Rasio
Gini atau Koefisien Gini adalah ukuran
ketidakmerataan atau ketimpangan agregat (secara keseluruhan) yang angkanya
berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang
sempurna).
Ini
didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang
membandingkan distribusi dari suatu variable tertentu (misalnya pendapatan)
dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif
penduduk.
Koefisien ini biasanya
digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Di seluruh dunia,
koefisien bervariasi dari 0.25 (Denmark) hingga 0.70 (Namibia).
Abstraksi
Pada Maret 2016, tingkat
ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,397. Angka ini menurun jika dibandingkan
dengan Gini Ratio Maret 2015 yang sebesar 0,408 dan Gini Ratio September 2015
yang sebesar 0,402.
Gini Ratio di daerah perkotaan pada
Maret 2016 sebesar 0,410,
turun sebesar 0,018 poin dibanding Gini Ratio Maret 2015 yang sebesar 0,428 dan
turun 0,009 poin dibanding Gini Ratio September 2015 yang sebesar 0,419.
Sementara Gini Ratio di daerah perdesaan pada
Maret 2016 sebesar 0,327
menurun 0,007 poin dibanding Gini Ratio Maret 2015 yang sebesar 0,334
dan menurun 0,002 poin dibanding Gini Ratio September 2015 yang sebesar 0,329.
Selama periode Maret 2015–Maret 2016, distribusi pengeluaran
dari kelompok penduduk 40 persen terbawah masih dalam kategori ketimpangan
rendah namun distribusinya semakin menurun, yaitu dari 17,10 pada Maret 2015
dan 17,45 persen pada September 2015 menjadi 17,02 persen pada Maret 2016.
Distribusi
pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah di daerah perkotaan pada Maret
2016 tercatat sebesar 15,91 persen meningkat dibanding Maret 2015 yang sebesar
15,83 persen. Namun, menurun jika dibandingkan dengan September 2015 yang
sebesar 16,39 persen. Sementara di daerah perdesaan distribusi pengeluaran dari
kelompok penduduk 40 persen terbawah pada Maret 2016 adalah sebesar 20,40
persen menurun dibanding Maret 2015 (20,42 persen) dan September 2015 (20,85
persen).
---
Koefisien GINI, yang mengukur
ketimpangan distribusi pendapatan, menunjukkan tren penurunan di Indonesia
dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah koefisien 0 menunjukkan kesetaraan yang
sempurna, sedangkan koefisien 1 menunjukkan ketimpangan sempurna.
Namun, kita masih dapat mempertanyakan
metodologi koefisien GINI ini karena ia membagi penduduk dalam lima kelompok,
masing-masing berisi 20 persen dari populasi: dari 20 persen terkaya sampai ke
20 persen termiskin.
Selanjutnya, koefisien ini mengukur
kesetaraan (dan ketimpangan) antara kelompok-kelompok tersebut. Ketika
menggunakan koefisien ini untuk Indonesia masalah yang timbul adalah negara ini
memiliki karakter ketidakseimbangan ekstrim dalam setiap kelompoknya, sehingga
membuat hasil koefisien GINI kurang selaras dengan kenyataan.
Terlebih
lagi media di Indonesia sering melaporkan bahwa kesenjangan antara miskin dan
kaya di Indonesia sebenarnya justru semakin meluas.
GARIS KEMISKINAN
Tahun 2014 pemerintah Indonesia
mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per
bulannya (per kapita)
sebanyak Rp. 312,328. Jumlah tersebut adalah setara dengan USD $25 yang dengan demikian berarti standar
hidup yang sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri.
Namun jika kita menggunakan nilai
garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang
mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan
kurang dari USD $1.25 per hari ($37,5 per bulan) sebagai
mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, maka persentase tabel di atas akan
kelihatan tidak akurat karena nilainya seperti
dinaikkan beberapa persen.
Lebih lanjut lagi, menurut Bank Dunia,
angka penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari mencapai angka 50.6 persen dari jumlah
penduduk pada tahun 2009. Ini menunjukkan bahwa sebagian
besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan
lebih anyar lagi di media di Indonesia menyatakan bahwa sekitar seperempat
jumlah penduduk Indonesia (sekitar 60 juta jiwa) hidup sedikit di atas garis
kemiskinan.
Dalam
beberapa tahun belakangan ini angka kemiskinan di Indonesia memperlihatkan
penurunan yang signifikan. Meskipun demikian, diperkirakan penurunan ini akan
melambat di masa depan. Mereka yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu
keluar dari kemiskinan adalah mereka yang hidup di ujung garis kemiskinan yang
berarti tidak diperlukan sokongan yang kuat untuk mengeluarkan mereka dari
kemiskinan. Namun sejalan dengan berkurangnya kelompok tersebut, kelompok yang
berada di bagian paling bawah garis kemiskinanlah yang sekarang harus dibantu
untuk bangkit. Ini lebih rumit dan akan menghasilkan angka penurunan tingkat
kemiskinan yang berjalan lebih lamban dari sebelumnya.
---
--- ---
UMR
Jakarta
2017: DKI Jakarta Rp. 3.355.750,- (USD
$253) à USD $250.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar