Rabu, 14 Februari 2018

Imam Ghazali tentang Pemimpin Kafir yang Adil

Tulisan ini dipicu oleh sejumlah reaksi negatif terhadap pernyataan "Lebih baik Pemimpin Kafir yang Adil ketimbang Pemimpin muslim yang zalim." Ada yang marah dan menganggap pernyataan itu menghina Islam. Enak aja bilang nggak ada pemimpin muslim yang adil, kata yang tersinggung. Menurut saya yang tersinggung dengan pernyataan itu dasarnya salah dalam penyimpulan. Akan saya uraikan nanti. Ada yang menolak pernyataan tersebut, karena yakin keadilan tak mungkin bisa muncul dari kekafiran. Orang beriman pasti adil, kafir pasti tak adil. Dan bukan hanya itu. Menurut mereka, ungkapan "pemimpin kafir yang adil lebih baik dari muslim yang zalim" itu dari... SYIAH. 

Bahkan menyebut ungkapan itu sebagai "racun Syiah". Tapi klaim tersebut lebih mencerminkan kebenciannya terhadap Syiah ketimbang kesimpulan ilmiah. Prasangka mendahului analisa. Taruhlah teks juga disebut-sebut oleh ulama Syiah, itu tidak lantas bisa disimpulkan Syiah biangkeroknya. Kenapa? Karena ungkapan yang kurang lebih sama ada juga di kitab-kitab sunni, seperti karya Ghazali. Bagaimana persoalan ini dirumuskan Ghazali dalam kitabnya Al-Tibrul Al-Masbuk fi Nasihatil Muluk? Al-Tibru al-Masbuk Ghazali berisi pedoman politik untuk penguasa/raja. 

Mirip Il Principe Machiavelli, tapi fokusnya lebih ke etika politik. Di situ Ghzali membahas tentang bagaimana agar suatu negara/kesultanan bisa tegak dan langgeng. Menurutnya, kata kuncinya satu: keadilan. Yang menarik, Ghazali banyak merujuk pada sosok Anushirwan, kaisar terakhir Imperium Sassanid (Persia kuno) sebagai model penguasa adil. Kenapa menarik? Anushirwan bukan penguasa muslim, tapi kafir. Jadi Penguasa kafir dijadikan model oleh Ghazali sebagai teladan raja yang adil. 
Dan Al-Ghazali menyitir sekurangya 3 hadits untuk mendukung pandangannya yang menempatkan penguasa kafir yang adil sebagai teladan. 

 Pertama hadits: Al mulku yabqa ma'al kufri, wa la yabqa ma'a al-zhulm. Arti hadits di atas: negara/kerajaan bisa bertahan langgeng dengan kekufuran, tapi tak bisa langgeng dengan kezaliman. Poin hadits tersebut: kriteria tegaknya suatu tatatan politik bukanlah iman atau kafir, melainkan adil atau zalim. Hadits kedua yang dirujuk Ghazali terkait Kaisar Anushirwan adalah ini. 

Hadits kedua: Nabi merasa bangga (iftakhara) karena masih "menangi" hidupnya Kaisar Persia yang terkenal adil tersebut, meski hanya dua tahun. Jadi dua tahun setelah Nabi lahir, Anushirwan wafat. Bangganya Nabi tersebut membuktikan Nabi mengakui keadilan Kaisar yang kafir tersebut. Sebelum mengutip hadits kedua, Ghazali bercerita, Sassanid yang beragama Majusi bisa langgeng ribuan tahun karena keadilan penguasa-penguasanya. Ghazali bertutur bagaimana keadilan penguasa Sassanid diwujudkan dalam dunia nyata, dirasakan rakyatnya, yang menjadikannya masyhur. 

Hadits ketiga yang dikutip Ghazali terkait Anushirwan adalah ini. Bunyi haditsnya: Ta'assaftu 'ala mauti arba'atin minal kuffar: 'ala mauti Anushirwan li 'adlihi, wa Hatim Al-Tha'i li sakha'ihi wa Umru'il Qays li syi'rihi, wa Abi Talib li birrihi. Kata Nabi: Saya berduka atas meninggalnya 4 orang kafir ini: Anushirwan karena adilnya, Hatim Al-Tha'i karena dermawannya, Umru'ul Qays karena puisi-puisinya, dan Abu Tahlib karena kebaikannya. 

Selain 3 hadits Nabi tersebut, Ghazali dalam uraiannya tentang keadilan sebagai pilar tatanan politik juga banyak menyitir kisah-kisah dan quote filsuf. Misalnya kisah-kisah tentang keadilan khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz, dan quote dari Socrates dan Aristoteles. Ghazali gonta ganti menuturkan kisah penguasa-penguasa muslim yang adil dan penguasa non muslim yang juga terkenal adil. Tak dibeda-bedakan. Kesimpulan yang bisa ditarik dari kitab Al-Tibru al-Masbuk: suksesnya tatanan politik ditentukan oleh keadilan penguasa, bukan imannya. Karena iman itu urusan si penguasa dengan Tuhan. 

 Sedang keadilan/kezalimannya yang langsung mengena pada rakyat. Selain itu, Anushirwan dijadikan sebagai model penguasa adil oleh Ghazali. Baginya, tak ada hubungan niscaya antara iman dan keadilan. Kepercayaan bahwa keadilan hanya bisa lahir dari iman, dan orang beriman tak mungkin tak adil justru berlawanan dengan fakta sejarah. Sejarah menunjukkan, pemimpin kafir banyak yang zalim, tapi banyak juga yang adil. Pemimpin Islam banyak yang adil, tapi banyak juga yang zalim. Pandangan bahwa keadilan yang jadi tolok ukur negara tidak khas Gazali. Nizamul Muluk dalam Siyasatnama juga berpendapat sama. Kedua-duanya sunni. 

Kalau dikaitkan dengan peristiwa sejarah yang dikutip untuk mendukung bahwa teks tersebut berasal dari Syiah, Ghazali dan Nizamul Muluk hidup seabad sebelum Bahdad jatuh. Taruhlah dialog Hulagu Khan dan Ulama Syiah yang dikutip itu bener-bener ada, itu terjadi seabad setelah Ghazali dan Nizamul Muluk. Jadi menurutku, melarikan ke Sunni- Syiah untuk tema ini ya terlalu mengada-ada, maksain. Apalagi sampai bilang itu sebagai "racun Syiah." Ungkapan "penguasa kafir yang adil lebih baik dari penguasa muslim yang zalim" itu bukannya menghina Islam, tapi menegaskan satu hal: Bahwa yang perlu dilihat dalam soal kepemimpinan dan pengaturan politik adalah apakah penguasanya adil atau zalim, bukan muslim atau kafir. 

Pandangan semacam inilah yang juga pernah ditegaskan KH. Sahal Mahfudz dalam tulisannya yang dimuat di buku Islam Nusantara. kata Mbah Sahal, muara utama syariah dalam soal di luar ranah ibadah, yakni sosial dan politik, adalah keadilan. Ya, KEADILAN. Tentang keadilan, Mbah Sahal mengutip Ibnu Taimiyyah dan Sayyidina 'Ali. 'Ali: negara bisa berdiri tegak dengan keadilan meski di bawah pemerintah kafir, dan hancur oleh kezaliman, meski pemerintahnya Islam. , Ibnu Taimiyyah: Allah akan menegakkan negara yang adil meski (negara) kafir), dan menghancurkan negara yang zalim meski (negara) muslim. Dengan perspektif 'Ali, Ghazali, Ibnu Taimiyyah itu kita memaknai "pemimpin kafir yang adil lebih baik dari pemimpin Islam yang zalim. Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar