Jumat, 11 Desember 2020

Pam SH & Infil

1.2. PENGAMANAN SAFE HOUSE

Tugas awal yang dijalani oleh peserta training agen klandestin adalah pengamanan safe house, tidak lain adalah wisma yang saat ini menjadi tempat tinggal dan kegiatan tertutup mereka. Dalam istilah intelijen, safe house adalah suatu tempat yang relatif aman dari pantauan pihak oposisi atau musuh, yang dipilih untuk dijadikan sebagai basis operasi bagi agen intelijen dalam pelaksanaan kegiatan rahasia.

Safe house merupakan salah satu elemen kunci yang mendukung pencapaian tujuan operasi, keberadaannya menjadi hal penting pertama yang diupayakan dalam setiap operasi intelijen. Keberhasilan suatu operasi intelijen sangat bergantung pada kemampuan untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan, maka memastikan keamanan sebuah safe house adalah hal yang sangat krusial dalam operasi intelijen.

Dua hal yang dilakukan dalam kegiatan pengamanan safe house adalah observasi dan penggambaran sket.

Observasi.
Hal pertama yang dilakukan peserta latihan dalam pengamanan safe house adalah mengantisipasi ancaman. Ancaman terhadap safe house dapat dibagi menjadi dua kategorikan, yaitu ancaman fisik dan ancaman non-fisik. Ancaman fisik dapat berupa pengrusakan bangunan, sabotase instalasi, serangan personel, penculikan, dan sebagainya. Sedangkan ancaman non-fisik berupa pemantauan oposisi, penyadapan, gangguan, kebocoran informasi, dsb.

Tindakan awal yang dilakukan dalam kegiatan antisipasi ancaman adalah peserta training melakukan observasi terhadap areal wisma yang dijadikan safe house. Berkeliling mengamati seluruh areal sampai ujung-ujung pagar perbatasan, termasuk beberapa jalan setapak yang memungkinkan menjadi akses jalan ke wisma. Mengamati ke-empat bangunan wisma dan peruntukannya, serta bagian-bagian vital dari instalasi wisma, seperti kabel listrik, terminal MCB, saluran pipa air PAM, selokan saluran air, dan sebagainya.

Mereka juga melakukan sweeping ruangan sebagai kegiatan pengamanan yang bersifat non-fisik, sebagai upaya pencegahan terhadap penyadapan. Kemudian memeriksa keberadaan cctv, serta minimalkan penggunaan perangkat nirkabel, wifi.

Penggambaran Sket.
Langkah berikutnya, seperti yang diperintahkan instruktur, mereka membuat sket safe house. Penggambaran sket meliputi denah bangunan, ruangan penting, posisi obyek dan instalasi vital, akses keluar masuk wisma, kerawanan terhadap pantauan visual oposisi, serta tempat-tempat di sekitar wisma yang berpotensi ancaman sniper.

Dalam penggabaran sket safe house, hal yang tidak kalah penting adalah penggambaran jalur akses masuk dan keluar. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh instruktur Lukas, bahwa dalam penggambaran akses keluar masuk safe haouse pada sket intelijen setidaknya memuat tiga jalur perencanaan, yaitu jalur regular, alternatif dan emergensi. Tiga jalur perencanaan itu mengacu pada konsep perencanaan dalam dunia intelijen, yaitu rencana RAE, yang merupakan singkatan dari kata regular, alternative, dan emergency.

Konsep RAE Plan dijelaskan instruktur sebagai berikut; Regular plan (rencana R) adalah jalur yang bersifat rutin digunakan secara umum. Alternative plan (rencana A) adalah rencana cadangan yang disusun untuk menghadapi situasi yang tidak terduga atau jika rencana reguler tidak berhasil. Sedangkan emergency plan (rencana E) merupakan rencana yang disusun untuk menghadapi situasi darurat atau krisis yang mengancam keamanan. Rencana E ini bersifat sangat spesifik dan terfokus pada tindakan yang harus diambil dalam situasi darurat.

Dengan demikian maka tugas pertama dalam pelatihan ini adalah pengamanan safe house, meliputi kegiatan observasi dan penggambaran sket. Hasil penggambaran sket masing-masing peserta diperiksa dan dievaluasi oleh instruktur dengan cara mendiskusikannya secara bersama dengan seluruh peserta Latihan.

1.3. INFILTRASI
Setelah metuntaskan materi pengamanan safe house, tugas berikutnya bagi peserta training adalah infiltrasi. Dalam dunia intelijen, infiltrasi merupakan kegiatan memasuki suatu wilayah dimana ada target di dalamnya, sehingga mereka akan berhadapan dengan oposisi yang harus diatasi karena dapat menghambat atau menggagalkan misinya.

Peserta pelatihan mendapat tugas melaksanakan infiltrasi ke beberapa sasaran yang berbeda secara terpisah dengan waktu yang berbeda. Keseluruhan peserta yang berjumlah dua puluh orang dibagi menjadi empat kelompok, sehingga tiap kelompok terdiri dari lima orang peserta. Masing-masing kelompok didampingi oleh seorang agen pembantu, sebagai pengarah dan pengawas.

Pak Lukas selaku intruktur latihan berseru kepada seluruh peserta untuk menyampaikan tugas dan perhatian, "Saudara-saudara, kalian sudah mendapatkan wilayah sasaran masing-masing untuk tugas infiltrasi. Ada empat sasaran infiltrasi, sehingga tiap kelompok melaksanakan infiltrasi ke sasaran yang sama. Meski begitu kalian tidak diperkenankan melaksanakan dalam waktu yang sama, dan juga diberlakukan kaidah kompartementasi antar agen peserta.”

“Hal-hal yang harus kalian lakukan adalah,” Pak Lukas mengacungkan satu jarinya. “Pertama, pahami karakteristik sasaran. “Kedua, persiapkan kedok, dan perhatikan oposisi. Persiapkan kedok secara matang, baik kedok dokumen maupun kedok stori.” Sebelum meninggalkan safe house, kalian akan mendapatkan briefing dari instruktur pendamping. Disitu kalian akan akan diberi pemahaman tentang sasaran. Setelah itu dilakukan uji cover,” lanjutnya.

Uji Cover.
Cover atau kedok adalah sesuatu yang digunakan oleh seorang agen intelijen untuk menyembunyikan identitas asli atau tujuan sebenarnya dari pihak oposisi. Kedok bisa berupa identitas palsu, penampilan fisik, atau bahkan perilaku. Tujuan utama kedok adalah memungkinkan agen untuk beroperasi di wilayah lawan tanpa terdeteksi.

Anggit, salah seorang peserta pelatihan harus mengubah kedok ceritanya, lantaran dinilai kurang logis dan realistis setelah mendapatkan sejumlah pertanyaan dari instruktur dan empat orang rekan kelompoknya dalam kegiatan uji cover. Dia membuat karangan cerita sebagai mahasiswa yang akan melakukan penelitian untuk skripsi kuliahnya, padahal di wilayah sasaran tidak akan dijumpai obyek penelitiannya.

Peserta lain yang harus mengganti penampilannya adalah Mail. Pakaian yang dikenakan pada kegiatan sore itu tidak sesuai dengan situasi lingkungan sasaran. Dengan penampilan mentereng itu akan membuatnya jadi perhatian masyarakat sekitar sasaran. Hal itu akan menjadi hambatan bagi dirinya untuk melakukan aktivitas secara leluasa.

Pada umumnya seluruh peserta telah menguasai identitas barunya, sesuai kedok dokumen berupa ktp palsu yang diterimanya. Bahkan rekan kelompok mengenal nama setiap peserta dengan nama baru, nama aslinya mereka tidak tahu.

Selain kedok dokumen (cover document) dan kedok riwayat (cover story), masih ada satu lagi jenis kedok yang dikenal secara umum dalam dunia intelijen yang dipergunakan agen mendukung aktifitasnya di wilayah sasaran, yaitu kedok alasan (cover action). Kedok alasan dipergunakan sebagai argumentasi untuk mempermudah akses mendekati sasaran dengan tidak menimbulkan kecurigaan.
Oposisi dan Kompartementasi
Pada sebuah kavetaria yang berada di sekitar obyek sasaran, Truman dan Agus, dua orang peserta training duduk pada dua buah kursi yang berseberangan. Meskipun tidak berada satu meja, namun nampak mereka sedang berbicara cukup akrab.

Menyaksikan peristiwa itu, Nunung, seorang mentor wanita selaku pengawas training mendekatinya. Sambil memesan segelas kopi late pada waiter, Nunung mengambil tempat duduk yang tidak jauh dari posisi mereka berdua. Dia mengambil ponsel dari tasnya dan pura-pura menelpon seseorang, padahal alat komunikasinya tidak dalam posisi on-line. Nunung bicara dengan suara pelan, namun kata-katanya terdengar jelas oleh kedua peserta training. Mereka berdua diminta untuk menjaga kompartementasi dan segera mengakhiri pertemuan. Disampaikan pula bahwa tindakan mereka berdua termonitor oleh CCTV gedung. Mendengar teguran dari pengawasnya, segera Truman meninggalkan tempat itu tanpa menengok dan bicara sepatahpun pada Agus.

Pada situasi yang lain, di suatu tempat yang tidak terlalu ramai pengunjung, Sigit nampak aktif mengangkat smartphonenya. Dia sedang mengambil gambar sudut-sudut gedung yang tidak semestinya diambil gambar oleh pengunjung. Selang waktu yang tidak terlalu lama, smartphonenya bergetar dengan bunyi nada panggilan dari nomor staf perusahaan. Pak Gripit menyampaikan laporan agen pengawas di lapangan, terkait tindakannya yang barusan dilakukan. Hal itu merupakan tindakan yang berisiko, karena menimbulkan kecurigaan oposisi dan menjadi kerawanan terhadap kerahasiaan kegiatan agen klandestin di lapangan, karena terpantau oleh cctv oposisi.

Lain lagi dengan kasus Wendi, seorang peserta yang terlalu lama berada di satu lokasi wilayah sasaran. Dia nampak mondar mandir melintasi satu titik lokasi lebih dari tiga kali lintasan. Hal itu dilakukan karena alasan agar mendapatkan detail obyek dari sasaranya untuk kesempurnaan laporan.

Berbeda halnya dengan seorang peserta lain bernama Royan, yang melakukan hal serupa dengan kasus kesalahan tindakan Wendi. Dia memerlukan waktu yang agak lama untuk datang kembali menuju lokasi pengamatan. Itupun dilakukannya dengan penampilan agak beda, mengenakan kacamata dan topi untuk datang ke lokasi yang sama.

Pada tugas kegiatan pengumpulan informasi itu, satu kelompok yang terdiri dari lima orang peserta mendapatkan target sasaran yang sama, sehingga mau tak mau mereka akan saling bertemu di wilayah sasaran kegiatan yang sama. Untuk menjaga kerahasiaan kegiatan maka diberlakukan kaidah intelijen yang dikenal dengan istilah kompartementasi. Antar agen ketika berada di lapangan operasi dilarang saling berkomunikasi, baik verbal maupun dengan isyarat. Mereka harus terkesan seakan tidak saling mengenal satu sama lainnya. Bila dalam satu situasi mereka terpaksa berada dalam satu ruang jarak yang sempit, maka mereka harus bersikap dan bertindak natural seperti masyarakat lain yang tidak saling kenal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar