Seorang
bapak kira-kira usia 65 tahunan duduk sendiri di sebuah lounge bandara Halim
Perdana Kusuma, menunggu pesawat yang akan menerbangkannya ke Jogja. Kami bersebelahan hanya berjarak satu kursi
kosong. Beberapa menit kemudian ia
menyapa saya.
“Dik
hendak ke Jogja juga?”
“Saya
ke Blitar via Malang, Pak. Bapak ke Jogja?”
“Iya.”
“Bapak
sendiri?”
“Iya.”
Senyumnya datar. Menghela napas panjang.“Dik kerja dimana?”
“Saya
serabutan, Pak,” sahut saya sekenanya.
“Serabutan
tapi mapan, ya?” Ia tersenyum. “Kalau
saya mapan tapi jiwanya serabutan.”
Saya
tertegun. “Kok begitu, Pak?”
Ia
pun mengisahkan, istrinya telah meninggal setahun lalu. Dia memiliki dua orang
anak yang sudah besar-besar. Yang sulung sudah mapan bekerja. Di Amsterdam, di sebuah perusahaan farmasi
terkemuka dunia. Yang bungsu, masih
kuliah S2 di USA.
Ketika
ia berkisah tentang rumahnya yang mentereng di kawasan elit Pondok Indah
Jakarta, yang hanya dihuni olehnya seorang, dikawani seorang satpam, 2 orang
pembantu dan seorang sopir pribadinya, ia menyeka airmata di kelopak matanya
dengan tisue.
“Dik
jangan sampai mengalami hidup seperti saya ya. Semua yang saya kejar dari masa muda, kini hanyalah kesia-siaan.
Tiada guna sama sekali dalam keadaan seperti ini. Saya tak tahu harus berbuat
apa lagi. Tapi saya sadar, semua ini akibat kesalahan saya yang selalu memburu
duit, duit, dan duit, sampai lalai
mendidik anak tentang agama, ibadah, silaturrahmi dan berbakti pada orang tua.
Hal
yang paling menyesakkan dada saya ialah saat
istri saya menjelang meninggal dunia karena sakit kanker rahim yang
dideritanya, anak kami yang sulung hanya berkirim SMS tak bisa pulang
mendampingi akhir hayat mamanya gara-gara harus meeting dengan koleganya dari
Swedia. Sibuk. Iya, sibuk sekali…. Sementara anak bungsu saya mengabari via WA
bahwa ia sedang mid - test di kampusnya sehingga tidak bisa pulang...”
“Bapak,
Bapak yang sabar ya….” Tidak ada kalimat
lain yang bisa saya ucapkan selain itu.
Ia
tersenyum kecut. “Sabar sudah saya
jadikan lautan terdalam dan terluas untuk membuang segala sesal saya dik...
Meski
telat, saya telah menginsafi satu hal yang paling berharga dalam hidup manusia,
yakni “Sangkan paraning dumadi.”
Bukan materi sebanyak apa pun. Tetapi, dari mana dan hendak ke mana kita
akhirnya. Saya yakin, hanya dari Allah dan kepada-Nya kita kembali. Di luar
itu, semua semu. Tidak hakiki...
Adik
bisa menjadikan saya contoh kegagalan
hidup manusia yang merana di masa tuanya….”
Ia
mengelus bahu saya –saya tiba-tiba teringat ayah saya. Spontan saya memeluk Bapak tsb..
Tak
sadar menetes airmata.. Bapak tua
tersebut juga meneteskan airmata....
......kejadian
ini telah menyadarkan aku, bahwa mendidik anak tujuan utamanya harus sholeh
bukan kaya. Tanpa kita didikpun rejeki anak sudah dijamin Tuhan-Nya, tapi tidak
ada jaminan tentang keimanannya, orang tua yg harus berusaha untuk mendidik dan
menanamkannya.
Di
pesawat, seusai take off, saya melempar pandangan ke luar jendela, ke
kabut-kabut yang berserak bergulung-gulung, terasa diri begitu kecil lemah tak
berdaya di hadapan kekuasaan-Nya.
---------------------------------------------------------------------------
Sangkan paran adalah pengetahuan tentang dari mana kamu berasal dan kemana tujuan kamu. -- Atau lebih mudahnya adalah ilmu tentang jalan pulang. -- Sebenarnya dimana rumah asalmu maka kesanalah kamu akan pulang.
Sangkan paran adalah pengetahuan tentang dari mana kamu berasal dan kemana tujuan kamu. -- Atau lebih mudahnya adalah ilmu tentang jalan pulang. -- Sebenarnya dimana rumah asalmu maka kesanalah kamu akan pulang.
Kata Sangkan Paraning Dumadi ialah istilah
yang dari berasal bahasa jawa yg merupakan sangkan itu berasal, paran itu
tujuan atai destinasi, dumadi ialah insiden.
- Jadi kalau di terjemahkan adalah dari mana manusia berasal dan kemana
manusia akan pulang.
- Bila ini diterjemahkan dari islam berarti
berasal manusia asal Allah dan
akan balik pada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar