Orang liberal
yang mengaku-ngaku sebagai muslim terus berusaha terus merusakan syariat dari
dalam. Kali ini mereka berusaha “menghalalkan zina” dengan memakai konsep
“milkul yamin”. Bisa jadi orang awam terpengaruh karena ada istilah-istilah
Arab yang terkesan ilmiah. Begitu juga dengan istilah “non-marital” (tidak
menikah) yang dipakai agar terkesan ilmiah.
Sebenarnya
bukan hanya saat ini saja pemikiran seperti ini muncul. Pemikiran liberal ini
muncul sejak lama dan selalu menghadirkan orang baru dan gaya baru untuk
mengusungnya. Sejak dahulu mereka umumnya memakai dua “pemikiran” untuk
menghalalkan zina yaitu bolehnya berhubungan badan di luar pernikahan
1. “Milkul yamin” (Tuan
boleh menggauli budak perempuannya)
Membolehkan
berhubungan badan di luar nikah tidak bisa dikiaskan dengan budak. Mereka
mengkiaskan bolehnya seseorang mengauli patnernya/pacarnya dengan budak, tentu
tidak tepat. Orang yang merdeka tentu berbeda dengan budak. Terdapat hikmah
besar mengapa seorang tuan boleh menggauli budak perempuannya di antaranya
tuannya akan lebih memperhatikan dan memberikan kasih sayang kepada budaknya.
Apabila budak perempuan itu hamil, budak tersebut akan melahirkan anak tuannya
yang status anaknya merdeka dan mengangkat derajat sang ibu, lalu status budak
perempuan menjadi “ummu walad” yang akan merdeka apabila tuannya telah
meninggal. Masih banyak hikmah lainnya di balik syariat Allah ini.
2. Konsep mut’ah (boleh berhubungan
badan suami istri dalam jangka waktu sesuai perjanjian, misalnya sehari,
sepekan, sebulan, setahun. Setelah jangka waktu itu, maka mereka berpisah.
Konsep ini disebut juga “nikah mut’ah”)
Memakai dalil
ini untuk membolehkan berhubungan badan di luar nikah juga tidak tepat, karena
konsep nikah mut’ah sempat diperbolehkan di awal-awal Islam kemudian syariat
ini di hapus (mansukh).
Berikut penjelasan lebih
rinci bahwa pemikiran di atas tidak tepat
1. Milkul yamin (Tuan boleh menggauli budak perempuannya)
Membolehkan
berhubungan badan di luar nikah tidak bisa dikiaskan dengan budak. Mereka
mengkiaskan bolehnya seseorang mengauli patnernya/pacarnya dengan budak, tentu
tidak tepat.
Penyebutan
“milkul Yamin” terdapat dalam beberapa ayat Al-Quran, Salah satunya di mana
Allah berfirman,
“Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
terceIa.” (QS Al-Mukminun: 5-6)
Syaikh
As-Sa’di menjelaskan maksud “milkul yamin” yaitu budak perempuan, beliau
berkata:
“Yaitu budak perempuan yang ia miliki.” [Lihat
Tafsir As-Sa’diy]
Orang liberal
menafsirkan sendiri ayat ini dengan asal-asalnya serta membolehkannya
berhubungan badan di luar nikah (membolehkan berzina), padahal tasfir ayat ini
justru TIDAK membolehkan berzina.
Al-Qurthubi berkata menjelaskan tafsir ayat ini:
“Hal ini
berkonsekuensi haramnya zina, demikian juga haramnya onani/masturbasi dan nikah
mut’ah.” [Lihat Tafsir Al-Qurthubi]
2. Konsep mut’ah
Memakai dalil
ini untuk membolehkan berhubungan badan di luar nikah juga tidak tepat, karena
konsep nikah mut’ah sempat diperbolehkan di awal-awal Islam kemudian syariat
ini di hapus (mansukh).
Terdapat
beberapa dalil yang menyebutkan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan hingga hari
kiamat. Dari Rabi` bin Sabrah,
dari ayahnya, bahwasanya ia bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu beliau bersabda:
“Wahai,
sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah
dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya
hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka , maka
biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.[HR. Muslim]
Beliau juga berkata,
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mut’ah pada masa
penaklukan kota Mekkah, ketika kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya atas kami”. [HR. Muslim]
Al-Qadhi
Iyadh menjelaskan bahwa larangan nikah mut’ah adalah Ijma’ ulama. Beliau
berkata,
“Di awal-awal
Islam nikah mut’ah hukumnya boleh, kemudian terdapat nash yang menghapusnya
sebagaimana terdapat dalam beberapa hadits dalam kitab ini dan telah ada ijma’
larangan hal ini.” [Ikmalul Mu’allim 4/275]
Sebagai penutup, kami ajak merenung dan berpikir bagi mereka yang membolehkan berhubungan badan di luar pernikahan (memperbolehkan berzina). Apakah mereka punya anak perempuan atau punya saudara perempuan? Relahkan anak perempuan dan saudara perempuan mereka dizinahi dan di luar status pernikahan? Tentu tidak kan. Perhatikan hadits berikut:
Sebagai penutup, kami ajak merenung dan berpikir bagi mereka yang membolehkan berhubungan badan di luar pernikahan (memperbolehkan berzina). Apakah mereka punya anak perempuan atau punya saudara perempuan? Relahkan anak perempuan dan saudara perempuan mereka dizinahi dan di luar status pernikahan? Tentu tidak kan. Perhatikan hadits berikut:
Abu Umamah
Radhiyallahu anhu bercerita, “Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan
aku berzina!”.
Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, merekaberkata, “Diam kamu, diam!”.
Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, merekaberkata, “Diam kamu, diam!”.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mendekatlah”. Pemuda tadi mendekati
beliau dan duduk.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?”.
“Tidak demi Allah, wahai Rasul” sahut pemuda tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?”.
“Tidak demi Allah, wahai Rasul” sahut pemuda tersebut.
“Begitu pula orang lain tidak
rela kalau ibu mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika putri mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika putri mereka dizinai”.
“Relakah
engkau jika saudari kandungmu dizinai?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai”.
“Relakah
engkau jika bibi (dari jalur bapakmu) dizinai?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.
“Relakah
engkau jika bibi (dari jalur ibumu) dizinai?”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.
Lalu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda
tersebut sembari berkata, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah
hatinya dan jagalah kemaluannya”.
Setelah kejadian tersebut,
pemuda itu TIDAK PERNAH lagi tertarik untuk berbuat zina”. [HR. Ahmad, shahih,
Ash-Shahihah I/713 no. 370]
Demikian
semoga bermanfaat
@ Lombok,
Pulau Seribu Masjid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar