Rabu, 07 Juni 2017

Mempertanyakan Keshahihan Hadis Laki2 Wajib Shalat di Masjid

“Laki-laki wajib shalat berjamaah di masjid, benarkah?”  Frasa atau kalimat tersebut menjadi polemik dalam diskusi di sebuah grup whatsapp.  Timbul dua kelompok pro dan kontra terhadap hukum wajibnya laki-laki shalat berjamaah di masjid. Namun kedua kelompok sepakat bahwa menegakkan shalat lima waktu di masjid merupakan ibadah yang terpuji dengan pahala yang lebih besar.

Kelompok yang berpendapat hukumnya wajib bagi laki2 untuk melaksanakan shalat berjamaah di masjid berpedoman pada 3 buah hadis (yang diklaim) shahih yaitu, secara garis besar masing-masing menyatakan: (1) Rasulullah bersabda bahwa seorang laki-laki wajib shalat berjamaah di masjid kecuali ada uzur; (2) Rasulullah membakar rumah orang-orang  lelaki yang tidak shalat berjamaah; dan (3) Rasulullah memerintahkan seorang yang buta untuk pergi ke masjid melaksanakan shalat berjamaah.  (catatan: kutipan hadis lengkap di bagian akhir artikel)

Kelompok yang lain justru menyangsikan validitas (keshahihan) ketiga hadis tersebut.  Mereka berpendapat sebagai berikut:

Pertama, berkenaan dengan hadis yang menyatakan Rasulullah membakar rumah orang-orang  lelaki yang tidak shalat berjamaah. Belum pernah terdengar dalam sejarah, sejak dahulu sampai sekarang sekalipun di Mekah dan Madinah, ada rumah dibakar lantaran penghuni lelakinya tidak shalat berjamaah di masjid.  Para ulama yang ada pun hampir tidak pernah menyuarakan hadis ini. Kenyataan saat ini adalah bahwa peserta jamaah shalat di masjid hanya sebagian kecil (kurang dari 10 persen) dari warga kampung sekitar. Kalau hadis ini dilaksanakan maka akan terjadi lautan api akibat banyaknya rumah yang dibakar. Namun kalau tidak dilaksanakan maka berarti para ulama mengabaikan sunah rasul.  Astaghfirullah hal adzim.

Kedua, berkenaan dengan hadis yang menyatakan Rasulullah memerintahkan seorang yang buta untuk pergi ke masjid melaksanakan shalat berjamaah.  Kalau hadis ini valid maka terkesan Rasulullah bertindak dzalim, tidak punya rasa empati yang memaksa seorang buta untuk pergi ke masjid tanpa peduli seberapa jauh dan berat medan perjalanan ke masjid.  Hal itu bertolak belakang dengan sifat rasulullah yang arif dan bijaksana.

Ketiga, berkenaan dengan hadis yang menyatakan Rasulullah mewajibkan seorang laki-laki wajib shalat berjamaah di masjid kecuali ada uzur.  Hadis ini menyiratkan bahwa seorang lelaki yang melaksanakan shalat fardu di rumah tidak sah, bahkan berdosa karena tidak melakukan kewajiban untuk shalat berjamaah di masjid.   Rasanya tidak masuk akal.

Mencermati ketiga hadis tersebut timbul pertanyaan, Apakah se-ekstrim itu Islam terhadap umatnya sampai memaksa orang buta dan membakar rumah segala? Tidak!  Islam adalah agama yang penuh rahmat, toleran, beradab, ramah, adil, dan bijaksana. Islam bukan agama yang kejam dan memaksakan kehendak sampai membakar rumah segala.

Islam adalah agama yang ramah dan toleran. Jangankan terhadap sesama umat muslim,  terhadap orang kafirpun Nabi memerintahkan untuk menghormati dan berbuat baik (kecuali kafir harbi yang memerangi Islam).

Oleh karenanya maka patut dipertanyakan validitas atau keshahihan ketiga hadis diatas yang mewajibkan bagi laki-laki untuk shalat berjamaah di masjid.   Hukum wajib adalah keharusan, yang apabila tidak dilaksanakan maka berdosa. Jangan-jangan hadis itu sudah mengalami pergeseran  teksnya, atau bahkan aspal (asli tapi palsu). 

Seperti diketahui bahwa menurut sejarah, hadis beredar dari mulut ke mulut selama hampir dua ratus tahun di antara perawi hadis, sehingga dalam penulisannya memungkinkan terjadinya ketidaksempurnaan.  Inilah yang menimbulkan banyak aliran atau golongan dalam Islam akibat adanya iktilaf (perbedaan pendapat diantara para ulama dalam menafsirkan Alqur’an dan hadis).

Selain itu pula banyak hadis palsu muncul karena tendensi politis dikalangan para sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, dan seterusnya untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.  Menurut Prof. DR. Quraish Shihab, hadis yang beredar lebih dari 500.000 jumlahnya. Namun setelah diteliti oleh para ahli hadis hanya sekitar 20.000 saja yang bisa diterima. Itu artinya lebih dari 400.000 hadis diragukan validitasnya.

Oleh karenanya maka diperlukan kehati-hatian dalam menggunakan hadis.  Karena kebenaran hadis tidaklah mutlak seperti Alquran. Alquran adalah firman Allah SWT melalui Nabi Muhammad Saw yang dijamin kebenarannya.  Sedangkan hadis adalah “karya tulis manusia” berisi persepsi seseorang tentang perkataan, prilaku dan sikap Rasulullah Saw yang ia lihat atau dengar.  Oleh karenanya hadis sebagai karya tulis manusia tidak luput dari kesalahan.

Dalam menilai valid tidaknya sebuah hadis dalam rangka untuk diamalkan adalah dengan 3 parameter, yaitu: (1) Tidak bertentangan dengan Alqur’an; (2) Logis dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, yaitu nilai kasih sayang, adil, bijaksana, empati, peduli, toleran, ramah, tanggung jawab, persatuan, dsb; dan (3) Bisa meningkatkan ketaqwaan.

Memahami Alqur’an maupun hadis tidak bisa hanya secara tekstual (harfiah), tetapi harus pula secara kontekstual (maknawiah).  Dan syarat untuk untuk memaknai sebuah nash dalam Alqu’an maupun hadis antara lain harus memahami ilmu tata bhs arab (Nahwu, Shorof, Balaghoh), serta Asbabul Nuzul atau Asbabul Wurud, dsb.

Tetapi kiranya  hingga kini masih ada kalangan yang memahami hadis secara tekstual, yaitu pemahaman berdasarkan teks-teks sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks narasi (pemahaman apa yang tersurat).  Sementara kalangan yang lain memahami secara maknawiah atau kontekstual yaitu memahami agama dengan melihat kepada makna dan tujuan daripada teks-teks tersebut (pemahaman apa yang tersirat).

Berkenaan dengan memaknai kata perintah (al-amr) maupun kata larangan (al-nahyu) dalam teks-teks Alqur’an maupun hadis (terutama ketiga hadis diatas) , penting untuk mengetahui hakekatnya.  Karena banyak lafal-lafal yang Mujmal (pengertian blm tegas) atau bersifat Musytafak (pengertian secara global).

Dalam ilmu bahasa Arab, tidak semua kata perintah (fiil amr) itu mutlak wajib hukumnya.  Ada banyak kata kerja perintah (fiil amr) di dalam Alqur’an dan hadis yang mempunyai tingkatan keharusannya berbeda.  Macam2 makna kalimat perintah (al-Amr ) sebagai berikut :

a.  Bersifat ancaman (tahdid). Contoh: Diwajibkan atas kamu berpuasa …, Dirikanlah shalat… dsb.
b.  Bersifat menganjurkan (nadb). Contoh:  Hendaklah kamu …
c.  Bersifat petunjuk (irsyad). Contoh:   Apabila kamu … maka hendaklah …
d.  Bersifat kebolehan (ibahah). Contoh: Makanlah dan minumlah kamu…
e.  Mempersilahkan (takrim). Contoh: Masuklah ke dalam surga
f.  Untuk melemahkan (ta’jiz).  Contoh:   Maka datangkanlah satu surat yang seperti 
g.  Untuk mendustakan (takzib). Contoh:  Tunjukkanlah bukti …
h.  Untuk permohonan. Contoh:  Berikanlah kami …


Hadis-hadis yang mewajibkan laki-laki shalat berjamaah di masjid:

1. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mendengar azan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali bila ada uzur.” (HR Ibnu Majah dalam Sunannya, kitab Al Masajid wal Jama’ah, Bab At Taghlidz Fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 785. Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 631)

2.   Rasulullah  bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku ada ditanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar. Lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat, dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka. (HR Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Adzan, Bab Wujubu Shalatil Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Sholat, Bab Fadhlu Shalatil Jama’ah wa Bayani At Tasydid Fit Takhalluf ‘Anha, no. 1041)


3.  “Seorang lelaki buta menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak memiliki seorang penuntun yang bisa menuntunku berjalan ke mesjid.’ Kemudian ia memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diberikan keringanan sehingga dia boleh shalat di rumahnya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkannya. Ketika orang tersebut berpaling pergi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan berkata, ‘Apakah kamu mendengar azan shalat?’ Ia menjawab, ‘Iya.’ Beliau pun menyatakan, ‘Maka datangilah!’”  (HR Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala Man Sami’a An Nida’ no. 1044).

Demikian, artikel ini ditulis berawal dari sebuah diskusi ringan dari beberapa orang yang bukan ahli agama tetapi juga tidak buta sama sekali tentang hukum agama.  Esensinya adalah mempertanyakan validitas tiga hadis tentang hukum wajibnya bagi laki-laki untuk melaksanakan shalat berjamaah di Masjid, yang dinilai penuh kejanggalan. Saya berpendapat bahwa shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki hukumnya BUKAN WAJIB tapi SANGAT DIANJURKAN. Semoga bermanfaat


Wallahu a’lam bishawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar