Jumat, 12 Mei 2017

Tiga Tipe Perang Modern

Setelah perang dunia kedua dan perang dingin usai peta politik global mengalami perubahan. Perang antarnegara tidak lagi menggunakan kekuatan militer dan pengerahan senjata semata. 
Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih potensi terjadinya perang konvensional antara dua negara bisa dibilang kecil. Karakteristik perang juga mengalami pergeseran. Kini, muncul perang jenis baru, yakni perang asimetris, perang hibrida, dan perang proxy
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam bukunya berjudul "Memahami Ancaman, Menyadari Jati Diri Modal Membangun menuju Indonesia Emas" secara detil merinci ketiga jenis perang gaya baru tersebut. 
1.   Perang asimetris secara umum bisa dijelaskan sebagai perang antara kedua belah pihak yang kekuatannya tidak seimbang.  Pihak yang lemah tidak akan secara terang-terangan berhadapan dengan pihak yang kuat. Cara yang dilakukan adalah dengan mengggunakan cara-cara di luar kebiasaan, salah satunya dengan menggunakan taktik perang gerilya. 
2.  Perang hibrida adalah perang yang menggabungkan teknik perang konvensional dan perang informasi untuk mengalahkan musuhnya.  Pihak yang memiliki kekuatan besar akan menggunakan kekuatan militer untuk menghabisi musuhnya. Namun jika keadaan tidak menguntungkan strategi yang mereka gunakan adalah dengan menyebarkan informasi palsu, kemudian menjatuhkan wibawa negara lewat kampanye hitam.  Atau melakukan infiltrasi yang tujuan akhirnya adalah menghancurkan musuh. 
Jenis perang hibrida cukup rumit, karena perang ini menggunakan banyak cara, bisa dengan menggunakan senjata nuklir, senjata biologi dan kimia, perang informasi hingga kemungkinan berkembangnya aksi terorisme. 
3.  Perang proxy adalah pertikaian antara dua negara atau kekuatan besar yang tidak saling berhadapan langsung. Biasanya mereka menggunakan pihak ketiga untuk menghancurkan musuhnya. Dalam perang jenis ini tidak mudah untuk mengenali siapa kawan dan siapa lawan.  Biasanya pihak ketiga yang bertindak adalah negara kecil, organisasi masyarakat, kelompok masyarakat atau perorangan.  Perang proxy bisa dikatakan sebagai perang menggunakan pihak ketiga.
Dalam sebuah simposium nasional di Universitas Indonesia, Senin 10 Maret 2014, Gatot memaparkan bahwa pemicu terjadinya perang saat ini adalah soal energi. Ia memaparkan sekitar tahun 2043 sumber energi fosil akan habis dan digantikan dengan bio energi. Karena itu sasaran konflik mengarah pada lokasi yang sumber energinya banyak dan melimpah.  Dan Indonesia salah satunya. 
---------------

Bahaya Proxy War
Negara diminta waspada terhadap potensi perang menggunakan pihak ketiga atau proxy war di masa depan. Pemicunya adalan bertambahnya jumlah populasi manusia tetapi ketersediaan sumber daya alam kian menipis. NGO dapat dimanfaatkan negara lain dalam proxy war.
Semenjak satu tahun lalu, Gatot Nurmantyo, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) aktif berpidato dalam berbagai forum mengenai bahaya proxy war atau perang menggunakan pihak ketiga.  Dalam pandangannya, proxy war dipicu oleh bertambah pesatnya populasi penduduk dunia tetapi tidak diimbangi ketersediaan pangan, air bersih, dan energi sehingga akan muncul konflik baru. Posisi Indonesia sebagai negara khatulistiwa sangatlah penting karena menjadi  arena persaingan kepentingan nasional berbagai negara. 
Konflik-konflik di belahan dunia terjadi akibat persaingan kepentingan antarnegara untuk menguasai sumber energi. “Sekitar 70 persen konflik di dunia disebabkan masalah energi.  Cadangan energi dunia diperkirakan tinggal 45 tahun lagi.  Dan ini bisa habis apabila tidak ada gantinya,” kata Gatot Nurmantyo.
Dampak lebih lanjut dengan meningkatkan kebutuhan  energi pada tahun 2007 sampai 2009 mendongrkan naiknya harga pangan dunia sebesar 75 persen. Pada 2043, populasi penduduk dunia diperkirakan mencapai 12,3 miliar jiwa. Dengan asumsi sekitar 2,5 miliar penduduk tinggal di garis ekuator (khatulistiwa) . Sisanya 9,8 miliar adalah penduduk di negara yang  berada di luar ekuator. Negara yang berada dalam perlintasan garis ekuator punya kemampuan budidaya tanam sepanjang tahun seperti Indonesia, Asia Tenggara, Afrika Tengah, dan Amerika Latin.
Kalau sebelumnya konflik berada di wilayah Timur Tengah. Maka, peperangan berpotensi bergeser di negara ekuator karena perebutan sumber daya energi dan alam. 

Dengan perkembangan teknologi, sifat dan karakteristik perang telah tidak lagi sifatnya konvensional antar dua negara. Melainkan mengarah kepada tiga jenis perang yaitu perang asimetris, perang hibrida, dan perang proxy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar