Istilah
Halal Bihalal
Penjelasan tentang halal
bihalal tidak ditemukan dalam Al-Qur’an maupun
Hadis. Meskipun berasal dari kata dalam bahasa Arab, namun orang Arab sendiri bisa
jadi tidak paham dengan istilah itu, karena Istilah itu memang khas Indonesia yang
tidak berdasarkan gramatikal tata bahasa Arab yang benar. Secara umum pengertian halal bihalal adalah acara
silaturahmi yang dilaksanakan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan dengan
kegiatan inti saling bermaaf-maafan yang diselingi ceramah agama.
Secara historis istilah halal
bihalal digagas oleh Kiai Wahab, salah seorang ulama perintis Nahdahtul Ulama
(NU), yang ditawarkan kepada Bung Karno dalam rangka rekonsiliasi para elit ditengah
konflik yang sedang melanda bangsa Indonesia di tahun 1948. Tujuannya adalah agar
mereka mau berkumpul, saling maaf-memaafkan dan menyatukan pandangan dalam berbangsa
dan bernegara.
Halal bihalal memang
bukanlah syariat Islam, tapi merupakan kearifan lokal dalam bidang muamalah. Kegiatan
ini merupakan hasil kreativitas bangsa Indonesia, baik sisi penamaannya maupun
cara pelaksanaannya. Halal bihalal bisa dilakukan di mana-mana, mulai dari perkampungan,
perkotaan, sekolahan, perkuliahan, bahkan sampai di perkantoran.
Sejarah Halal Bihalal
Sejarah Halal Bihalal
Konon, kegiatan
silaturahmi setelah shalat Idul Fitri mula-mula digelar oleh Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I, yang masyhur dijuluki Pangeran
Sambernyawa pada sekitar tahun 1770-an.
Untuk menghemat waktu, tenaga, dan biaya, maka setelah salat
Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit
secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit melakukan sungkem
kepada raja dan permaisuri. Kegiatan
serupa kemudian diikuti oleh pemimpin Jawa lainnya sebagai tradisi yang dikenal
dengan istilah sungkeman, belum bernama halal bihalal (sekarang Open House).
Sedangkan penggagas
istilah halal bihalal adalah KH Wahab Chasbullah. Beliau merupakan salah satu
perintis organisasi Nahdahtul Ulama (NU) yang biasa dipanggil Kiai Wahab.
Pada pertengahan bulan
Ramadhan 1948, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk
dimintai pendapat dan sarannya terkait situasi politik Indonesia yang tidak
sehat.
Kemudian Kiai Wahab
memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahmi selepas Hari
Raya Idul Fitri. Lalu Bung Karno menjawab, "Silaturahmi kan biasa, saya
ingin istilah yang lain". "Itu
gampang,” kata Kiai Wahab. "Begini, para elit politik tidak mau bersatu,
itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu
haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka
harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan.
Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah halal bihalal,” jelas Kiai
Wahab.
Dari saran Kiai Wahab
itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang
semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahmi
yang diberi judul halal bihalal dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja,
sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat
itulah istilah halal bihalal gagasan Kiai Wahab lekat dengan tradisi bangsa
Indonesia pasca-lebaran hingga kini.
Silaturahmi
Sarat Hikmah Bernilai Sunah
Dalam khasanah hukum Islam
(fiqih), hukum asal dalam masalah ibadah ritual (mahdhah) adalah bahwa semua ibadah haram (dilakukan) sampai ada
dalil yang menghalalkannya. Sedangkan dalam masalah ibadah muamalah (ghair-mahdhah) bahwa segala ibadah yang berdimensi
sosial adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya.
Nabi SAW telah melakukan
klasifikasi terhadap segala perbuatan manusia menjadi dua bentuk, yaitu perkara
agama dan perkara dunia. Maka semua yang berkaitan dengan perkara dunia (muamalah)
nabi memberi kebebasan dalam mengekspresikannya sebagaimana haditsnya: “Kalian
lebih tahu urusan dunia kalian” (HR.Muslim).
Tapi kalau dalam urusan
agama nabi sangat membatasi bahkan tidak memberi ruang kepada manusia untuk
bebas berekspresi sebagaimana sabdanya: “Dan jika yang berkaitan dengan agama
kalian,maka kembalikanlah kepadaku” (HR.Muslim). Dalam hadits lain nabi mengatakan: “Barangsiapa
yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada padanya perintah dari kami, maka
perbuatan itu tertolak”. (Mutaffaq’Alaih)
Acara halal bihalal sesungguhnya
adalah kegiatan silaturahmi yang merupakan perkara muamalah (sosial) yang
mengatur hubungan antar pribadi manusia, meskipun pelaksanaannya dikaitkan
dengan hari raya idul fitri. Jadi secara
hukum Islam halal bihalal dihalalkan karena tidak ada satu dalilpun yang
melarangnya. Bahkan halal bihalal mengandung banyak hikmah didalamnya sehingga
mempunyai nilai kebaikan (berpahala) bila dilaksanakannya.
Dalam acara halal
bihalal itu dilaksanakan beberapa kegiatan yang mempunyai nilai hikmah antara
lain saling berjabat tangan, bermaaf-maafan, bersilaturahmi dan ceramah agama.
Pertama, berjabat tangan adalah ibadah bahkan sunnah
nabi. Berjabat tangan pernah dikategorikan sebagai bid’ah,
sehingga dipertanyakan oleh ulama. “Dari Qatadah dia berkata, aku bertanya
kepada Anas : Apakah berjabat tangan pernah terjadi pada masa para
sahabat Nabi SAW? Anas menjawab iya” (HR.Bukhari).
Imam Abu Muhammad bin
‘Abdus Salam menyebutkan bid’ah itu ada lima, yaitu wajib, haram, makruh,
sunnah dan mubah. Ibnu Bathal mengatakan:
“Bersalaman itu baik menurut keumuman para ulama dan sungguh Malik telah
menyunnahkan bersalaman itu setelah dia memakruhkannya. Berkata Imam An-Nawawi:
Bersalaman itu sunnah yang disepakati atasnya ketika bertemu.
Berjabat
tangan juga dapat menghapuskan dosa dan kesalahan, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW: “Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan, melainkan
keduanya sudah diampuni sebelum berpisah.” (HR. Abu Dawud)
Dengan demikian jelaslah
bahwa berjabat tangan merupakan amalan sahabat, juga sunnah yang dilakukan nabi
ketika bertemu dengan sahabat-sahabatnya.
Kedua, bermaaf-mafan
merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Manusia
adalah makhluq yang memiliki potensi untuk berbuat salah sebagaimana sabda Nabi
SAW: “Allah telah meletakkan dari umat ini tiga hal, yaitu kesalahan, lupa, dan
perkara yang mereka tidak suka” (HR.Ibnu Majah). Dan jika kesalahan itu dilakukan sesama
manusia, maka seorang mu’min tidak cukup meminta ampun kepada Allah saja,
melainkan dia harus meminta maaf terlebih dahulu kepada orang yang terdzhalimi
oleh perbuatannya.
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa melakukan
kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya;
karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum
kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi,
maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya”.
(HR. al-Bukhari)
Maka dari keterangan
diatas jelaslah bahwa maaf atau memaafkan merupakan perintah Allah dan
Rasul-Nya. Sebaiknya meminta maaf
dilakukan segera setelah melakukan kesalahan, namun apabila kesalahan itu tidak
disadari oleh pelakunya maka tentu hal ini bisa dilakukan pada momentum yang
tepat.
Ketiga, menyambung bersilaturahmi. Orang
yang menyambung silaturahmi itu, bukanlah orang yang menjalin kembali hubungan
kekerabatan yang sudah terputus, akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi ialah menyambung
hubungan yang sudah terjalin.
Melalui
Al-Qur’an Allah SWT memerintahkan untuk memelihara silaturahmi. “Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An-Nisa`:1)
Silaturahmi merupakan
salah satu faktor penyebab masuk surga, Nabi SAW bersabda: “Jika engkau
beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan
shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi, pastilah engkau
masuk surga”. (HR. Bukhâri dan Muslim)
Silaturahmi juga
merupakan faktor yang dapat menjadi penyebab umur panjang dan banyak rizki.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang ingin
dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung
tali silaturahmi” (Muttafaqun ‘alaihi).
Keempat, ceramah agama. Kegiatan ini tidak
perlu diuraikan nilai manfaatnya karena berisi nasehat, ajakan, dan informasi mengarah
kepada ketaqwaan.
Berdasarkan penjelasan diatas,
dapat disimpulkan bahwa halal bihalal sesungguhnya adalah kegiatan silaturahmi
yang merupakan perkara muamalah (sosial) yang banyak mengandung hikmah dan nilai
manfaat, antara lain silaturahmi, berjabat tangan, bermaaf-maafan dan ceramah
agama. Aktivitas tersebut sangatlah
mulia bahkan diperintahkan dan dianjurkan baik oleh Al-Qur’an maupun sunah
Nabi.
Makna Halal Bihalal
BalasHapusTerkait dengan makna yang terkandung dalam istilah halal bihalal, M. Qurasih dalam bukunya yang berjudul Membumikan Al Qur an memberikan penjelasan mengenai pengertian dan makna yang terkadung dalam Halalbihalal. Menurutnya halal bihalal mengandung tiga arti.
Pertama, dari aspek bahasa atau linguistik. Kata halal berasal dari Bahasa Arab halla atau halala yang mempunyai pengertian mencairkan masalah atau kebekuan. Halal bi halal adalah kata majemuk yang berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari.
Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia saat bertransaksi di pasar-pasar , dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka- bertanya halal? Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”.
Dengan demikian maka dengan adanya acara halal bihalal diharapkan dapat mencairkan masalah atau kebekuan dalam hubungan yang selama ini keruh dan kusut.
Kedua, dari aspek hukum. Halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal akan memberikan kesan bahwa acara tersebut mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa.
Dengan demikian, halal bihalal menurut tinjauan hukum menjadikan sikap kita yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Ini tentu baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halal bihalal, seperti secara lapang dada saling maaf-memaafkan.
Ketiga, dari aspek Qur’ani. Kata halal dalam Al-Qur’an (QS. 2: 168, QS. 8: 69, QS. 5: 88, QS. 16: 114) selalu dirangkaikan dengan kata thayyib (halalan thayyiba) yang berarti yang halal lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim harus merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak. Inilah yang menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.
Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik kesan bahwa halal bihalal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar menyambungkan hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, serta berbuat baik secara berkelanjutan.