Keluarga
adalah unsur terkecil dari masyarakat.
Rumah yang didalamnya tinggal keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, adalah bagaikan mata air yang tidak hanya memberikan kesejukan bagi setiap insan yang tinggal didalamnya, tapi juga sebagai mata air ilmu bagi masyarakat di mana rumah itu berada.
Rumah yang didalamnya tinggal keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, adalah bagaikan mata air yang tidak hanya memberikan kesejukan bagi setiap insan yang tinggal didalamnya, tapi juga sebagai mata air ilmu bagi masyarakat di mana rumah itu berada.
Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah
Rahmat bagi 2 anak manusia yang akan memasuki jenjang pernikahan, salah satunya, adalah mendapat doa dari teman, dan sanak saudara untuk menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, atau yang saat ini ngetrend disebut dengan keluarga Samara(h). Sebenarnya dari dulu penulis juga bertanya-tanya, seperti apa ya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah itu? Bagaimana juga membentuk keluarga yang didalamnya ada sakinah, mawaddah, warahmah. Berikut hasil kompilasi dari berbagai tulisan sebagai bahan belajar bagi diri sendiri.
Rahmat bagi 2 anak manusia yang akan memasuki jenjang pernikahan, salah satunya, adalah mendapat doa dari teman, dan sanak saudara untuk menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, atau yang saat ini ngetrend disebut dengan keluarga Samara(h). Sebenarnya dari dulu penulis juga bertanya-tanya, seperti apa ya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah itu? Bagaimana juga membentuk keluarga yang didalamnya ada sakinah, mawaddah, warahmah. Berikut hasil kompilasi dari berbagai tulisan sebagai bahan belajar bagi diri sendiri.
Sakinah
Istilah
“sakinah” memiliki arti tenang, tenteram, atau damai. Dalam Al-Quran, Allah SWT
menggunakan kata sakinah untuk menggambarkan ketenangan, seperti yang terdapat
pada Q.S Al-Fath : 4
“Dialah
yang telah menurunkan ketenangan (sakinah) ke dalam hati orang-orang mukmin
untuk menambahkan keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada). Dan milik
Allah-lah bala tentara langit dan bumi, dan Allah Maha Mengetahui,
Mahabijaksana.”
Sakinah
memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun”, yang memiliki arti tempat tinggal.
Karena itu sakinah sering digunakan untuk menggambarkan tempat tinggal atau
rumah yang penuh dengan ketenangan. Rumah dimana setiap anggota keluarga merasa
tenang saat dia berada di dalamnya, dan selalu ingin untuk kembali kepadanya.
Mawaddah
Bersamaan
dengan ketenangan, keluarga muslim juga sangat mengharapkan akan adanya
Mawaddah yang tumbuh diantara suami dan istri, orang tua dan anak, dan tentunya
tidak hanya dalam satu keluarga inti saja, tapi juga dengan kerabat dari kedua
belah pihak. Mungkin dari harapan-harapan di atas sudah bisa diperkirakan
kira-kira arti mawaddah itu apa. Sesuatu yang tumbuh diantara 2 individu itu,
pastinya yang sangat-sangat diharapkan adalah tumbuhnya “kasih sayang” atau
“cinta”. Dalam hal ini kasih sayang dan cinta yang dimaksud oleh mawaddah ialah
yang bersifat fisik dan menggebu-gebu. Tentunya kasih sayang yang diridhai
Allah SWT seperti yang terdapat dalam QS Ar-Rum, 21:
“Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS. Ar-Ruum 21)
Dalam
QS. Al-Mumtahanah ayat 7, Allah SWT juga berfirman,
Mudah-mudahan
Allah menumbuhkan kasih sayang diantara kamu dengan orang-orang yang pernah
kamu musuhi di antara mereka. Allah Mahakuasa. Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.
Dari
ayat ini, ternyata kasih sayang itu tidak hanya Allah tumbuhkan diantara orang2
yang dekat saja, tapi juga dengan orang-orang yang pernah dimusuhi sekalipun.
(Ayat ini ditujukan untuk kaum yang pernah memusuhi nabi Ibrahim dan kaumnya).
Rahmah
Dalam
QS. Ar-Rum ayat 21, Allah SWT menyandingkan kata Mawaddah, dan Rahmah secara
berurutan. Rahmah, salah satu sifat Allah yang memiliki arti “sayang”, juga
sangat diharapkan untuk tumbuh dalam suatu keluarga.
Terkadang
timbul kerancuan jika kata mawaddah dan rahmah diartikan ke bahasa Indonesia.
Seorang ulama membedakan kata Mawaddah yang berarti kasih itu lebih kepada
kasih terhadap sesuatu yang zahir (nyata) seperti cinta kepada fisik atau
kecantikan/ketampanan, sedangkan Rahmah yang berarti sayang lebih kepada cinta
kepada batin/sifat seseorang. Rasa sayang mana yang lebih dianjurkan? Sebagai
manusia fitrahnya adalah menyukai sesuatu yang baik, dan cantik secara fisik.
Tapi adakalanya kecantikan/ketampanan secara fisik itu tidak bersifat abadi
seiring dengan usia. Rasa sayang yang ditumbuhkan Allah SWT dari hati karena
hanya dirinya satu-satunya yang bisa menenteramkan hati kita dengan sifat dan
perilakunya, dengan canda-tawanya, bahkan dengan amarahnya karena rasa
cintanya, yang kesemuanya merupakan refleksi dari perwujudan ketakwaan kepada
Allah SWT, tentunya akan bertahan lama jika dibandingkan dengan keindahan fisik
semata.
Ikatan Suci dalam Mitsaqon Ghaliza
al-quranAllah
menetapkan suatu ikatan suci, yaitu Akad Nikah, agar hubungan antara dua anak
manusia itu dapat menyuburkan ketentraman cinta dan kasih sayang. Dengan dua
kalimat yang sederhana –ijab dan qabul– terjadilah perubahan besar. Yang haram
menjadi halal, yang maksiat menjadi ibadah, kekejian menjadi kesucian, dan
kebebasan menjadi tanggung jawab. Maka nafsu pun berubah menjadi cinta dan kasih
sayang.
Begitu
besarnya perubahan ini, sehingga Al Quran menyebut Akad Nikah sebagai Mitsaqon
Ghaliza, atau perjanjian yang berat. Dalam Al Quran, kata Mitsaqon Ghaliza
hanya disebutkan tiga kali, yaitu ketika Allah SWT membuat perjanjian dengan
para Nabi dan Rasul Ulul Azmi [QS. Al-Ahzab: 7], ketika Allah SWT mengangkat
Bukit Tsur di atas kepala Bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia di
hadapan Allah [QS. An-Nisa: 154], dan ketika Allah SWT menyatakan hubungan
pernikahan [QS. An-Nisa: 21].
Dengan
perjanjian ini, istri mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh suami. Di haji
Wada’ Rasulullah SAW mengingatkan kita dengan peringatan suci,
“Wahai
manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana kalian
mempunyai hak atas mereka. Hak kalian atas mereka ialah mereka (para istri)
tidak boleh mengizinkan orang yang tidak kalian senagi masuk ke rumah kecuali
dengan izin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika mereka
berbuat keji, bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur mereka,
serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Jika mereka taat, maka
kewajiban kalian adalah menjamin rezeki dan pakaian mereka sebaik-baiknya.
Ketahuilah, kalian mengambil wanita itu sebagai amanah dari Allah, dan kalian halalkan
kehormatan mereka dengan Kitab Allah. Takutlah kepada Allah dalam mengurus
istri kalian. Aku wasiatkan kalian untuk selalu berbuat baik”
“Aku
wasiatkan kalian untuk selalu berbuat baik”, begitu kata-kata terakhir dari
Rasulullah SAW ketika mengingatkan kita tentang kewajiban di balik amanah
pernikahan. Ada kesenangan-kesenangan di dalamnya yang boleh dirasakan bersama,
tetapi ada yang harus dijaga dan diperjuangkan karena amanah ini.
Untuk
mendapatkan keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah seperti yang dicita-citakan
setiap muslim dan muslimah, tidak semudah yang dibayangkan. Ternyata pemahaman
ilmu dien yang cukup dari masing-masing pihak memegang peran penting untuk
mewujudkan cita-cita tersebut, mengingat dalam rumah tangga banyak permasalahan
yang akan timbul.
Pentingnya Ilmu
Menuntut
ilmu wajib bagi setiap muslim. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh sekelompok shahabat di antaranya Anas bin Malik r.a :
“Menuntut
ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”(HR. Ahmad dalam Al’Ilal, berkata Al
Hafidz Al Mizzi; hadits hasan. Lihat Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi, ta’lif
Ibnu Abdil Baar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri, yang membahas panjang lebar
tentang derajat hadits ini)
Ilmu
yang demaksud di atas adalah ilmu dien yaitu pengenalan petunjuk dengan
dalilnya yang memberi manfaat bagi siapa pun yang mengenalnya.
Kita
harus berilmu agar selamat hidup di dunia dan di akhirat. Karena dengan berilmu
kita akan tahu mana yang diperintahkan oleh Allah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
dan mana yang dilarang, atau mana yang disunnahkan oleh Rasul-Nya dan mana yang
tidak sesuai dengan sunnah (bid’ah).
Dengan
ilmu kita tahu tentang hukum halal dan haram, kita mengetahui makna kehidupan
dunia ini dan kehidupan setelah kematian yaitu alam kubur, kita tahu
kedahsyatan Mahsyar dan keadaan hari kiamat serta kenikmatan jannah dan
kengerian neraka, dan lain sebagainya.
Dengan
ilmu dapat mendatangkan rasa takut kepada Allah Ta’ala, karena sungguh Dia Yang
Maha Mulia telah berfirman :“Sesungghnya yang paling takut kepada Allah di
antara hamba-hambaNya adalah orang yang berilmu (ulama).” (QS. Fathir : 28)
Ilmu
Sebagai Landasan Untuk Membentuk Rumah Tangga
Karena
nikah merupakan amalan yang sangat mulia di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan
merupakan rangkaian dari ibadah, maka menikah dalam Islam bukan hanya untuk
bersenang-senang atau mencari kepuasan kebutuhan biologis semata. Akan tetapi
seharusnyalah pernikahan dilakukan untuk menimba masyarakat kecil yang shalih
yaitu rumah tangga dan masyarakat luas yang shalih pula sesuai dengan Al-Qur’an
dan As Sunnah menurut pemahaman As Shalafus Shalih.
Pasangan
suami isteri dalam kehidupan berumah tangga akan menghadapi banyak problem dan
untuk mengatasinya perlu ilmu. Dengan ilmu, pasangan suami istri tahu apa
tujuan yang akan dicapai dalam sebuah pernikahan yaitu untuk beribadah kepada
Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan dalam rangka mencari ridha-Nya semata.
Di
samping itu juga dengan ilmu sepasang suami-istri sama-sama mengetahui hak dan
kewajibannya. Sehingga jalannya bahtera rumah tangga akan harmonis dan baik.
Suami
dan istri juga diamanahi Rabb-Nya untuk mendidik anak keturunannya agar menjadi
generasi Rabbani yang tunduk pada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan
pemahaman salaful ummah. Agar keturunan yang terlahir dari pernikahan tersebut
tumbuh di atas dasar pemahaman, dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran Islam
sejak kecil sampai dewasanya. Dari sinilah terlihat betapa pentingnya ilmu
sebagai bekal bagi kehidupan rumah tangga muslim.
Pendidikan Dalam Rumah Tangga
Dalam
rumah tangga, suami merupakan tonggak keluarganya, pemimpin yang menegakkan
urusan anak dan istrinya.
Allah
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita …” (QS. An-Nisaa : 34)
Salah
satu tugas suami sebagai qawwam (pemimpin) adalah meluruskan keluarganya dari
penyimpangan terhadap al-haq dan mengenalkan al-haq itu sendiri. Seharusnyalah
seorang suami menyediakan waktunya yang terdiri dari 24 jam untuk membina
keluarganya yang dimulai dengan istri untuk dipersiapkan sebagai madrasah bagi
keturunannya. Tumbuhkan kecintaan terhadap ilmu di hati istri agar kelak ia
dapat mendidik anak-anaknya untuk mencintai ilmu dan beramal dengannya.
Allah
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu ….” (QS. At-Tahrim : 6)
Berkata
Imam Ali Radiyallahu ‘anhu juga Mujahid dan Qatadah dalam menafsirkan ayat
diatas: “Jaga diri kalian dengan amal-amal kalian dan jaga keluarga kalian
dengan nasehat kalian”
Al
Qusyairi menyebutkan dari Umar Radiyallahu ‘anhu yang berkata tatkala turun
ayat dalam surat At Tahrim di atas: “Wahai Rasulullah, kami menjaga diri kami,
maka bagaimanakah cara kami untuk menjaga keluarga kami ?” Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Kalian larang mereka dari apa-apa yang
Allah larang pada kalian untuk melakukannya dan perintahkan mereka dengan apa yang
Allah perintahkan.”
Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan yang termulia menyempatkan waktu
untuk mengajari istrinya sehingga kita bisa mendengar atau membaca bagaimana
kefaqihan ummul mu’minin ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha.
Para
shahabat beliau Radiyallahu ‘anhum, tatkala tatkala turun ayat ke 31 surat An
Nur :“… Dan hendaklah mereka (wanita yang beriman) menutupkan kain kudung ke
dadanya … ” (QS. An-Nur : 31)
Mereka
pulang menemui istri-istrinya dan membacakan firman Allah di atas, maka
bersegeralah istri-istri mereka melaksanakan apa yang Allah perintahkan (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir, juz 3 hal. 284) Ini merupakan contoh bagaimana suami
menyampaikan kembali kepada istrinya dari ilmu yang telah didapatkannya di
majlis ilmu, sudah seharusnya menjadi panutan bagi kita.
Sebagai
penutup, semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada kita semua untuk dapat
meletakkan ilmu sebagai landasan dalam membina keluarga serta dikaruniai
anak-anak yang juga dididik dalam suasana kecintaan akan ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar