“Laki-laki wajib shalat
berjamaah di masjid, benarkah?” Frasa
atau kalimat tersebut menjadi polemik dalam diskusi di sebuah grup
whatsapp. Timbul dua kelompok pro dan
kontra terhadap hukum wajibnya laki-laki shalat berjamaah di masjid. Namun
kedua kelompok sepakat bahwa menegakkan shalat lima
waktu di masjid merupakan ibadah yang terpuji dengan pahala yang lebih besar.
Kelompok yang
berpendapat hukumnya wajib bagi laki2 untuk melaksanakan shalat berjamaah di masjid
berpedoman pada 3 buah hadis (yang diklaim) shahih yaitu, secara garis besar masing-masing
menyatakan: (1) Rasulullah bersabda bahwa seorang laki-laki wajib shalat
berjamaah di masjid kecuali ada uzur; (2) Rasulullah membakar rumah
orang-orang lelaki yang tidak shalat
berjamaah; dan (3) Rasulullah memerintahkan seorang yang buta untuk pergi ke
masjid melaksanakan shalat berjamaah. (catatan:
kutipan hadis lengkap di bagian akhir artikel)
Kelompok yang lain
justru menyangsikan validitas (keshahihan) ketiga hadis tersebut. Mereka berpendapat sebagai berikut:
Pertama, berkenaan
dengan hadis yang menyatakan Rasulullah membakar rumah orang-orang lelaki yang tidak shalat berjamaah. Belum pernah
terdengar dalam sejarah, sejak dahulu sampai sekarang sekalipun di Mekah dan
Madinah, ada rumah dibakar lantaran penghuni lelakinya tidak shalat berjamaah
di masjid. Para ulama yang ada pun
hampir tidak pernah menyuarakan hadis ini. Kenyataan saat ini adalah bahwa peserta
jamaah shalat di masjid hanya sebagian kecil (kurang dari 10 persen) dari warga
kampung sekitar. Kalau hadis ini dilaksanakan maka akan terjadi lautan api
akibat banyaknya rumah yang dibakar. Namun kalau tidak dilaksanakan maka
berarti para ulama mengabaikan sunah rasul.
Astaghfirullah hal adzim.
Kedua, berkenaan dengan
hadis yang menyatakan Rasulullah memerintahkan seorang yang buta untuk pergi ke
masjid melaksanakan shalat berjamaah. Kalau
hadis ini valid maka terkesan Rasulullah bertindak dzalim, tidak punya rasa
empati yang memaksa seorang buta untuk pergi ke masjid tanpa peduli seberapa
jauh dan berat medan perjalanan ke masjid.
Hal itu bertolak belakang dengan sifat rasulullah yang arif dan
bijaksana.
Ketiga, berkenaan dengan
hadis yang menyatakan Rasulullah mewajibkan seorang laki-laki wajib shalat
berjamaah di masjid kecuali ada uzur. Hadis ini menyiratkan bahwa seorang lelaki
yang melaksanakan shalat fardu di rumah tidak sah, bahkan berdosa karena tidak
melakukan kewajiban untuk shalat berjamaah di masjid. Rasanya tidak masuk akal.
Mencermati ketiga hadis
tersebut timbul pertanyaan, Apakah se-ekstrim itu Islam terhadap umatnya sampai
memaksa orang buta dan membakar rumah segala? Tidak! Islam adalah agama yang penuh rahmat, toleran,
beradab, ramah, adil, dan bijaksana. Islam bukan agama yang kejam dan memaksakan
kehendak sampai membakar rumah segala.
Islam adalah agama yang ramah
dan toleran. Jangankan terhadap sesama umat muslim, terhadap orang kafirpun Nabi memerintahkan
untuk menghormati dan berbuat baik (kecuali kafir harbi yang memerangi Islam).
Oleh karenanya maka
patut dipertanyakan validitas atau keshahihan ketiga hadis diatas yang
mewajibkan bagi laki-laki untuk shalat berjamaah di masjid. Hukum wajib adalah keharusan, yang apabila
tidak dilaksanakan maka berdosa. Jangan-jangan hadis itu sudah mengalami pergeseran
teksnya, atau bahkan aspal (asli tapi
palsu).
Seperti diketahui bahwa menurut
sejarah, hadis beredar dari mulut ke mulut selama hampir dua ratus tahun di
antara perawi hadis, sehingga dalam penulisannya memungkinkan terjadinya
ketidaksempurnaan. Inilah yang
menimbulkan banyak aliran atau golongan dalam Islam akibat adanya iktilaf
(perbedaan pendapat diantara para ulama dalam menafsirkan Alqur’an dan hadis).
Selain itu pula banyak
hadis palsu muncul karena tendensi politis dikalangan para sahabat, tabi’in,
tabiut tabi’in, dan seterusnya untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Menurut Prof. DR. Quraish Shihab, hadis yang
beredar lebih dari 500.000 jumlahnya. Namun setelah diteliti oleh para ahli
hadis hanya sekitar 20.000 saja yang bisa diterima. Itu artinya lebih dari 400.000
hadis diragukan validitasnya.
Oleh karenanya maka
diperlukan kehati-hatian dalam menggunakan hadis. Karena kebenaran hadis tidaklah mutlak
seperti Alquran. Alquran adalah firman Allah SWT melalui Nabi Muhammad Saw yang
dijamin kebenarannya. Sedangkan hadis
adalah “karya tulis manusia” berisi persepsi seseorang tentang perkataan,
prilaku dan sikap Rasulullah Saw yang ia lihat atau dengar. Oleh karenanya hadis sebagai karya tulis
manusia tidak luput dari kesalahan.
Dalam menilai valid
tidaknya sebuah hadis dalam rangka untuk diamalkan adalah dengan 3 parameter,
yaitu: (1) Tidak bertentangan dengan Alqur’an; (2) Logis dan tidak bertentangan
dengan nilai-nilai kebajikan, yaitu nilai kasih sayang, adil, bijaksana, empati,
peduli, toleran, ramah, tanggung jawab, persatuan, dsb; dan (3) Bisa
meningkatkan ketaqwaan.
Memahami Alqur’an maupun
hadis tidak bisa hanya secara tekstual (harfiah), tetapi harus pula secara
kontekstual (maknawiah). Dan syarat
untuk untuk memaknai sebuah nash dalam Alqu’an maupun hadis antara lain harus memahami
ilmu tata bhs arab (Nahwu, Shorof, Balaghoh), serta Asbabul Nuzul atau Asbabul Wurud,
dsb.
Tetapi kiranya hingga kini masih ada kalangan yang memahami
hadis secara tekstual, yaitu pemahaman berdasarkan teks-teks sesuai dengan apa
yang tertulis dalam teks narasi (pemahaman apa yang tersurat). Sementara kalangan yang lain memahami secara
maknawiah atau kontekstual yaitu
memahami agama dengan melihat kepada makna dan tujuan daripada teks-teks
tersebut (pemahaman apa yang tersirat).
Berkenaan dengan memaknai kata perintah (al-amr)
maupun kata larangan (al-nahyu) dalam teks-teks Alqur’an maupun hadis (terutama
ketiga hadis diatas) , penting untuk mengetahui hakekatnya. Karena banyak lafal-lafal yang Mujmal
(pengertian blm tegas) atau bersifat Musytafak (pengertian secara global).
Dalam ilmu bahasa Arab,
tidak semua kata perintah (fiil amr) itu mutlak wajib hukumnya. Ada banyak kata kerja perintah (fiil amr) di dalam
Alqur’an dan hadis yang mempunyai tingkatan keharusannya berbeda. Macam2 makna kalimat perintah (al-Amr )
sebagai berikut :
a. Bersifat ancaman (tahdid).
Contoh: Diwajibkan atas kamu berpuasa … , Dirikanlah shalat…
dsb.
b. Bersifat menganjurkan (nadb).
Contoh: Hendaklah kamu …
c. Bersifat petunjuk (irsyad).
Contoh: Apabila kamu … maka
hendaklah …
d. Bersifat kebolehan (ibahah). Contoh:
Makanlah dan minumlah kamu…
e. Mempersilahkan (takrim).
Contoh: Masuklah ke dalam surga
f. Untuk melemahkan (ta’jiz).
Contoh: Maka datangkanlah satu surat yang seperti …
g. Untuk mendustakan (takzib).
Contoh: Tunjukkanlah bukti …
h. Untuk permohonan.
Contoh: Berikanlah kami …
Hadis-hadis
yang mewajibkan laki-laki shalat berjamaah di masjid:
1. Rasulullah
bersabda: “Barangsiapa yang
mendengar azan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali
bila ada uzur.” (HR Ibnu Majah dalam
Sunannya, kitab Al Masajid wal Jama’ah, Bab At Taghlidz Fi At Takhalluf ‘Anil
Jama’ah, no. 785. Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu
Majah, no. 631)
2. Rasulullah bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku ada ditanganNya, sungguh aku bertekad
meminta dikumpulkan kayu bakar. Lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar).
Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku
perintahkan seseorang untuk mengimami shalat, dan aku tidak berjama’ah untuk
menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah), lalu aku bakar rumah-rumah
mereka.” (HR Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Adzan, Bab Wujubu
Shalatil Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa
Mawadhi’ Sholat, Bab Fadhlu Shalatil Jama’ah wa Bayani At Tasydid Fit Takhalluf
‘Anha, no. 1041)
3. “Seorang
lelaki buta menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata,
‘Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak memiliki seorang penuntun yang bisa
menuntunku berjalan ke mesjid.’ Kemudian ia memohon kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diberikan keringanan sehingga dia boleh
shalat di rumahnya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkannya.
Ketika orang tersebut berpaling pergi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
memanggilnya dan berkata, ‘Apakah kamu mendengar azan shalat?’ Ia menjawab,
‘Iya.’ Beliau pun menyatakan, ‘Maka datangilah!’” (HR Muslim dalam
Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala
Man Sami’a An Nida’ no. 1044).
Demikian, artikel ini ditulis berawal dari
sebuah diskusi ringan dari beberapa orang yang bukan ahli agama tetapi juga
tidak buta sama sekali tentang hukum agama. Esensinya adalah
mempertanyakan validitas tiga hadis tentang hukum wajibnya bagi laki-laki untuk
melaksanakan shalat berjamaah di Masjid, yang dinilai penuh kejanggalan. Saya
berpendapat bahwa shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki hukumnya BUKAN
WAJIB tapi SANGAT DIANJURKAN. Semoga bermanfaat
Wallahu a’lam bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar