REPUBLIKA.CO.ID, Pertanyaan yg tampak
sederhana, sesederhana cara berpikir orang yg mengungkapkannya. Untuk menjawab,
mungkin kita perlu menelaah lagi sejarah dan fakta yg ada di lapangan.
Saya tak akan bercerita ttg
peristiwa Oktober 1945, ketika kelompok
pemuda PKI membantai pejabat pemerintahan di
Tegal, menguliti serta
membunuh sang bupati. Tak cukup di situ, mereka
menghinakan keluarganya. Kardinah, adik kandung RA Kartini yg menikah dg bupati Tegal
periode sebelumnya, termasuk salah satu korban. Pakaian wanita sepuh itu
dilucuti, kemudian diarak dg mengenakan karung goni.
Betapa saat rakyat Indonesia tengah
berjuang melawan penjajah, ketika arek-arek Suroboyo berebut merobek bendera
merah putih biru di Hotel Yamato, lalu bertarung menghadapi sekutu 10 November,
di belahan lain sebulan sebelumnya, sejumlah pejuang turut
berdarah-darah dlm pertempuran 5 hari di
Semarang, membredeli tentara Jepang, PKI
justru merusak tatanan bangsa di mana-mana. Menggerogoti dari dalam.
Anasir PKI bergerak merebut kekuasaan
di Slawi, Serang, Pekalongan, Brebes, Tegal, Pemalang, Cirebon, dan berbagai
wilayah lain. Menghilangkan nyawa anak
bangsa dan tokoh pejuang. Bupati Lebak dihabisi, tokoh nasional Otto Iskandardinata diculik dan dieksekusi mati bahkan
keberadaan jenazahnya menyisakan misteri. Sultan
Langkat dibunuh serta hartanya dijarah. Bahkan Gubernur
Suryo, tokoh sentral dari peristiwa di Surabaya juga dibunuh PKI.
Ketika tokoh
PKI Amir Syarifuddin Harahap berhasil jadi Perdana Menteri 1948, arus bawah PKI merasa mempunyai
kekuatan. Muso memproklamirkan Republik Soviet Indonesia, beraliansi komunis.
Dan lebih parah lagi dlm Perjanjian Renville, dg mudah Amir Syarifuddin
menyerahkan begitu banyak kekuasaan pd Belanda dan memasung wilayah Indonesia.
Keganasan PKI makin
membabi buta.
Saya sebenarnya tidak hendak bercerita
tentang peristiwa di Gontor. Ketika setiap pagi
menjelang, satu per satu kyai diabsen
dan nama yg disebut serta-merta
disembelih. Atau kisah Haji Dimyati, aktivis Masyumi yg
digorok lehernya sebelum dimasukkan ke sebuah sumur bersama korban pembantaian
lainnya.
Juga ttg kesaksian Isra dari Surabaya yg ayahnya diseret ke sawah sembari dihajar
beramai-ramai hingga jasadnya tak berbentuk lagi; hancur, habis terbakar, dan dimakan anjing. Sang anak terpaksa memungut potongan
tubuh ayahnya satu per satu dan dimasukkan kaleng.
Atau cerita Moch.
Amir yg 4 sahabatnya sesama
aktivis dakwah disiksa dg dipotong kemaluan dan telinga mereka hingga ajal
menjemput. Atau testimoni Suradi saat para kyai
dimasukkan loji lalu dibakar. Yang berhasil keluar tak lantas bebas, melainkan
dibacoki. Pun saya sejujurnya tak ingin mengisahkan kesaksian Mughni yg melihat
tokoh Islam dari Masyumi di Ponorogo diciduk dan
dinaikkan truk. Telinga kakaknya dipotong, lalu dibuang di sumur tua.
Juga ttg Kapolres
Ismiadi yg diseret dg Jeep Wilis sejauh 3 km hingga wafat. Setelah
tentara dibunuhi, gantian polisi dilibas.
Kemudian pejabat, ulama, serta para santri.
Pascagerakan komunis
berhasil dihentikan di tahun 1948, pada 1965 PKI kembali beraksi.
Buya Hamka, Ketua MUI
pertama dan para ulama
lainnya dipenjara. Mereka difitnah
kalangan PKI yg saat itu sangat dekat dg pemerintah berkuasa. Tak hanya menerima siksaan setiap hari, Buya
Hamka memperoleh ancaman akan disetrum
kemaluannya.
Deretan kisah mengiris hati di atas
pernah saya baca, tapi tidak akan saya ceritakan sebagai jawaban atas
pertanyaan itu. Karena mungkin hanya dianggap serpihan dari peristiwa kecil.
Tapi, kini mari kita lihat apa yg
terjadi jika komunisme berkuasa. Di Uni Soviet, sekitar
7 juta orang tewas dlm Revolusi Bolsevik dipimpin Lenin. Di masa Stalin 20 juta
orang terbunuh utk memuluskan
program komunisme.
Salah satu cara komunisme bertahan
adalah, melestarikan
tidak adanya perbedaan pendapat, dan jika berbeda sebaiknya dibunuh,
berapa pun jumlah korban yg dibutuhkan. Di Kamboja,
sekitar 2 juta orang atau sepertiga jumlah penduduk dibantai utk
mengukuhkan kekuasaan komunis. Di Cina jumlah
korban meninggal dlm revolusi diduga mencapai 80 juta.
Jadi, jika PKI bangkit,
memangnya kenapa?
Pertanyaan seperti ini lebih baik
dijawab dg pertanyaan. Jika PKI pernah mengkhianati kemerdekaan bangsa, apa jaminan mereka tidak akan mengulanginya?
Jika baru mempunyai sedikit
kekuasaan saja sudah membantai begitu banyak orang, apa yg terjadi jika memegang
kekuasaan besar?
Jika komunisme dilatih tak bisa
berbeda pendapat, lalu di mana letak kebebasan?
Dan yg terpenting dari semua itu,
jangan berteriak korban. Mengutip Ahmad Mansur Suryanegara, PKI di Indonesia bukan korban, mereka pelaku. Atau
istilah Agung Pribadi dlm buku Gara-Gara Indonesia, ini saatnya rekonsiliasi,
kita bisa maafkan, tapi jangan lupakan sejarah pembantaian yg dilakukan
PKI.(Republika,Sabtu , 23 September 2017).
Oleh :Asma Nadia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar