Sabtu, 19 November 2016

Wanita


Saya tidak mempunyai tujuan tertentu yang jelas dalam tulisan ini.  Saya kira, saya hanyalah sekedar bergumam mengenai apa yang saya pikirkan manakala saya sedang sendiri.   Mungkin juga tulisan ini tidak lebih dari pembicaraan yang sering kita lakukan saat kita duduk-duduk bersama alias cangkruk.

Saya tidak mengajak anda mengurusi wanita, sebab mereka dapat mengurusi dirinya sendiri.  Saya tidak juga membicarakan wanita. Saya tidak tahu banyak tentang wanita. Saya hanya akan membicarakan laki-laki yang membicarakan wanita.

Beruntunglah wanita Indonesia yang mempunyai sebutan per”empu”an, empu berarti : induk, pangkal atau pemilik.  Bukan “lady” atau “Frau” – tuan putri, yang terdengar lembut namun mengandung penghinaan seakan tak lebih dari benda mahal yang mudah pecah dan tak berdaya.

Mari kita mulai dari pendapat Jean Jacques Rousseau : “ Jika kau ingin memahami laki-laki, pelajarilah dulu wanita”.  Apabila kita berdiri di sudut netral, ucapan itu akan terdengar wajar, akan tetapi bila kita berada pada sudut pandang  Rousseau dan zaman perintisan rasionalisme yang pada hakekatnya anti-femina maka ucapan itu bisa berarti: Jika anda ingin memahami laki-laki yang begitu kacau balau, ketahuilah dulu si biang keladinya … wanita.

Begitu pula Jan Grasshof : “Laki-laki yang tak berarti adalah nol, tetapi wanita yang tak berarti adalah tetap wanita”.  Bila kita berbaik sangka, maka kita akan melihatnya sebagai kewajaran.  Tetapi coba kita merasakan kata-kata itu.  Sepotong kesinisan bahwa wanita tidak perlu berbuat apa-apa bagi kehidupan alias tergantung pada laki-laki.

Kita tahu bahwa ungkapan diatas adalah pendapat para cerdik pandai, tetapi tidak seharusnya kita terima begitu saja, cendikiawan bisa salah.   Banyak pemikiran besar yang tidak bebas dari kepicikan pemikiran yang pada hakekatnya membenarkan posisi yang menguntungkan dirinya atau kaumnya.

Aristoteles misalnya, berpikir bahwa perbudakan adalah sesuatu yang alamiah.  Menurutnya setiap bangsa mempunyai kodrat yang berlainan, “Orang Yunani berkodrat merdeka, orang-orang Barbar-Thracian dan Asia berkodrat budak”.  Kita bisa melihat bahwa pemikir besar seperti Aristoteles melihat keadaan social yang menguntungkan dirinya sebagai kewajaran alamiah.

Dalam pepatah tradisional, banyak pepatah yang notabene diciptakan laki-laki.  Kita tahu bahwa tradisi adalah sesutau ciptaan dunia laki-laki pada banyak bangsa.

Ungkapan Jawa misalnya: “Wanito iku nek awan dadi teklek, nek bengi dadi lemek”.      Orang-orang Jerman atau Rusia : Jika setan tak berdaya, ia akan mengirimkan wanita”.       Ungkapan senada juga kita jumpai di Nigeria: “Wanita sudah menemukan 99 tipu muslihat, sementara iblis belum lagi mencari yang ke 100”.      Dari Perancis dan Mongolia: “Dua wanita bertemu… terbentuk pengadilan. Tiga bertemu jadi keramaian.  Empat bertemu jadi pasar besar”

Pun begitu, persepsi tentang wanita bukanlah suatu yang a priori cetakan pikiran yang beku.   Manusia adalah mahluk yang belajar, sebab itu kita juga melihatnya pikiran-pikiran baik tentang wanita,  yang kadang-kadang bagi pria terasa mengharukan.

Sebagaimana orang Belgia mengatakan: “Istriku, pertama-tama adalah wanitaku, lalu ia adalah tuanku, dan ketiga adalah ikonku”. (ikon adalah gambar suci, yang biasanya menggambarkan Maria, bunda Isa).  Orang Jawa berpendapat bahwa istrinya adalah belahan jiwanya.  Dan tak kurang pula ajaran Islam , yang menempatkan wanita pada posisi yang sangat menguntungkan, dengan tulus mengatakan bahwa : “sorga ada dibawah telapak kaki ibu”


Bagaimanapun juga, pria dan wanita adalah dua kutub dari satu perkara.  keberadaannya tidak mungkin dapat dipisahkan.   Wanita adalah pria dalam bentuk lain, sebaliknya pria adalah wanita dalam bentuk lain pula.  Dan sebagaimana laki-laki mengutuki wanita, juga memujinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar