Selasa, 23 Mei 2017

Kudeta Non Tradisi Di Tubuh Polri Sebagai Biang Disintegrasi Bangsa

(1)  Agaknya tidak berlebihan belakangan ini, Institusi Polri dan Kapolri serta jajaran perwira di bawahnya mendapat sorotan tajam terkait *diskriminasi* perlakuan yang mereka perbuat.  Untuk pendukung Ahok, segala larangan dan aturan undang-undang Unjuk rasa diterabas dan dibiarkan. Larangan demo lewat jam 18.00 WIB, atau tidak boleh unjuk rasa di Hari Libur Nasional, dan tidak diperbolehkan melakukan perusakan fasilitas umum, diabaikan pendukung Ahok dan Polri membiarkan secara sengaja!

(2)   Bahkan Polri mengizinkan  massa ramai-ramai  membawa senjata tajam ke Bandara saat penolakan kedatangan wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah beberapa hari lalu. Padahal UU membawa Senjata tajam bisa diancam  kurungan 6 tahun penjara.  Justeru Polri membiarkan dengan seribu alibi palsunya. Ini jelas tindakan inskonstitusional, dan dimana logika hukum Polri dalam menindak kelompok kriminal diatas?

(3)   Semua potret dari ragam aksi unjuk rasa dari *barisan pendukung Ahok*, Polri sepertinya tiarap. Setali tiga uang, Kapolri yang dulunya wajahnya selalu menghiasai layar kaca  dan selalu tampil garang mengingatkan peserta aksi 411, 212 dan aksi berikutnya untuk tertib,  serta  menghimbau agar umat islam  mengikuti aturan undang-undang, belakangan justeru  hilang dari depan kamera. Tidak ketinggaan  Kapolda Metro Jaya M. Iriawan, tidak kelihatan batang hidungnya!

(4)   Bahkan saking  sangat bersemangatnya tahun lalu Polri *mengembosi  aksi umat islam* yang terlihat dari berbagai cara dan dengan alasan yang dibuat-buat Polri untuk menghambat lajunya pergerakan peserta aksi dari daerah-daerah.  Alasan jembatan rusak, orang daerah tidak perlu ke Jakarta dan alasan-alasan hantu lainnya! 

(5)   Tebang pilih Polri kian menggangga pasca Ahok dihukum 2 tahun penjara.  *Barisan pendukung Ahok* terasa amat istimewa dimata Polri. Mereka boleh melakukan apa saja, dan boleh melanggar hukum sesukanya tanpa diproses. Teranyar, kasus *Minahasa Merdeka*  dari barisan pendukung Ahok sebagai protes terhadap putusan Hakim.  Polri pun seenaknya mengatakan hal demikian sebagai reaksi spontanitas masyarakat. Sungguh keterlaluan saat kategori Makar begitu nyata dengan bendera yang berbeda telah berkibar di Minahasa. Itulah yang makar sebenarnya !

(6)   Seandainya yang melakukan hal serupa adalah umat islam, barangkali, 100 peleton Brimob sudah menyisir pelaku pengibaran dan deklarasi tersebut .  Padahal ini jelas sejelas-jelasnya sebagai *tindakan makar nyata*. Sayangnya Polri diam membisu seribu bahasa. Sungguh memalukan!

(7)   Bandingkan pula ketika sederetan aktivitis 212 yang *ditangkap disubuh buta*, tanpa mendeklarasikan missal ”Jakarta Merdeka sebagaimana Minahasa Merdeka”, hanya cuap-cuap kritis dimedia sosial atau Youtube, langsung dituduh Makar oleh aparat Polri. Sungguh, kasihan, dan betapa  lebaynya Polisi India Kita !

(8)   Setelah melalui perenungan dan penerawangan melalui chatting Whatsapp entah siapa yang membuat, screenshoot ilusi, akhirnya penulis mendapat inspirasi ilusi sontoloyo, bahwasanya, kerusakan negeri ini karena *berawal dari Mr P yang mengangkat  MR TK menjadi Kapolri* dengan mekanisme yang tidak semestinya.  Ada *kudeta dari istana untuk jabatan Kapolri sekarang!*

(9)   Dapat dikatakan sama,  bahwa tindakan Mr P  adalah tindakan tidak lazim ditubuh Polri. Sepertinya ada niat jahat dan niat busuk sekelompok orang untuk merusak aparat penegak hukum kita dengan merusak institusi Polri terlebih dahulu.  Akibat dari kudeta Transisi Jabatan Polri yang tidak lazim itu, berbagai persoalan membahayakan bangsa bermunculan belakangan. *Polri bermain api* dan nyaris membakar negeri ini karena ulah tangan sendiri.

(10)  Banyak kasus tidak tertanggani dengan baik bahkan hilang begitu saja. Kasus yang sedianya dituntaskan Polri pun raib entah kemana.  Kasus *mobil terano Aktivis Adian Napitupulu* di dekat rumah SBY, tidak diproses.  Kasus  *Iwan Bopeng*  yang ingin memenggal kepala TNI, juga raib. Kasus *Penyiraman air keras ke wajah penyidik KPK*, Novel Baswedan, Polri sepertinya main petak umpet dan kucing-kucingan.  ” Udah belum--udah belum” begitu tuntutan publik pada aparat baju coklat!  
Termasuk yang paling parah, laporan penistaan yang diperbuat *Nathan warga etnis Thiongha di Surabaya* yang dilaporkan seseorang,  bisa hilang begitu saja  berkasnya. Belum lagi kasus *penyerangan Tengku Zulkarnain*, wasekjen MUI yang  tidak diproses. Kasus *pembawa Senjata tajam di bandara* menolak wakil ketua DPR RI, Fahri Hamzah tempo hari juga hilang.

(11)   Kini yang menghebohkan kasus Penghinaan pada ulama dan tindakan Rasis serta berbau Sara dari *Gubernur kalbar, Cornelis*, Polisi diam saja, padahal pernyataan provokator sang gubernur dari PDIP itu sangat membahayakan keutuhan bangsa ! Dimanakah Engkau POLRI kami, kok kalian  pada rada sakit gigi semuanya ?!

(12)   Sungguh tidak adil dan tidak bijaksana. Jika sebaliknya kalau ada pelaku anti pemerintah, langsung kalian tangkap seperti  kisah suram TNI dimasa Orde baru dahulu.  Misal, *Kasus Bambang Tri*, yang menulis “Jokowi Under Cover “ juga tidak jelas kemana arahnya. Dia ditahan tanpa proses hukum yang jelas.  *Kasus Muhammad Khattath*, juga ditangkap, lenyap pula kasusnya.

(13)   Dapat dipahami bahwa rekam jejak buruk Polri menandakan bahwa Polri bukan lagi sebagai institusi negara yang dapat diharapkan perannya sebagai penjaga keamanan NKRI,  melainkan Polri telah berubah bermetamersfosis  menjadi *eksekutor penguasa* dan itu sesuai selera penguasa. Tindakan ini jika dibiarkan  sangat membahayakan  NKRI tercinta.

(14)   Inilah biang dari perpecahan ditengah anak bangsa kalau aparat keamanannya mulai main mata dengan penista agama atau dengan pelanggar UU.  Akibatnya  akan serta merta runtuhlah   wibawa reputasi  dan moral  aparat kepolisian  sebagai aparat penegak kemananan. Orang tidak percaya pada Polri yang kini semakin menggejala.  Bahkan sudah ada tuntutan gerakan 7 Juta status Fesbuk  *“Tidak Percaya Pada Polri”*  sebagaimana gerakan 7 juta Status Dukungan Untuk HRS.

(15)  Efek dari robohnya harga diri lembaga Polri, akan melahirkan hukum rimba ditengah masyarakat, dan ini pasti Polri tidak mampu mengantisipasinya. Sangat berbahaya kedepannya jika itu terjadi. Betapa tidak, jika  seluruh daerah bergejolak mendemo kantor Polres setempat sebagai tanda protes!  Ibarat kebakaran, jika yang terbakar itu hanyalah 10 rumah, bisa dipadamkan dalam hitungan jam. Bagaimana kalau yang terbakar itu *emosi dari 150 juta umat islam* yang selama ini lebih banyak mengalah, tiba-tiba batas sabar mereka habis. Ini berbahaya!

(16)   Seandainya 7 juta jiwa peserta aksi 212 itu benar-benar mengamuk akhir tahun lalu, boleh jadi Jakarta telah rata  dengan tanah!  Sebagai pembanding, kelompok pro Ahok saja jumlahnya lebih kurang 1000 melakukan hal yang sama, Polri sudah kewalahan menghadapinya ?

(17)   Bersyukur dan berterima kasihlah, aparat POLRI  pada umat islam dan pada ulamanya karena mereka telah ikut menjaga Jakarta tanpa harus ikut berslogan Bhinneka dan menjaga Pancasila ! Berbeda dengan kelompok sebelah, yang teriaknya kencang sebagai pembela Pancasila, tetapi omongannya dusta !

(18)   Umat islam sesungguhnya  yang  terdepan menjaga kebhinnekaan dan  terdepan menjaga Pancasila.  Tetapi ada yang lempar batu sembunyi tangan dengan menuduh umat islam intoleran! Sungguh biadab kalian wahai para pengkhianat bangsa !

(19)   Yang memalukan, mereka yang *mengaku reformis tapi  bermental komunis*. Sok pula menuntut merdeka dari Indonesia setelah sebelumnya kampanye karangan bunga, hingga bakar lilin sebagai bukti cinta NKRI. dan penjaga Pancasila katanya. Faktanya semuanya adalah ilusi. Mereka pula yang *merusak nama baik Indonesia di luar negeri* dengan membawa slogan spanduk pujaan kepada Ahok, bak manusia Setengah Dewa!

(20)   Berkaca dengan  keruntuhan moril dan harga diri Polri, dapat disimpulkan bahwa penyebabnya adalah bermuara pada peristiwa  pengganti Kapolri Badroddin Haiti yang alumni Akpol 82,  seharusnya digantikan oleh alumni  angkatan dibawah beliau, yakni Akpol 83, *bukan alumni Akpol 87 sekarang*. 

(21)   Seharusnya yang jadi Kapolri sekarang itu bukanlah MR TK, melainkan *MR DP ( Dwi Prayitno)*, ini jebolan Akpol angkatan 1982 dengan Jabatan terakhir Inspektur pengawasan umum Polri dengan pangkat Komjen. Sedangkan MR TK, alumni jebolan Akpol 1987, hampir 5 tahun terpaut jaraknya dari MR DP.

(22)   Dibawah MR DP, adalagi, yakni *MR BG(Budi Gunawan)*, yang tempo hari sempat digadang-gadangkan sebagai Kapolri, akhirnya kandas karena isu tak sedap. Imbal jasa, MR BG tetap ditunjuk menjabat sebagai kepala BIN. MR BG sendiri akpol 1983. Artinya terpaut 4 tahun dengan MR TK.

(23)   Dibawah MR BG, adalagi, *MR PEBS ( Putut Eko Bayu Seno)*, dengan jabatan Kepala Baharkam Polri dengan jabatan Komjen. Ini lulusan Akpol 1984. Lagi-lagi, 3 tahun diatas MR. TK.   Dibawahnya lagi, ada *MR.SA ( Suhardi Alius)*, lulusan Akpol 1985 dengan jabatan sekretaris utama Lembahas dengan pangkat Komjen. Hanya terpaut 2 tahun diatas MR TK. Adalagi, *MR. S (Syafrudin)*, sekarang sebagai Wakapolri dan lulusan Akpol 1985. Jabatan sebelum wakapolri adalah sebagai kepala lemdikpol dengan pangkat Komjen.Terakhir, 2 tahun diatas MR TK, adalah *MR. ADS (Ari Dono Sukmanto)*, yang menjabat sebagai kabareskrim Polri dengan pangkat terakhir Komjen. Dia lulusan Akpol 1985.

(24)   Transisi Kapolri dari Badroddin Haiti, lulusan Akpol 82 ke MR TK lulusan 87, telah melompat dan melangkahi 5 tingkat generasi dibawahnya. Artinya *MR TK melompati 5 tingkat seniornya* ke atas jika berdasarkan angkatan!

(25)   Dari sinilah dapat dinilai bahwa ini merupakan sebuah operasi senyap yang telah diperhitungkan masak-masak oleh sekelompok orang yang ingin merusak dan menguasai negeri ini. Hal ini tidak lazim dan membahayakan institusi Polri yang tadinya memiliki wibawa akhirnya rusak dimata publik karena pemimpinnya kurang cakap dan tidak berpengalaman.

(26)   Seharusnya Polri  menjadi wasit pertandingan sebuah sepak bola, bukan ikut serta menggiring bola ke  gawang lawan dan bersekongkol dengan kesebelasan lain.   Faktanya, POlri berpihak pada satu kesebelasan  dan menindas kesebelasan lain kalau dilihat berbagai pernyataan dan komentar Mr TK, selama *menghadapi aksi Umat islam sangat merusak logika dan menyinggung perasaan umat islam itu sendiri*.

(27)   Tidak satupun komentar MR TK yang memposisikan dirinya sebagai aparat penegak hukum yang netral. Bahkan kian hancur reputasinya terutama saat videonya yang *meminta dukungan legitimasi sosial kepada sekelompok orang (mata sipit) yang katanya Silent Mayority* untuk mendukung aksi kriminaslisasi ulama ala Polri.  Saya sendiri  sebagai anak bangsa, sangat geram dengan tindakan MR TK  yang terang-terangan menjadi *provokator pemecah belah bangsa !*

(28)   Video itu pun  memviral di dunia maya.  Sangat memalukan dan memilukan. Tindakan MR TK ini kian membuat *masyarakat muak kepada institusi POLRI*. Inilah barangkali  kudeta tersukses ditubuh Polri yang tidak kita sadari dan akhirnya membuka luka demokrasi kita yang dahulunya sudah dibangun dengan elok di masa SBY dan dimasa presiden sebelumnya akhirnya hancur berantakan di era Jokowi yang beberapa waktu hilang entah kemana. Inilah buah dari  *satu keputusan yang salah yang dibuat Mr P dalam memilih MR TK*

(29)   Akibat salah memilih orang dan menyalahi prosedural, akhirnya seseorang  yang belum matang dipaksa kan untuk memimpin institusi Polri. Beginilah hasilnya.  Keputusan MR P dengan menunjuk *perwira yang masak karbitan* ini  sama halnya dengan seorang Presiden Mahasiswa sebuah kampus yang terpilih dengan mengangkat komandan Menwa dari Mahasiswa Tingkat 2 atau semester 3, Padahal seniornya tahun 4 masih banyak yang layak dan berpengalaman.  Atau sama halnya  memilih ketua OSIS di sebuah SMA dari siswa kelas X atau siswa baru! Sungguh lucu, karena siswa tadi pasti minim pengalaman dan kurang  kematangan dirinya.

(30)   Hemat penulis, penunjukkan MR TK, bukan tanpa alasan, boleh jadi *ada alasan ideologis dan historis dengan sebuah kelompok tertentu yang hendak merusak NKRI melalui tangan kekuasan presiden*.  Dan itu terbukti. Aparat penegak hukum berseragam coklatlah yang menjadi musuh demokrasi, musuh massa dan musuh umat islam. Mereka menterjemahkan UU dan Hukum secara serampangan dan sembarangan!  Sekarang, semuanya terbongkar, dan tuduhan pengamat, MR TK tidak cukup umur untuk memimpin institusi Polri terbukti.

(31)   Wajah Polri sekarang adalah wajah institusi anti konstitusi dan anti hukum serta institusi “seenak gue” ala MR TK. Kejadian ini kian membuat amarah massa bisa meledak sejak kasus *rekayasa chat Firza Husen dan HRS* ditambah dengan *pembubaran HTI* oleh pemerintah.

(32)   Kudeta transisi jabatan Kapolri non tradisi telah berjalan dengan hasilnya melukai hati anak bangsa.  Polri sebagai penegak hukum yang harus berdiri ditengah, dan netral justeru ikut *memback up kelompok perusak kebhinnekaan dari kalangan Ahoker*. Polri bahkan memback up kelompok ini dari belakang dengan berbagai cara dan dengan segala cara. 

(33)   Polri kerap  pula menjadi Jubir sekelompok orang sebagaimana gelar perkara Ahok yang dibuat Polri, terlihat posisi  *Kapolri lebih tepat sebagai  sebagai jubir atau kuasa hukum Ahok* dengan argumentasi pembelaan berlebihan seorang aparatur penegak hukum terhadap seorang tersangka penista Agama!  Untuk kasus Ahok, seorang Kapolri mati-matian berkomentar membela tersangka!?

(34)   Saat Ahok dikiim ke LP Cipinang, pasca putusan Hakim, Polri sepertinya membiarkan demonstran merusaak pagar dan kemudian *menyusun skenario pemindahan Ahok ke Mako Brimob*. Sungguh terlalu sandiwara abal-abal Polri ini demi menipu bangsanya! Polri bahkan bersekongkol dengan ahoker dengan tidak melakukan apa-apa untuk pelanggar ketertiban umum tersebut.

(35)   Sekarang, kita hendak bertanya, kenapa harus MR TK yang jadi Kapolri wahai MR P? Kenapa tidak senior MR TK yang jauh lebih matang dan dewasa serta berpengalaman. Apakah ini kisah suksesi revolusi (kaum kiri)  Indonesia dimulai dari Revolusi Jabatan Kapolri untuk merusak NKRI dan untuk menyingkirkan umat islam serta ada upaya memecah belah bangsa ?!

(36)   Apakah ini jangan-jangan merupakan *agenda terselubung sebuah kelompok komunis* yang ikut bermain untuk menguasai Indonesia secara nyata kalau dilihat dengan sikap anti ulama dan anti umat islam selama ini yang dipertontonkan Polri?

(37)   Atau Polri telah berubah menjadi lembaga *pengaman kepentingan ASENG* di republik ini? Atau juga telah menjadi budak dan kaki tangan partai politik tertentu dengan ambisi karir pribadi dengan mengorbankan nasionalismenya.

(38)   Polri juga disinyalir *tidak berbuat saat lambang palu arit atau komunis berkeliaran di negeri ini*. Hanya TNI yang pro aktif menangkap pelaku dari kader-kader komunis gaya baru.

(39)   Polri sepertinya tidak bisa belajar dan bercermin dengan aparat TNI. Melalui pribadi panglima TNI GN, *nama baik TNI terpatri di dada anak bangsa*. Tidak ada komentar panglima yang melukai perasaan 7 juta jiwa peserta aksi damai 212. Tidak ada instruksi aneh, atau tindakan yang melanggar konstitusi.

(40)   Sebaliknya Polri sendiri bahkan melanggar UU unjuk rasa, membatasi hak berpendapat, menghalang-halangi proses penyampaian aspirasi warga yang hendak bertandang ke rumah mereka di DPR. Sungguh aneh, Polri ikut terlibat dalam proses politik penguasa dan merusak demokrasi itu sendiri!

(41)   Kudeta transisi non tradisi sesungguhnya telah merusak institusi Polri dari dalam dan tentunya Mr P sebagai pihak yang bertanggungjawab akan hal itu.  Dengan alasan konstitusi pula kami juga berhak bertanya, *apakah sekarang ideologi Polri masih Pancasila ?* kalau masih Pancasila, kenapa Polri justeru sangat anti kepada umat islam ?  kenapa Polri sudah seperti kelompok Komunis yang suka *mencari-cari kesalahan umat islam dan kesalahan ulama?!*

(42)   Atau apakah jangan-jangan Polri telah menjadi pasukan cakrabirawa dengan ideologinya komunisnya ?  Jika Polri menjadi bagian dari tangan-tangan Komunis, kami pun siap untuk berhadapan dengan komunis ! Melihat  tindakan Polri yang *paranoid dan islamophobia* menadakan Polri telah keracunan ideologi komunis.

(43)   Bahkan di salah satu provinsi di Sumatera, seorang perwira POLRI tega-teganya mengatakan  diforum pertemuan Kementrian Agama bahwa kalau bendera palu arit berkeliaran, tidak dapat ditindak. Sebaliknya jika bendera Islam  Al Liwa atau Rahyyah yang berrtuliskan kalimat tauhid langsung dirampas dan dituduh teroris.

(44)   Saking kurang ajarnya, si perwira Polisi tadi seenaknya melarang para ulama bertakbir dalam forum itu. Ini aparat apaan namanya kalau bukan aparat berdieologi komunis! Kamipun jadi tahu kemana kiblat Polri dalam bernegara, yang *condong kepada anti ulama dan agama*. Ingat anti agama dan ulama itu sama halnya dengan gerakan  Komunis , walaupun Polri sendiri membantah. 

(45)   Dan Anda, MR P, harus menjelaskan kepada publik karena *rusaknya negeri ini, berangkat dari rusaknya POLRI, dan Rusaknya Polri karena ulah MR TK*,  yang  menjabat secara tidak lazim. dan otomatis itu  ulah anda sendiri yang memilihnya?
Wahai Kompolnas kenapa kalian Diam dengan transisi non tradisi yang tidak lazim ini ditubuh Polri ? berbicaralah jangan diam, dengan kesewenang-wenangan Kapolri...atau juga kalian juga bagian  dari rezim pro pendukung PKI ?


> 45 catatan ringan seorang mantan demonstran
*************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar