Setelah perang dunia kedua dan perang
dingin usai peta politik global mengalami perubahan. Perang antarnegara tidak
lagi menggunakan kekuatan militer dan pengerahan senjata semata.
Seiring
dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih potensi terjadinya perang
konvensional antara dua negara bisa dibilang kecil. Karakteristik perang juga
mengalami pergeseran. Kini, muncul perang jenis baru, yakni perang asimetris, perang hibrida,
dan perang proxy.
Panglima
TNI Jenderal Gatot
Nurmantyo dalam
bukunya berjudul "Memahami Ancaman, Menyadari Jati Diri Modal Membangun
menuju Indonesia Emas" secara detil merinci ketiga jenis perang gaya baru
tersebut.
1.
Perang asimetris secara umum bisa dijelaskan sebagai
perang antara kedua belah pihak yang kekuatannya tidak seimbang. Pihak
yang lemah tidak akan secara terang-terangan berhadapan dengan pihak yang kuat.
Cara yang dilakukan adalah dengan mengggunakan cara-cara di luar kebiasaan,
salah satunya dengan menggunakan taktik perang gerilya.
2.
Perang hibrida adalah perang yang menggabungkan
teknik perang konvensional dan perang informasi untuk mengalahkan
musuhnya. Pihak yang memiliki kekuatan besar akan menggunakan kekuatan
militer untuk menghabisi musuhnya. Namun jika keadaan tidak menguntungkan
strategi yang mereka gunakan adalah dengan menyebarkan informasi palsu,
kemudian menjatuhkan wibawa negara lewat kampanye hitam. Atau melakukan
infiltrasi yang tujuan akhirnya adalah menghancurkan musuh.
Jenis perang hibrida cukup rumit,
karena perang ini menggunakan banyak cara, bisa dengan menggunakan senjata
nuklir, senjata biologi dan kimia, perang informasi hingga kemungkinan
berkembangnya aksi terorisme.
3. Perang proxy adalah pertikaian antara dua negara
atau kekuatan besar yang tidak saling berhadapan langsung. Biasanya mereka menggunakan
pihak ketiga untuk menghancurkan musuhnya. Dalam perang jenis ini tidak mudah
untuk mengenali siapa kawan dan siapa lawan. Biasanya pihak ketiga yang
bertindak adalah negara kecil, organisasi masyarakat, kelompok masyarakat atau
perorangan. Perang proxy bisa dikatakan sebagai perang menggunakan pihak
ketiga.
Dalam
sebuah simposium nasional di Universitas Indonesia, Senin 10 Maret 2014, Gatot
memaparkan bahwa pemicu terjadinya perang saat ini adalah soal energi. Ia memaparkan sekitar tahun 2043 sumber energi fosil
akan habis dan digantikan dengan bio energi. Karena itu sasaran konflik
mengarah pada lokasi yang sumber energinya banyak dan melimpah. Dan
Indonesia salah satunya.
---------------
Bahaya Proxy
War
Negara diminta waspada terhadap
potensi perang menggunakan pihak ketiga atau proxy war di masa depan. Pemicunya
adalan bertambahnya jumlah populasi manusia tetapi ketersediaan sumber daya
alam kian menipis. NGO dapat dimanfaatkan negara lain dalam proxy war.
Semenjak satu tahun lalu, Gatot
Nurmantyo, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) aktif berpidato dalam
berbagai forum mengenai bahaya proxy war atau perang menggunakan pihak ketiga.
Dalam pandangannya, proxy war dipicu oleh bertambah pesatnya populasi penduduk
dunia tetapi tidak diimbangi ketersediaan pangan, air bersih, dan energi
sehingga akan muncul konflik baru. Posisi Indonesia sebagai negara khatulistiwa
sangatlah penting karena menjadi arena persaingan kepentingan nasional
berbagai negara.
Konflik-konflik di belahan dunia
terjadi akibat persaingan kepentingan antarnegara untuk menguasai sumber
energi. “Sekitar 70 persen konflik di dunia disebabkan masalah energi.
Cadangan energi dunia diperkirakan tinggal 45 tahun lagi. Dan ini
bisa habis apabila tidak ada gantinya,” kata Gatot Nurmantyo.
Dampak lebih lanjut dengan
meningkatkan kebutuhan energi pada tahun 2007 sampai 2009 mendongrkan
naiknya harga pangan dunia sebesar 75 persen. Pada 2043, populasi penduduk
dunia diperkirakan mencapai 12,3 miliar jiwa. Dengan asumsi sekitar 2,5 miliar
penduduk tinggal di garis ekuator (khatulistiwa) . Sisanya 9,8 miliar adalah
penduduk di negara yang berada di luar ekuator. Negara yang berada dalam
perlintasan garis ekuator punya kemampuan budidaya tanam sepanjang tahun
seperti Indonesia, Asia Tenggara, Afrika Tengah, dan Amerika Latin.
Kalau sebelumnya konflik berada di
wilayah Timur Tengah. Maka, peperangan berpotensi bergeser di negara ekuator
karena perebutan sumber daya energi dan alam.
Dengan perkembangan teknologi, sifat
dan karakteristik perang telah tidak lagi sifatnya konvensional antar dua
negara. Melainkan mengarah kepada tiga jenis perang yaitu perang asimetris,
perang hibrida, dan perang proxy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar