NILAI IBADAH SOSIAL (Jum)
Pesan Kepedulian Sosial
Ketika sedang duduk iktikaf
di Masjid Nabawi, Nabi Muhammad didatangi
oleh seorang laki-laki, lalu ia bertanya dua hal, ”Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai Allah, dan
amal apa yang paling disukai Allah?”
Maka Nabi menjawab, ”Orang yang paling
dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia. Dan amal yang paling disukai Allah adalah
kebahagiaan yang dimasukkan kedalam diri seorang muslim.”
Dijelaskan pula oleh Nabi bahwa
yang dimaksud dengan memasukkan kebahagiaan kedalam diri sesama muslim adalah melepaskan
kesulitannya, atau melunasi hutangnya, atau menghilangkan kelaparannya.
Kemudian Nabi menambahkan
sabdanya, "Dan sungguh, berjalan bersama saudaraku
untuk (menuaikan) suatu kebutuhan, lebih aku sukai daripada beritikaf di masjid
ini selama satu bulan penuh.”
Sepenggal dialog itu
diabadikan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Thabrani. Melalui hadis
itu kiranya Rasulullah telah menyampaikan pesan moral kepada kita dan seluruh
umatnya, yaitu tentang
kepedulian sosial.
Hadis itu telah memberikan
pemahaman bahwa kepedulian
sosial merupakan ibadah yang punyai nilai pahala tinggi. Bahkan secara lugas ditegaskan oleh Rasulullah bahwa beliau lebih
menyukai perbuatan menolong saudara muslim (yang tengah mengalami kesulitan) ketimbang
iktikaf di masjid Nabawi sebulan penuh.
Kewajiban Peduli Sosial
Berkaitan dengan persoalan muamalah
atau ibadah sosial, banyak hadis yang mengindikasikan bahwa kepedulian
sosial merupakan kewajiban bagi umat Muslim.
Sebuah riwayat mengisahkan,
seorang sahabat menyampaikan berita kepada Rasulullah perihal seorang wanita
yang ahli ibadah tapi ia suka menyakiti tetangganya. Mendengar pengaduan ini,
Rasulullah bersabda, “Tiada kebaikan padanya dan dia termasuk penghuni neraka.”
Pada riwayat lain Rasulullah bersabda, “Tidaklah
beriman orang yang tidur nyenyak sementara tetangganya kelaparan.”
Berangkat dari sejumlah hadis yang berkaitan dengan persoalan sosial,
para ulama menekankan agar kita jangan terjebak dalam
kesibukan ibadah ritual sehingga mengabaikan persoalan sosial.
Seseorang yang hanya tekun
dalam ibadah ritual, seperti puasa, dzikir,
shalat sunnah dan tadarus qur’an, tetapi apatis terhadap persoalan sosial,
maka bisa jadi ibadahnya akan sia-sia.
Semestinya ibadah ritual yang
dilakukan secara khusu’ akan berdampak positif pada akhlak sosialnya. Bila tidak, berarti ada yang salah dengan pelaksanaan
ibadah ritualnya.
Orang yang tekun dalam ibadah ritualnya dikatakan sebagai orang mempunyai kesalehan individual, sedangkan orang yang mempunyai kepedulian sosial
dikatakan sebagai orang yang mempunyai kesalehan
sosial. Seorang Muslim
yang paripurna adalah orang yang mempunyai kesalehan individual sekaligus
kesalehan sosial.
Mendahulukan Ibadah Sosial
Berangkat dari sejumlah
hadis tentang kepedulian sosial, para ulama berpendapat bahwa ibadah sosial harus
lebih diprioritaskan dibanding ibadah individual. Bilamana terjadi dalam waktu
yang bersamaan maka ibadah sosial harus lebih didahulukan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa ibadah sosial jauh lebih penting
daripada ibadah individual.
Semenjak
diwajibkannya ibadah haji, Nabi Muhammad mempunyai kesempatan tiga kali untuk melaksanakan
ibadah haji. Namun Rasulullah hanya melaksanakan ibadah haji hanya sekali.
Bukannya beliau tidak punya bekal untuk berangkat menunaikan ibadah haji, namun
beliau lebih banyak memanfaatkan hartanya untuk jihad menegakkan agama Islam
dan membantu fakir miskin.
Pada suatu kesempatan seorang
jamaah bertanya kepada ustadz, “Seandainya anda sedang dalam perjalanan ke
masjid untuk shalat subuh, namun di tengah jalan ada seseorang dalam kesulitan
yang sangat membutuhkan pertolongan anda. Maka mana yang anda lakukan, menolong
atau ke masjid?” Sang ustadz menjawab, “menolong orang.”
Kemudian si jamaah bertanya
lagi, “kalau sampai ketinggalan waktu shalat subuh, bukannya berdosa?” Dengan
senyum meledek sang ustadz menjawab, “Tuhan tidak kampungan.”
Sesungguhnya jawaban sang ustadz yang pendek itu telah menjawab persoalan. Maksudnya adalah kita tak usah persoalkan dosa tidaknya perbuatan yang dianggap baik itu, tetapi kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan sesuai suara hati. Yakinlah bahwa Allah itu Maha Bijaksana.
Ibadah Vertikal dan Horizontal
Harus Seimbang
Proporsi antara ibadah individual dan ibadah
sosial haruslah seimbang. Tidak dibenarkan seseorang hanya tekun dalam ibadah
ritual sementara dia mengabaikan persoalan-persoalan sosial.
Al-Quran menegaskan bahwa kesalehan
ritual (habluminallah) dan kesalehan sosial (habluminannnas) harus seimbang. Jika seseorang hanya soleh pada satu sisi saja dan tidak
soleh pada sisi yang lain maka Allah akan hinakan dia.
Dalam al-Qur’an surat Ali Imran 112 Allah SWT berfirman, “Dhuribat ‘alaihi mudh dhillatu ainamaa – tsuqifuu, illaa bi hablim minallahi
wa hablim minan naas,” artinya “Ditimpakan atas mereka kehinaan dimana saja mereka berada,
kecuali kalau mereka berhubungan baik dengan Allah (hablim
minallah) dan berhubungan baik dengan sesama manusia (hablim minan naas).” (QS. Ali
Imran 112)
Kurangnya Kepekaan Sosial
Prof. Dr. KH. Mukti Ali, seorang ulama, cendikiawan muslim dan Menteri Agama RI era tahun
1970-an pernah mengungkapkan keprihatinannya terhadap
kondisi umat Islam saat
itu. Menurutnya umat Islam banyak yang sangat peka terhadap masalah-masalah
ritual keagamaan, tetapi kurang peka terhadap masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. Padahal Allah memerintahkan untuk Habluminallah wa
habluminannnas secara seimbang.
Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Dr. KH. Ali Musthafa. Imam Besar Masjid Istiqlal di tahun 2016 ini menyatakan umat muslim mengalami pengingkatan spirit di bidang ibadah individual, tetapi tidak dibarengi oleh spirit ibadah sosial. Beliau mengingatkan bahwa ibadah sosial jauh lebih penting daripada ibadah individual.
Sebaik-baik Manusia
Dalam hadis lain Rasulullah
bersabda, “Khoirunnas
anfa'uhum linnas,” artinya: “sebaik-baik manusia
adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain”.
Ketika musim
kemarau dan masyarakat kesulitan air, Rasulullah berkata membuat sumur
adalah amal yang paling utama.
Dengan begitu maka selayaknya
kita bangun kesadaran dan kepedulian sosial yang tinggi. Kita harus peduli terhadap
tetangga yang sakit, yang sedang mendapat musibah, atau yang sedang mengalami
kesulitan hidup, serta berpartisi aktif dalam kerja bakti sosial, atau berpartisipasi
dalam gerakan peduli bencana alam.
Sehingga keberadaan kita punya
nilai manfaat secara sosial dan menjadi orang yang sebaik-baiknya manusia.
Mengukur tingkat keimanan seseorang itu dari akhlaknya (prilaku
sosial), bukan dari ibadah mahdhah semata. Namun ironisnya kita
sering menilai ketaqwaan seseorang dari prilaku ritual ketimbang sosialnya.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus