Sabtu, 27 Mei 2017

Puasa Yang Sia-Sia (MT)

Hakekat Puasa

Suatu ketika di bulan Ramadhan, Rasulullah SAW melihat seorang wanita sedang memaki-maki budaknya (pembantunya).   Melihat kejadia itu, Nabi meminta salah seorang sahabatnya untuk mengambilkan makanan dan menghampiri wanita tadi.   

Lalu Nabi mengulurkan makanan kepada wanita itu dan berkata, ”kuliy”, makanlah.  Wanita itu menjawab, ”Inni shaa’imah (saya sedang berpuasa)”.       

Nabi berkata lagi, ”ayo makanlah”.  Wanita itu menjawab lagi , ”ya Nabi, saya sedang berpuasa”.    ”Bagaimana mungkin engkau berpuasa,  kalau engkau berkata buruk seperti itu?”, sergah nabi.     

Kemudian nabi bersabda kepada sahabatnya : ”Kam Min Sho-Imin Laisa Lahu - Min Shiyaamihi  Illal Ju-’u Wal  ’Athsyu”, Betapa banyak orang yang puasa akan tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga. (HR. An Nasa’i dan Ibnu Majjah)

Pernyataan nabi tersebut tentu penting untuk menjadi renungan kita semua, ”Betapa banyak orang yang puasa akan tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga”.   Artinya bahwa banyak diantara kita, umat nabi Muhammad yang puasanya sia-sia, yang tidak mendapatkan pahala dari puasa tetapi hanya merasakan lapar dan dahaga. Kenapa?

Karena sesungguhnya hakekat puasa adalah pengendalian diri (self control) dari perbuatan sia-sia dan perbuatan munkar. 

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Laisash Shiyaamu Minal Akli wasy Syarb - Fainnamash Shiyaamu Minal Lagwi war Rafats.”  Puasa itu bukanlah sekadar menahan diri dari makan dan minum, akan tetapi sesungguhnya puasa itu adalah mencegah diri dari segala perbuatan sia-sia (lagwi) serta menjauhi perbuatan yang kotor (rafats). (HR. Ibnu Khuzaimah) 

Tiga Golongan Orang Berpuasa

Berkenaan dengan pelaksanaan ibadah puasa, imam Al-Ghazali membagi orang yang berpuasa itu dalam tiga golongan, yaitu :

1.     Golongan pertama disebut  SHAUMUL ’AWAAM  yaitu puasanya orang awam.  

Golongan ini  melaksanakan puasa berupa tidak makan, tidak minum dan tidak melakukan hubungan suami istri (dan yang serupa) sejak subuh hingga maghrib.   Hanya itu saja.

Kalau puasa hanya tidak makan, tidak minum dan tidak berhubungan suami istri di siang hari,     sementara anggota tubuh lainnya melakukan hal yang buruk. Lisannya berdusta, memfitnah, berghibah, menyakiti hati.  Telinganya suka mendengarkan fitnah dan ghibah. Juga matanya melihat sesuatu yang tidak baik, serta anggota tubuh lainnya melakukan hal-hal yang buruk. Maka puasanya akan sia-sia belaka. Mereka itulah yang oleh nabi dijelaskan bahwa berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala kecuali hanya lapar dan dahaga.

Celakanya golongan ini justru banyak ada pada kita.  ”Kam Min Sho-Imin Laisa Lahu - Min Shiyaamihi  Illal Ju-’u Wal  ’AthsyuBetapa banyak orang yang puasa akan tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga.

2.     Golongan kedua disebut SHAUMUL KHAWAASH, yaitu puasa orang khusus yang sempurna. 

Golongan  melaksanakan ibadah puasa bukan sekedar tidak makan, tidak minum dan tidak melakukan kegiatan hubungan suami istri (seperti golongan pertama), namun juga mempuasakan seluruh anggota tubuhnya.  Mata, telinga, lidah, tangan, kaki dan semua anggota badan yang lain berpuasa dari perbuatan yang tidak baik. Inilah puasa yang paripurna.

Nabi Muhammad SAW bersabda, Laisash Shiyaamu Minal Akli wasy Syarb, Innamash Shiyaamu Minal Lagwi war Rafats.”  Puasa itu bukanlah sekadar menahan diri dari lapar dan haus, akan tetapi sesungguhnya puasa itu adalah mencegah diri dari segala perbuatan sia-sia (lagw) serta menjauhi perbuatan yang kotor (rafats). (HR. Ibnu Khuzaimah)

Sesungguhnya yang menarik dari sabda nabi tersebut adalah "Shiyaamu Minal Lagw", ”mencegah diri dari segala perbuatan yang sia-sia”.  Perbuatan sia-sia adalah perbuatan yang tidak mengandung manfaat atau faedah.  Jadi dalam berpuasa hendaknya kita menghindari perbuatan yang tidak bermanfaat.  Sehingga puasa seharusnya diisi dengan kegiatan yang bermanfaat, seperti membaca Al Quran, membaca buku, menulis, menonton tv yang bermanfaat, bersih-bersih rumah, dsb. 

Apabila tidak ada kegiatan bermanfaat yang bisa dilakukan ketika berpuasa lebih baik tidur. Karena tidurnya orang berpuasa dinilai ibadah.  Berbincang-bincang dengan tetangga (terutama ibu-ibu) lebih baik dihindari, karena cenderung menggosip atau ghibah. Acara-acara televisi yang banyak menayangkan gosip, ghibah dsb lebih baik tidak ditonton.

3.     Golongan ketiga disebut SHAUMUL KAWAASHIL KHAWAASH, yaitu puasa yang paripurna atau istimewa.

Golongan ini dalam menjalankan ibadah puasa seperti golongan kedua, ditambah lagi pikiran dan hatinya juga ikut berpuasa.  Pikiran senantiasa berdzikir mengingat Allah, tidak diberi kesempatan berpikir yang negatif.   Hatinya senantiasa bersyukur, menjauhi dari perasaan dongkol, tidak ikhlas, dan sebagainya

Inilah puasanya para ambiyaa wal mursaliin dan orang-orang saleh. Inilah ibadah puasa yang ideal karena mencakup puasa lahir batin. Inilah puasa yang sangat sempurna.

Ketentuan Puasa

Dalam hal pelaksanaan ibadah puasa maka kita perlu perhatikan tiga hal, yaitu: (1) Perakara yang dapat membatalkan puasa, (2) Perkara yang dapat membatalkan pahala puasa, dan (3) Perkara yang perlu dijaga untuk kesempurnaan puasa.

a.   Perkara Yang Membatalkan Puasa.

Berdasarkan surat Al Baqarah ayat 187, terdapat tiga indikasi yang membatalkan puasa yaitu, makan, minum, dan bersenggama. Ketiganya dilarang untuk dilakukan mereka yang berpuasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. 

b.   Perkara Yang Membatalkan Pahala Puasa.

Rasulullah SAW bersabda, ”Ada lima hal yang dapat membatalkan pahala puasa seseorang, yaitu 1) berdusta, 2) mengumpat, 3) menyebar desas desus, 4) bersumpah palsu, dan 5) memandang penuh nafsu.” (HR. Anas).

c.   Perkara Yang Harus Dijaga Dalam Berpuasa.

Untuk menjaga kekhusukan ibadah puasa, Imam Al-Ghazali mengingatkan agar kita menjaga limat hal untuk memenuhi syarat berpuasa, agar puasa kita diterima oleh Allah SWT dan akan mengantarkan kita kepada tujuan diwajibkannya puasa, yaitu taqwa kepada Allah SWT.   Empat hal yang harus dijaga adalah :

1)     Menjaga lisan.   Menjaga lisan dari perkataan dusta, fitnah, mengunjing, berkata kotor, dsb.   Dalam berpuasa ini kita diharapkan untuk mengurangi bicara, tujuannya untuk menghindari hal-hal yang dapat mengurangi pahala puasa.  Oleh karena itu, daripada berkata sia-sia apalagi mengandung dosa lebih baik diam, karena diamnya orang berpuasa itu adalah ibadah. 

2)     Menjaga pendengaran. Imam Al-Ghazali menjelaskan, apa saja yang dilarang diucapkan, Allah juga melarang kita untuk mendengarkannya.   Bila ada seseorang yang mengajak kita berbicara dengan nuansa ghibah apalagi fitnah, maka katakanlah ”maaf saya sedang berpuasa”.

3)     Menjaga seluruh anggota badan dari perbuatan sia-sia, serta dari perbuatan yang keji dan kotor.   Apabila kita berkumpul bersama rekan sejawad, maka hendaknya mengarahkan kegiatan itu untuk kegiatan yang bermanfaat, misal diskusi dsb.  Tetapi apabila tidak bisa, maka lebih baik tinggalkan dan lakukan kegiatan yang bermanfaat, seperti membaca, berzikir, dsb atau mungkin tidur.   Karena forum berkumpul yang tak mempunyai tujuan akan cenderung kepada ghibah, bergunjing, dsb.

4)     Menjaga penglihatan.  Menjaga penglihatan agar tidak melihat sesuatu yang tidak disukai Allah.  Apa saja yang dilarang untuk dikerjakan, seperti judi, mabok, dsb, maka kita dilarang pula melihatnya. Tayangan TV Infotainment, seperti Gossip, Cros check, Intip, bibir plus, dsb, seyogyanya kita hindari daripada membatalkan pahala puasa.  Karena tayangan itu lebih banyak mengandung unsur ghibah. Memang apa yang ditampilkan itu sesuai fakta, karena apabila tidak sesuai fakta maka hal itu merupakan fitnah, itu jelas perbuatan dosa.  Meski sesuai fakta, namun apabila yang ditampilkan itu mengungkap aib seseorang, atau membuat sakit hati bagi orang yang dijadikan obyek pemberitaan, karena menyangkut prifasi, maka itu adalah ghibah. Ghibah dan fitnah sama-sama dilarang oleh agama dan hukumnya haram, dan haram pula untuk ditonton.  Hal ini sesuai dengan fatwa MUI DKI Jakarta, bahwa acara infotainment hukumnya haram.

Bila kita mampu melaksanakan keempat syarat ini, kata Al-Ghazali,  puasa kita tidak akan sia-sia, bahkan bermanfaat bagi kehidupan kita dan akan mengantar kita kepada derajat taqwa.

1 komentar:

  1. Puasa berpengaruh positif terhadap 3 aspek : (1) Ruhaniah  Taqwa, (2) Kepribadian  emosional & sosial; (3) Kesehatan  sehat.

    1. Ruhaniah . Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian. Supaya kalian bertaqwa.

    2. Kepribadian. (a) Emosional. Inti dari puasa adalah pengendalian diri (self control). Pengendalian diri untuk tidak marah, untuk tidak bicara kotor, juga pengendalian diri untuk bersabar. Puasa merupakan sarana untuk membentuk pribadi berakhlak mulia.; (b) Sosial. Puasa dapat menumbuhkan sikap kepedulian sosial dan rasa kesetia kawanan. Puasa menempa jiwa supaya memiliki kekuatan dan daya tahan menanggung penderitaan, mengurangi hawa nafsu keduniawian serta menggerakkan hati orang-orang kaya supaya menyantuni kaum dhuafa.

    3. Kesehatan : Menurut statistik ilmu kesehatan, 60% penyakit berasal dari perut, maka apabila perut tidak dikendalikan maka banyak penyakit akan tumbuh. Puasa membantu membuang sel-sel yang rusak, sekaligus membuang hormon ataupun zat-zat yang melebihi jumlah yang dibutuhkan tubuh. Puasa, sebagaimana dituntunkan oleh Islam adalah rata-rata 14 jam, kemudian makan untuk durasi waktu beberapa jam, hal itu merupakan metode yang bagus untuk membangun kembali sel-sel baru. Sehingga puasa merupakan cara yang baik untuk menjaga kesehatan tubuh, dengan cara peremajaan terhadap sel-sel yang tua. Di Jerman ada lembaga yang bernama Fasten Institut (Lembaga Puasa), yang menggunakan puasa sebagai terapi untuk menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu yang menurut pengobatan moderen belum dapat disembuhkan.

    BalasHapus