Victor Miroslav Vic: Kedekatan dg RRC,
Peristiwa 1965 Bisa Terulang Kembali...
Buku 447 halaman Kudeta 1 Oktober 1965
yang ditulis ilmuwan Ceko, Victor Miroslav Vic, mengungkap detail teori
konspirasi di balik kudeta berdarah PKI 40 tahun lalu. Terutama tentang peran
Ketua Partai Komunis China Mao Zedong.
Mao Minta Habisi dengan Sekali Pukul
PESAWAT kepresidenan Jetstar yang
membawa Presiden Soekarno dan 80 anggota rombongan, termasuk Ketua CC
(Committee Central) PKI Dipo Nusantara (D.N.) Aidit, meninggalkan tanah air
menuju Aljazair guna menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA) II. Pesawat
transit di Kairo, Mesir, 26 Juni 1965.
Mendadak ada kabar bahwa Presiden
Aljazair Ben Bella dikudeta. KAA pun ditunda hingga 5 November 1965. Bung Karno
kemudian memutuskan pulang ke tanah air. Sedangkan rombongan kecil yang
dipimpin Aidit melawat ke Peking (Beijing), China. Salah satu di antara mereka
adalah Nyono.
Setibanya di tanah air, penyakit
ginjal Bung Karno kambuh lagi. Tim dokter China yang merawat Bung Karno sejak
1960 mendiagnosis bahwa kali ini penyakitnya makin gawat. Bahkan, tim dokter
China itu memperkirakan, sewaktu-waktu jika penyakit Bung Karno kambuh lagi
nyawanya tak tertolong. Keadaan ini makin mematangkan rencana PKI mengambil alih
kekuasaan dari tangan Bung Karno. Yakni, dengan menyingkirkan rival utamanya
lebih dahulu: para jenderal TNI AD.
Gawatnya kesehatan Bung Karno itu
terlihat dari perintah pemanggilan mendadak Aidit dan Nyono oleh sang pemimpin
besar revolusi itu lewat Menlu Soebandrio. Keduanya diminta segera pulang ke
tanah air. Lewat kawat, Aidit menjawab akan pulang pada 3 Agustus 1965.
Pada 4 Agustus 1965, kesehatan Bung
Karno terus memburuk. Dia tiba-tiba muntah-muntah sebanyak 11 kali, ditambah
hilang kesadaran empat kali. Dokter kepresidenan, Dr Mahar Mardjono, pun
mendadak dipanggil ke kamar Bung Karno di Istana Negara. Saat itu sudah ada tim
dokter China.
Belakangan, diduga keras ternyata
diagnosis dokter China tadi berkaitan erat dengan rencana PKI mengambil alih
kekuasaan di Indonesia. Rencana ini muncul setelah Aidit bertemu Mao Tze Tung
(Mao Zedong) di China. Sebab, posisi Bung Karno sebagai presiden sekaligus
panglima tertinggi Angkatan Bersenjata sangat menentukan arah politik
Indonesia.
Mao Zedong
Kalau sampai Bung Karno mangkat, sudah
bisa ditebak akan terjadi perebutan kekuasaan antara PKI dan TNI-AD. Saling
mendahului dan saling jegal antara kekuatan saat itu sangat mewarnai politik
Indonesia 1965. “Ternyata diagnosis tim dokter China terbukti keliru. Sebab,
Bung Karno baru meninggal tujuh tahun kemudian,” ungkap Ketua LIPI Taufik
Abdulah dalam bedah buku di Yayasan Obor yang menerbitkan buku karya Miroslav
kemarin.
Dugaan lain yang menguatkan bahwa PKI
akan mengambil alih kekuasaan di Indonesia terekam dalam pembicaraan Ketua
Partai Komunis China Mao Tze Tung dan Ketua CC PKI DP Aidit yang menemuinya
Zhongnanghai, sebuah perkampungan dalam dinding-dinding kota terlarang di
China.
“Kamu harus mengambil tindakan cepat,”
kata Mao kepada Aidit.
“Saya khawatir AD akan menjadi
penghalang,” keluh Aidit ragu-ragu.
“Baiklah, lakukan apa yang saya
nasihatkan kepadamu; habisi semua jenderal dan perwira reaksioner itu dalam
sekali pukul. Angkatan Darat akan menjadi seekor naga yang tidak berkepala dan
akan mengikutimu,” ungkap Mao berapi-api.
“Itu berarti membunuh beratus-ratus
perwira,” tanya Aidit lagi.
“Di Shensi Utara, saya membunuh lebih
dari 20 ribu orang kader dalam sekali pukul saja,” tukas Mao.
Setelah menemui Mao, Aidit disertai
dua dokter China, Dr Wang Hsing Te dan Dr Tan Min Hsuen (salah satu di
antaranya diyakini Miroslav sebagai perwira intelijen China) terbang ke Jakarta
guna mendeteksi kesehatan Bung Karno. Pada 7 Agustus 1965, mereka menghadap
Bung Karno di Istana Merdeka.
Soekarno dan D.N. Aidit
Esoknya, 8 Agustus 1965, Aidit kembali
menemui Bung Karno di Istana Bogor untuk berbicara empat mata. Menurut
Miroslav, saat bertemu secara pribadi dengan Bung Karno itulah, Aidit
melaporkan hasil pembicaraannya dengan Mao Tze Tung. Misalnya, advis untuk
menyingkirkan jenderal AD yang tidak loyal kepada presiden (baca dewan jenderal
sebutan PKI bagi jenderal AD).
PKI sadar benar tidak mudah
menyingkirkan para jenderal AD tanpa payung kekuasaan Soekarno. Kedua,
membentuk Kabinet Gotong Royong dengan PKI sebagai pemegang kendali (dengan
memasukkan para kadernya). Ketiga, setelah semua misi itu sukses, diam-diam PKI
menyiapkan strategi untuk menyingkirkan Bung Karno secara halus. Caranya, China
menawari Bung Karno untuk istirahat panjang di sebuah vila dekat Danau Angsa,
China, guna mengobati penyakitnya.
“Itu sebenarnya cara licik Aidit dan
Mao untuk menyingkirkan Bung Karno dari kekuasaannya setelah melapangkan jalan
PKI mengambil alih kekuasaan,” ungkap Miroslav.
Cara itu pernah diterapkan Mao kepada
Raja Kamboja Pangeran Norodom Sihanouk. Setelah China berhasil mengomuniskan
Kamboja lewat Pol Pot. Giliran Jenderal Lon Nol mengudeta Sihanouk saat
berkunjung ke Moskow. Saat Kremlin (baca Uni Sovyet) menolak memberikan suaka
kepada Sihanouk, China dengan senang hati menawarkan tempat tinggal dan
perawatan yang wah bagi Sihanouk. “Istrinya, Princess Monica, sangat menikmati
pemberian China tadi,” tambah Miroslav.
Berdasar hasil rekonstruksi kejadian
yang dibuat Miroslav, Bung Karno tampaknya sejalan dengan rencana Mao.
Terbukti, lanjut Miroslav, Bung Karno memanggil Brigjen Subur, Komandan Resimen
Tjakrabhirawa, dan Letkol Untung ke kamar tidurnya untuk bertanya pada mereka.
“Apakah dia (Untung) cukup berani
menangkap para jenderal yang tidak loyal kepada presiden dan menentang
kebijakannya?” tanya Bung Karno.
“Saya akan melakukan kalau
diperintahkan,” jawab Untung saat itu.
Ketua LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia) Taufik Abdullah mengatakan, kevalidan sejarah seperti itu memang
perlu diuji. Tapi, boleh jadi dugaan keras Miroslav tersebut ada benarnya.
Taufik membuat tamsil, ada sepasang
pengantin masuk rumah. Saat keluar wajahnya terlihat lusuh. Orang bisa menduga,
pasangan pengantin itu baru melaksanakan kewajibannya sebagai suami istri.
Tapi, tidak ada yang tahu persis. “Bisa juga wajah yang tampak loyo itu
disebabkan mereka habis membersihkan rumah,” ujar Taufik.
“Miroslav pantas menduga kuat bahwa
pembicaraan Aidit dan Bung Karno di kamar tidurnya adalah soal isi pertemuan
Aidit dengan Mao,” tambah Taufik.
Mao Tze Tung, lanjut Miroslav, semula
ingin menggandeng Bung Karno untuk menancapkan kekuasaan PKI di Indonesia.
Tapi, dalam perkembangan selanjutnya, Bung Karno dinilai bukan sosok pemimpin
yang cocok. Dia dianggap terlalu sembrono dan pembawaannya meledak-ledak. Tapi,
Mao tetap membutuhkan Bung Karno untuk mengantarkan PKI berkuasa di Indonesia.
Soal pembawaan yang meledak-ledak
tersebut pernah dilaporkan Menlu China Marsekal Chen Yi saat menemui Bung
Karno, 3 Desember 1964. Ketika itu, Bung Karno menuntut China agar membagi
teknologi nuklirnya dengan Indonesia. Bung Karno juga mendesak uji nuklir
dilakukan di wilayah Indonesia. Tujuannya, memberi dampak psikologis kepada
kawan dan lawan Indonesia. Tapi, Chen Yi menolak karena itu terlalu berbahaya.
Bung Karno kontan naik pitam. “Sambil menggebrak meja, Bung Karno berdiri
menudingkan telunjuknya ke arah Chen Yi,” ungkap Miroslav.
Akibat keragu-raguan Mao Tze Tung
tersebut, akhirnya China menunda pengiriman 100 ribu pucuk senjata untuk
angkatan kelima (baca buruh dan tani) seperti dijanjikan sebelumnya. Sebagai
gantinya, Mao hanya mengirimkan 30 ribu pucuk senjata lewat beberapa kapal guna
menghadapi jenderal AD yang reaksioner. Tapi, itu tidak gratis. Sebagai
imbalannya, Mao minta presiden melapangkan jalan PKI menguasai Indonesia. “Soal
perjanjian rahasia itu terungkap dalam surat Aidit 10 November 1965 yang dikirim
ke Bung Karno,” terang Miroslav.
Jaringan intelijen yang dibangun PKI
terus mengintesifkan pembicaraan dengan penguasa komunis China guna
mempersiapkan pengambialihan kekuasaan di Indonesia. Kontak Aidit-Mao maupun
Soebandrio-Chen Yi makin intensif menjelang pengambilalihan yang ternyata gagal
itu.
Akhirnya, sejarah pun mencatat: pada
30 September 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan enam jenderal TNI-AD oleh
pasukan Cakrabhirawa. Mereka lalu dibawa ke Lubang Buaya untuk dimakamkan.
Tapi, itu sekaligus pukulan balik bagi
PKI. Pangkostrad Mayjen Soeharto berhasil mengorganisasikan berbagai kekuatan
anti-PKI untuk memukul balik lawannya. Soeharto akhirnya menjadi penguasa Orba
selama 30 tahun lebih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar