Pertanyaan
:
Asslammu'alaikum
Warahmatullah Wabarakatuh
Alhamdulillah,
saya menanyakan tentang Hukum Hijab seorang Wanitah apakah hukum menutup aurat
bagi perempuan ini termasuk khilafiah, seperti yang difatwakan oleh seorang
ulama kita ini, Prof. DR. Quraisy Syihab.
Dikarenakan
tidak adanya dalil yang secara tegas dan ekplisit tentang batasan aurat seorang
wanita, apakah Quraish Shihab itu hanya mengadopsi satu pendapat saja Muhammad
Said al-'Asymawi yang ganjil, aneh dan Naif.
Prof.
Quraish Shihab mengatakan bahwa penarikan batasan aurat wanita pada masa yang
lalu itu sesuai dengan konteks zaman tersebut dan tidak menjadi Relafan untuk
di zaman sekarang.
Pendapat
ulama satu ini semakin aneh, terbukti dari salah satu putri beliau tidak
menggunakan hijab.
Yang
saya tanyakan bagaimana kami sebagai orang awam ini menyikapai fatwa ulama yang
'nyeleneh' ini. Karena ulama sekelas Prof. Quraish Shihab ini sangat
berpengaruh di masyarakat kita? Apakah ini yang disebut liberal, plural,
sekuler?
Mohon
penjelasannya, sebelumnya terimakasih
Wassalammu'alaikum
Warahmatullah Wabarakatuh
Jawaban
:
Assalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ada
hal yang perlu kita pahami, bahwa sesungguhnya Dr. Quraish Shihab itu bukan
anti jilbab. Sebenarnya beliau sangat mendukung penggunaan jilbab, bahkan
menurut pengakuan beliau, ke luarganya pun tetap dianjurkannya untuk berjilbab.
Bahkan,
dalam buku Wawasan Al-Quran, Quraish Shihab sendiri sudah mengungkapkan, bahwa
para ulama besar, seperti Said bin Jubair, Atha, dan al-Auza’iy berpendapat
bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana
yang dipakainya. (hal. 175-176).
Namun
dalam kapasitas sebagai ilmuwan di bidang tafsir, beliau hanya ingin mengatakan
bahwa sepanjang yang dia ketahui, pemakaian jilbab adalah masalah khilafiah.
Tidak semua ulama mewajibkan pemakaian jilbab.
Menanggapi
ungkapan beliau itu, kita katakan memang benar bahwa ada khilafiyah di kalangan
ulama. Namun oleh Quraisy, khilaf ini diperluas lagi sampai ke luar dari garis
batasnya. Padahal para ulama justru tidak sampai ke sana.
Yang
diperselisihkan oleh para ulama sebatas apakah cadar itu wajib atau tidak.
Maksudnya, apakah wajah seorang wanita bagian dari aurat atau bukan. Juga
apakah tapak kaki merupakan aurat atau bukan.
Namun
semua ulama salaf dan khalaf sepakat bahwa kepala, termasuk rambut, telinga,
leher, pundak, tengkuk, bahu dan seputarnya adalah aurat wanita yang haram
terlihat.
Sayangnya
oleh Quraisy diperluas lagi sampai beliau mengatakan bahwa kepala bukan aurat.
Jadi wanita tidak memakai kerudung atau jilbab dianggapnya tidak berdosa.
Sedangkan
istilah jibab sendiri memang masih menjadi perselisihan di antara ulama.
Ungkapan ini memang benar. Sebab ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa
jilbab itu pakaian gamis panjang yang lebar, berwarna gelap dan menutupi
seluruh tubuh wanita, tanpa kecuali. Wajah dan tangan pun tertutup.
Namun
oleh sebagian ulama lain, yang dimaksud dengan jilbab adalah pakaian yang masih
terlihat wajah dan kedua tapak tangan.
Di
situlah titik perbedaan pengertian tentang jilbab. Seharusnya Dr. Quraish
Shihab tidak kelewatan ketika mengatakan bahwa wanita tidak dilarang terbuka
kepalanya, karena dianggap bukan aurat. Sebab tidak ada ulama salaf dan khalaf
yang mengatakan demikian.
Asal
Muasal Pemikiran
Dari
manakah Dr. Quraisy Syihab mendapatkan pemikiran seperti ini?
Tentunya
bukan dari para hali fiqih salaf semacam Asy-Syafi'i dan lainnya. Sebab para
ulama fiqih di zaman salaf tidak ada yang berpendapat demikian. Pendapat
seperti itu cukup aneh memang.
Di
zaman sekarang ini, terutama setelah Mesir dijajah Perancis bertahun-tahun,
banyak muncul para sekuleris dan liberalis. Dan kentara sekali bahwa Quraish
banyak merujuk kepada pemikiran seorang pemikir liberal Mesir yaitu Muhammad
Asymawi.Dalam buku-bukunya, pemikiran liberal inilah yang selalu diangkat oleh
beliau. Dan pemikirannya lalu di-copy-paste begitu saja.
Mengapa
hal seperti ini bisa terjadi?
Kalau
kita melihat latar belakang pendidikan dan disiplin ilmunya, sebenarnya beliau
bukan lulusan dari fakultas syariah. Jenjang S-1 dan S-2 beliau dari fakultas
ushuluddin jurusan tafsir hadits. Jenjang S-3 beliau di bidang ilmu-ilmu
Al-Quran. Meski banyak bicara tentang Al-Quran, namun spesialisasi beliau bukan
ilmu fiqih. Bahkan buku tulisan beliau pun tidak ada yang khusus tentang fiqih.
Buku yang beliau tulis antara lain Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan
Kelemahannya, Filsafat Hukum Islam, Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat
Al-Fatihah) dan Membumikan Al-Qur'an danTafsir Al-Mishbah.
Padahal
kajian tentang batasan aurat wanita itu seharusnya lahir dari profesor di
bidang ilmu fiqih. Di dalam istimtabh hukum fiqih, sebenarnya ada terdapat ilmu
hadits, ilmu ushul fiqih dan tentunya ilmu fiqih itu sendiri.
Barangkali
hal ini salah satu sebab mengapa dalam tataran hukum fiqih, beliau agak gamang.
Karena latar belakang pendidikan dan disiplin ilmu beliau memang bukan dalam
kajian fiqih, tetapi tafsir.
Karena
itu pandangan para ulama besar fiqih dari 4 mazhab pun luput dalam kajian
beliau. Justru pemikiran liberalis malah lebih banyak muncul.
Kalau
kita konfrontir dengan para profesor dan doktor ahli ilmu fiqih di negeri kita,
misalnya Dr. Khuzaemah T. Yanggo yang sama-sama berasal dari Sulawesi dan
lulusan fakultas Syariah Al-Azhar Mesir, maka pendapat seperti ini tidak benar.
Menurut Dr. Khuzaemah, batas aurat wanita tetap seperti yang kita pahami selama
ini, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua tapak tangan.
Demikian
juga kalau kita lihat pendapat doktor syariah lainnya, seperti Dr. Anwar
Ibrahim Nasution, atau Dr. Eli Maliki, yang kesemuanya lulusan fakultas Syariah
Al-Azhar Mesir, maka pendapat Quraisy ini dianggap telah menyalahi syariat
Islam yang sesungguhnya. Bagi para doktor syariah itu, batas aurat wanita telah
disepakati oleh seluruh ulama syariah, yaitu seluruh tubuhnya kecuali wajah dan
kedua tapak tangan.
Apalagi
kalau kita kaitkan dengan Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, yang tentunya jauh
lebih senior lebih tinggi ilmunya dari Dr. Quraisy. Beliau telah menyatakan
bahwa di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah ‘aurat wanita
yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS
24:31), para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan
“telapak tangan”.
Dan
kalau kita merujuk lebih jauh lagi, kepada ulama besar di masa lalu, katakanlah
misalnya Al-Imam Nawawi, maka kita dapati dalam kitab al-Majmu’ syarah
Al-Muhazzab, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan
telapak tangannya.
Kita
tetap hormat dan santun kepada pribadi Dr. Quraisy, namun khusus pendapatnya
tentang tidak wajibnya wanita memakai penutup kepala dan batasan auratnya, kita
tidak sepaham. Sebab pendapat beliau itu menyendiri, tidak dilandasi oleh
hujjah yang qath'i, terlalu mengada-ada dan boros asumsi.
Semoga
suatu saat beliau menarik kembali pendapatnya.
Wallahu
a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad
Sarwat, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar