Oleh Ninok Leksono
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/01/iptek/3884227.htm
==================
"Ancaman perang asimetrik (PA) tidak dapat dihadapi dengan cara
konvensional, apalagi pendekatan militer, karena PA apalagi yang
muncul dan berkembang dari dinamika politik, pada dasarnya harus
diatasi dengan pendekatan politik."
(Theo L Sambuaga, Ketua Komisi I DPR, 27 September 2007)
Perhatian terhadap perang asimetrik tampak nyata ketika pejuang
Hizbullah dapat meladeni kekuatan militer Israel (Israel Defence
Force) dalam perang yang terjadi di pertengahan tahun 2006 lalu.
Hizbullah tidak hilang nyali meskipun Israel mengerahkan mesin perang
supercanggih seperti F-16 Sufa. Andalan mereka hanya semangat tempur
tinggi, roket Katyusha, dan kecerdikan cara menembakkan roket
tersebut, yang sempat menimbulkan ketakutan di kalangan warga yang
tinggal di wilayah utara Israel.
Namun, di luar wilayah konflik di Timur Tengah, sesungguhnya perang
asimetrik dewasa ini tengah melanda dunia. Amerika Serikat pun dibuat
pusing, dan negara seperti Indonesia pun tidak luput dari fenomena ini.
Memerhatikan perkembangan semacam itu, Dewan Riset Nasional (DRN)
Kamis (27/9) lalu menyelenggarakan Seminar Terbatas Perang Asimetrik
di Jakarta. Tampil sebagai pembicara adalah Ketua Komisi I DPR Theo
Sambuaga, mantan Wakil KSAD Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, Staf Ahli
Menteri Ristek Richard Mengko, dan pengajar Kajian Strategik
Intelijens UI T Saut Situmorang.
Kiki Syahnakri dan Richard Mengko menggarisbawahi pandangan DRN bahwa
PA cenderung semakin banyak dipraktikkan dalam konflik militer maupun
nonmiliter.
Seiring dengan perubahan bentuk peperangan atau cara suatu negara
dalam upaya menguasai negara atau bangsa lain, maka spektrum PA
bertambah luas.
Menurut Kiki, cara berperang dengan menggunakan senjata atau hard
power kini dianggap tidak efisien. Sekadar contoh, sejak September
2001 AS sudah mengeluarkan 602 miliar dollar AS untuk perang
Afganistan dan Irak, tetapi apa hasilnya?
Taliban masih eksis dan melawan dengan tangguh, sementara di Irak yang
dicapai hanya penggulingan regim Saddam Hussein, tetapi kestabilan
yang diharapkan tak kunjung muncul. Untuk tahun 2008, pemerintahan
George W Bush masih akan minta anggaran 170 miliar dollar AS lagi
untuk perang di kedua negara (Kompas, 28/9).
Kalau hard power jadi tidak efisien, maka soft power dinilai jauh
lebih efisien. Di sini termasuk perang budaya, perang ekonomi dan
finansial, juga perang informasi. Dengan corak baru ini, yang
bertindak sebagai tentara bagi negara maju antara lain perusahaan
multinasional dan organisasi nonpemerintah.
Perang asimetrik
Dalam pemahaman umum, PA semula dimaknai sebagai perang antara dua
atau lebih kelompok yang kekuatannya berbeda besar. Dalam perkembangan
lebih lanjut, pemikir militer masa kini memperluas definisi di atas
dengan memasukkan aspek asimetrik dalam strategi dan taktik. Tidak
jarang yang muncul di sini adalah strategi dan taktik perang
nonkonvensional. Pihak yang lebih lemah berusaha menggunakan strategi
untuk menutup kekurangan dalam hal jumlah maupun kualitas.
Richard Mengko mengutip bahwa konsep PA yang dipraktikkan di luar
hukum-hukum perang lalu sering didefinisikan sebagai "terorisme".
Dalam konteks modern, PA sering dipandang sebagai komponen Perang
Generasi Ke-4.
(Sekadar catatan, mengutip Greg Wilcox, analis militer AS, 2003,
Perang Generasi Pertama bertepatan dengan era munculnya senapan dan
tentara mulai memanfaatkannya untuk mendapatkan sarana tembak dalam
jumlah besar.
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/01/iptek/3884227.htm
==================
"Ancaman perang asimetrik (PA) tidak dapat dihadapi dengan cara
konvensional, apalagi pendekatan militer, karena PA apalagi yang
muncul dan berkembang dari dinamika politik, pada dasarnya harus
diatasi dengan pendekatan politik."
(Theo L Sambuaga, Ketua Komisi I DPR, 27 September 2007)
Perhatian terhadap perang asimetrik tampak nyata ketika pejuang
Hizbullah dapat meladeni kekuatan militer Israel (Israel Defence
Force) dalam perang yang terjadi di pertengahan tahun 2006 lalu.
Hizbullah tidak hilang nyali meskipun Israel mengerahkan mesin perang
supercanggih seperti F-16 Sufa. Andalan mereka hanya semangat tempur
tinggi, roket Katyusha, dan kecerdikan cara menembakkan roket
tersebut, yang sempat menimbulkan ketakutan di kalangan warga yang
tinggal di wilayah utara Israel.
Namun, di luar wilayah konflik di Timur Tengah, sesungguhnya perang
asimetrik dewasa ini tengah melanda dunia. Amerika Serikat pun dibuat
pusing, dan negara seperti Indonesia pun tidak luput dari fenomena ini.
Memerhatikan perkembangan semacam itu, Dewan Riset Nasional (DRN)
Kamis (27/9) lalu menyelenggarakan Seminar Terbatas Perang Asimetrik
di Jakarta. Tampil sebagai pembicara adalah Ketua Komisi I DPR Theo
Sambuaga, mantan Wakil KSAD Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, Staf Ahli
Menteri Ristek Richard Mengko, dan pengajar Kajian Strategik
Intelijens UI T Saut Situmorang.
Kiki Syahnakri dan Richard Mengko menggarisbawahi pandangan DRN bahwa
PA cenderung semakin banyak dipraktikkan dalam konflik militer maupun
nonmiliter.
Seiring dengan perubahan bentuk peperangan atau cara suatu negara
dalam upaya menguasai negara atau bangsa lain, maka spektrum PA
bertambah luas.
Menurut Kiki, cara berperang dengan menggunakan senjata atau hard
power kini dianggap tidak efisien. Sekadar contoh, sejak September
2001 AS sudah mengeluarkan 602 miliar dollar AS untuk perang
Afganistan dan Irak, tetapi apa hasilnya?
Taliban masih eksis dan melawan dengan tangguh, sementara di Irak yang
dicapai hanya penggulingan regim Saddam Hussein, tetapi kestabilan
yang diharapkan tak kunjung muncul. Untuk tahun 2008, pemerintahan
George W Bush masih akan minta anggaran 170 miliar dollar AS lagi
untuk perang di kedua negara (Kompas, 28/9).
Kalau hard power jadi tidak efisien, maka soft power dinilai jauh
lebih efisien. Di sini termasuk perang budaya, perang ekonomi dan
finansial, juga perang informasi. Dengan corak baru ini, yang
bertindak sebagai tentara bagi negara maju antara lain perusahaan
multinasional dan organisasi nonpemerintah.
Perang asimetrik
Dalam pemahaman umum, PA semula dimaknai sebagai perang antara dua
atau lebih kelompok yang kekuatannya berbeda besar. Dalam perkembangan
lebih lanjut, pemikir militer masa kini memperluas definisi di atas
dengan memasukkan aspek asimetrik dalam strategi dan taktik. Tidak
jarang yang muncul di sini adalah strategi dan taktik perang
nonkonvensional. Pihak yang lebih lemah berusaha menggunakan strategi
untuk menutup kekurangan dalam hal jumlah maupun kualitas.
Richard Mengko mengutip bahwa konsep PA yang dipraktikkan di luar
hukum-hukum perang lalu sering didefinisikan sebagai "terorisme".
Dalam konteks modern, PA sering dipandang sebagai komponen Perang
Generasi Ke-4.
(Sekadar catatan, mengutip Greg Wilcox, analis militer AS, 2003,
Perang Generasi Pertama bertepatan dengan era munculnya senapan dan
tentara mulai memanfaatkannya untuk mendapatkan sarana tembak dalam
jumlah besar.
Perang Generasi Ke-2 bertepatan dengan era munculnya
teknologi di Abad ke-19, seperti senapan mesin yang efeknya berlanjut
hingga ke era Perang Dunia.
teknologi di Abad ke-19, seperti senapan mesin yang efeknya berlanjut
hingga ke era Perang Dunia.
Adapun Perang Generasi Ke-3 ditandai
dengan motivasi ide sebagai penggeraknya, hingga kemudian sering
disebut sebagai peperangan manuver, yang diperlihatkan oleh Jerman
yang melancarkan perang kilat (blitzkrieg) semasa Perang Dunia II.
Perang Generasi Ke-4 oleh sejumlah analis sering disederhanakan
sebagai terorisme. Ia melahirkan ancaman global, menerapkan organisasi
sel dan kelompok aksi yang membangkitkan diri sendiri, acap dilandasi
oleh keyakinan etnik, agama, moral, mengincar sasaran masyarakat atau
ekonomi yang rawan.
Di sini dikenal pula sponsor negara (dalam hal dana, fasilitas, dan
tempat perlindungan), pemanfaatan media untuk memengaruhi opini
publik, memanfaatkan teror sebagai alat pilihan, dan punya akses
terhadap persenjataan teknologi tinggi yang bisa diperoleh di pasaran.
Sementara itu, basis Perang Generasi Ke-4 bisa berupa nonnasional atau
transnasional, seperti ideologi atau agama; melakukan serangan
langsung terhadap kultur musuh, dan mampu melancarkan perang
psikologis amat canggih, dalam hal ini melalui manipulasi media.
Peneliti Perang Generasi Ke-4 berkeyakinan bahwa tipe perang ini tidak
akan menggantikan Perang Generasi Ke-3 dan Ke-2, tetapi akan
berkoeksistensi. Berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh ahli falsafah
dan strategi perang Clausewitz, yang melihat perang sebagai benturan
kebijakan dua negara, Perang Generasi Ke-4 (sering diringkaskan dengan
4GW) bisa diibaratkan petinju lawan infeksi virus.
Meskipun demikian, senjata dan taktik dalam 4GW tidak terbatas pada
terorisme. Di Amerika Selatan sempat ditemukan kapal selam yang sedang
dibangun oleh kelompok penyelundup obat bius. Jadi praktik 4GW bisa
diibaratkan sebagai Fase III aksi gerilya Mao. Ketika musuh sudah
sempoyongan, aksi bisa diteruskan dengan pemanfaatan sarana dan taktik
konvensional untuk menghancurkan militer musuh yang tersisa.
Konteks Indonesia
Indonesia yang hidup di tengah dunia yang terus berubah sekarang ini
juga terpapar pada ide dan potensi dampak PA dan 4GW. Situasi yang
berkembang dewasa ini, juga perspektif sejarah yang memperlihatkan
bahwa kekuatan lebih lemah bisa mengalahkan kekuatan lebih kuat, di
satu sisi bisa melahirkan pandangan optimistik.
Tentang AS yang dibuat kerepotan oleh Vietkong di tahun 1960-an, atau
oleh milisi Lebanon (1982), atau juga oleh jawara (warlord) Somalia
(1992-1994), menjadi contoh- contoh historis. Tampak bahwa kekuatan
raksasa bak Goliath dibuat tidak berdaya secara militer, atau bahkan
secara politis kalah oleh lawan-lawan yang berukuran David (Jeffrey
Record, Why The Strong Lose, Parameters, 2005).
Indonesia di lingkup regional juga secara militer berada dalam posisi
asimetrik dibandingkan tetangga-tetangga dekatnya. Secara militer,
bila ingin mengo- reksi keseimbangan, diperlukan kreativitas untuk
menghadapi jet tempur atau kapal selam maju yang dimiliki tetangga.
Pada sisi sebaliknya, Indonesia dipandang terlalu kuat oleh
pihak-pihak yang punya aspirasi lain, khususnya yang masih belum, atau
tidak mau, menerima konsep NKRI dengan berbagai alasan. Atau, lebih
spesifik lagi, seperti dikemukakan oleh Saut Situmorang, rakyat yang
tertinggal dalam derap pembangunan, potensial untuk meletupkan PA.
Sebenarnya, insiden Cakalele di Ambon 29 Juni 2007 juga bisa disebut
sebagai manifestasi PA. Selain menggarisbawahi pandangan bahwa PA
memperlebar teater konflik, tidak saja militer tetapi juga
seni-budaya; kejadian Cakalele juga memperlihatkan, bagaimana si lemah
bisa membuat si kuat "kecolongan" dan menderita kerugian, dalam hal
ini dalam soal citra politik.
Si Lemah lawan Si Kuat tak hanya diterapkan RMS di Ambon. Seperti
dikemukakan oleh Theo Sambuaga, pemberontak Zapatista di Meksiko juga
melancarkan perlawanan terhadap pemerintah yang sah dari pedalaman
hutan rimba, sambil menggunakan laptop untuk menyusun strategi dan
melancarkan propaganda.
Jelas bahwa sasaran dan medan PA dan 4GW tidak lagi terbatas pada
perebutan wilayah, tetapi menjangkau ekonomi, kultur, media,
komunikasi, psikologi massa, energi, dan sebagainya. Suasana PA dan
4GW demikian berbeda, di mana peperangan tidak ditandai dengan front
jelas, kombatan tanpa uniform, dan sebenarnya berlangsung
terus-menerus (kontinu), kata Richard Mengko.
Tanpa merujuk satu kasus spesifik, dengan melihat kon- disi nasional
yang belum kokoh, perpolitikan masih tinggi, sementara keadaan
perikehidupan rakyat pada umumnya masih jauh dari sejahtera, potensi
PA tampak riil di Indonesia. Potensi ini jauh lebih riil daripada
potensi invasi oleh satu negara asing.
dengan motivasi ide sebagai penggeraknya, hingga kemudian sering
disebut sebagai peperangan manuver, yang diperlihatkan oleh Jerman
yang melancarkan perang kilat (blitzkrieg) semasa Perang Dunia II.
Perang Generasi Ke-4 oleh sejumlah analis sering disederhanakan
sebagai terorisme. Ia melahirkan ancaman global, menerapkan organisasi
sel dan kelompok aksi yang membangkitkan diri sendiri, acap dilandasi
oleh keyakinan etnik, agama, moral, mengincar sasaran masyarakat atau
ekonomi yang rawan.
Di sini dikenal pula sponsor negara (dalam hal dana, fasilitas, dan
tempat perlindungan), pemanfaatan media untuk memengaruhi opini
publik, memanfaatkan teror sebagai alat pilihan, dan punya akses
terhadap persenjataan teknologi tinggi yang bisa diperoleh di pasaran.
Sementara itu, basis Perang Generasi Ke-4 bisa berupa nonnasional atau
transnasional, seperti ideologi atau agama; melakukan serangan
langsung terhadap kultur musuh, dan mampu melancarkan perang
psikologis amat canggih, dalam hal ini melalui manipulasi media.
Peneliti Perang Generasi Ke-4 berkeyakinan bahwa tipe perang ini tidak
akan menggantikan Perang Generasi Ke-3 dan Ke-2, tetapi akan
berkoeksistensi. Berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh ahli falsafah
dan strategi perang Clausewitz, yang melihat perang sebagai benturan
kebijakan dua negara, Perang Generasi Ke-4 (sering diringkaskan dengan
4GW) bisa diibaratkan petinju lawan infeksi virus.
Meskipun demikian, senjata dan taktik dalam 4GW tidak terbatas pada
terorisme. Di Amerika Selatan sempat ditemukan kapal selam yang sedang
dibangun oleh kelompok penyelundup obat bius. Jadi praktik 4GW bisa
diibaratkan sebagai Fase III aksi gerilya Mao. Ketika musuh sudah
sempoyongan, aksi bisa diteruskan dengan pemanfaatan sarana dan taktik
konvensional untuk menghancurkan militer musuh yang tersisa.
Konteks Indonesia
Indonesia yang hidup di tengah dunia yang terus berubah sekarang ini
juga terpapar pada ide dan potensi dampak PA dan 4GW. Situasi yang
berkembang dewasa ini, juga perspektif sejarah yang memperlihatkan
bahwa kekuatan lebih lemah bisa mengalahkan kekuatan lebih kuat, di
satu sisi bisa melahirkan pandangan optimistik.
Tentang AS yang dibuat kerepotan oleh Vietkong di tahun 1960-an, atau
oleh milisi Lebanon (1982), atau juga oleh jawara (warlord) Somalia
(1992-1994), menjadi contoh- contoh historis. Tampak bahwa kekuatan
raksasa bak Goliath dibuat tidak berdaya secara militer, atau bahkan
secara politis kalah oleh lawan-lawan yang berukuran David (Jeffrey
Record, Why The Strong Lose, Parameters, 2005).
Indonesia di lingkup regional juga secara militer berada dalam posisi
asimetrik dibandingkan tetangga-tetangga dekatnya. Secara militer,
bila ingin mengo- reksi keseimbangan, diperlukan kreativitas untuk
menghadapi jet tempur atau kapal selam maju yang dimiliki tetangga.
Pada sisi sebaliknya, Indonesia dipandang terlalu kuat oleh
pihak-pihak yang punya aspirasi lain, khususnya yang masih belum, atau
tidak mau, menerima konsep NKRI dengan berbagai alasan. Atau, lebih
spesifik lagi, seperti dikemukakan oleh Saut Situmorang, rakyat yang
tertinggal dalam derap pembangunan, potensial untuk meletupkan PA.
Sebenarnya, insiden Cakalele di Ambon 29 Juni 2007 juga bisa disebut
sebagai manifestasi PA. Selain menggarisbawahi pandangan bahwa PA
memperlebar teater konflik, tidak saja militer tetapi juga
seni-budaya; kejadian Cakalele juga memperlihatkan, bagaimana si lemah
bisa membuat si kuat "kecolongan" dan menderita kerugian, dalam hal
ini dalam soal citra politik.
Si Lemah lawan Si Kuat tak hanya diterapkan RMS di Ambon. Seperti
dikemukakan oleh Theo Sambuaga, pemberontak Zapatista di Meksiko juga
melancarkan perlawanan terhadap pemerintah yang sah dari pedalaman
hutan rimba, sambil menggunakan laptop untuk menyusun strategi dan
melancarkan propaganda.
Jelas bahwa sasaran dan medan PA dan 4GW tidak lagi terbatas pada
perebutan wilayah, tetapi menjangkau ekonomi, kultur, media,
komunikasi, psikologi massa, energi, dan sebagainya. Suasana PA dan
4GW demikian berbeda, di mana peperangan tidak ditandai dengan front
jelas, kombatan tanpa uniform, dan sebenarnya berlangsung
terus-menerus (kontinu), kata Richard Mengko.
Tanpa merujuk satu kasus spesifik, dengan melihat kon- disi nasional
yang belum kokoh, perpolitikan masih tinggi, sementara keadaan
perikehidupan rakyat pada umumnya masih jauh dari sejahtera, potensi
PA tampak riil di Indonesia. Potensi ini jauh lebih riil daripada
potensi invasi oleh satu negara asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar