Nabi Muhammad SAW
memiliki akhlak dan sifat-sifat yang sangat mulia. Sebelum diangkat menjadi
Nabi dan Rasul semua penduduk Makkah memberinya gelar atau julukan Al-Amin (yang
dipercaya). Gelar tersebut diberikan kepada Rasulullah karena
beliau memiliki 5
sifat mulia, yaitu:Sidik (Jujur), Amanah (dapat
dipercaya), Al-hilmu (Penyantun), Al-hayak (Pemalu),
dan Tawaduk (Rendah
Hati).
Ketika Muhammad
hendak memulai dakwah secara terbuka dan terang-terangan, beliau berdiri di
atas bukit kemudian menyampaikan kepada kaum Quraisy yang berkumpul, “Wahai
saudara-saudaraku kaum Quraisy, jika aku memberi kabar kepadamu, bahwa di
balik bukit ini ada musuh yang sudah siaga hendak menyerang kalian, apakah
kalian semua percaya?” Tanpa ragu semuanya menjawab mantap, “Percaya!”
Kemudian, Muhammad
kembali bertanya, “Mengapa kalian langsung percaya tanpa membuktikannya
terlebih dahulu?” Tanpa ragu-ragu orang yang hadir di sana kembali menjawab
mantap, “Engkau sekalipun tidak pernah berbohong, wahai al-Amin. Engkau adalah
manusia yang paling jujur yang kami
kenal.”
Setelah
menjadi Nabi dan pemimpin bagi umat Islam, beliau dikenal
mempunyai sifat-sifat mulia, yaitu: Siddiq (jujur), Amanah (dipercaya), Fathonah (cerdas),
dan Tabligh (menyampaikan).
a. Sidiq (Jujur)
Jujur adalah sikap kesesuaian antara perkataan, pikiran, dan tindakan dengan kenyataan yang sebenarnya. Contoh sikap jujur adalah berterus terang, tidak menutupi, tidak dusta, tidak memanipulasi, dan tidak curang.
b. Amanah (terpercaya)
Amanah mempunyai pengertian mampu menjaga segala sesuatu yang dipercayakan secara konsekuen dan penuh rasa tanggung jawab. Pengertian amanah yang lebih luas adalah integritas, yaitu memegang teguh nilai-nilai moral etika yang baik. Integritas meliputi sifat adil, tanggung jawab, berani dan konsekuen.
c. Fathonah (cerdas)
Fathonah mempunyai pengertian mempunyai tingkat kecerdasan yang tinggi, memiliki pengetahuan yang luas, serta kreatif dan inovatif.
e. Tabligh (transparan & akuntable)
Tabligh mempunyai pengertian terbuka/transparan dan kesediaan untuk mempertanggung jawabkan atas tugas yang dilakukannya.
****
Penjelasan lebih lengkap sbb:
1.
SIDDIQ (jujur)
Sidiq berasal dari bahasa Arab yang artinya
jujur. Sidiq mempunyai pengertian sebuah
sikap dalam menjalankan segala tugas secara jujur, dengan asas keterbukaan
(akuntabilitas) tanpa manipulasi dan kecurangan. Seorang
pemimpin harus sidiq yakni ada kesesuaian antara niat, janji dan ucapan dengan perbuatan (tidak
riya’ atau pamer, dan punya integritas). Lawan kata dari sikap ini adalah
dusta (al-kadzibu) dan fasik.
Secara Istilah,
pengertian “jujur” itu meliputi: a) Kesesuaian antara informasi dan kenyataan
(tidak berdusta); b) Kesesuaian antara perbuatan dan kematangan hati
(tidak riya’); c) Kesesuaian antara niat dan perbuatan (tidak ingkar);
dan d) Kesesuaian antara ucapan dan perbuatan (integritas).
a. Kesesuaian antara
informasi dan kenyataan (tidak berdusta).
Orang yang jujur itu akan selalu menyampaikan berita sesuai dengan
kenyataan (fakta), tidak berdusta. Setiap orang harus bisa memelihara
perkataannya. Tiap kata yang meluncur dari bibir dan lisan seseorang wajib
memuat dan mengandung kebenaran. Bukan gunjingan, gossip, dan fitnah.
Barangsiapa yang menjaga lidahnya dengan selalu menyampaikan berita yang sesuai
dengan fakta yang sebenarnya, ia termasuk jujur jenis ini. Rasulullah SAW
bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendakah ia
berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim)
b. Kesesuaian antara
perbuatan dan kematangan hati (tidak riya’).
Orang yang jujur itu akan selalu beramal secara sungguh-sungguh secara
ikhlas sesuai sesuai suara hati yang berlandaskan keridhaan Allah Swt,
dilakukan apa adanya dan tidak mengada - ngada. Apa yang ia yakini
sebagai kejujuran dan kebenaran, ia jalan dengan keyakinan kuat bahwa Allah
bersama orang-orang yang benar-benar benar.
c. Kesesuaian
antara niat dan perbuatan (tidak ingkar).
Orang yang jujur itu akan selalu menepati apabila ia berjanji.
Janji adalah hutang, demikian kalimat yang sering terngiang. Karena
hutang, maka wajib untuk dibayar sesuai dengan nilainya. Menepati janji bukan
sembarang sikap. Menepati janji berarti mempertaruhkan harkat dan martabat
dirinya di hadapan orang lain demi memberi keyakinkan pada orang tersebut bahwa
ia sanggup untuk membayarnya. Dengan sikap jujur, janji akan tertunai dan
amanah akan dijalankan.
d. Kesesuaian
antara ucapan dan perbuatan (komitmen). Orang
yang jujur itu senantiasa menjaga perkataan dan perbuatannya yang menjunjung
tinggi nilai-nilai keluhuran (berintegritas). Integritas adalah konsistensi dalam
tindakan-tindakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan.
Lawan dari integritas adalah hipokrit atau
munafik. Nilai-nilai luhur tidak dibenarkan jika hanya diucapkan,
tetapi juga harus dilaksanakan dalam perbuatan. Kebanyakan orang pandai
berkata baik tetapi perbuatannya tidak sesuai dengan perkataannya. Sangat
berdosa besar bagi orang-orang yang tidak mampu menyesuaikan perkataannya
dengan perbuatan, atau berbeda apa yang di lidah dan apa yang diperbuat.
Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi
Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S.
Ash-Qaff/61:2-3)
Jujur adalah kesesuaian antara ucapan, sikap, tindakan dan juga niat dengan
keadaan yang sebenarnya. Jujur itu
adalah prilaku yang berterus terang, tidak menutupi, tidak dusta, tidak ingkar, tidak curang dan tidak riya’.
2.
AMANAH
Amanah berasal dari bahasa Arab yang artinya
dapat dipercaya, benar dan adil. Amanah
mempunyai pengertian kemampuan untuk menjaga segala
sesuatu yang dipercayakan dengan benar dan adil. Jika satu urusan diserahkan
kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan
serius dan sebaik-baiknya. Lawan dari amanah adalah khianat
atau menyia-nyiakan kepercayaan.
Oleh kerana itulah
penduduk Makkah memberi gelaran kepada Nabi Muhammad SAW dengan gelaran
‘Al-Amin’ yang bermaksud ‘terpercaya’, jauh sebelum beliau diangkat jadi
seorang Rasul. Apa pun yang beliau ucapkan, dipercayai dan diyakini penduduk
Makkah kerana beliau terkenal sebagai seorang yang tidak pernah berdusta.
Mustahil Rasulullah SAW
itu berlaku khianat terhadap orang yang memberinya amanah. Baginda tidak pernah
menggunakan kedudukannya sebagai Rasul atau sebagai pemimpin bangsa Arab untuk
kepentingan peribadinya atau kepentingan keluarganya, namun yang dilakukan
Baginda adalah semata-mata untuk kepentingan Islam melalui ajaran Allah SWT.
Ketika Nabi Muhammad SAW
ditawarkan kerajaan, harta, wanita oleh kaum Quraisy agar beliau meninggalkan
tugas ilahinya menyiarkan agama Islam, Baginda menolaknya.
3.
TABLIGH
Tabligh berasal dari bahasa Arab yang artinya
menyampaikan. Segala firman Allah SWT yang ditujukan oleh manusia, disampaikan
oleh Baginda. Tidak ada yang disembunyikan walaupun ianya menyinggung Baginda
sendiri.
Dalam suatu riwayat
dikemukakan bahawa firman Allah (QS 'Abasa: 1) turun berkenaan dengan Ibnu Ummi
Maktum yang buta yang datang kepada Rasulullah SAW sambil berkata: “Berilah
petunjuk kepadaku, ya Rasulullah.” Pada waktu itu Rasulullah SAW sedang
menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, sehingga Rasulullah berpaling
daripadanya dan tetap melayani pembesar-pembesar Quraisy. Ummi Maktum berkata:
“Apakah yang saya katakan ini mengganggu tuan?” Rasulullah menjawab: “Tidak.” Maka
ayat ini turun sebagai teguran di atas perbuatan Rasulullah SAW. (Diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim yang bersumber dari ‘Aisyah. Diriwayatkan pula
oleh Ibnu Ya’la yang bersumber dari Anas.)
Sebetulnya apa yang
dilakukan Rasulullah SAW itu menurut standard umum adalah hal yang wajar.
Ketika sedang berbicara di depan umum atau dengan seseorang, tentu kita tidak
suka diganggu oleh orang lain. Namun untuk standard Nabi, itu tidak cukup. Oleh
kerana itulah Allah SWT telah menegur Baginda SAW.
Sebagai seorang yang
tabligh, meski ayat itu menyindirnya, Nabi Muhammad SAW tetap menyampaikannya
kepada kita. Itulah sifat seorang Nabi. Jadi, mustahil Nabi itu ‘kitman’ atau
menyembunyikan wahyu.
4.
FATHONAH
Fathonah berasal dari bahasa Arab yang artinya
cerdas. Kecerdasan meliputi intelektual,
emosional dan spiritual. Sebagai nabi dan pemimpin umat, Rasulullah
harus paham seluk beluk tugasnya, harus juga seimbang
emosinya, sehingga tidak cepat marah, menggerutu, sebagaimana
ia harus memiliki kecerdasan spiritual, yang tergambar dalam
hubungan baik dengan Allah.
Syarat seorang pemimpin
tidak sekedar baik, soleh dan alim saja, tetapi juga harus cerdas, sehingga ia
mampu mengatasi persoalan dengan cepat, tepat dan benar. Pemimpin juga harus cerdas sehingga ia mampu
memberikan arahan dan solusi kepada bawahannya dalam mengatasi persoalan. Lawan dari fatonah adalah bodoh atau jahlun.
Dalam menyampaikan 6.236 ayat Al Qur’an kemudian menjelaskannya dalam puluhan
ribu hadits membutuhkan kecerdasan yang luar biasa. Nabi harus mampu
menjelaskan firman-firman Allah kepada kaumnya sehingga mereka mau masuk ke
dalam Islam. Nabi juga harus mampu berdebat dengan orang-orang kafir dengan
cara yang sebaik-baiknya.
Apalagi Nabi mampu
mengatur ummatnya sehingga dari bangsa Arab yang bodoh dan terpecah-belah serta
saling perang antar suku, menjadi satu bangsa yang berbudaya dan berpengetahuan
dalam 1 negara yang besar yang dalam 100 tahun melebihi luas Eropa. Negara
tersebut membentang dari Spanyol dan Portugis di Barat hingga India Barat.
--- --- ---
Empat Sifat Mulia
Rasulullah:
1. Siddiq : Jujur,
dengan asas keterbukaan (akuntabilitas) tanpa
manipulasi dan kecurangan.
2.
Amanah : Dapat dipercaya, benar dan adil.
3. Fathonah :
Cerdas meliputi intelektual, emosional dan spiritual.
4. Tabligh : Menyampaikan
apa yang harus disampaikan tanpa
ada yang disembunyikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar