Kamis, 05 September 2019

Tasawuf di Kalangan Muhammadiyah


Di kalangan umat Islam di Indonesia masih sering timbul pertanyaan, apakah warga Muhammadiyah mengamalkan tasawuf? Pertanyaan itu timbul karena istilah tasawuf dalam Persyarikatan muhammadiyah kurang populer. Demikian juga tariqat, Muhammadiyah secara organisatoris tidak mempunyai afiliasi dengan tariqat mana pun.

Persyarikatan bisa juga dikatakan sebagai tariqat, dalam arti sebagai satu organisasi yang mempunyai cara tertentu dalam memahami ajaran Islam.

Persyarikatan sering disoroti orang luar sebagai organisasi Islam yang "kering spiritual''. Ada anggapan dari orang luar, Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang berbasis masyarakat kota lebih menyukai cara-cara beribadah yang praktis-praktis saja atau seolah-olah mencari yang ringan-ringan saja.

Misalnya dikatakan, sehabis salat fardu tidak diikuti dengan wirid atau zikir panjang, melainkan hanya doa pendek dengan suara lirih. Salat tarawih mencukupkan delapan rakaat ditambah tiga rakaat witir.  Tidak ada kebiasaan istighotsah dan mujahadah secara massal dan lain-lain.

Kenyataannya tidak sebagaimana anggapan tersebut, sebab Muhammadiyah bukan mencari yang praktis-praktis atau yang ringan-ringan saja, melainkan semata-mata ingin melaksanakan amal ibadah yang mempunyai landasan hukum agama yang kuat sesuai dengan tuntunan Rasul.

Misalnya mengenai wirid setelah salat fardu dan salat tarawih, ingin meniru apa yang dulu diamalkan oleh Rasulullah. Mengenai pendalaman amalan spiritual, juga ingin mengamalkan apa yang dulu dicontohkan Rasulullah. Misalnya dengan mengamalkan ibadah-ibadah sunah seperti salat tahajud, puasa sunah, salat sunah rawatib, membaca doa dan wirid, iktikaf di masjid, tadarus Alquran, memiliki al-akhlaqul karimah, dan lain-lain.

Istighotsah di kalangan warga Muhammadiyah dilakukan secara individual. Jadi, pengamalan ibadah di kalangan umat Islam di Indonesia itu lebih banyak kesamaannya. Bila terdapat perbedaan dalam cara pelaksanaannya, itu karena perbedaan cara pemahaman dari tiap-tiap golongan.

Spiritual Islami

Aktualisasi spiritualitas Islam ialah upaya mewujudkan kehidupan islami, dengan menekankan pada penyempurnaan pengamalan ibadah, kesucian rohani, dan kesalihan moral atau al-akhlaqul karimah.

Di kalangan warga Muhammadiyah terdapat orang-orang yang dalam mengapresiasi makna ibadah dan zikir sebagai didefinisikan dalam buku Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, bukan pada ritual formal seperti duduk di masjid sambil memutar-mutar tasbih, melainkan lebih menekankan gerak amal saleh dalam bentuk kiprah kreatif dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat.

Pemahaman seperti itu kemudian termanifestasikan dalam bentuk kekurangakraban dengan wirid-wirid, zikir, dan tahlil secara verbal (qauli), dan lebih mengutamakan zikir qalbi dan fi'li (operasional) sehingga orang luar memandang mereka kering spiritual.

Karena itu, persyarikatan perlu memberikan penjelasan kepada orang luar tentang pemahaman Muhammadiyah mengenai spiritualitas islami untuk menghilangkan kesalahpahaman orang luar terhadap Muhammadiyah.

Di samping itu, persyarikatan perlu mengimbau semua warganya agar meningkatkan pengamalan spiritualitas islami dalam rangka pengukuhan akidah, penyempurnaan ibadah, dan keluhuran akhlak.

Aktualisasi spiritualitas islami itu juga berbarengan dengan kehendak mengembangkan pemikiran tajdid (pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam). Hal itu dimaksudkan agar segala amalan ibadah dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan petunjuk Alquran dan hadis, bebas dari syirik, bid'ah, khurafat, dan takhayul.

Tasawuf Modern

Meskipun PP Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih belum pernah membahas secara khusus tentang ajaran tasawuf, seorang tokoh yang namanya cukup terkenal, Prof Dr Hamka, telah memperkenalkan istilah tasawuf modern untuk memberikan nama pada ajaran tasawuf yang menurutnya sesuai dengan paham Muhammadiyah. Dia menulis beberapa buku tentang tasawuf, di antaranya berjudul Tasawuf Modern.

Para pemuka Muhammadiyah yang lain pada umumnya menekankan, semua warga suka menjalankan ibadah-ibadah sunah, di samping ibadah wajib, dan memiliki akhlaqul karimah. Istilah akhlaqul karimah ini mencakup serangkaian sifat-sifat utama seperti: taqwa, zuhud, sabar, faqr, qana'ah, tawakal, ikhlas, syukur, rida, wara', tawadhu', raja', tobat, dan lain-lain sebagaimana dicontohkan Rasulullah.

Jadi, mereka tidak menggunakan istilah tasawuf tetapi menganjurkan warganya memiliki sifat-sifat utama sebagaimana yang didambakan para penganut tasawuf.

Menurut Hamka, istilah tasawuf modern adalah tasawuf murni yang relevan untuk diterapkan pada zaman modern. Orang yang menjalankan tasawuf murni mestilah memegang teguh akidah yang benar (tauhid yang bersih), melaksanakan ibadah dengan tekun, menghiasi dirinya dengan al-akhlaqul karimah, serta melakukan pergaulan dalam kehidupan sosial sehari-hari sesuai dengan Alquran dan hadis.
Ia tidak tenggelam dalam khalwat atau menjauhi kehidupan duniawi, tapi bergaul secara wajar dalam kehidupan sosial.

Akhlak dan Tasawuf

Ajaran Islam meliputi tiga bagian pokok, yaitu akidah (kepercayaan atau keimanan), syariah (hukum-hukum agama, meliputi ibadah dan muamalah), dan akhlak (moral atau budi pekerti). Atau, tiga bagian pokok itu ialah iman, Islam, dan ikhsan.

Iman adalah sebagaimana tercermin dalam rukun iman yang enam. Islam adalah sebagaimana yang kita kenal dengan rukun Islam yang lima. Ikhsan adalah sikap batin, kita merasa selalu dalam pengawasan Allah, sehingga kita harus berbuat sebaik-baiknya.

Istilah tasawuf belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW. Istilah tersebut baru dikenal pada abad ke-2 Hijriah, dengan kemunculan seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi yang digelari sebagai seorang sufi.

Maka sebelum abad ke-2 H itu umat Islam belum mengenal klasifikasi ajaran Islam, Islam yang bernama tasawuf. Mereka merasa sudah puas dan tenang hatinya jika sudah dapat mengamalkan akidah, syariah, dan akhlak; atau mengamalkan iman, Islam, dan ihsan. Sedangkan cita-cita tertinggi sesuai dengan ajaran Alquran dan hadis adalah menjadi orang yang bertakwa.

Sepeninggal Rasulullah, sahabat, dan tabiin, terdapat ulama yang mengembangkan ikhsan lebih lanjut melalui ajaran tasawuf. Jadi, baik tasawuf maupun al-akhlaqul karimah berinduk pada ihsan.

KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pada masa hayatnya sangat menganjurkan segenap warga untuk mengamalkan al-akhlaqul karimah. Di antara sifat-sifatnya yang menonjol ialah zuhud, yakni tidak tergila-gila atau serakah untuk mengejar harta, bahkan harta beliau banyak dikorbankan untuk membaiayai kegiatan amal usaha Persyarikatan, seperti lembaga pendidikan, kesehatan, penyantunan fakir miskin, dakwah, dan lain-lain.

Dengan demikian KH Ahmad Dahlan telah berhasil menjelmakan spirit (roh) dan nilai-nilai substansial tasawuf menjadi etos kerja warga Muhammadiyah dalam melaksanakan kegiatan sosial keagamaan. (18c)

Oleh Drs H Ibnu Djarir, Wakil Ketua Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar