Di kalangan umat Islam di Indonesia
masih sering timbul pertanyaan, apakah warga Muhammadiyah mengamalkan tasawuf?
Pertanyaan itu timbul karena istilah tasawuf dalam Persyarikatan muhammadiyah
kurang populer. Demikian juga tariqat, Muhammadiyah secara organisatoris tidak
mempunyai afiliasi dengan tariqat mana pun.
Persyarikatan bisa juga dikatakan
sebagai tariqat, dalam arti sebagai satu organisasi yang mempunyai cara
tertentu dalam memahami ajaran Islam.
Persyarikatan sering disoroti orang
luar sebagai organisasi Islam yang "kering spiritual''. Ada anggapan dari
orang luar, Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang berbasis masyarakat kota
lebih menyukai cara-cara beribadah yang praktis-praktis saja atau seolah-olah
mencari yang ringan-ringan saja.
Misalnya dikatakan, sehabis salat fardu
tidak diikuti dengan wirid atau zikir panjang, melainkan hanya doa pendek
dengan suara lirih. Salat tarawih mencukupkan delapan rakaat ditambah tiga
rakaat witir. Tidak ada kebiasaan
istighotsah dan mujahadah secara massal dan lain-lain.
Kenyataannya tidak sebagaimana
anggapan tersebut, sebab Muhammadiyah bukan mencari yang praktis-praktis atau
yang ringan-ringan saja, melainkan semata-mata ingin melaksanakan amal ibadah
yang mempunyai landasan hukum agama yang kuat
sesuai dengan tuntunan Rasul.
Misalnya mengenai wirid setelah salat
fardu dan salat tarawih, ingin meniru apa yang dulu diamalkan oleh Rasulullah.
Mengenai pendalaman amalan spiritual, juga ingin mengamalkan apa yang dulu
dicontohkan Rasulullah. Misalnya dengan mengamalkan ibadah-ibadah sunah seperti
salat tahajud, puasa sunah, salat sunah rawatib, membaca doa dan wirid, iktikaf
di masjid, tadarus Alquran, memiliki al-akhlaqul karimah, dan lain-lain.
Istighotsah di kalangan warga
Muhammadiyah dilakukan secara individual. Jadi, pengamalan ibadah di kalangan
umat Islam di Indonesia itu lebih banyak kesamaannya. Bila terdapat perbedaan
dalam cara pelaksanaannya, itu karena perbedaan cara pemahaman dari tiap-tiap
golongan.
Spiritual
Islami
Aktualisasi spiritualitas Islam ialah
upaya mewujudkan kehidupan islami, dengan menekankan pada penyempurnaan
pengamalan ibadah, kesucian rohani, dan kesalihan moral atau al-akhlaqul
karimah.
Di kalangan warga Muhammadiyah
terdapat orang-orang yang dalam mengapresiasi makna ibadah dan zikir sebagai
didefinisikan dalam buku Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, bukan pada
ritual formal seperti duduk di masjid sambil memutar-mutar tasbih, melainkan
lebih menekankan gerak amal saleh dalam bentuk kiprah
kreatif dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat.
Pemahaman seperti itu kemudian
termanifestasikan dalam bentuk kekurangakraban dengan wirid-wirid, zikir, dan
tahlil secara verbal (qauli), dan lebih
mengutamakan zikir qalbi dan fi'li (operasional)
sehingga orang luar memandang mereka kering spiritual.
Karena itu, persyarikatan perlu
memberikan penjelasan kepada orang luar tentang pemahaman Muhammadiyah mengenai
spiritualitas islami untuk menghilangkan kesalahpahaman orang luar terhadap
Muhammadiyah.
Di samping itu, persyarikatan perlu
mengimbau semua warganya agar meningkatkan pengamalan spiritualitas islami
dalam rangka pengukuhan akidah, penyempurnaan ibadah, dan keluhuran akhlak.
Aktualisasi spiritualitas islami itu
juga berbarengan dengan kehendak mengembangkan pemikiran tajdid (pembaharuan
dan pemurnian ajaran Islam). Hal itu dimaksudkan agar segala amalan ibadah
dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan petunjuk Alquran dan hadis,
bebas dari syirik, bid'ah, khurafat, dan takhayul.
Tasawuf
Modern
Meskipun PP Muhammadiyah dengan Majlis
Tarjih belum pernah membahas secara khusus tentang ajaran tasawuf, seorang
tokoh yang namanya cukup terkenal, Prof Dr Hamka,
telah memperkenalkan istilah tasawuf modern
untuk memberikan nama pada ajaran tasawuf yang menurutnya sesuai dengan paham
Muhammadiyah. Dia menulis beberapa buku tentang tasawuf, di antaranya berjudul
Tasawuf Modern.
Para pemuka Muhammadiyah yang lain
pada umumnya menekankan, semua warga suka menjalankan ibadah-ibadah sunah, di
samping ibadah wajib, dan memiliki akhlaqul karimah.
Istilah akhlaqul karimah ini mencakup serangkaian sifat-sifat utama seperti: taqwa, zuhud, sabar, faqr, qana'ah, tawakal, ikhlas, syukur,
rida, wara', tawadhu', raja', tobat, dan lain-lain sebagaimana
dicontohkan Rasulullah.
Jadi, mereka tidak menggunakan istilah
tasawuf tetapi menganjurkan warganya memiliki sifat-sifat utama sebagaimana
yang didambakan para penganut tasawuf.
Menurut Hamka, istilah tasawuf modern adalah tasawuf murni yang relevan untuk
diterapkan pada zaman modern. Orang yang menjalankan tasawuf murni
mestilah memegang teguh akidah yang benar (tauhid yang bersih), melaksanakan
ibadah dengan tekun, menghiasi dirinya dengan al-akhlaqul karimah, serta
melakukan pergaulan dalam kehidupan sosial sehari-hari sesuai dengan Alquran
dan hadis.
Ia tidak tenggelam dalam khalwat atau
menjauhi kehidupan duniawi, tapi bergaul secara wajar dalam kehidupan sosial.
Akhlak
dan Tasawuf
Ajaran Islam meliputi tiga bagian
pokok, yaitu akidah (kepercayaan
atau keimanan), syariah (hukum-hukum
agama, meliputi ibadah dan muamalah), dan akhlak
(moral atau budi pekerti). Atau, tiga bagian pokok itu ialah iman, Islam, dan ikhsan.
Iman adalah sebagaimana tercermin dalam
rukun iman yang enam. Islam adalah sebagaimana
yang kita kenal dengan rukun Islam yang lima. Ikhsan
adalah sikap batin, kita merasa selalu dalam pengawasan Allah, sehingga kita
harus berbuat sebaik-baiknya.
Istilah tasawuf belum dikenal pada
zaman Nabi Muhammad SAW. Istilah tersebut baru dikenal pada abad ke-2 Hijriah,
dengan kemunculan seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi yang digelari sebagai seorang sufi.
Maka sebelum abad ke-2 H itu umat
Islam belum mengenal klasifikasi ajaran Islam, Islam yang bernama tasawuf.
Mereka merasa sudah puas dan tenang hatinya jika sudah dapat mengamalkan
akidah, syariah, dan akhlak; atau mengamalkan iman, Islam, dan ihsan. Sedangkan
cita-cita tertinggi sesuai dengan ajaran Alquran dan hadis adalah menjadi orang
yang bertakwa.
Sepeninggal Rasulullah, sahabat, dan
tabiin, terdapat ulama yang mengembangkan ikhsan lebih
lanjut melalui ajaran tasawuf. Jadi, baik tasawuf maupun al-akhlaqul
karimah berinduk pada ihsan.
KH
Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah, pada masa hayatnya sangat menganjurkan segenap warga untuk
mengamalkan al-akhlaqul karimah. Di antara sifat-sifatnya yang menonjol ialah zuhud, yakni tidak tergila-gila atau
serakah untuk mengejar harta, bahkan harta beliau banyak dikorbankan untuk
membaiayai kegiatan amal usaha Persyarikatan, seperti lembaga pendidikan,
kesehatan, penyantunan fakir miskin, dakwah, dan lain-lain.
Dengan demikian KH Ahmad Dahlan telah
berhasil menjelmakan spirit (roh) dan nilai-nilai
substansial tasawuf menjadi etos kerja warga Muhammadiyah dalam
melaksanakan kegiatan sosial keagamaan. (18c)
Oleh Drs H Ibnu Djarir, Wakil Ketua
Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar