Siapakah
“Pendusta Agama”
Pendusta
agama dijelaskan oleh Al Qur’an pada surah Al-Ma’un, yaitu surat yang ke-107. Tiga ayat pertama surah ini menjelaskan siapa
yang termasuk sebagai pendusta agama, yaitu: (1) Araitalladzi
yukaddzibu biddiin, (2) Fa’dzaalikal ladzii yadu’ul
yatiim, (3) Wa laa yahudhdhu alaa tho’amil miskin. Artinya: (1) Tahukah kamu
(orang) yang mendustakan agama?, (2) Itulah orang yang menghardik anak
yatim, (3) Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Dari ayat tersebut jelas bahwa
pendusta agama adalah orang yang tidak peduli atau apatis terhadap keberadaan
anak yatim, dan fakir miskin (kaum dhuafa).
Dalam memahami surat Al-Maun ini, kebanyakan orang hanya
berhenti pada pemahaman “siapa pelaku” pendusta agama, tetapi tidak sampai pada
pemahaman “konsekuensi” bagi pendusta agama.
Konsekuensi
bagi Pendusta Agama
Menurut Prof. Dr. Hamka (juga para mufassir), hakekat pendusta
agama adalah orang-orang yang “mendustai agamanya” atau “mengingkari pilar-pilar
agama”.
Pilar agama Islam itu
ada 5, yakni : Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji. Sebagaimana sabda Rasulullah
Saw, “buniyal Islamu ‘ala khomsin.” bahwa Islam dibangun di
atas lima pilar utama, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan
haji.
Jadi bagi orang-orang
yang tidak
peduli (apatis) terhadap nasib anak-anak yatim dan orang-orang miskin (meskipun ia rajin
shalat, rajin puasa, rajin dzikir, dsb) maka mereka adalah pendusta agama,
berarti mereka telah mendustai syahadatnya, mendustai shalatnya, mendustai
puasanya, mendustai zakatnya, dan mendustai hajinya.
Ketaqwaan bagi pendusta agama dipertanyakan. Ibadah shalatnya,
zakatnya, puasanya, dan hajinya menjadi sia-sia. Karena amal ibadah mahdhahnya tidak berdampak
pada akhlaknya, yaitu prilaku sosial.
Ironis.
Berdasarkan
survei ternyata kebanyakan orang Islam tahu dan hafal surat Al-Maun, karena
merupakan surat pendek hanya terdiri dari 7 ayat. Tetapi hanya sedikit orang yang memahami dan
mengamalkannya. Indikator tentang kepedulian
terhadap nasib anak-2 yatim dan orang-orang miskin adalah dari pengeluaran Zakat
Mal (harta), bukan zakat fitrah. Zakat
Mal merupakan sedekah harta yang wajib dikeluarkan sebesar 2,5 persen dari
penghasilan.
Hasil
survei yang dilakukan oleh beberapa
mahasiswa di kota Medan, menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat
menunaikan zakat (mal) hanya sebesar 3,21 persen. Berarti orang yang tidak mengeluarkan zakat
mal adalah 96, 79 persen. Dengan kata lain, diantara 100 orang hanya 3 orang yang menunaikan zakat (mal).
Hasil
survei ini juga menunjukkan bahwa banyak diantara mereka yang telah mengeluarkan
sedekah, tetapi sedekahnya belum mencapai 2,5 persen. Padahal mengeluarkan zakat mal sebesar 2,5 persen
dari penghasilan merupakan kewajiban.
Bahkan
Imam Besar Masjid Istighlal Jakarta, Prof. DR. KH Nasaruddin Umar menyebut
bahwa terlalu pelit jika orang Islam hanya mengeluarkan zakat yang 2,5 persen,
tanpa sedekah lainnya.
Gambaran
tentang kesadaran umat Islam membayar zakat mal di kota-kota lain tentu tidak
jauh berbeda dengan masyarakat kota Medan Sumatra Utara.
Penelitian
lain juga menunjukkan bahwa semakin kaya seseorang, maka akan semakin pelit (sulit)
dia untuk membayar zakatnya.
Kesimpulan
Surat Al-Ma’un menjadi pelengkap bagi
ayat-ayat dari surat yang lain berkaitan dengan kewajiban manusia untuk
melakukan kebajikan secara sosial. Islam menekankan bahwa manusia harus baik
pada dua aspek sekaligus, yaitu aspek spiritual (ibadah mahdhah) dan aspek
sosial (ibadah ghair mahdhah). Dalam Al Qur’an dijelaskan kewajiban untuk
“hablum minallah”, yaitu bersikap dan berprilaku baik terhadap Allah dan
“hablum minan naas” yaitu bersikap dan berprilaku baik terhadap sesama
manusia.
Allah ta’ala menegaskan lewat surah
Ali Imran ayat 112, “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka
berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali
(perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah
dan mereka diliputi kerendahan.”(QS. Ali Imran 112).
Seandainya kebanyakan dari kita umat
nabi Muhammad mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap nasib anak-anak yatim
dan kaum dhuafa, dengan mengeluarkan zakat minimal sebesar 2,5 persen dari
rizki yang kita terima untuk mereka, niscaya kesenjangan sosial akan teratasi.
Semoga
uraian diatas bisa menjadikan renungan bagi kita. Apakah kita termasuk ke dalam
golongan orang peduli terhadap nasib anak yatim dan kaum dhuafa, atau justru
sebaliknya termasuk kedalam golongan orang yang mendustakan agama.
Astaghfirullah hal adzim.
*****
Prof. Dr. H. Quraish Shihab menjelaskan asbabun nuzul surat al-Maun ini adalah sehubungan dengan kebiasaan Abu Sofyan dan Abu Jahal yang konon tiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun bukannya diberi daging oleh Abu Jahal dan Abu Sofyan, tetapi anak yatim itu malah dihardik dan diusir. Inilah peristiwa yang melatar belakangi turunnya surat al-Ma`un.
Prof. Dr. H. Quraish Shihab menjelaskan asbabun nuzul surat al-Maun ini adalah sehubungan dengan kebiasaan Abu Sofyan dan Abu Jahal yang konon tiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun bukannya diberi daging oleh Abu Jahal dan Abu Sofyan, tetapi anak yatim itu malah dihardik dan diusir. Inilah peristiwa yang melatar belakangi turunnya surat al-Ma`un.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar