-kadang bagi pria
terasa mengharukan.
Sebagaimana orang
Belgia mengatakan: “Istriku, pertama-tama adalah wanitaku, lalu ia adalah
tuanku, dan ketiga adalah ikonku”. (ikon adalah gambar suci, yang biasanya
menggambarkan Maria, bunda Isa). Orang
Jawa berpendapat bahwa istrinya adalah belahan jiwanya. Dan tak kurang pula ajaran Islam , yang
menempatkan wanita pada posisi yang sangat menguntungkan, dengan tulus
mengatakan bahwa : “sorga ada dibawah telapak kaki ibu”
Bagaimanapun juga,
pria dan wanita adalah dua kutub dari satu perkara. keberadaannya tidak mungkin dapat
dipisahkan. Wanita adalah pria dalam
bentuk lain, sebaliknya pria adalah wanita dalam bentuk lain pula. Dan sebagaimana laki-laki mengutuki wanita,
juga memujinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar