Tak dapat dipungkiri, mantan
presiden Suharto yang berulang tahun pada 8 Juni ini (lahir di Desa Kemusuk,
Kabupaten Bantul, 8 Juni 1921) meninggalkan jejak yang panjang, khususnya bagi
umat Islam Indonesia. Di satu sisi kerap dipandang tak ramah terhadap Islam
(terutama di masa awal Orde baru), di sisi lainnya begitu akrab dengan Islam
(terutama setelah tahun 1990 atau di penghujung masa pemerintahannya).
Bila ditelusuri ke belakang, Soeharto memang lahir bukan dari kalangan Islam yang bisa digolongkan sebagai keluarga santri. Sosok lingkungannya bisa dikatakan berasal dari kalangan Jawa yang pemahaman keagamannya masih "setipis kulit ari" (meminjam istilah MC Ricklefs--Red) atau kaum abangan (meminjam Cliffrod Geertz--Red).
Meski tumbuh di kalangan Islam abangan, Soeharto pada masa kecil sempat mengenyam pendidikan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta. Di situ dia sempat mencicipi keanggotaan pandu Hizbul Wathon.
Selain itu, terutama ketika tinggal di rumah pamannya di Wuryantoro Wonogiri, pemahaman agamanya juga didapat dari para guru mengaji atau kiai desa di masjid yang ada di sekitarnya. Semasa hidup, Soeharto pun sering menceritakan bahwa dirinya dulu kerap tidur di masjid dan memukul beduk saat waktu shalat tiba atau pada malam Ramadhan dan hari raya.
Seperti orang Jawa lainnya, "tipisnya" pemahaman akan ajaran Islam membuat Soeharto kerap pergi menyepi untuk bertapa atau menyendiri di tempat keramat. Petilasan tempat Soeharto melakukan ritual ini terdapat di banyak tempat dan sampai sekarang pun banyak orang mengunjunginya. Di perbukitan kecil, yakni Bukit Srandil, di pinggir Pantai Selatan Jawa yang berada di kawasan timur Cilacap (sebelah selatan Gombong), orang masih melihat petilasan yang terkenal dengan sebutan petilasan pertapaan Soeharto.
Di tempat lain, misalnya di sebuah lereng di hutan Gunung Lawu atau di pertemuan tiga anak sungai di dekat Semarang, orang pun masih mengenalnya sebagai tempat Soeharto melakukan ritual tirakat ala orang Jawa.
Bila ditelusuri ke belakang, Soeharto memang lahir bukan dari kalangan Islam yang bisa digolongkan sebagai keluarga santri. Sosok lingkungannya bisa dikatakan berasal dari kalangan Jawa yang pemahaman keagamannya masih "setipis kulit ari" (meminjam istilah MC Ricklefs--Red) atau kaum abangan (meminjam Cliffrod Geertz--Red).
Meski tumbuh di kalangan Islam abangan, Soeharto pada masa kecil sempat mengenyam pendidikan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta. Di situ dia sempat mencicipi keanggotaan pandu Hizbul Wathon.
Selain itu, terutama ketika tinggal di rumah pamannya di Wuryantoro Wonogiri, pemahaman agamanya juga didapat dari para guru mengaji atau kiai desa di masjid yang ada di sekitarnya. Semasa hidup, Soeharto pun sering menceritakan bahwa dirinya dulu kerap tidur di masjid dan memukul beduk saat waktu shalat tiba atau pada malam Ramadhan dan hari raya.
Seperti orang Jawa lainnya, "tipisnya" pemahaman akan ajaran Islam membuat Soeharto kerap pergi menyepi untuk bertapa atau menyendiri di tempat keramat. Petilasan tempat Soeharto melakukan ritual ini terdapat di banyak tempat dan sampai sekarang pun banyak orang mengunjunginya. Di perbukitan kecil, yakni Bukit Srandil, di pinggir Pantai Selatan Jawa yang berada di kawasan timur Cilacap (sebelah selatan Gombong), orang masih melihat petilasan yang terkenal dengan sebutan petilasan pertapaan Soeharto.
Di tempat lain, misalnya di sebuah lereng di hutan Gunung Lawu atau di pertemuan tiga anak sungai di dekat Semarang, orang pun masih mengenalnya sebagai tempat Soeharto melakukan ritual tirakat ala orang Jawa.
Persentuhan
Soeharto dengan Islam semakin intens ketika dia naik ke tampuk kekuasaan.
Peristiwa G-30-S/PKI harus diakui sebagai pemicu terbesarnya. Di situlah dia
secara nyata bersinggungan dengan isu Islam, baik soal agama maupun Islam
sebagai aliran politik.
Memang, pada periode ini ada persinggungan yang aneh antara sosok Soeharto dengan isu-isu Islam. Di sisi lain, Soeharto yang saat itu dilingkari jenderal-jenderal dari kalangan priayi-abangan (hanya sedikit yang santri) menampilkan kebijakan anti-Islam, maksudnya Islam sebagai gerakan politik.
Pada masa awal Orde Baru, dia menghalangi munculnya kebangkitan Partai Masyumi Baru yang salah satu inisiatornya Bung Hatta. Soeharto kemudian juga memecah kekuatan politik Islam NU dengan memaksa mereka melakukan fusi dengan kekuatan politik Islam lainnya melalui Partai Persatuan Pembangunan.
Dia hanya memberi angin kepada kekuatan politik dari kalangan priayi-nasionalis yang tergabung dalam Golkar. Akibatnya, kekuatan Islam politik pun dibonsai habis-habisan, menyusul kekuatan partai komunis yang terlebih dahulu secara formal dia bubarkan. Bahkan, dalam hal ini dia kemudian membuat hantu baru bahwa ekstrem kanan (gerakan politik Islam) dan ekstrem kiri (gerakan komunis) adalah ancaman terbesar bagi eksistensi bangsa Indonesia.
Uniknya, di saat kekuatan Islam politik dia sapu bersih, Soeharto memberikan angin yang cukup besar bagi perkembangan umat Islam. Kelompok dan ormas Islam yang apolitis bisa mengembangkan dirinya dengan cepat.
Anak-anak santri yang berasal dari rakyat jelata, yang semenjak Indonesia merdeka hidup dalam kemiskinan, mulai menapaki jalan "kenaikan kelasnya" karena mampu bersekolah dengan murah. Masuk perguruan tinggi yang selama ini hanya dikecap golongan priayi dan abangan (karena menjadi birokrat yang kaya raya) mampu dikecapnya.
Biaya kuliah yang saat itu dibuat Soeharto dengan sangat murah atau terjangkau menjadi sarana pendorong utama anak-anak santri yang ada di perdesaan naik kelas sosialnya. Istilahnya, bagi rakyat perdesaan yang kala itu punya anak pintar: hanya menjatah hasil panen pada empat pohon kelapa, mereka bisa menguliahkan anaknya ke perguruan tinggi negeri.
Dalam hal ini, apa yang dikatakan mendiang Dr Nurcholish Madjid menjadi benar adanya. Bila dahulu sampai dekade 1960-an anak-anak santri hanya lulus SD, pada dekade 70 sudah rata-rata lulus SMA, lalu pada awal 80-an lulus perguruan tinggi, dan pada awal 90-an sudah banyak yang menjadi doktor.
Dan salah satu kelompok masyarakat yang bisa dikatakan paling menikmatinya adalah kalangan umat Islam yang berada dalam ormas Muhammadiyah yang saat itu dipimpin AR Fachruddin.
Selama kurun itu, dengan kebijakan yang rendah hati dan tawasuth dari AR Fachruddin, maka ormas Islam tersebut membesar dengan hebat. Fasilitas layanan umumnya berkembang luar biasa. Warga Muhammadiyah, karena lebih apolitis, bisa masuk secara leluasa menjadi birokrat dengan nyaman. Kehancuran ekonomi umat akibat bangkrutnya perdagangan batik milik para saudagar kemudian bisa teratasi secara perlahan.
Pak AR Fachrudin pun memberi contoh secara langsung. Dia memilih hidup sederhana dengan berjualan bensin eceran di depan rumahnya yang berada tak jauh dari Bundaran UGM. Dia tak tergiur dengan jabatan menteri agama meski Soeharto menawarinya secara langsung berulang kali. Situasi ini berbalik dengan NU yang terus berada "di pinggiran" karena saat itu sibuk dan terlalu berfokus pada gerakan politik.
Memang, pada periode ini ada persinggungan yang aneh antara sosok Soeharto dengan isu-isu Islam. Di sisi lain, Soeharto yang saat itu dilingkari jenderal-jenderal dari kalangan priayi-abangan (hanya sedikit yang santri) menampilkan kebijakan anti-Islam, maksudnya Islam sebagai gerakan politik.
Pada masa awal Orde Baru, dia menghalangi munculnya kebangkitan Partai Masyumi Baru yang salah satu inisiatornya Bung Hatta. Soeharto kemudian juga memecah kekuatan politik Islam NU dengan memaksa mereka melakukan fusi dengan kekuatan politik Islam lainnya melalui Partai Persatuan Pembangunan.
Dia hanya memberi angin kepada kekuatan politik dari kalangan priayi-nasionalis yang tergabung dalam Golkar. Akibatnya, kekuatan Islam politik pun dibonsai habis-habisan, menyusul kekuatan partai komunis yang terlebih dahulu secara formal dia bubarkan. Bahkan, dalam hal ini dia kemudian membuat hantu baru bahwa ekstrem kanan (gerakan politik Islam) dan ekstrem kiri (gerakan komunis) adalah ancaman terbesar bagi eksistensi bangsa Indonesia.
Uniknya, di saat kekuatan Islam politik dia sapu bersih, Soeharto memberikan angin yang cukup besar bagi perkembangan umat Islam. Kelompok dan ormas Islam yang apolitis bisa mengembangkan dirinya dengan cepat.
Anak-anak santri yang berasal dari rakyat jelata, yang semenjak Indonesia merdeka hidup dalam kemiskinan, mulai menapaki jalan "kenaikan kelasnya" karena mampu bersekolah dengan murah. Masuk perguruan tinggi yang selama ini hanya dikecap golongan priayi dan abangan (karena menjadi birokrat yang kaya raya) mampu dikecapnya.
Biaya kuliah yang saat itu dibuat Soeharto dengan sangat murah atau terjangkau menjadi sarana pendorong utama anak-anak santri yang ada di perdesaan naik kelas sosialnya. Istilahnya, bagi rakyat perdesaan yang kala itu punya anak pintar: hanya menjatah hasil panen pada empat pohon kelapa, mereka bisa menguliahkan anaknya ke perguruan tinggi negeri.
Dalam hal ini, apa yang dikatakan mendiang Dr Nurcholish Madjid menjadi benar adanya. Bila dahulu sampai dekade 1960-an anak-anak santri hanya lulus SD, pada dekade 70 sudah rata-rata lulus SMA, lalu pada awal 80-an lulus perguruan tinggi, dan pada awal 90-an sudah banyak yang menjadi doktor.
Dan salah satu kelompok masyarakat yang bisa dikatakan paling menikmatinya adalah kalangan umat Islam yang berada dalam ormas Muhammadiyah yang saat itu dipimpin AR Fachruddin.
Selama kurun itu, dengan kebijakan yang rendah hati dan tawasuth dari AR Fachruddin, maka ormas Islam tersebut membesar dengan hebat. Fasilitas layanan umumnya berkembang luar biasa. Warga Muhammadiyah, karena lebih apolitis, bisa masuk secara leluasa menjadi birokrat dengan nyaman. Kehancuran ekonomi umat akibat bangkrutnya perdagangan batik milik para saudagar kemudian bisa teratasi secara perlahan.
Pak AR Fachrudin pun memberi contoh secara langsung. Dia memilih hidup sederhana dengan berjualan bensin eceran di depan rumahnya yang berada tak jauh dari Bundaran UGM. Dia tak tergiur dengan jabatan menteri agama meski Soeharto menawarinya secara langsung berulang kali. Situasi ini berbalik dengan NU yang terus berada "di pinggiran" karena saat itu sibuk dan terlalu berfokus pada gerakan politik.
Sepanjang
masa awal Soeharto berkuasa hingga satu dekade akhir sebelum dia lengser, meski
dibiarkan berkembang asal tak berpolitik, sebenarnya umat Islam dia represi.
Soeharto dan para penasihatnya tak memberi kesempatan umat Islam untuk
memberikan sikap politiknya. Dengan bantuan lembaga think-tank CSIS yang
didirikan Ali Moertopo, yang berpusat di Tanah Abang, kekuatan politik Islam
dilibas habis.
Bahkan, kekuatan ormas Islam jadi bahan olokan. Di kalangan elite Orde Baru pada 70-an dikenal sebutan peyoratif ketika menganalisis kekuatan politik Islam: tak terorganisir dengan baik, tak punya dana, dan emosional.
Situasi ini makin tak kondusif dengan munculnya berbagai gerakan yang ditengarai ingin mendirikan negara Islam, seperti Komando Jihad sebagai kelanjutan perjuangan DI/TII. Entah bagaimana, tiba-tiba muncul aneka tindakan kekerasan dari kerusuhan hingga pengeboman. Dan salah satu puncaknya adalah munculnya Tragedi Pembantaian Tanjung Priok.
Bila ditelisik, munculnya kasus Priok tidak hanya disebabkan oleh hal yang tunggal, yakni perlakuan kasar anggota militer terhadap kelompok umat Islam yang pada saat itu di Jakarta Utara itu. Namun, penyebab lainnya adalah adanya situasi kebijakan negara yang terkesan sangat anti terhadap berbagai hal yang berbau atau memakai lambang Islam. Pelarangan jilbab dan kebijakan pendidikan yang pendidikan Islam adalah beberapa hal yang juga menjadi soalnya.
Belum lagi ceramah agama dan khutbah yang selalu dikontrol aparat intelijen negara. Penangkapan serta represi kepada para dai dan aktivis Petisi 50 yang kebanyakan merupakan tokoh Islam juga menjadi biang keladinya.
Namun, setelah peristiwa pecahnya kerusuhan Tanjung Priok, mulai terjadi perubahan dalam kebijakan Soeharto. Di beberapa kalangan kemudian beredar kisah peristiwa reuni para teman Soeharto ketika dahulu bersekolah di sebuah SMP Muhammadiyah di Yogyakarta.
Pada saat itu beberapa temannya menanyakan soal peristiwa Tanjung Priok. Dan kepada temannya yang jadi presiden itu, dia meminta agar Soeharto jangan kejam atau bertindak terlalu berlebihan terhadap umat Islam. "Apa salahnya kok sampai seperti itu perlakuan terhadap orang Islam?" kata sang teman.
Soeharto tercenung sesaat dan mengangguk-angguk, apalagi setelah sang teman mengatakan bahwa apa yang dilakukan akan sia-sia karena semua manusia akhirnya meninggal dunia serta dimintai pertanggungjawaban di depan mahkamah Illahi.
Bahkan, kekuatan ormas Islam jadi bahan olokan. Di kalangan elite Orde Baru pada 70-an dikenal sebutan peyoratif ketika menganalisis kekuatan politik Islam: tak terorganisir dengan baik, tak punya dana, dan emosional.
Situasi ini makin tak kondusif dengan munculnya berbagai gerakan yang ditengarai ingin mendirikan negara Islam, seperti Komando Jihad sebagai kelanjutan perjuangan DI/TII. Entah bagaimana, tiba-tiba muncul aneka tindakan kekerasan dari kerusuhan hingga pengeboman. Dan salah satu puncaknya adalah munculnya Tragedi Pembantaian Tanjung Priok.
Bila ditelisik, munculnya kasus Priok tidak hanya disebabkan oleh hal yang tunggal, yakni perlakuan kasar anggota militer terhadap kelompok umat Islam yang pada saat itu di Jakarta Utara itu. Namun, penyebab lainnya adalah adanya situasi kebijakan negara yang terkesan sangat anti terhadap berbagai hal yang berbau atau memakai lambang Islam. Pelarangan jilbab dan kebijakan pendidikan yang pendidikan Islam adalah beberapa hal yang juga menjadi soalnya.
Belum lagi ceramah agama dan khutbah yang selalu dikontrol aparat intelijen negara. Penangkapan serta represi kepada para dai dan aktivis Petisi 50 yang kebanyakan merupakan tokoh Islam juga menjadi biang keladinya.
Namun, setelah peristiwa pecahnya kerusuhan Tanjung Priok, mulai terjadi perubahan dalam kebijakan Soeharto. Di beberapa kalangan kemudian beredar kisah peristiwa reuni para teman Soeharto ketika dahulu bersekolah di sebuah SMP Muhammadiyah di Yogyakarta.
Pada saat itu beberapa temannya menanyakan soal peristiwa Tanjung Priok. Dan kepada temannya yang jadi presiden itu, dia meminta agar Soeharto jangan kejam atau bertindak terlalu berlebihan terhadap umat Islam. "Apa salahnya kok sampai seperti itu perlakuan terhadap orang Islam?" kata sang teman.
Soeharto tercenung sesaat dan mengangguk-angguk, apalagi setelah sang teman mengatakan bahwa apa yang dilakukan akan sia-sia karena semua manusia akhirnya meninggal dunia serta dimintai pertanggungjawaban di depan mahkamah Illahi.
Tak
lama setelah peristiwa Priok, ada perkembangan yang menarik. Antara Soeharto
dengan kepala Badan Intelijen Negara dan Menhankam Pangab LB Moerdani mulai
timbul ketidakcocokan. Benny mulai melakukan manuver dan kerap mengkritik Soeharto,
terutama atas kasus bisnis anak-anaknya.
Bahkan, manuver Benny makin menjadi-jadi ketika tersiar kabar bahwa dia ingin menjadi wakil presiden. Situasi semakin panas setelah pada awal 1960-an terdengar berita kelompok tentara LB Moerdani akan melakukan kudeta.
Tak ayal agi, Soeharto bertindak cepat. Tiba-tiba saja Benny Moerdani dipecat dari posisinya sebagai panglima ABRI. Kegaduhan pun muncul. Di arena sidang MPR, seorang anggota DPR dari Fraksi ABRI yang mendukung Benny memunculkan interupsi yang menolak pencalonan Sudharmono sebagai wakil presiden. Di luar, muncul pembunuhan karakter terhadap Sudharmono dengan tuduhan anggota PKI.
Namun, Soeharto jalan terus. Sebagai balasannya, dia kemudian mendekati kelompok Islam yang saat itu melakukan manuver politik dengan mendirikan ICMI dan diketuai BJ Habibie. Mulai dari sini, Soeharto yang sebelumnya tak peduli dengan Islam politik kini berbalik arah. Dia merangkul kelompok Islam.
Sedangkan, kelompok priayi-nasionalis atau LB Moerdani Cs yang semenjak tahun 1965 "menguasai negara" kini berbalik arah menjadi oposan. Saat itulah muncul--terutama di kalangan tentara dan birokrat--istilah ABRI merah dan hijau. Dan karena situasi negara berpihak kepada umat Islam, kemudian muncul sebutan "hijau royo-royo".
Sikap akomodatif terhadap Islam kemudian ditunjukkan dengan sikap Soeharto yang pada awal 90-an memutuskan naik haji bersama seluruh keluarganya. Orang jelas terperangah dengan adanya perubahan yang drastis. Bagi mereka yang nyinyir atau anti-Soeharto, kepergian Soeharto untuk naik haji itu hanyalah kamuflase demi menyelamatkan kekuasaannya.
Menanggapi soal ini, mendiang Nurcholish Madjid pada sebuah seminar sempat menyatakan, dalam hal tertentu Soeharto punya jasa terhadap umat Islam. Selama dia berkuasa, ribuan masjid--Masjid Muslim Pancasila--telah dia dirikan di seluruh pelosok Indonesia. Dia pun memberikan ruang kepada kaum santri melalui pemberian pendidikan yang murah kepada seluruh lapisan rakyat yang notabene sebagian besar di antaranya adalah umat Islam.
Menurut Cak Nur, bila kemudian Pak Harto semakin tua semakin Islami, hal itu memang sikap hidup dari sebagian besar orang Jawa. Mereka bila semakin tua maka akan semakin religius.
"Dan ini dicontohkan oleh sejarah hidup Sunan Kalijaga (Wali yang menjadi favorit orang Jawa--Red) yang di masa muda berandalan jadi perampok dan tukang begal, tapi di masa tua dia menjadi wali yang sangat dihormati," kata Nurcholish Madjid.
Akhirnya, dengan segala kontroversinya, Soeharto memang harus diakui adalah orang besar. Apalagi, salah satu syarat dari orang besar adalah adanya "kontroversi" itu.
Ya, itulah sosok mendiang Presiden Soeharto. Tak ada gading yang retak. Setidaknya Soeharto telah memberikan andil sekaligus warna dalam penyebaran agama Islam. Di awal kekuasaan, dia sepertinya bertindak untuk melanjutkan ide Snouck Hurgronye di mana Islam yang boleh berkembang adalah Islam ibadah, Islam politik harus diberangus. Namun dia akhir masa kekuasaan sekaligus hidupnya anak desa 'kampung Kemusuik' ini telah membalikkannya.
Soeharto menyadari sepenuhnya bahwa 'Islam Politik' maupun 'Islam Ibadah' adalah seutuhnya kenyataan sesungguhnya Indonesia!
Bahkan, manuver Benny makin menjadi-jadi ketika tersiar kabar bahwa dia ingin menjadi wakil presiden. Situasi semakin panas setelah pada awal 1960-an terdengar berita kelompok tentara LB Moerdani akan melakukan kudeta.
Tak ayal agi, Soeharto bertindak cepat. Tiba-tiba saja Benny Moerdani dipecat dari posisinya sebagai panglima ABRI. Kegaduhan pun muncul. Di arena sidang MPR, seorang anggota DPR dari Fraksi ABRI yang mendukung Benny memunculkan interupsi yang menolak pencalonan Sudharmono sebagai wakil presiden. Di luar, muncul pembunuhan karakter terhadap Sudharmono dengan tuduhan anggota PKI.
Namun, Soeharto jalan terus. Sebagai balasannya, dia kemudian mendekati kelompok Islam yang saat itu melakukan manuver politik dengan mendirikan ICMI dan diketuai BJ Habibie. Mulai dari sini, Soeharto yang sebelumnya tak peduli dengan Islam politik kini berbalik arah. Dia merangkul kelompok Islam.
Sedangkan, kelompok priayi-nasionalis atau LB Moerdani Cs yang semenjak tahun 1965 "menguasai negara" kini berbalik arah menjadi oposan. Saat itulah muncul--terutama di kalangan tentara dan birokrat--istilah ABRI merah dan hijau. Dan karena situasi negara berpihak kepada umat Islam, kemudian muncul sebutan "hijau royo-royo".
Sikap akomodatif terhadap Islam kemudian ditunjukkan dengan sikap Soeharto yang pada awal 90-an memutuskan naik haji bersama seluruh keluarganya. Orang jelas terperangah dengan adanya perubahan yang drastis. Bagi mereka yang nyinyir atau anti-Soeharto, kepergian Soeharto untuk naik haji itu hanyalah kamuflase demi menyelamatkan kekuasaannya.
Menanggapi soal ini, mendiang Nurcholish Madjid pada sebuah seminar sempat menyatakan, dalam hal tertentu Soeharto punya jasa terhadap umat Islam. Selama dia berkuasa, ribuan masjid--Masjid Muslim Pancasila--telah dia dirikan di seluruh pelosok Indonesia. Dia pun memberikan ruang kepada kaum santri melalui pemberian pendidikan yang murah kepada seluruh lapisan rakyat yang notabene sebagian besar di antaranya adalah umat Islam.
Menurut Cak Nur, bila kemudian Pak Harto semakin tua semakin Islami, hal itu memang sikap hidup dari sebagian besar orang Jawa. Mereka bila semakin tua maka akan semakin religius.
"Dan ini dicontohkan oleh sejarah hidup Sunan Kalijaga (Wali yang menjadi favorit orang Jawa--Red) yang di masa muda berandalan jadi perampok dan tukang begal, tapi di masa tua dia menjadi wali yang sangat dihormati," kata Nurcholish Madjid.
Akhirnya, dengan segala kontroversinya, Soeharto memang harus diakui adalah orang besar. Apalagi, salah satu syarat dari orang besar adalah adanya "kontroversi" itu.
Ya, itulah sosok mendiang Presiden Soeharto. Tak ada gading yang retak. Setidaknya Soeharto telah memberikan andil sekaligus warna dalam penyebaran agama Islam. Di awal kekuasaan, dia sepertinya bertindak untuk melanjutkan ide Snouck Hurgronye di mana Islam yang boleh berkembang adalah Islam ibadah, Islam politik harus diberangus. Namun dia akhir masa kekuasaan sekaligus hidupnya anak desa 'kampung Kemusuik' ini telah membalikkannya.
Soeharto menyadari sepenuhnya bahwa 'Islam Politik' maupun 'Islam Ibadah' adalah seutuhnya kenyataan sesungguhnya Indonesia!
http://www.ihram.co.id/berita/jurnal-haji/berita-jurnal-haji/17/01/01/oj2u8g385-sunan-kalijaga-islam-jawa-dan-soeharto-naik-haji-part3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar