Berbagai permasalahan tengah melanda masyarakat
bangsa ini, mulai dari bencana banjir, pengannguran, kemiskinan, kriminalitas, genk motor, predator
anak, penggusuran, narkoba, korupsi, konflik horisontal hingga terorisme.
Para pakar dan ahli telah
banyak mengupas masalah itu dengan sudut pandang yang beragam. Hemat penulis, berbagai persoalan yang tengah dihadapi oleh bangsa saat ini disebabkan oleh lima akar permasalahan. Akar permasalahan
tersebut harus segera dicarikan solusi oleh segenap komponen bangsa, agar tidak
merembet pada berbagai permasalahan lain yang akan semakin sulit diatasi.
Kelima akar permasalahan
itu adalah sistem demokrasi, kesenjangan sosial, pemberantasan korupsi, sistem pendidikan
dan pertumbuhan penduduk.
1.
Demokrasi berjalan sangat liberal.
Demokrasi kita berjalan sangat liberal dan
tidak terarah untuk kepentingan masyarakat luas. Sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat
cenderung menghasilkan wakil rakyat (parlemen) dan pemimpin pemerintahan yang terpilih karena popularitasnya, bukan
kompetensi dan kridibilitasnya. Hasilnya,
para anggota parlemen lebih sibuk mengurus kepentingan partai dan pribadi
daripada kepentingan masyarakat luas. Banyak undang-undang yang diperlukan,
diperbaiki atau diganti tidak mendapatkan prioritas pembahasan dan perhatian
yang serius. Parlemen bergerak hanya sekedarnya atau setelah ada desakan yang
kuat dari masyarakat melalui unjuk rasa dan opini yang berkembang di media
massa.
Selain itu, hanya sedikit Kepala Daerah yang
benar-benar bekerja untuk rakyat dan memajukan daerahnya, selebihnya hanya
memikirkan pribadi dan golongannya. Bahkan sudah demikian banyak Kepala Daerah
yang tersangkut masalah hukum khususnya kasus korupsi. Menurut data ICW, sejak
KPK didirikan tahun 2003 hingga saat ini sudah 392 Kepala Daerah (dari 549
Prov/Kab/Kodya) telah menjadi terpidana dan terdakwa kasus korupsi.
2. Ketidakadilan dan kesenjangan sosial yang semakin tajam.
Pembagian hasil pembangunan tidak dirasakan oleh sebagian
besar masyarakat, tapi lebih banyak oleh sekelompok elit tertentu. Pembangunan
infrastruktur lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kelas menengah keatas,
sementara masyarakat bawah sebagai penonton pembangunan. Akibatnya timbul
ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial. Orang kaya semakin kaya, sementara
orang miskin semakin sulit mendapatkan kehidupan yang layak. Ketidakadilan dan kesenjangan sosial akan memicu terjadinya
gejolak sosial dan konflik horizontal yang menjadi sumber kehancuran sebuah
bangsa.
Keadilan adalah kunci sukses sebuah negara-bangsa. Ali bin Abi Thalib pernah berkata: ”Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak
dengan keadilan meskipun ma’a al-kufri (bersama orang kafir) dan negara itu
akan hancur dengan kezaliman meskipun ma’a al-muslimin (bersama orang-orang
muslimin)”. Dan Imam Al-Ghazali juga berkata: “Negara/kerajaan bisa
bertahan langgeng meskipun dengan kekufuran, tapi tak bisa langgeng dengan
kezaliman (ketidak adilan)”
Ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan
miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Bank Dunia mencatat,
tingkat ketimpangan kesejahteraan hidup orang Indonesia
semakin tinggi dalam 15 tahun terakhir. Laju tingkat ketimpangannya pun paling
cepat di antara negara-negara di kawasan Asia Timur. Melebarnya ketimpangan kesejahteraan tecermin
dari terpusatnya akumulasi kekayaan pada minoritas penduduk Indonesia. Kondisi
ini bisa menimbulkan dampak negatif berupa perlambatan pertumbuhan ekonomi dan
potensi konflik sosial.
Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss,
Credit Suisse, 10
persen orang kaya menguasai sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan
aset dan keuangan di negara ini. Kalau dipersempit lagi, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan
nasional . Bisa dibayangkan, segelintir (1 persen) orang terkaya di
Indonesia menghimpun separuh total aset negara ini.
3.
Pemberantasan Korupsi yang tidak serius
Kasus korupsi di negeri
kita terus terjadi dan bahkan bertambah dari tahun ke tahun, seolah para pelaku
tidak ada jeranya. Padahal korupsi bukan sekedar merugikan negara secara
ekonomi, tetapi lebih parah lagi adalah merusak tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Melihat kenyataan ini pemerintah dinilai tidak serius dalam
memberantas korupsi. Meski memperkuat KPK, upaya itu dipandang tidak akan bisa
optimal.
Sejauh ini KPK hanya
berhasil menangkap tidak lebih dari 5 % pelaku korupsi, selebihnya dengan modus yang
tidak dijangkau KPK mereka berhasil menikmati hasil korupsi. Buktinya,
begitu banyak pejabat negara dan pegawai negeri kita yang mempunyai rekening
gendut alias harta kekayaannya tidak sebanding dengan kemungkinan penghasilan
dari jabatannya.
Kalau mau serius
memberantas korupsi, semetinya
negeri ini memberlakukan Asas Pembuktian Terbalik (Burden Shifting of Proof Principle) seperti yang telah dilakukan
oleh Malaysia, Singapura dan Hongkong.
Sistem pembuktian terbalik dinilai sangat efektif mencegah korupsi,
karena beban pembuktian tidak lagi berada pada aparat pengak hukum, tetapi beban
pembuktian dibebankan kepada terlapor dalam hal ini para pejabat yang
dilaporkan oleh masyarakat kepada aparat penegak hukum bahwa ia diduga telah
melakukan tindak pidana korupsi.
Malaysia telah memberlakukan Sistem
Pembuktian
Terbalik terhadap semua pejabat negara dan
pegawai negeri yang dicurigai harta kekayaannya jauh melampoi kemungkinan
penghasilan dari jabatannya. Meski Lembaga Anti Rasuah (KPK Malaysia)
tidak pernah terdengar melakukan OTT (operasi tangkap tangan) terhadap terduga
korupsi, namun negeri ini terbilang sukses menekan kejahan korupsi. Menurut survei Lembaga Transparency International (TI) tingkat indeks persepsi korupsi Malaysia naik ke
peringkat 49, jauh lebih baik ketimbang Indonesia yang berada di peringkat 90
dunia.
4.
Kesalahan Sistem Pendidikan
Hasil survei yang dilakukan oleh United
Nations Development Programme (UNDP) bahwa
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indonesia masuk kategori sangat rendah di dunia, berada di peringkat 113 dari
188 negara di dunia, dengan nilai sebesar 0,689. IPM merupakan indikator penting
untuk mengukur keberhasilan sebuah negara dalam upaya membangun kualitas hidup
manusia. Ironis…, negara dengan sumber kekayaan alam melimpah didukung
sumber daya manusia dengan intelektualitas tinggi namun kualitas hidup bangsanya
begitu memprihatinkan.
Menurut Munif Chatib, seorang praktisi
pendidikan humanis, bahwa rendahnya kualitas hidup bangsa Indonesia disebabkan
karena “kesalahan” sistem pendidikan kita. Pola dan metode pendidikan
yang tidak tepat, ditambah dengan kurikulum padat dan melelahkan menjadikan
pelajar kita seperti robot. Kurikulum kita berorientasi pada kemampuan kognitif
dan mengabaikan kemampuan afektif maupun
psikomotoris. Padahal negara2 maju telah menerapkan pola Multiple Intelligence (kecerdaan
majemuk), yang lebih berorientasi pada aspek afektif dan psikomotoris. Salah
satu contoh adalah Finlandia, sistem pendidikannya dinilai terbaik di dunia.
Sejak dari dulu
(meskipun kurikulum sering berganti-ganti seiring dengan pergantian kebijakan
menteri pendidikan), kurikulum pendidikan di Indonesia selalu berorientasi pada
aspek kognitif (kemampuan berfikir dan mengingat), dengan mengecilkan aspek
afektif (sikap mental, moralitas, dan nilai), dan aspek psikomotoris
(ketrampilan, karya, produktifitas, dsb). Hal ini berbeda dengan sistem
pendidikan di negara-negara maju yang titik berat kurikulumnya justru
pada aspek afektif dan psikomotorik, bukan aspek kognitif.
Sistem pendidikan di
Indonesia memaksa siswa belajar sesuai kurikulum yang begitu padat dan melelahkan, sehingga menjadikan pelajar kita seperti
robot. Padahal pelajar adalah manusia dengan potensi yang berbeda satu sama
lain. Masing-masing mempunyai kelebihan di satu sisi, dan kekurangan di sisi
yang lain.
Sejumlah materi
pelajaran pada kurikulum SMP/SMA dinilai masih banyak yang tidak memberi
manfaat dikemudian hari. Apalagi materi itu (matematika, fisika, kimia,
biologi, dsb) cukup susah dan dianggap sebagai materi utama. Apa tujuan
dan manfaat belajar logaritma, integral, menghafal unsur kimia, dan nama sendi
anatomi tubuh ? 90 persen lulusan pelajar kita merasa materi-materi
tersebut tidak bermanfaat baginya, kecuali bagi sebagian kecil yang melanjutkan
kuliah atau bekerja sesuai bidang yang spesifik.
Penyusun kurikulum
pendidikan kita terpaku pada Output
(hasil keluaran), tetapi tidak memperhatikan Outcome (dampak jangka panjang berupa manfaat atau harapan yang
diinginkan). Anak didik kita tidak dibekali dengan ketrampilan yang
memadai sehingga bisa berkarya dan produktif. Mereka kurang mendapat pembekalan
nilai-nilai moralitas dan integritas. Maka tidak heran jika banyak pejabat kita
yang korup.
5. Pertumbuhan Penduduk tak Terkendali.
Data dari BKKBN menunjukkan rata-rata Laju
Pertumbuhan Penduduk (LPP) negeri kita masih tergolong tinggi mencapai 1,49% per tahun, yang berarti setiap tahunnya populasi
penduduk Indonesia bertambah sekitar 4,5 juta (hampir sama dengan jumlah
penduduk Singapura). Padahal idealnya pertumbuhan penduduk kita 0,5 – 1,0 persen.
Hal ini mengindikasikan pemerintah tidak mampu mengendalikan pertumbuhan
penduduk, yang berpotensi terjadi ledakan penduduk di masa
mendatang. Ledakan penduduk adalah salah
satu ancaman paling serius bagi suatu bangsa.
Para ahli demografi mengemukakan bahwa
peningkatan jumlah penduduk berpengaruh terhadap (1) berkurangnya lahan
perumahan dan pertanian, (2) berkurangnya ketersediaan pangan, serta (3)
meningkatnya jumlah pengangguran dan kemiskinan. Tingginya angka kemiskinan
berpotensi menimbulkan terjadinya kriminalitas dan gejolak sosial. Berbagai hasil pembangunan
yang dicapai akan sia-sia apabila tidak dibarengi dengan keseimbangan populasi
penduduk. Suatu wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk tinggi selalu
mempunyai berbagai permasalahan sosial yang membuat kenyamanan hidup masyarakat
terganggu.
Kelima
permasalahan tersebut yang menjadi akar dari berbagai permasalahan yang melanda
bangsa ini harus segera dicarikan solusi oleh segenap komponen bangsa. Kalau tidak, tentu akan menjalar pada
berbagai permasalahan lain yang akan semakin sulit diatasi. Semoga bangsa ini dapat mengatasi berbagai
permasalahan yang ada. Amin
&&&&
Resume :
1. Demokrasi berjalan sangat liberal.
&&&&
Resume :
LIMA
AKAR PERMASALAHAN BANGSA
·
Demokrasi tidak terarah untuk
kepentingan masyarakat luas.
·
Sistem pemilihan secara langsung
cenderung menghasilkan parlemen dan pemimpin terpilih karena popularitasnya,
bukan kompetensi dan kridibilitasnya.
·
Sedikit Kepala Daerah yang
benar-benar bekerja untuk rakyat dan memajukan daerahnya
·
Data ICW, sejak KPK didirikan tahun
2003 hingga saat ini sudah 392 Kepala Daerah (dari 549 Prov/Kab/Kodya) telah
menjadi terpidana dan terdakwa kasus korupsi.
2. Ketidak-adilan dan kesenjangan sosial makin
tajam
·
Pembagian hasil pembangunan tidak dirasakan oleh sebagian besar
masyarakat
·
Pembangunan infrastruktur lebih banyak dinikmati oleh masyarakat
kelas menengah keatas.
·
Ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia
termasuk paling buruk di dunia. BPS :
Indek gini ratio Indonesia 0,397.
·
Survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 1 persen orang
terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional .
3. Pemberantasan korupsi tidak serius.
·
KPK hanya berhasil menangkap tidak lebih dari 5 % pelaku
korupsi, selebihnya dengan modus yang tidak dijangkau KPK mereka berhasil
menikmati hasil korupsi.
·
Pejabat negara dan pegawai negeri mempunyai rekening gendut
·
Pemberlakukan Asas Pembuktian Terbalik (Burden Shifting of
Proof Principle) seperti yang telah dilakukan oleh Malaysia, Singapura dan
Hongkong.
·
Survei Lembaga Transparency International (TI) : Tingkat
indeks persepsi korupsi Indonesia yang berada di peringkat 90 dunia.
4. Kesalahan Sistem Pendidikan
·
Survei UNDP
: Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masuk kategori sangat rendah
di dunia, berada di peringkat 113 dari 188 negara di dunia. IPM mrpk indikator mengukur
keberhasilan negara dalam membangun kualitas hidup manusia.
·
Rendahnya
kualitas hidup bangsa Indonesia karena "kesalahan" sistem pendidikan
kita.
·
Pola
dan metode pendidikan tidak tepat, kurikulum padat dan melelahkan menjadikan
pelajar kita seperti robot.
·
Kurikulum
kita berorientasi pada kemampuan kognitif dan mengabaikan kemampuan
afektif maupun psikomotoris.
·
Negara2
maju menerapkan pola Multiple Intelligence (kecerdaan
majemuk), yang lebih berorientasi pada aspek afektif dan psikomotoris (Finlandia,
sistem pendidikannya dinilai terbaik di dunia).
·
Konten
pada bbrp pelajaran dinilai masih banyak yang tidak memberi manfaat dikemudian
hari (matematika, fisika, kimia, biologi, dsb).
·
Apa
tujuan dan manfaat belajar logaritma, integral, menghafal unsur kimia, dan nama
sendi anatomi tubuh ?
·
Penyusun
kurikulum terpaku pada Output , tetapi tidak
memperhatikan Outcome .
·
Anak
didik kita tidak dibekali dengan ketrampilan yang memadai sehingga bisa berkarya
dan produktif. Mereka kurang mendapat pembekalan nilai-nilai moralitas dan
integritas.
5. Pertumbuhan Penduduk tak Terkendali
·
BKKBN
: Rata-rata LPP tergolong tinggi mencapai 1,49% per tahun (idealnya 0,5 persen)
·
Setiap
tahun penduduk Indonesia bertambah sekitar 4,5 juta (= penduduk Singapura).
·
Pemerintah
tak mampu kendalikan pertumbuhan penduduk, berpotensi terjadi ledakan penduduk.
Ledakan penduduk adalah salah satu ancaman paling serius bagi suatu
bangsa.
·
Peningkatan
jumlah penduduk berpengaruh : (1) berkurangnya lahan perumahan dan pertanian,
(2) berkurangnya ketersediaan pangan, serta (3) meningkatnya jumlah
pengangguran dan kemiskinan.
·
Tingginya
angka kemiskinan berpotensi menimbulkan terjadinya kriminalitas dan gejolak
sosial.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus