Senin, 05 Februari 2018

Terbunuhnya Sayidina Ali; Sejarah Kelam Klaim Kebenaran

Gelombang jargon kembali ke Al-Qur'an dan sunnah sangat deras sekali. Sayangnya mereka yg melakukan itu sering tidak pernah mau belajar dari sejarah. Yg terjadi perasaan paling benar akhirnya jadi semacam "aqidah  baru".

“Hukum itu milik Allah, wahai Ali! Bukan milikmu dan para sahabatmu.”

Itulah teriakan Abdurrahman bin Muljam Al Murodi (Khawarij) ketika menebas tubuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, karomallohu wajhah pada saat bangkit dari sujud sholat Shubuh pada 19 Ramadhan 40 H.

Abdurrahman bin Muljam (sering disebut Ibnu Muljam) menebas tubuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan pedang yang sudah dilumuri racun yang dahsyat. Racun itu dibelinya seharga 1.000 dinar.

Tubuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengalami luka parah, tapi beliau masih sedikit bisa bertahan. 3 hari berikutnya (21 Ramadhan 40 H) nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rasulullah SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang muslim yang merasa paling Islam.

Sayyidina Ali dibunuh setelah dikafirkan.
Sayyidina Ali dibunuh setelah dituduh tidak menegakkan hukum Allah. Sayyidina Ali dibunuh atas nama hukum Allah.
Itulah kebodohan dan kesesatan orang Khawarij yang saat ini masih ngetrend ditiru oleh sebagian ummat muslim.

Tidak berhenti sampai di situ, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti membaca Surat Al-Baqoroh ayat 207 sebagai pembenar perbuatannya:
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhoan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”

Maka sebagai hukuman atas kejahatannya membunuh khalifah Ali, Ibnu Muljam kemudian dieksekusi mati dengan cara qishos . Proses hukuman mati yang dijalankan terhadap Ibnu Muljam juga berlangsung dengan penuh dramatis. Saat tubuhnya diikat untuk dipenggal kepalanya dia masih sempat berpesan kepada algojo:
.
“Wahai Algojo, janganlah engkau penggal kepalaku sekaligus. Tetapi potonglah anggota tubuhku sedikit demi sedikit hingga aku bisa menyaksikan anggota tubuhku disiksa di jalan Allah.”

Ibnu Muljam meyakini dengan sepenuh hati bahwa aksinya membunuh suami Sayyidah Fathimah, sepupu Rasulullah, dan ayah dari Sayyid Al-Hasan dan Al-Husein itu adalah sebuah aksi jihad fi sabilillah.

Seorang ahli surga meregang nyawa di tangan seorang muslim yang meyakini aksinya itu adalah di jalan kebenaran demi meraih surga Allah.

Potret Ibnu Muljam adalah realita yang terjadi pada sebagian umat Islam di era modern. pemuda yang mewarisi Ibnu Muljam itu giat memprovokasi untuk berjihad di jalan Allah dengan cara memerangi, dan bahkan membunuh nyawa sesama kaum muslimin. Alasannya mereka telah ke luar dari rel kerete, eh rel aqidah. Mereka cenderung eksklusif, hanya mau gabung dgn kelompok mereka saja. Muslim yg lain bid'ah, kafir, jurig, ra weruh.

Siapa sebenarnya Ibnu Muljam? Dia adalah lelaki yang sholih , zahid dan bertakwa dan mendapat julukan Al-Muqri’ .
Sang pencabut nyawa Sayyidina Ali itu seorang hafidz dan sekaligus orang yang mendorong sesama muslim untuk menghafalkan kitab suci tersebut.

Khalifah Umar bin Khattab pernah menugaskan Ibnu Muljam ke Mesir untuk memenuhi permohonan ‘Amr bin ‘Ash untuk mengajarkan hafalan Al-Qur'an kepada penduduk negeri piramida itu. Dalam pernyataannya, Khalifah Umar bahkan menyatakan:
“Abdurrahman bin Muljam, salah seorang ahli Al-Qur'an yang aku prioritaskan untukmu ketimbang untuk diriku sendiri. Jika ia telah datang kepadamu maka siapkan rumah untuknya untuk mengajarkan Al-Qur'an kepada kaum muslimin dan muliakanlah ia wahai ‘Amr bin ‘Ash," Kata Umar.

Meskipun Ibnu Muljam hafal Al-Qur'an, bertakwa dan rajin beribadah, tapi semua itu tidak bermanfaat baginya. Ia mati dalam kondisi su’ul khotimah, tidak membawa iman dan Islam akibat kedangkalan ilmu agama yang dimilikinya. Afiliasinya kepada sekte Khawarij telah membawanya terjebak dalam pemahaman Islam yang sempit. Ibnu Muljam menetapkan klaim terhadap surga Allah dengan sangat tergesa-gesa dan dangkal. Sehingga dia dengan sembrono melakukan aksi-aksi yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama Islam. Alangkah menyedihkan karena aksi itu diklaim dalam rangka membela agama Allah dan Rasulullah.

Sadarkah kita bahwa saat ini telah lahir generasi-generasi baru Ibnu Muljam yang bergerak secara masif dan terstruktur? Mereka adalah kalangan sholeh yang menyuarakan syariat dan pembebasan umat Islam dari kesesatan. Mereka menawarkan jalan kebenaran menuju surga Allah dengan cara mengkafirkan sesama muslim. Ibnu Muljam gaya baru ini lahir dan bergerak secara berkelompok untuk meracuni generasi-generasi muda, tak terkecuali di  Indonesia. Sehingga mereka dengan mudah mengkafirkan sesama muslim, mereka dengan enteng menyesatkan kyai dan ulama.

Raut wajah mereka memancarkan kesalehan yang bahkan tampak pada bekas sujud di dahi. Mereka senantiasa membaca Al-Qur'an di waktu siang dan malam. Namun sesungguhnya mereka adalah kelompok yang merugi. Rasulullah dalam sebuah hadits telah meramalkan kelahiran generasi Ibnu Muljam ini,
"Akan muncul suatu kaum dari umatku yang pandai membaca Alquran dengan lisan mereka tetapi tidak melewati tenggorokan mereka, mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya." (Shohih Muslim, hadits No.1068)

Kebodohan atau pemahaman keliru mengakibatkan mereka merasa berjuang membela kepentingan agama Islam padahal hakikatnya mereka sedang memerangi Islam dan kaum muslimin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar