Senin, 05 Februari 2018

Negeri Kita Semakin (Tidak) Makmur

Perdebatan masyarakat awam tentang tingkat kemakmuran negeri kita cukup beragam.  Ada yang menilai bahwa negeri kita semakin makmur, indikasinya: mal-mal semakin banyak berdiri, jumlah kendaraan terus bertambah, perumahan-perumahan muncul di mana-mana, demikian pula rumah-rumah di desa banyak yang dibangun ala minimalis.  Bahkan masyarakat di pelosok-pelosok desapun banyak yang telah memiliki motor dan tidak asing lagi dengan handphone.

Namun sebagian lain berpendapat sebaliknya, jaman sekarang semakin susah, mencari pekerjaan semakin sulit, pengangguran semakin banyak, para sarjana sulit mendapatkan pekerjaan, membuka usaha tidak semudah dulu, pedagang-pedagang kaki lima pada digusur, banyak yang lari ke LN menjadi TKI, dan sebagainya.  Perbedaan pandangan seperti itu wajar-wajar saja dan cukup beralasan, tergantung dari sudut mana mereka memandang. Berbagai pandangan itu tidak lepas dari pengetahuan dan pengalaman pribadi, serta pengaruh lingkungan sosial masing-masing.  

Lantas bagaimana sesungguhnya kondisi negeri kita ini?.  Penulis mencoba memberikan pandangan berdasarkan data dan kajian.  Setidaknya ada empat parameter untuk menilai tingkat kemakmuran suatu masyarakat bangsa, yaitu: (1) pendapatan perkapita, (2) koefisien gini (3) data kemiskinan, serta (4) indek pembangunan manusia (IPM).

1.   Pendapatan Per Kapita.

Pendapatan per kapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara selama satu tahun.  Besaran pendapatan per kapita dapat dihitung dengan cara membagi besarnya pendapatan nasional atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB) suatu negara dengan jumlah penduduk negara yang bersangkutan. 

Pendapatan per kapita merupakan ukuran paling sederhana untuk merepresentasikan tingkat kesejahteraan dan tingkat pembangunan sebuah negara.  Semakin besar pendapatan per kapitanya, semakin makmur negara tersebut. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2016 mencapai Rp 12.406,8 triliun dan Pendapatan per Kapita mencapai Rp 47,96 juta/tahun (senilai US$ 3.605).   Jadi pendapatan rata-rata penduduk Indonesia di tahun 2016 sebesar Rp 4 juta per bulan.

International Monetary Fund dalam laporannya yang dirilis akhir tahun lalu menyebutkan pendapatan perkapita Indonesia per Oktober 2017 sebesar US$ 13.120  jauh berada dibawah Singapura (US$ 93.680), Brunei (US$ 77.700), dan Malaysia (US$ 30.430). Namun sedikit diatas Filipina (US$ 8.780) dan Vietnam (US$ 7.380).

Dari sebelas negara yang ada di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat kelima, dibawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand.  Namun berada di atas Filipina, Vietnam, Laos, Myanmar, Timor Leste dan Kamboja.

2.   Koefisien Gini

Koefisien Gini atau Gini Ratio merupakan indeks yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan antara penduduk miskin dan penduk kaya pada sebuah negara.  Gini ratio dikembangkan oleh statistikus Italia, Corrado Gini, dan dipublikasikan pada tahun 1912 dalam karyanya, Variabilit e mutabilit.  Perhitungan koefisien gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variable tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk.

Besaran angka koefisien gini berkisar antara 0 hingga 1. Semakin besar angka koefisien gini maka semakin besar tingkat ketimpangan/kesenjangan kekayaan penduduk.  Angka 0 berarti menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan angka 1 berarti menunjukkan ketimpangan yang sempurna.  Di seluruh dunia, angka koefisien kesenjangan pendapatan ini bervariasi dari 0.25 (Denmark) hingga 0.70 (Namibia).

Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2016, Indek Gini Ratio di Indonesia berada di angka 0,397. Proporsi masyarakat Indonesia dengan kekayaan kurang dari US$ 10.000 mencapai 84,30%, sedangkan kekayaan lebih dari US$ 1 juta hanya 0,1%.  Besarnya kesenjangan juga terlihat pada penguasaan orang-orang kaya di sektor perbankan. Dana bank di Indonesia didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Hampir 98 persen jumlah rekening di bank dimiliki oleh nasabah dengan jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta.

Ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 10 persen orang kaya menguasai sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan aset dan keuangan di negara ini. Kalau dipersempit lagi, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional .  Kondisi ini hanya lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand.  Berdasar laporan Credit Suisse, kekayaan rata-rata orang dewasa  Indonesia yang mencapai $10.772 dan menempati peringkat ke-4 kawasan ASEAN. Sedangkan peringkat tertinggi adalah Singapura ($276.885), dan terendah Myanmar yang hanya $2.221.

Namun dalam ketimpangan kekayaan di ASEAN, Indonesia menempati peringkat kedua dibawah Thailand. Thailand adalah negara paling tinggi ketimpangan kepemilikan kekayaannya. Sedangkan negara ASEAN paling merata kepemilikan kekayaannya adalah Brunei dengan Indeks Gini mencapai 68%.  Data Kementerian Keuangan menunjukkan, selama 10 tahun terakhir, ketimpangan pendapatan di indonesia berkisar antara 0,32 sampai dengan 0,41. Meski meningkat, ketimpangan pendapatan masyarakat ini masih berada pada tahap sedang (berada di rentang 0,3-0,5).

Secara teori ekonomi dalam sebuah negara berkembang, bahwa 80% kekayaan di seluruh negeri hanya dikuasai oleh tak lebih dari 20% penduduknya saja. sementara 20% kekayaan selebihnya harus dibagi-bagi ke sisanya yang 80% penduduk. Namun kenyataan di Indonesia menyimpang jauh. Menurut ketua MPR, Zulkifli Hasan kesenjangan sosial di Indonesia sangat tinggi sekali. Hal ini terjadi akibat distribusi kekayaan negara yang sangat timpang dan tidak adil di Indonesia. Separuh lebih (85%) kekayaan bangsa Indonesia hanya dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir orang (23 konglomerat) yang masing-masing memiliki perusahaan raksasa di Indonesia.

Sedangkan Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini juga mengungkapkan bahwa jumlah dana yang berputar di Indonesia sekitar 9 triliun. Namun perputaran uang terbesar (85%) hanya dikuasai oleh segelintir orang saja (35 konglomerat) yang masing-masing memiliki perusahaan raksasa di Indonesia.  Terpuruknya ekonomi Indonesia pada  1998 karena hanya bertumpu pada segelintir pengusaha atau konglomerat.

3.   Data Kemiskinan

Kemiskinan di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2007 hingga 2016 ditunjukkan dalam prosentase dari populasi sebagai berikut:  Tahun 2007=16,6% ; 2008=15,4% ; 2009=14,2% ; 2010=13,3% ; 2011=12,5% ; 2012=11,7% ; 2013=11,5% ; 2014=11,0% ; 2015=11,1% ; dan  2016=10,9%.

Data di atas menunjukkan penurunan kemiskinan nasional secara perlahan dan konsisten. Namun beberapa pihak mengkritisi, pemerintah Indonesia menggunakan patokan yang sangat rendah mengenai definisi garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang lebih positif dari kenyataannya.

Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) kurang dari Rp. 325.000,- (atau sekitar USD $25) yang dengan demikian berarti standar hidup sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri.

Namun jika kita menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang mengklasifikasikan penduduk miskin penghasilannya kurang dari USD $37.5 per bulan (setara Rp. 4.900,- ), maka prosentase data di atas akan kelihatan tidak akurat karena nilainya seperti dinaikkan beberapa persen.

Lebih lanjut lagi, menurut Bank Dunia, kalau kita menghitung angka penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari angkanya akan meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan lebih anyar lagi di media di Indonesia menginformasikan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.

4.   Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI)  merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan sebuah negara dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). IPM diperkenalkan oleh Badan Program Pembangunan di bawah PBB (United Nations Development Programme/UNDP) pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development Report (HDR).

Penentuan peringkat IPM dilakukan melalui survei dengan obyek tiga dimensi utama yaitu: Standar Hidup Layak (PDB per kapita), Pendidikan, dan Kesehatan untuk semua negara seluruh dunia.  IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah Negara maju, Negara berkembang atau Negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.

Dalam laporannya, UNDP menempatkan IPM Indonesia masuk kategori sangat rendah di dunia, berada di peringkat 113 dari 188 negara di dunia, dengan nilai sebesar 0,689. Di ASEAN saja Indonesia tertinggal jauh dari Singapura (peringkat 9), Brunai (peringkat 30), dan Malaysia (peringkat 59). Juga masih dibawah Thailand (peringkat 93) dan Filipina (peringkat 98). Dengan peringkat itu Indonesia masih berada dalam kelompok negara menengah, sedangkan negara tetangga Malaysia masuk kategori tinggi.

Bahkan yang memprihatinkan lagi peringkat IPM Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 110 (tahun 2014) turun menjadi peringkat 113 (tahun 2015). Penurunan itu disebabkan antara lain oleh faktor kesenjangan sosial yang tinggi, banyaknya kasus korupsi (Indonesia peringkat 5 negara terkorup di dunia), dan sebagainya.

Catatan Akhir

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan kualitas hidup bangsa Indonesia tergolong sangat rendah, dengan nilai IPM sebesar 0,689 yang berada di peringkat 113 dari 188 negara di dunia (berdasarkan penilaian UNDP).   Sedangkan tingkat ketimpangan kekayaan di Indonesia termasuk paling buruk di dunia, dimana segelintir (1 %) orang terkaya menguasai  separuh (49,3 %) total asset negara. Dan sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan, dengan pendapatan per bulannya (per kapita) kurang dari Rp.798.000 (standar Bank Dunia).

Demikian catatan akhir tentang tingkat kemakmuran bangsa tercinta ini. Ironis, negara dengan sumber kekayaan alam melimpah didukung sumber daya manusia dengan intelektualitas tinggi namun kualitas hidup bangsanya begitu memprihatinkan.  Semoga kita dapat segera meningkatkan pembangunan kualitas hidup masyarakat lebih baik sehingga tercapai kemakmuran bangsa yang didambakan. Amin


&&&&&   


Resume


EMPAT PARAMETER UNTUK MENILAI TINGKAT KEMAKMURAN BANGSA
yaitu: (1) pendapatan perkapita, (2) koefisien gini (3) data kemiskinan, serta (4) indek pembangunan manusia (IPM).

1. Pendapatan Per Kapita.
·         Pendapatan per kapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk selama satu tahun.  
·         Besaran pendapatan per kapita dihitung dengan cara membagi besarnya pendapatan nasional atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dengan jumlah penduduk. 
·         Pendapatan per kapita merupakan ukuran paling sederhana untuk merepresentasikan tingkat kesejahteraan dan tingkat pembangunan sebuah negara. Semakin besar pendapatan per kapitanya, semakin makmur negara tersebut. 
·         BPS : PDB tahun 2016 = Rp 12.406,8 triliun ; Pendapatan per Kapita = Rp 47,96 juta/tahun (senilai US$ 3.605).   Jadi pendapatan rata-rata penduduk Indonesia per bulan di tahun 2016 sebesar Rp 4 juta.
·         International Monetary Fund : Pendapatan perkapita Indonesia per Oktober 2017 sebesar US$ 13.120 jauh berada dibawah Singapura (US$ 93.680), Brunei (US$ 77.700), dan Malaysia (US$ 30.430). Namun sedikit diatas Filipina (US$ 8.780) dan Vietnam (US$ 7.380).

2. Koefisien Gini
·         Koefisien Gini atau Gini Ratio merupakan indeks yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan antara penduduk miskin dan penduk kaya pada sebuah negara.  
·         Gini ratio dikembangkan oleh statistikus Italia, Corrado Gin th. 1912, yg didasarkan pada kurva Lorenz.
·         Besaran angka koefisien gini berkisar antara 0 hingga 1. Angka 0 berarti menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan angka 1 berarti menunjukkan ketimpangan yang sempurna.
·         Di seluruh dunia, angka koefisien kesenjangan pendapatan ini bervariasi dari 0.25 (Denmark) hingga 0.70 (Namibia).
·         BPS per Maret 2016: Indek Gini Ratio di Indonesia = 0,397.
·         Dana bank di Indonesia didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Hampir 98 persen jumlah rekening di bank dimiliki oleh nasabah dengan jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta.
·         Ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia.
·         Secara teori ekonomi, bahwa 80% kekayaan di seluruh negeri hanya dikuasai oleh tak lebih dari 20% penduduknya saja.
·         Ketua MPR, Zulkifli Hasan : Kesenjangan sosial di Indonesia sangat tinggi sekali. Separuh lebih (85%) kekayaan bangsa Indonesia hanya dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir orang (23 konglomerat) yang masing-masing memiliki perusahaan raksasa di Indonesia.
·         Helmy Faishal Zaini : Jjumlah dana yang berputar di Indonesia sekitar 9 triliun. Namun perputaran uang terbesar (85%) hanya dikuasai oleh segelintir orang saja (35 konglomerat) yang masing-masing memiliki perusahaan raksasa di Indonesia.

3. Data Kemiskinan
·         BPS : Sejak 2007 sd 2016, data statistic penurunan angka lemiskinan.
·         Pemerintah mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) kurang dari Rp. 325.000,- (atau sekitar USD $25) = standar hidup sangat rendah.
·         Standar Bank Dunia, penduduk miskin penghasilannya kurang dari USD $2 per hari ($60 perbulan = Rp. 900 ribu per bulan.
·         Sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.

4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
·         Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan sebuah negara dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk).
·         Tiga dimensi utama IPM: Standar Hidup Layak (PDB per kapita), Pendidikan, dan Kesehatan.  
·         IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah Negara maju, Negara berkembang atau Negara terbelakang
·         UNDP menempatkan IPM Indonesia masuk kategori sangat rendah di dunia, berada di peringkat 113 dari 188 negara di dunia.
·         Dengan peringkat itu Indonesia masih berada dalam kelompok negara menengah, sedangkan negara tetangga Malaysia masuk kategori tinggi.
·         Bahkan yang memprihatinkan lagi peringkat IPM Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 110 (tahun 2014) turun menjadi peringkat 113 (tahun 2015).


&&&&&


Diktuip dari Forbes, Jumat (14/12/2018), ada 50 orang sebagai pemilik harta terbanyak di Indonesia. Berikut daftar 50 besar orang terkaya di Indonesia:

1. Budi dan Michael Hartono: US$ 35 miliar setara Rp 507,5 triliun
2. Susilo Wonowidjoyo: US$ 9,2 miliar setara Rp 133,4 triliun
3. Eka Tjipta Widjaja: US$ 8,6 miliar setara Rp 124,7 triliun
4. Sri Prakash Lohia: US$ 7,5 miliar setara Rp 108,75 triliun
5. Anthoni Salim: US$ 5,3 miliar setara Rp 98,05 triliun
6. Tahir: US$ 4,5 miliar setara Rp 65,2 triliun
7. Chairul Tanjung: US$ 3,5 miliar setara Rp 50,75 triliun
8. Boenjamin Setiawan: US$ 3,2 miliar setara Rp 46,4 triliun
9. Jogi Hendra Atmadja: US$ 3,1 miliar setara Rp 44,9 triliun
10. Prajogo Pangestu: US$ 3 miliar setara Rp 43,5 triliun
11. Low Tuck Kwong: US$ 2,5 miliar setara Rp 36,25 triliun
12. Mochtar Riady: US$ 2,3 miliar setara Rp 33,35 triliun
13. Putera Sampoerna: US$ 1,75 miliar setara Rp 25,4 triliun
14. Peter Sondakh: US$ 1,7 miliar setara 24,65 triliun
15. Martua Sitorus: US$ 1,69 miliar setara Rp 24,5 triliun
16. Garibaldi Thohir: US$ 1,67 miliar setara Rp 24,2 triliun
17. Theodore Rachmat: US$ 1,6 miliar setara 23,2 triliun
18. Kuncoro Wibowo: US$ 1,58 miliar setara Rp 22,9 triliun
19. Alexander Tedja: US$ 1,5 miliar setara Rp 21,75 triliun
20. Husain Djojonegoro: US$ 1,46 miliar setara Rp 21,2 triliun

21. Bachtiar Karim: US$ 1,45 miliar setara Rp 21,03 triliun
22. Murdaya Poo: US$ 1,4 miliar setara Rp 20,3 triliun
23. Eddy Katuari: US$ 1,35 miliar setara Rp 19,6 triliun


24. Djoko Susanto: US$ 1,33 miliar setara Rp 19,3 triliun
25. Sukanto Tanoto: US$ 1,3 miliar setara Rp 18,85 triliun
26. Eddy Kusnadi Sariaatmadja: US$ 1,29 miliar setara Rp 18,71 triliun
27. Ciputra: US$ 1,2 miliar setara Rp 17,4 triliun
28. Ciliandra Fangiono: US$ 1,19 miliar setara Rp 17,26 triliun
29. Husodo Angkosubroto: US$ 1,15 miliar setara Rp 16,68 triliun
30. Harjo Sutanto: US$ 1,1 miliar setara Rp 15,95 triliun
31. Hary Tanoesoedibjo: US$ 980 juta setara Rp 14,21 triliun
32. Sudhamek: US$ 920 juta setara Rp 13,34 triliun
33. Lim Hariyanto Wijaya Sarwono: US$ 910 juta setara Rp 13,2 triliun
34. Osbert Lyman: US$ 900 juta setara Rp 13,1 triliun
35. Hashim Djojohadikusumo: US$ 850 juta setara Rp 12,33 triliun


36. Sjamsul Nursalim: US$ 810 juta setara Rp 11,75 triliun
37. Kusnan dan Rusdi Kirana: US$ 800 juta setara Rp 11,6 triliun
38. Danny Nugroho: US$ 790 juta setara Rp 11,46 triliun
39. Soegiarto Adikoesoemo: US$ 780 juta setara Rp 11,31 triliun
40. Aksa Mahmud: US$ 775 juta setara Rp 11,24 triliun
41. Irwan Hidayat: US$ 750 juta setara Rp 10,88 triliun
42. Achmad Hamami: US$ 725 juta setara Rp 10,5 triliun
43. Tjokrosaputro Benny: US$ 670 juta setara Rp 9,7 triliun
44. Arini Subianto: US$ 665 juta setara Rp 9,64 triliun
45. Edwin Soeryadjaya: US$ 660 juta setara Rp 9,57 triliun
46. Arifin Panigoro: US$ 655 juta setara Rp 9,5 triliun
47. Sabana Prawirawijaya: US$ 640 juta setara Rp 9,28 triliun
48. Kardja Rahardjo: US$ 625 juta setara Rp 9,06 triliun
49. Kartini Muljadi: US$ 610 juta setara Rp 8,85 triliun
50. Abdul Rasyid: US$ 600 juta setara Rp 8,7 triliun


Tidak ada komentar:

Posting Komentar