Kamis, 01 Juni 2017

Rumahku Surgaku


Keluarga adalah unsur terkecil dari masyarakat.
Rumah yang didalamnya tinggal keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, adalah bagaikan mata air yang tidak hanya memberikan kesejukan bagi setiap insan yang tinggal didalamnya, tapi juga sebagai mata air ilmu bagi masyarakat di mana rumah itu berada.
Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah
Rahmat bagi 2 anak manusia yang akan memasuki jenjang pernikahan, salah satunya, adalah mendapat doa dari teman, dan sanak saudara untuk menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, atau yang saat ini ngetrend disebut dengan keluarga Samara(h). Sebenarnya dari dulu penulis juga bertanya-tanya, seperti apa ya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah itu? Bagaimana juga membentuk keluarga yang didalamnya ada sakinah, mawaddah, warahmah. Berikut hasil kompilasi dari berbagai tulisan sebagai bahan belajar bagi diri sendiri.
Sakinah
Istilah “sakinah” memiliki arti tenang, tenteram, atau damai. Dalam Al-Quran, Allah SWT menggunakan kata sakinah untuk menggambarkan ketenangan, seperti yang terdapat pada Q.S Al-Fath : 4
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan (sakinah) ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambahkan keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada). Dan milik Allah-lah bala tentara langit dan bumi, dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
Sakinah memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun”, yang memiliki arti tempat tinggal. Karena itu sakinah sering digunakan untuk menggambarkan tempat tinggal atau rumah yang penuh dengan ketenangan. Rumah dimana setiap anggota keluarga merasa tenang saat dia berada di dalamnya, dan selalu ingin untuk kembali kepadanya.
Mawaddah
Bersamaan dengan ketenangan, keluarga muslim juga sangat mengharapkan akan adanya Mawaddah yang tumbuh diantara suami dan istri, orang tua dan anak, dan tentunya tidak hanya dalam satu keluarga inti saja, tapi juga dengan kerabat dari kedua belah pihak. Mungkin dari harapan-harapan di atas sudah bisa diperkirakan kira-kira arti mawaddah itu apa. Sesuatu yang tumbuh diantara 2 individu itu, pastinya yang sangat-sangat diharapkan adalah tumbuhnya “kasih sayang” atau “cinta”. Dalam hal ini kasih sayang dan cinta yang dimaksud oleh mawaddah ialah yang bersifat fisik dan menggebu-gebu. Tentunya kasih sayang yang diridhai Allah SWT seperti yang terdapat dalam QS Ar-Rum, 21:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS. Ar-Ruum 21)
Dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 7, Allah SWT juga berfirman,
Mudah-mudahan Allah menumbuhkan kasih sayang diantara kamu dengan orang-orang yang pernah kamu musuhi di antara mereka. Allah Mahakuasa. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Dari ayat ini, ternyata kasih sayang itu tidak hanya Allah tumbuhkan diantara orang2 yang dekat saja, tapi juga dengan orang-orang yang pernah dimusuhi sekalipun. (Ayat ini ditujukan untuk kaum yang pernah memusuhi nabi Ibrahim dan kaumnya).
Rahmah
Dalam QS. Ar-Rum ayat 21, Allah SWT menyandingkan kata Mawaddah, dan Rahmah secara berurutan. Rahmah, salah satu sifat Allah yang memiliki arti “sayang”, juga sangat diharapkan untuk tumbuh dalam suatu keluarga.
Terkadang timbul kerancuan jika kata mawaddah dan rahmah diartikan ke bahasa Indonesia. Seorang ulama membedakan kata Mawaddah yang berarti kasih itu lebih kepada kasih terhadap sesuatu yang zahir (nyata) seperti cinta kepada fisik atau kecantikan/ketampanan, sedangkan Rahmah yang berarti sayang lebih kepada cinta kepada batin/sifat seseorang. Rasa sayang mana yang lebih dianjurkan? Sebagai manusia fitrahnya adalah menyukai sesuatu yang baik, dan cantik secara fisik. Tapi adakalanya kecantikan/ketampanan secara fisik itu tidak bersifat abadi seiring dengan usia. Rasa sayang yang ditumbuhkan Allah SWT dari hati karena hanya dirinya satu-satunya yang bisa menenteramkan hati kita dengan sifat dan perilakunya, dengan canda-tawanya, bahkan dengan amarahnya karena rasa cintanya, yang kesemuanya merupakan refleksi dari perwujudan ketakwaan kepada Allah SWT, tentunya akan bertahan lama jika dibandingkan dengan keindahan fisik semata.
Ikatan Suci dalam Mitsaqon Ghaliza
al-quranAllah menetapkan suatu ikatan suci, yaitu Akad Nikah, agar hubungan antara dua anak manusia itu dapat menyuburkan ketentraman cinta dan kasih sayang. Dengan dua kalimat yang sederhana –ijab dan qabul– terjadilah perubahan besar. Yang haram menjadi halal, yang maksiat menjadi ibadah, kekejian menjadi kesucian, dan kebebasan menjadi tanggung jawab. Maka nafsu pun berubah menjadi cinta dan kasih sayang.
Begitu besarnya perubahan ini, sehingga Al Quran menyebut Akad Nikah sebagai Mitsaqon Ghaliza, atau perjanjian yang berat. Dalam Al Quran, kata Mitsaqon Ghaliza hanya disebutkan tiga kali, yaitu ketika Allah SWT membuat perjanjian dengan para Nabi dan Rasul Ulul Azmi [QS. Al-Ahzab: 7], ketika Allah SWT mengangkat Bukit Tsur di atas kepala Bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia di hadapan Allah [QS. An-Nisa: 154], dan ketika Allah SWT menyatakan hubungan pernikahan [QS. An-Nisa: 21].
Dengan perjanjian ini, istri mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh suami. Di haji Wada’ Rasulullah SAW mengingatkan kita dengan peringatan suci,
“Wahai manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana kalian mempunyai hak atas mereka. Hak kalian atas mereka ialah mereka (para istri) tidak boleh mengizinkan orang yang tidak kalian senagi masuk ke rumah kecuali dengan izin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika mereka berbuat keji, bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur mereka, serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Jika mereka taat, maka kewajiban kalian adalah menjamin rezeki dan pakaian mereka sebaik-baiknya. Ketahuilah, kalian mengambil wanita itu sebagai amanah dari Allah, dan kalian halalkan kehormatan mereka dengan Kitab Allah. Takutlah kepada Allah dalam mengurus istri kalian. Aku wasiatkan kalian untuk selalu berbuat baik”
“Aku wasiatkan kalian untuk selalu berbuat baik”, begitu kata-kata terakhir dari Rasulullah SAW ketika mengingatkan kita tentang kewajiban di balik amanah pernikahan. Ada kesenangan-kesenangan di dalamnya yang boleh dirasakan bersama, tetapi ada yang harus dijaga dan diperjuangkan karena amanah ini.
Untuk mendapatkan keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah seperti yang dicita-citakan setiap muslim dan muslimah, tidak semudah yang dibayangkan. Ternyata pemahaman ilmu dien yang cukup dari masing-masing pihak memegang peran penting untuk mewujudkan cita-cita tersebut, mengingat dalam rumah tangga banyak permasalahan yang akan timbul.
Pentingnya Ilmu
Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh sekelompok shahabat di antaranya Anas bin Malik r.a :
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”(HR. Ahmad dalam Al’Ilal, berkata Al Hafidz Al Mizzi; hadits hasan. Lihat Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi, ta’lif Ibnu Abdil Baar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri, yang membahas panjang lebar tentang derajat hadits ini)
Ilmu yang demaksud di atas adalah ilmu dien yaitu pengenalan petunjuk dengan dalilnya yang memberi manfaat bagi siapa pun yang mengenalnya.
Kita harus berilmu agar selamat hidup di dunia dan di akhirat. Karena dengan berilmu kita akan tahu mana yang diperintahkan oleh Allah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mana yang dilarang, atau mana yang disunnahkan oleh Rasul-Nya dan mana yang tidak sesuai dengan sunnah (bid’ah).
Dengan ilmu kita tahu tentang hukum halal dan haram, kita mengetahui makna kehidupan dunia ini dan kehidupan setelah kematian yaitu alam kubur, kita tahu kedahsyatan Mahsyar dan keadaan hari kiamat serta kenikmatan jannah dan kengerian neraka, dan lain sebagainya.
Dengan ilmu dapat mendatangkan rasa takut kepada Allah Ta’ala, karena sungguh Dia Yang Maha Mulia telah berfirman :“Sesungghnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya adalah orang yang berilmu (ulama).” (QS. Fathir : 28)
Ilmu Sebagai Landasan Untuk Membentuk Rumah Tangga
Karena nikah merupakan amalan yang sangat mulia di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan merupakan rangkaian dari ibadah, maka menikah dalam Islam bukan hanya untuk bersenang-senang atau mencari kepuasan kebutuhan biologis semata. Akan tetapi seharusnyalah pernikahan dilakukan untuk menimba masyarakat kecil yang shalih yaitu rumah tangga dan masyarakat luas yang shalih pula sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunnah menurut pemahaman As Shalafus Shalih.
Pasangan suami isteri dalam kehidupan berumah tangga akan menghadapi banyak problem dan untuk mengatasinya perlu ilmu. Dengan ilmu, pasangan suami istri tahu apa tujuan yang akan dicapai dalam sebuah pernikahan yaitu untuk beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan dalam rangka mencari ridha-Nya semata.
Di samping itu juga dengan ilmu sepasang suami-istri sama-sama mengetahui hak dan kewajibannya. Sehingga jalannya bahtera rumah tangga akan harmonis dan baik.
Suami dan istri juga diamanahi Rabb-Nya untuk mendidik anak keturunannya agar menjadi generasi Rabbani yang tunduk pada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salaful ummah. Agar keturunan yang terlahir dari pernikahan tersebut tumbuh di atas dasar pemahaman, dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran Islam sejak kecil sampai dewasanya. Dari sinilah terlihat betapa pentingnya ilmu sebagai bekal bagi kehidupan rumah tangga muslim.
Pendidikan Dalam Rumah Tangga
Dalam rumah tangga, suami merupakan tonggak keluarganya, pemimpin yang menegakkan urusan anak dan istrinya.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita …” (QS. An-Nisaa : 34)
Salah satu tugas suami sebagai qawwam (pemimpin) adalah meluruskan keluarganya dari penyimpangan terhadap al-haq dan mengenalkan al-haq itu sendiri. Seharusnyalah seorang suami menyediakan waktunya yang terdiri dari 24 jam untuk membina keluarganya yang dimulai dengan istri untuk dipersiapkan sebagai madrasah bagi keturunannya. Tumbuhkan kecintaan terhadap ilmu di hati istri agar kelak ia dapat mendidik anak-anaknya untuk mencintai ilmu dan beramal dengannya.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu ….” (QS. At-Tahrim : 6)
Berkata Imam Ali Radiyallahu ‘anhu juga Mujahid dan Qatadah dalam menafsirkan ayat diatas: “Jaga diri kalian dengan amal-amal kalian dan jaga keluarga kalian dengan nasehat kalian”
Al Qusyairi menyebutkan dari Umar Radiyallahu ‘anhu yang berkata tatkala turun ayat dalam surat At Tahrim di atas: “Wahai Rasulullah, kami menjaga diri kami, maka bagaimanakah cara kami untuk menjaga keluarga kami ?” Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Kalian larang mereka dari apa-apa yang Allah larang pada kalian untuk melakukannya dan perintahkan mereka dengan apa yang Allah perintahkan.”
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan yang termulia menyempatkan waktu untuk mengajari istrinya sehingga kita bisa mendengar atau membaca bagaimana kefaqihan ummul mu’minin ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha.
Para shahabat beliau Radiyallahu ‘anhum, tatkala tatkala turun ayat ke 31 surat An Nur :“… Dan hendaklah mereka (wanita yang beriman) menutupkan kain kudung ke dadanya … ” (QS. An-Nur : 31)
Mereka pulang menemui istri-istrinya dan membacakan firman Allah di atas, maka bersegeralah istri-istri mereka melaksanakan apa yang Allah perintahkan (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz 3 hal. 284) Ini merupakan contoh bagaimana suami menyampaikan kembali kepada istrinya dari ilmu yang telah didapatkannya di majlis ilmu, sudah seharusnya menjadi panutan bagi kita.
Sebagai penutup, semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada kita semua untuk dapat meletakkan ilmu sebagai landasan dalam membina keluarga serta dikaruniai anak-anak yang juga dididik dalam suasana kecintaan akan ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar