Bagi seorang Muslim, zikir dan doa merupakan salah satu bentuk komitmen keagamaan dan keimanannya kepada Allah SWT. Doa adalah permohonan yang dimunajatkan ke hadirat Allah, Zat Yang Mahakuasa. Sedangkan zikir adalah mengingat Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, zikir dan doa dapat dimaknai sebagai suatu amalan dalam bentuk kata-kata yang diucapkan secara lisan ataupun dalam hati yang berisikan permohonan kepada Allah SWT dengan selalu mengingat nama-nama dan sifat-Nya.
Sebenarnya, zikir itu tidak terbatas pada bacaan zikirnya (dalam arti sempit), melainkan meliputi segala bacaan, tindakan, dan segala amal kebaikan yang diperintahkan oleh agama.
Dipandang dari sudut kesehatan jiwa, zikir dan doa mengandung unsur psikoterapeutik yang mendalam. Terapi psikoreligius tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan psikoterapi psikiatrik, karena dia mengandung kekuatan spiritual atau keruhanian yang membangkitkan rasa percaya diri dan rasa optimisme. Dua hal ini, yaitu rasa percaya diri (self confident) dan optimisme merupakan dua hal yang amat esensial bagi penyembuhan suatu penyakit selain obat-obatan dan tindakan medis lainnya.
Levin (1996) dari Eastern Virginia Medical School misalnya, dia melakukan studi terhadap 393 pasien jantung di San Fransisco, untuk mengetahui sejauh mana efektivitas zikir dan doa. Kelompok pasien jantung dibagi dalam dua kelompok secara acak (random), yaitu kelompok mereka yang memperoleh terapi zikir dan doa dan kelompok mereka yang tidak. Hasilnya menunjukkan kelompok mereka yang memperoleh terapi zikir dan doa, ternyata sedikit sekali mengalami komplikasi sementara kelompok mereka yang tidak memperoleh terapi zikir dan doa banyak timbul berbagai komplikasi dari penyakit jantungnya itu.
Sebuah studi di VSCF Medical Center menemukan pula bahwa pasien operasi jantung yang didoakan oleh orang lain tampak jauh lebih mampu bertahan, pasien tersebut juga mengalami komplikasi yang lebih sedikit dan lebih singkat waktu perawatannya. Studi lain mengindikasikan, orang yang berdoa teratur merasa lebih baik dan lebih merasa damai. Frekuensi doa sama halnya dengan frekuensi membaca kitab suci, memiliki korelasi positif dengan kesehatan semakin sering berdoa, kualitas kesehatan pun semakin baik.
Mengapa demikian? Zikir dan doa yang kita lakukan sejatinya dapat mengoptimalkan kinerja semua komponen otak. Kita mengetahui otak adalah pusat pengendali kehidupan manusia. Optimalnya kinerja otak, akan optimal pula aktivitas kehidupan kita. Sebaliknya, error otak kita, akan error pula kehidupan kita.
Setidaknya, ada tiga mekanisme yang ditimbulkan oleh doa, yaitu: (1) doa memunculkan dampak relaksasi, (2) doa memancarkan emosi positif, dan (3) doa membuka “campur tangan” Allah sehingga terbuka beragam solusi.
Relaksasi di sini, adalah ketika seseorang berdoa, orang itu melepaskan ketegangan akibat pekerjaan atau aktivitas lain seperti beristirahat, melakukan penyegaran jiwa dan raga. Ilmuwan menggolongkan berdoa sebagai bentuk meditasi atau kegiatan pertapaan, di mana seseorang keluar dari batas inderawi.
Dalam konteks ajaran Islam, aktivitas ibadah harian, khususnya salat fardu dan sunah yang dilakukan secara khusyuk, merupakan kegiatan meditasi tertinggi. Ketika itu, terjadi perubahan pada kerja atau fungsi organ tubuh seperti pernapasan yang melambat, penurunan laju detak jantung, penurunan tekanan darah, penghangatan bagian luar tubuh, aktivitas gelombang otak yang lebih lambat, dan keadaan metabolisme yang rendah. Selain itu, muncul perasaan ruhiyah yang lebih, kepuasan jiwa dan fisiologis, rasa damai dan tenang.
Proses doa pun akan memancarkan emosi positif. Artinya, doa yang khusyuk akan menimbulkan dampak yang lebih baik dan positif dalam jiwa, pemikiran, persepsi, daya ingat, niat, kehendak, dan semacamnya. Doa memperbaiki keadaan jiwa dan emosi, serta membawa kepada keadaan tenang yang kemudian memancar ke segala sisi kehidupan bagi orang yang berdoa.
Kondisi ini, pada akhirnya akan menimbulkan mekanisme yang ketiga, yaitu terbukanya pintu pertolongan Allah dengan ditemukannya berbagai solusi dan keajaiban dalam hidup karena semua komponen hormon otak (neuroendokrin) akan teraktivasi secara optimal. Nah, optimasi ini akan terjadi apabila doa memiliki sebuah tujuan yang “tidak berbatas” dan “bebas kepentingan”. Tujuan yang tidak berbatas dan faktor bebas kepentingan akan menghasilkan fenomena cinta.
Dengan demikian, doa adalah sebuah ekspresi cinta. Hormon otak yang akan teroptimalisasikan fungsinya adalah oksitosin, vasopresin, melatonin, endorfin, serotonin, dopamin, dan epinefrin. Meskipun beberapa di antara mereka bersifat saling berlawanan, akan tetapi ketika proses doa berjalan sukses mereka akan menempati posisinya secara ideal. Kondisi hormonal yang optimal akan merangsang optimasi hubungan antara sel-sel otak dan mengoptimalkan pula intensitas data yang diubah menjadi biolistrik.
Penguatan data berlangsung di area yang disebut sebagai saltatory conduction atau suatu daerah di axon yang bebas mielin. Daerah ini memiliki “kekosongan” yang memungkinkan elektron “melompat”. Kondisi ini akan mengarahkan pikiran untuk terfokus pada solusi. Semakin intens seorang berdoa, akan semakin lebar pula gerbang solusi dibukakan baginya.
Untuk mencapai kondisi tersebut, jalur-jalur pengganggu yang dapat mengganggu data yang akan diolah oleh kulit otak harus diminimalisasi. Jalur pengganggu yang potensial dapat timbul dari terlalu terbukanya jalur limbik dan batang otak. Sebuah proses doa yang benar akan membuka katup limbik dan batang otak secara terbatas, mengatur jalur transmisi sensoris dari talamus juga secara terbatas, dan akhirnya mengakumulasi semuanya dengan intensitas tinggi gap junction (hyperneuron) dan saltatory conduction untuk menghasilkan sebuah gelombang kekuatan mental yang mutlak bertujuan untuk mendapatkan solusi cerdas.
Oleh karena itu, seorang ahli zikir dan doa pandangannya akan menjadi jernih karena apa yang ingin dia lihat terfiltrasi (tersaring) oleh ketulusan. Apa yang ingin dia dengar semuanya mendatangkan kesejukan dan ketenangan karena data yang masuk terseleksi oleh keikhlasan. Pada gilirannya, keputusan mental yang akan diambil adalah keputusan terbaik yang dapat dilakukan. (dr. Tauhid Nur Azhar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar