Rabu, 04 Juli 2018

Islam Nusantara (Azyumardi Azra)


'Islam Nusantara', istilah yang belakangan ini menemukan momentum popularitasnya, terutama setelah PBNU mengangkatnya menjadi tema Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015. Tema itu persisnya berbunyi “Meneguhkan Islam Nusantara sebagai Peradaban Indonesia dan Dunia”. Istilah dan tema ini-terlepas beberapa hal problematik terkait-sangat relevan dan tepat waktu waktu dalam konteks nasional maupun internasional.

Istilah 'Islam Nusantara' juga menjadi wacana Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam berbagai kesempatan. Terakhir sekali, Presiden Jokowi juga menggunakan istilah 'Islam Nusantara' dalam kesempatan 'istighatsah kubra' yang diselenggarakan NU di Jakarta (14/6/15) dalam rangka Munas Alim Ulama NU dan menyambut Ramadhan 1436 H/2015 M.

Penulis “Resonansi” kemudian diminta tanggapan oleh BBC Londontentang 'Islam Nusantara' yang juga disinggung Presiden Jokowi tersebut (Haedar Affan, Polemik di Balik Istilah 'Islam Nusantara', BBC London,15/6/15). Apakah maksud istilah 'Islam Nusantara'? Apakah istilah ini sesuatu yang baru?

Dalam seminar internasional pra-Muktamar NU yang diselenggarakan Harian Kompas (27/5/2015) dan Panitia Muktamar ke-33 NU, penulis “Resonansi” ini berusaha menjelaskan makna istilah 'Islam Nusantara'. Istilah mengandung konsep dan konotasi berbeda ketika diterapkan pada wilayah berbeda di Nusantara.

Istilah 'Islam Nusantara' pada dasarnya tidaklah baru. Istilah ini mengacu pada Islam di gugusan kepulauan atau benua maritim (nusantara) yang mencakup tidak hanya kawasan yang sekarang menjadi negara Indonesia, tetapi juga wilayah Muslim Malaysia, Thailand Selatan (Patani), Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan juga Champa (Kampuchea).

Dengan cakupan seperti itu, 'Islam Nusantara' sama sebangun dengan 'Islam Asia Tenggara' (Southeast Asian Islam). Secara akademik, istilah terakhir ini sering digunakan secara bergantian dengan 'Islam Melayu-Indonesia' (Malay-Indonesian Islam). Masalahnya kemudian, apakah abash berbicara tentang 'Islam Nusantara' atau 'Islam Asia Tenggara' atau 'Islam Melayu-Indonesia'? Apakah 'Islam Nusantara' memiliki distingsi, baik pada tingkat doktrin normatif maupun kehidupan sosial, budaya, dan politik?

Dalam pandangan penulis “Resonansi”, secara normatif doktrinal, 'Islam Nusantara' menganut Rukun Iman dan Rukun Islam yang sama dengan kaum Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah (Sunnah atau Sunni) lain di bagian dunia Islam manapun seperti disepakati jumhur (mayoritas) ulama otoritatif. Meski demikian, dalam batas tertentu 'Islam Nusantara' memiliki distingsi sendiri. Kenyataan ini bisa terlihat dari, misalnya ortodoksi Islam Nusantara yang terbentuk mapan khususnya sejak abad ke-17 ketika murid-murid Jawi seperti Nuruddin ar-Raniri, 'Abdurrauf al-Singkili, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari kembali ke Nusantara setelah belajar selama hampir dua dasawarsa dan terlibat dalam 'jaringan ulama' yang berpusat di Makkah dan Madinah.

Ortodoksi Islam Nusantara sederhananya memiliki tiga unsur utama, pertama, kalam (teologi) Asy'ariyah; kedua, fiqh Syafi'i--meski juga menerima tiga mazhab fiqh Sunni lain; ketiga, tasawuf al-Ghazali, baik dipraktikkan secara individual atau komunal maupun melalui tarekat Sufi yang lebih terorganisasi lengkap dengan mursyid, khalifah dan murid, dan tata cara zikir terentu. Sebagai perbandingan, ortodoksi Islam Nusantara ini berbeda dengan ortodoksi Islam Arab Saudi.
Dalam dua konferensi dengan kalangan ulama dan intelektual Arab Saudi di Riyadh dan wadi sekitar 300 kilometer dari Riyadh (3-7/1), penulis “Resonansi” ini menyatakan, ortodoksi Islam Arab Saudi mengandung hanya dua unsur, yaitu
pertama, kalam (teologi) Salafi-Wahabi dengan pemahaman Islam literal dan penekanan pada Islam yang 'murni'. Dengan pandangan kalam seperti itu, dalam perspektif doktrin ortodoksi Islam Arab Saudi, tidak heran jika banyak Muslimin lain dianggap sebagai pelaku bid'ah dhalalah (ritual tambahan sesat) yang bakal membawa mereka masuk neraka. Termasuk ke dalam bid'ah dhalalah itu adalah merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW yang ramai dirayakan kaum Muslimin Indonesia.
Unsur ortodoksi Islam Arab Saudi kedua adalah fiqh Hanbali yang merupakan mazhab paling ketat dalam yurisprudensi Islam. Ortodoksi Islam Arab Saudi tidak mencakup tasawuf, justru tasawuf ditolak karena dianggap mengandung banyak bid'ah dhalalah.

Dalam kedua konferensi ini selalu muncul pertanyaan dari peserta Arab Saudi yang ditujukan kepada penulis “Resonansi” ini. “Kenapa Muslim Indonesia gemar mempraktikkan tasawuf yang menurut mereka mengandung banyak bid'ah dhalalah." Pertanyaan ini bisa dipahami berangkat dari bias dan prasangka terhadap tasawuf yang sebenarnya secara historis memainkan peran penting dalam peningkatan maqamat spiritualitas Muslim dan sekaligus pemeliharan integritas kaum Muslimin menghadapi berbagai tantangan dan realitas historis.

Ortodoksi Islam Salafi-Wahabi Arab Saudi terlalu kering dan sederhana bagi kaum Muslimin Nusantara. Umat Muslimin Nusantara telah dan terus menjalani warisan tradisi untuk mengamalkan Islam yang kaya dan penuh nuansa. Penulis “Resonansi” ini menyebutnya sebagai 'Islam berbunga-bunga' (flowery Islam) dengan 'ritual' sejak tahlilan, nyekar atau ziarah kubur, walimatus-safar (walimatul haj/umrah), walimatul khitan, tasyakuran, sampai empat bulanan atau tujuh bulanan kehamilan.

Islam Nusantara: Islam Indonesia (2)
Islam Nusantara memiliki distingsi tidak hanya dalam tradisi dan praktek keislaman yang kaya dan penuh nuansa, tetapi juga dalam kehidupan sosial, budaya dan politik. Karena itu, penyebutan Islam Nusantara dengan memandang praktik keagamaan adalah valid belaka.

Memang terdapat kalangan ulama dan intelektual Muslim yang menganggap Islam hanyalah satu entitas; sama bagi setiap wilayah dan bangsa. Profesor Abdel-Moneem Fouad, Dekan Dirasah Islamiyah untuk Mahasiswa Internasional Universitas al-Azhar, Kairo, dalam seminar pra-Muktamar NU-Kompas menyatakan ‘Islam hanya satu. Tidak ada Islam Nusantara, Islam Arab atau Islam Mesir’.

Pandangan Fouad menurut penulis Resonansi ini berdasarkan kerangka idealistik. Pandangan ini tidak mempertimbangkan realitas historis empiris perjalanan Islam sepanjang sejarah di berbagai wilayah beragam yang memiliki realitas sosial, budaya, politik yang berbeda.

Dalam pandangan penulis Resonansi ini, Islam satu hanya ada pada level Alquran. Tetapi al-Qur’an (beserta hadits) perlu rumusan rinci agar amar (perintah) al-Qur’an dapat dilaksanakan setiap dan seluruh umat Muslim. Pada tahap inilah ayat-ayat Alquran tertentu perlu ditafsirkan dan dijelaskan maksudnya. Hasilnya adalah kemunculan penafsiran dan penjelasan yang dalam batas tertentu berbeda satu sama lain, yang kemudian menjadi mazhab dan aliran.

Kaum Muslimin Nusantara mengikuti mazhab dan aliran tertentu yang kemudian menjadi ortodoksinya yang bisa berbeda dengan umat Islam di bagian lain Dunia Islam. Sekali lagi, ortodoksi Islam Nusantara adalah; kalam (teologi) Asy’ariyah, fiqh Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali.

Pembentukan ortodoksi Islam Nusantara terkait dengan perbedaan-perbedaan (khilafiyah atau furu’iyah) di kalangan ulama otoritatif sesuai mazhab dan alirannya. Selanjutnya juga terkait dengan dinamika dan perkembangan historis kaum Muslim Nusantara sendiri. Sejak abad ke-17 misalnya, para ‘ulama Jawi (Nusantara) yang kembali dari Makkah dan Madinah—pusat jaringan ulama kosmopolitan di mana mereka termasuk di dalamnya; mereka mengkonsolidasi doktrin dan praksis ortodoksi Islam Nusantara. Ortodoksi Islam seperti itu diwarisi dan dipegangi setia kaum Muslimin Nusantara sampai hari ini.

Kaum Muslim Nusantara tidak hanya memiliki ortodoksi Islam yang bersumber dari para ulama otoritatif, tetapi wilayah Nusantara sendiri terbentuk menjadi ranah budaya Islam (Islamic cultural spheres) distingtif. Wilayah Muslim Nusantara adalah salah satu dari delapan ranah budaya Islam yang memiliki distingsi masing-masing.

Kedelapan ranah budaya Islam tersebut adalah; Arab; Persia atau Iran; Turki, Anak Benua India; Nusantara; Sino-Islamic atau Asia Timur; Sudanic Afrika atau Afrika Hitam atau Afrika sub-Sahara; dan Belahan Dunia Barat (Western hemisphere). Masing-masing ranah budaya Islam memiliki faktor pemersatu seperti bahasa, budaya dan tradisi sosial khas, sehingga ekspresi sosial-budaya dan politiknya pun berbeda-beda.

Ranah budaya Islam Nusantara mengandung sejumlah faktor pemersatu, yang membuat kaum Muslimin Indonesia dari bermacam suku, tradisi, dan adat istiadat berada dalam kesatuan. Faktor-faktor pemersatu itu antara lain; tradisi keulamaan dan keilmuan Islam yang sama, bahasa Melayu sebagai lingua franca dan tradisi sosial-budaya dan adat istiadat yang memiliki lebih banyak komonalitas daripada perbedaan. Berkat fluiditas (kecairan) dunia maritim, dunia maritim Nusantara menjadi terintegrasi dalam ranah budaya Islam khas.

Tetapi ranah budaya Islam Nusantara juga tidak monolit. Sejak masa yang lama terdapat keragaman dalam pemahaman dan praksis doktrin atau ekspresi sosial-budaya kaum Muslimin. Perbedaan ini terkait banyak dengan watak budaya suku bangsa yang juga sangat beragam. Karena itu, ekspresi keislaman suku Aceh misalnya mengandung perbedaan tertentu dengan ekspresi keislaman suku Jawa atau suku Sunda dan seterusnya.

Perbedaan ini juga terlihat jelas di masa pasca-Perang Dunia II ketika wilayah Asia Tenggara mencapai kemerdekaan. Perbedaan di antara negara-negara itu terutama terkait modus relasi antara Islam-negara. Di Malaysia dan Brunei Darussalam, misalnya, Islam merupakan agama resmi negara. Sedangkan di Indonesia, meski kaum Muslimin mayoritas mutlak, Islam tidak menjadi dasar negara atau agama resmi negara. Kaum Muslim merupakan umat minoritas di Singapura, Thailand dan Filipina; di dua negara terakhir kaum Muslimin terlibat konfrontasi dengan pemerintahan pusat di Bangkok dan Manila.

Dalam relasi itu, Islam Malaysia dan Brunei sepenuhnya terkoptasi negara—menjadi bagian integral struktur dan birokrasi negara. Sebaliknya di Indonesia, kaum Muslimin hampir sepenuhnya independen vis-à-vis negara. Karena itu Islam Indonesia seperti diwakili ormas mainstream bergerak bebas sebagai organisasi dakwah, pendidikan, kepenyantunan sosial dan masyarakat madani/masyarakat sipil (civil society) hampir tanpa intervensi negara.

Karena itu, jika berbicara tentang Islam Wasatiyah Nusantara, representasinya paling ‘sempurna’ adalah Islam Indonesia. Inilah Islam inklusif, akomodatif, toleran dan dapat hidup berdampingan secara damai baik secara internal sesama kaum Muslimin maupun dengan umat-umat lain.


Islam Nusantara Lindungi Islam dari Arabisasi?
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maraknya diskursus publik akhir-akhir ini tentang wacana Islam nusantara merupakan respon dari upaya arabisasi atau percampuran antara budaya Arab dengan ajaran Islam.

Ajaran Islam diturunkan Allah Subhanahu Wataala melalui Rasulullah Muhammad tidak hanya untuk satu bangsa saja, melainkan bersifat universal ditujukan kepada seluruh umat manusia apapun suku dan bangsanya dia berasal, rahmatan lil alamin.

Pendiri Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Amerika Serikat Ahmad Sahal beranggapan Islam nusantara tidak bermasalah secara akidah, menurutnya akidah Islam nusantara tetaplah Tauhid sebagaiman esensi yang ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad. Sedangkan arabisasi bukanlah esensi ajaran Islam.

"Justru wacana Islam nusantara itu untuk melindungi Islam dari Arabisasi, dengan memahaminya secara kontekstual," ujar Sahal lewat alun twitter-nya @sahaL_AS, Rabu (27/5).

Kandidat PhD Universitas Pennsylvania Amerika Serikat ini juga menjelaskan bahwa Islam nusantara merupakan bagian dari aspek muamalah dalam Islam.

Sedangkan muamalah termasuk pada bagian dari ibadah ghoiru mahdloh atau ibadah yang diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya secara jelas."Tauhid aqidahnya ya Islam. Nusantara itu aspek muamalah dan budayanya," imbuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar