Senin, 23 November 2020

Mengendalikan Nafsu

1. Perang Jihad

Pada era awal perjuangan penyebaran agama Islam, nabi Muhammad Saw beserta para pengikutnya (yang pada waktu itu masih sedikit) harus mengalami beberapa kali pertempuran melawan kaum kafir yang menentang dan menghalanginya.   

Menurut para ahli sejarah, peperangan yang terjadi di zaman Rasulullah SAW antara kaum muslimin melawan kaum kafir sebanyak 80 kali peperangan. Dari sejumlah itu 19 kali peperangan yang diikuti dan dipimpin langsung oleh Rasulullah. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim. Bahkan riwayat lain mengatakan kurang dari 19.

Dalam sejarah tercatat ada dua peristiwa peperangan besar yang mempunyai makna yang begitu dalam bagi kita umat Islam, yaitu perang Badar dan perang Uhud.


2. Perang Badar 

Perang Badar adalah perang yang sangat dahsyat dan berat bagi umat Islam. Perang Badar merupakan perang yang tidak seimbang, pasukan umat Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah harus menghadapi pasukan musuh kafir Quraisy yang jumlahnya tiga kali lebih besar.  

Pasukan Islam yang hanya berjumlah sekitar 300 prajurit dengan persenjataan sederhana, harus menghadapi pasukan musuh kafir Quraisy yang berkekuatan sekitar 1000 prajurit dengan persenjataan lengkap. 

Namun berkat semangat perjuangan yang tinggi, serta strategi Rasulullah yang jitu (yaitu dengan memanfaatkan potensi sumur Badar), umat Islam berhasil memukul mundur pasukan kafir Quraisy.  Umat Islam secara spektakuler berhasil memenangkan peperangan ini. 

Di tengah-tengah kegembiraan kemenangan perang Badar, umat Islam dikagetkan oleh statemen Nabi.  Rasulullah bersabda:  Raja’naa  min jihaadil ashghar - ila  jihaadil akbar.Artinya:  ''Kita baru menyelesaikan peperangan yang kecil dan akan menghadapi peperangan yang besar.''         

Para sahabat terkejut mendengar sabda nabi ini, dalam hati kecil bertanya-tanya, bagaimana mungkin peperangan yang dahsyat dan banyak memakan korban para syuhada Islam ini dinilai kecil oleh Rasulullah?.    Dengan nada heran, mereka pun bertanya, ''Peperangan apa itu ya Rasulullah?''   Beliau menjawab, Jihaadun Naafsi  ('Perang melawan hawa nafsu.)

 

Peringatan Rasulullah ini terbukti pada PERANG UHUD.   

Pada perang Uhud pasukan umat Islam, dengan strategi yang bagus, segera dapat mematahkan kekuatan musuh dan membuat mereka kocar-kacir sehingga meninggalkan medan pertempuran.    

Melihat musuh mundur, pasukan Islam yang berada di atas bukit, yang ditugaskan sebagai pasukan pemanah tidak dapat menguasai diri. Karena tergoda oleh nafsu duniawi, mereka pun turun untuk ikut mengejar musuh agar mendapat harta rampasan perang lebih banyak lagi.    Mereka telah melanggar perintah Nabi.  

Pasukan kafir yang jeli, segera memutar haluan dan sebagian menaiki dan menduduki bukit.  Kemudian musuh menyerang pasukan umat Islam dari dua arah. Serangan dari dua arah ini membuat pasukan umat Islam kocar kacir, dan akhirnya  umat Islam mengalami kekalahan dalam perang ini.  

Banyak yang meninggal dalam pertempuran ini, termasuk Hamzah, seorang panglima perang umat Islam yang gagah berani. Bahkan Nabi sendiri mengalami luka yang cukup parah di bagian wajahnya.

Dua peristiwa peperangan ini, yaitu perang Badar dan perang Uhud, menjadi cermin yang sangat bagus bagi umat Islam.   Pada perang Badar, pasukan Muslim secara spektakuler dapat memenangkan pertempuran karena dilandasi oleh semangat jihad yang tinggi.  Tetapi pada perang Uhud, pasukan Muslim yang seharusnya memenangkan pertempuran itu akhirnya harus mengalami kekalahan karena terpedaya oleh nafsu (yaitu nafsu duniawi).

 

3. Jenis Nafsu

Apakah sesungguhnya Nafsu itu?.    

Nafsu adalah suatu kekuatan ruhaniah yang berfungsi sebagai pendorong jasmani untuk melakukan suatu perbuatan.  Tanpa adanya nafsu manusia tidak dapat hidup, karena tanpa nafsu manusia tidak akan mempunyai kemauan, hasrat atau gairah untuk melakukan suatu perbuatan.  

Yang perlu diketahui adalah bahwa pada diri manusia terdapat dua kekuatan nafsu yang berbeda dan saling bertentangan, yaitu nafsu positif (yang mendorong ke arah kebajikan) dan nafsu negatif (yang mendorong ke arah kefasikan / kejahatan).  

Dalam khasanah Islam, kedua nafsu itu dikenal dengan nama quwwah syaitaniah dan quwwah rabbaniyah.   Quwwah syaitaniah adalah nafsu yang cenderung mendorong kearah kesesatan.   Sedangkan quwwah rabbaniyah adalah nafsu yang cenderung mendorong kearah kebajikan.

Dari dua potensi yang ada pada nafsu itu, ternyata potensi negatif lebih kuat dibanding potensi positif.  Hal ini bisa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari, dimana kita seringkali terdorong oleh nafsu yang mengarah kepada kesesatan.   

Allah SWT memberi peringatan kepada kita, melalui firman-Nya dalam Al-Quran: ”Inna Nafsa La Amma Ratum Bissu’i -  Illa Maa Rahimma Rabbi.” Artinya: ”Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang dirahmati oleh Tuhan, Rabbul alamin.” (QS. Yunus 53)

4. Nafsu Ibarat Api

Maka bisa digambarkan bahwa nafsu itu ibarat api.  Ia sangat berguna manakala kita dapat menguasainya (dimanfaatkan sebagai penerang, untuk memasak, dsb), namun akan sangat berbahaya dan bisa menjadi malapetaka apabila kita tidak dapat mengendalikannya (ia dapat membakar apa saja yang bisa ia bakar dan kemudian menyebabkan kebakaran yang sangat hebat).

Jadi sesungguhnya nafsu akan sangat bermanfaat bila ia dapat dikendalikan dengan baik, namun akan sangat berbahaya dan mencelakakan apabila kita tidak mempu mengendalikannya.  

Apabila kita membiarkan apa adanya nafsu yang ada pada diri kita dan kita tidak mengelolanya dengan baik, maka kita akan dikuasai oleh nafsu.   Namun apabila kita dapat mengendalikan nafsu secara baik, maka kita termasuk orang yang beruntung.

Pada surat Asy-Syamsi Allah berfirman: ”Fa alhamahaa fujuurahaa wa taqwahaa - Qad aflaha man zakhaa haa - Waqad khaaba man dassaa haa”  Artinya: Maka (Dia) mengilhamkan kepada jiwa kita, (jalan) kejahatan dan ketaqwaan. Sungguh beruntung orang-orang yang mensucikannya (yaitu yang mampu mengendalikannya).   Dan sungguh merugi orang-orang yang mengotorinya. (QS. Asy-syams: 8-10)

Nafsu adalah kekuatan yang berasal dari dalam diri kita.   Ia berpotensi menjadi musuh nyata yang dapat menghancurkan diri kita.   Nabi Muhammad memperingatkan, bahwa melawan kekuatan dari dalam (nafsu) ternyata lebih sulit dan berat bila dibandingkan melawan kekuatan luar.  Musuh dari luar dapat dideteksi dan  diukur, tetapi musuh yang bersembunyi di dalam diri susah dideteksi,  dan seringkali kita mengikutinya tanpa sadar.       Hal itu terbukti pada peristiwa perang Uhud. 

Pada realita sehari-hari, banyak orang yang mampu mengalahkan kekuatan luar, tapi kalah dengan dirinya sendiri.    Banyak orang yang jatuh dari karier, jabatan, kekuasaan atau kemuliaan karena disebabkan oleh faktor nafsu.    Apabila nafsu duniawi telah menguasai seseorang, maka ia tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang telah diperolehnya.

Rasulullah SAW bersabda: ''Seandainya anak cucu Adam (manusia) mendapatkan dua lembah yang berisi emas, niscaya ia masih menginginkan lembah emas yang ketiga. Tidak akan pernah penuh perut anak Adam, kecuali ditutup dalam tanah (mati). Dan Allah akan mengampuni orang yang bertaubat.'' (HR Ahmad).

Orang yang mampu menguasai nafsunya dan kuat menahan amarahnya itu bermakna pula orang yang sabar, yaitu orang yang ”memberi maaf ketika marah.” (QS.42:37), dan yang mengucapkan kata-kata yang baik tatkala orang-orang jahil menghinanya (QS.25:63).   Dan bagi orang-orang yang sabar, sesungguhnya Allah akan selalu menyertainya (Innallaha ma’a shabiriin).

Salah satu contoh orang yang mampu mengendalikan nafsunya dengan sangat luar biasa adalah Ali bin Abi Thalib RA. 

Pada suatu peperangan, ketika Ali telah berhasil menjatuhkan lawannya dan ketika hendak memenggal kepala lawannya yang telah jatuh tak berdaya, tiba-tiba orang itu meludahi wajahnya. Seketika itu Ali pergi meninggalkan orang tersebut dan mengurungkan niat membunuhnya.

Sewaktu ditanya kenapa tak jadi membunuh musuhnya itu, Ali menjawab, ”Ia telah meludahi mukaku, maka aku khawatir nanti aku membunuhnya karena dilandasi kemarahan atas perbuatannya itu.   Sedangkan aku tak mau membunuh karena marah  kecuali karena ikhlas untuk Allah SWT.”

Kesanggupan Ali mengendalikan kemarahan membuatnya pantas menyandang gelar ”orang kuat”.   Rasulullah bersabda:  Bukannya yang dikatakan kuat itu orang yang kuat bergulat.  Sebenarnya yang dikatakan kuat itu yang dapat mengendalikan nafsunya tatkala marah. (HR. Bukhari-Muslim).

Atas dasar hadis itu, berarti orang yang kuat bukannya pegulat, bukannya petinju yang mampu meng-KO lawannya hingga terkapar, bukan pula jagoan yang sanggup membuat lawannya tak berdaya lalu menghabisinya.  Orang yang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan nafsunya, yang sabar, dan yang mampu menguasai amarahnya, sebagaimana yang di contohkan oleh shayidina Ali RA.

Dan bagi orang yang dapat menguasai nafsunya, yaitu orang yang mampu menahan amarahnya, yang sabar dalam menerima musibah, dan yang sanggup memberi maaf kepada orang yang menyakitinya, maka Allah telah menyediakan baginya surga di akhirat kelak.

Allah berfirman dalam Al-Quran surat An-Nazi’at (79) : 40 : Wa ammaa man khaafa maqaama rabbihii - wa nahan nafsa ‘anil hawaa.    Fa innal jannata hiyal ma’waa. Dan adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya,  maka sesungguhnya surga itulah tempat tinggal (nya).  

 

5. Empat Cara Mengendalikan Nafsu

Untuk dapat menguasai atau mengelola nafsu yang ada pada diri kita, para ulama menganjurkan agar kita senantiasa berlatih (riyadhah) dengan melakukan hal-hal secara terus menerus, yaitu: (1) Berpuasa, (2) Bersedekah, dan (3) Hidup sederhana, dan (4) Beristighfar.

Untuk mempermudah mengingat empat kiat atau cara mengendalikan nafsu itu, para salik (murid yang sedang belajar dan menjalani tarekat tasawuf) membuat ”jembatan keledai” dengan kalimat singkatan PSSI, yaitu: Puasa, Sedekah, Sederhana, dan Istighfar.

(1) Puasa.

Rasulullah bersabda ; ”Perangilah nafsumu dengan puasa”.       Pada dasarnya puasa itu bukan sekedar menahan lapar dan dahaga, tetapi hakekat puasa adalah menahan hawa nafsu, atau pengendalian diri (self control).

Pengendalian diri atas ucapan (mulut), pendengaran (telinga) dan penglihatan (mata), serta perasaan (hati). Yaitu menahan diri untuk tidak berghibah, tidak bicara kasar dan kotor yang menyakiti hati. Menahan diri untuk tidak mendengarkan ghibah serta kata-kata jorok dan kotor. Menahan diri untuk tidak melihat sesuatu yang dilarang agama. Mengendalikan diri untuk tidak berprasangka buruk (su’udzan).

Dengan berpuasa kita dilatih untuk mampu menguasai dan mengendalikan diri terhadap dorongan-dorongan yang datang dari dalam diri maupun dari luar.

(2) Hidup Sederhana (Zuhud).

Nabi SAW bersabda bahwa  hal yang dapat menyelamatkan diri dari siksa api neraka, di Nabi SAW bersabda bahwa  hal yang dapat menyelamatkan diri dari siksa api neraka di antaranya adalah hidup sederhana, baik dalam keadaan fakir maupun di saat kaya raya.     

Hidup sederhana merupakan konsep dari tasawuf yaitu zuhud. Zuhud bukanlah sikap hidup yang anti dunia, atau menghindari kenikmatan duniawi, sehingga seseorang harus menjalani kehidupan layaknya orang yang miskin.

Zuhud terhadap dunia bukan berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat duniawi, melainkan harta benda bukan menjadi kebanggaan apalagi tujuan. Zuhud bukan menghindari kenikmatan duniawi, tetapi tidak meletakkan nilai yang tinggi padanya. zuhud bertujuan untuk memerangi hawa nafsu.

Zuhud adalah sikap atau upaya untuk membebaskan diri dari pengaruh dan godaan duniawi berbentuk kemewahan, yang cenderung mendorong seseorang menjadi sombong dan membanggakan diri.

(3) Sedekah.

Salah satu sifat nafsu adalah menyeru kepada hal-hal yang buruk, antara lain adalah sifat tamak, rakus dan tidak berempati. 

Nafsu lauwamah adalah nafsu duniawi yang cenderung menumpuk harta sebanyak-banyaknya, dengan pengeluaran sekecil-kecilnya. Dengan nafsu ini maka seseorang akan cenderung rakus dan kikir.

Agama kita menegaskan bahwa pada harta kita ada hak untuk fakir miskin, sebesar 2,5%. Bagi orang kikir yang tidak mau bersedekah 2,5% hartanya kepada fakir miskin maka ia tergolong sebagai manusia pendusta agama.

Sedekah, selain sebagai sarana untuk menyucikan harta dan memperoleh pahala besar, yaitu pahala jariyah, sedekah juga bertujuan untuk mengendalikan nafsu duniawi. Semakin besar nilai sedekah maka semakin besar pula kekuatan pengendalian nafsu.

(4) Istighfar

Istighfar adalah kalimat permohonan ampunan kepada Allah.  Istighfar seharusnya dilafalkan secara berulang-ulang dalam satu kegiatan dzikir, yang dilakukan sehabis shalat atau pada saat-saat tertentu di malam hari.

Dalam hadis riwayat Bukhari dikatakan bahwa Rasulullah senantiasa beristighfar minimal tujuh puluh kali dalam sehari, meskipun beliau manusia yang terbebas dari kesalahan dan dosa (ma’shum).

Manfaat lain dari dzikir istighfar adalah menghilangkan kesedihan dan mendatangkan rizki. Rasulullah saw bersabda: ”Barangsiapa yang senantiasa beristighfar, maka Allah akan memberikan kegembiraan dari setiap kesedihannya, dan kelapangan bagi setiap kesempitannya dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangka ,”(HR.Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar