Kamis, 01 Juni 2017

Egoisme Suami “Shaleh” di Bulan Puasa

Banyak laki-laki mukmin yang egois. Demi mendapatkan sorga ia rela menghabiskan banyak waktunya untuk berdzikir, shalat malam, tadarus, iktikaf di masjid hingga ia tak mempedulikan istrinya yang kerepotan mengurus rumah tangga dan anak-anaknya di rumah.

Di bulan puasa, menjelang waktu makan sahur seorang suami tak menyia-nyiakan waktunya untuk Shalatul Lail hingga berlama-lama, sementara sang istri begitu repot menyiapkan segala keperluan untuk makan sahur bagi keluarga.

Setelah usai makan sahur ia bergegas ke masjid untuk shalat Subuh, lalu ia menghabiskan pula waktu pagi harinya dengan tadarus membaca Al Quran. Sementara sang istri susah payah membersihkan perlengkapan dapur yang kotor bekas makan sahur, dilanjutkan mengurus anak-anaknya yang masih belum cukup dewasa.  

Perkara shalat lima waktu ia tak menyia-nyiakan untuk selalu berjamaah di masjid demi mengejar pahala 27 derajat, sementara istrinya cukup shalat sendirian di rumah.

Di siang atau sore hari ia bisa merebahkan diri di tempat tidur untuk istirahat, sementara istrinya masih susah payah belanja ke pasar untuk membeli segala kebutuhan buka puasa.

Pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, ia selalu menghabiskan waktunya untuk iktikaf di masjid demi meraih “Lailatul Qadar” yang pahalanya setara dengan seribu bulan.  Sementara istrinya tetap berkutat dengan segala permasalahan rumah tangga dan masalah pendidikan anak-anaknya.

Begitukah tuntunan Islam?

Banyak hadits yang menerangkan bahwa seorang istri yang taat pada suami, ikhlas dan sabar terhadap segala sesuatu berkaitan dengan suami maka ia dijamin masuk sorga.

Kata kuncinya adalah Taat, Ikhlas dan Sabar.  Namun untuk dapat ikhlas tidaklah mudah. Karena ikhlas adalah aktivitas hati, yaitu suatu kerelaan atau ketulusan hati menerima dengan senang atas suatu kejadian.  Bagaimana kalau sang istri merasa kesal atau dongkol karena sang suami tak peduli dengan kesusah-payahannya. Hanya karena ia tak berani mengungkapkannya maka ia harus sabar.  Sabar yang terpaksa.

Kalau suami menghendaki istri untuk patuh, ikhlas dan sabar terhadap suami, bukankah itu egois?

Seorang suami yang menghabiskan banyak waktunya untuk berdzikir, shalat malam, tadarus dan iktikaf di masjid, namun ia tak mempedulikan kondisi fisik dan suasana hati istrinya yang repot mengurus rumah tangga, sesungguhnya itu adalah “keshalehan individual” yang egoistis.

Rasulullah SAW bersabda “Khairunnas anfa’uhum linnas”, sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak mamfaat bagi orang lain.  Hadits ini seakan-akan mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauh mana derajat kemuliaan akhlak seseorang maka ukurlah sejauh mana nilai manfaat terhadap orang lain, bukan nilai ibadah individualnya. 

Melaksanakan ibadah seperti dzikir, shalat malam, tadarus dan iktikaf (hablum minallah) itu boleh dan bagus dilakukan, apabila terlebih dahulu memperhatikan situasi kondisi rumah tangganya (hablum minan nas).  Dalam pelaksanaan ibadah harus seimbang antara hablum minallah dan hablum minannas. Tidak selayaknya seseorang hanya beribadah kepada Allah secara berlebihan.

Di dalam Al-Qur’an tercatat 26 kali Allah SWT memberikan perumpamaan maupun peringatan agar jangan melampaui batas. “Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. 5: 87 ; QS.7: 55 ; QS. 6: 119; dsb)

Saat haji wada’ Rasulullah Saw  berpesan, “Wahai manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana kalian mempunyai hak atas mereka. Ketahuilah, kalian mengambil wanita itu sebagai amanah dari Allah dan kalian halalkan kehormatan mereka dengan kitab Allah. Takutlah kepada Allah dalam mengurus istri kalian. Aku wasiatkan atas kalian untuk selalu berbuat baik.“

Allah SWT melalui surat Al Baqarah ayat 228 berfirman: “Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.”

Rasulullah Saw menegaskan dalam sabdanya: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

Memuliakan istri merupakan akhlak terbaik dari seorang suami.  Dari berbagai macam pandangan para ulama dan pakar psikologi, memuliakan istri dapat dilakukan dengan setidaknya empat cara, yaitu :

1.         Mengungkapkan cinta secara tulus
2.         Mengayomi, melindungi & mendidik dengan santun
3.         Selalu siap mendengarkan pendapat & memahami kejiwaan istri
4.         Tidak membebani dengan beban yang berlebihan

Poin ke 3 dan 4 itulah yang seringkali tidak dipedulikan oleh kebanyakan para suami.  Mereka hanya mendoktrin seorang istri untuk patuh, ikhlas dan sabar sebagai jaminan sorga.


Demikianlah semoga kita tidak terjebak ke dalam ibadah individual semata, tetapi harus pula memperhatikan ibadal sosial, termasuk terhadap istri.  Khairunnas anfa’uhum linnas (Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak mamfaat bagi orang lain.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar