Banyak laki-laki mukmin
yang egois. Demi mendapatkan sorga ia rela menghabiskan banyak waktunya untuk
berdzikir, shalat malam, tadarus, iktikaf di masjid hingga ia tak mempedulikan
istrinya yang kerepotan mengurus rumah tangga dan anak-anaknya di rumah.
Di bulan puasa,
menjelang waktu makan sahur seorang suami tak menyia-nyiakan waktunya untuk Shalatul
Lail hingga berlama-lama, sementara sang istri begitu repot menyiapkan segala
keperluan untuk makan sahur bagi keluarga.
Setelah usai makan sahur
ia bergegas ke masjid untuk shalat Subuh, lalu ia menghabiskan pula waktu pagi
harinya dengan tadarus membaca Al Quran. Sementara sang istri susah payah
membersihkan perlengkapan dapur yang kotor bekas makan sahur, dilanjutkan
mengurus anak-anaknya yang masih belum cukup dewasa.
Perkara shalat lima
waktu ia tak menyia-nyiakan untuk selalu berjamaah di masjid demi mengejar
pahala 27 derajat, sementara istrinya cukup shalat sendirian di rumah.
Di siang atau sore hari
ia bisa merebahkan diri di tempat tidur untuk istirahat, sementara istrinya masih
susah payah belanja ke pasar untuk membeli segala kebutuhan buka puasa.
Pada 10 hari terakhir
bulan Ramadhan, ia selalu menghabiskan waktunya untuk iktikaf di masjid demi meraih
“Lailatul Qadar” yang pahalanya setara dengan seribu bulan. Sementara istrinya tetap berkutat dengan
segala permasalahan rumah tangga dan masalah pendidikan anak-anaknya.
Begitukah tuntunan
Islam?
Banyak hadits yang menerangkan
bahwa seorang istri yang taat pada suami, ikhlas dan sabar terhadap segala
sesuatu berkaitan dengan suami maka ia dijamin masuk sorga.
Kata kuncinya adalah Taat,
Ikhlas dan Sabar. Namun untuk dapat
ikhlas tidaklah mudah. Karena ikhlas adalah aktivitas hati, yaitu suatu kerelaan
atau ketulusan hati menerima dengan senang atas suatu kejadian. Bagaimana kalau sang istri merasa kesal atau
dongkol karena sang suami tak peduli dengan kesusah-payahannya. Hanya karena ia
tak berani mengungkapkannya maka ia harus sabar. Sabar yang terpaksa.
Kalau suami menghendaki istri
untuk patuh, ikhlas dan sabar terhadap suami, bukankah itu egois?
Seorang suami yang menghabiskan
banyak waktunya untuk berdzikir, shalat malam, tadarus dan iktikaf di masjid, namun
ia tak mempedulikan kondisi fisik dan suasana hati istrinya yang repot mengurus
rumah tangga, sesungguhnya itu adalah “keshalehan individual” yang egoistis.
Rasulullah
SAW bersabda “Khairunnas anfa’uhum linnas”, sebaik-baik manusia diantaramu adalah
yang paling banyak mamfaat bagi orang lain.
Hadits ini seakan-akan mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauh
mana derajat kemuliaan akhlak seseorang maka ukurlah sejauh mana nilai manfaat terhadap
orang lain, bukan nilai ibadah individualnya.
Melaksanakan ibadah
seperti dzikir, shalat malam, tadarus dan iktikaf (hablum minallah) itu boleh
dan bagus dilakukan, apabila terlebih dahulu memperhatikan situasi kondisi
rumah tangganya (hablum minan nas). Dalam
pelaksanaan ibadah harus seimbang antara hablum minallah dan hablum minannas. Tidak
selayaknya seseorang hanya beribadah kepada Allah secara berlebihan.
Di dalam Al-Qur’an
tercatat 26 kali Allah SWT memberikan perumpamaan maupun peringatan agar jangan
melampaui batas. “Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.” (QS. 5: 87 ; QS.7: 55 ; QS. 6: 119; dsb)
Saat
haji wada’ Rasulullah Saw berpesan, “Wahai manusia, sesungguhnya istri
kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana kalian mempunyai hak atas mereka.
Ketahuilah, kalian mengambil wanita itu sebagai amanah dari Allah dan kalian
halalkan kehormatan mereka dengan kitab Allah. Takutlah kepada Allah dalam
mengurus istri kalian. Aku wasiatkan atas kalian untuk selalu berbuat baik.“
Allah SWT melalui surat
Al Baqarah ayat 228 berfirman: “Dan para
istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang
ma’ruf.”
Rasulullah Saw menegaskan dalam sabdanya: “Mukmin
yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Ahmad dan
At-Tirmidzi)
Memuliakan
istri merupakan akhlak terbaik dari seorang suami. Dari berbagai macam pandangan para ulama dan
pakar psikologi, memuliakan istri dapat dilakukan dengan setidaknya empat cara,
yaitu :
1. Mengungkapkan cinta secara tulus
2. Mengayomi, melindungi & mendidik dengan
santun
3. Selalu siap mendengarkan pendapat &
memahami kejiwaan istri
4. Tidak membebani dengan beban yang
berlebihan
Poin ke 3 dan 4 itulah
yang seringkali tidak dipedulikan oleh kebanyakan para suami. Mereka hanya mendoktrin seorang istri untuk
patuh, ikhlas dan sabar sebagai jaminan sorga.
Demikianlah semoga kita
tidak terjebak ke dalam ibadah individual semata, tetapi harus pula
memperhatikan ibadal sosial, termasuk terhadap istri. Khairunnas
anfa’uhum linnas (Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak
mamfaat bagi orang lain.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar