Rabu, 04 Juli 2018

Surat Al ‘Ashr: “Manusia Dalam Kerugian, Kecuali …”

Ada sebuah surat dalam Al Qur’an yang pendek (hanya 3 ayat) dan telah banyak dihafal oleh kaum muslimin. Namun sayangnya (kata para ulama), hanya sedikit di antara kaum muslimin yang memahami dan melaksanakannya. Padahal surat ini memiliki kandungan makna yang sangat dalam, sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, ”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” Surat itu adalah Al ‘Ashr (QS. 103)
Dalam Surat Al ‘Ashr, Allah ta’ala berfirman: (1) Demi masa. (2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. (3) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran (QS. Al ‘Ashr).
Ada 3 hal penting yang harus kita cermati dan renungkan dalam kandungan surat ini, yaitu:
Pertama; Surat itu merupakan sebuah statemen Allah SWT yang diawali dengan kalimat penegasan yang sangat serius (semacam sumpah), yaitu “Demi masa”.
Kedua; Substansi surat itu adalah sebuah statemen dari Allah, bahwa “Manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali…”  
Ketiga: Manusia akan merugi apabila ia tidak melakukan 3 hal/perbuatan sekaligus, yaitu (1) beriman, (2) beramal shalih, dan (3) saling menasehati tentang kebenaran dan kesabaran.
Dengan demikian maka apabila seseorang hanya beriman saja (seperti shalat, dzikir, iktikaf, puasa, dan ibadah mahdhah lainnya), tetapi tidak beramal shaleh (seperti sedekah, tolong menolong, peduli bencana, memakmurkan masjid, dst) maka ia akan mengalami kerugian. Kerugian disini bisa kerugian di dunia maupun di akhirat.
Demikian pula apabila seseorang telah beriman dan beramal shaleh tetapi tidak melakukan “amar makruf nahi munkar” (menasehati antar sesama), maka ia juga akan mengalami kerugian.

Esensi dari surat Al-Ashr adalah memerintahkan manusia untuk melakukan 3 hal, yaitu (1) beriman, (2) beramal shaleh, dan (3) saling menasehati.  Dalam konteks hablum minallah wa hablum minan naas, maka bagian pertama, yaitu beriman adalah hablum minallah (kesalehan individual). Sedangkan hal kedua dan ketiga, yaitu beramal shaleh dan saling menasehati adalah hablum minan naas (kesalehan sosial).
Kesalehan individual dan kesalehan sosial harus dilakukan secara bersamaan.  Tidak dibenarkan seseorang yang hanya tekun shalat, dzikir, iktikaf, dan puasa, tetapi apatis dengan masalah sosial, karena oleh Allah Ta’ala akan ditimpakan kepadanya kehinaan. Allah berfirman,  Dhuribat ‘alaihi mudh dhillatu ainamaa - tsuqifuu  illaa  bi hablim minallahi  wa hablim minan naas.  Ditimpakan atas mereka ”kehinaan” dimana saja mereka berada, kecuali kalau mereka berhubungan baik dengan Allah (hablim minallah) dan berhubungan baik pula dengan sesama manusia (hablim minan naas).   (QS. Ali Imran 112).

Dengan demikian maka, manusia selain harus beriman, ia juga dituntut untuk beramal shaleh dan saling menasehati tentang amar makruf nahi munkar.  Yang demikian itu baru dikatakan sebagai beragama Islam (memahami dan mengamalkan) secara Kaffah (menyeluruh).  Allah berfirman: “Ya ayyuhal ladzina amanud fis silmi kaffah”  artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh.”(QS. Al Baqarah: 208).  Menyeluruh berarti beriman, beramal shaleh dan saling nasehat menasehati.

Pertanyaan besarnya adalah, Apakah benar sinyalemen para ulama bahwa hanya sedikit di antara kaum muslimin yang memahami dan melaksanakannya surat Al-Ashr ?  Jawabannya adalah kita kembalikan kepada diri kita untuk introspeksi.
Prof.  HA. Mukti Ali (mantan Menteri Agama RI, ulama ahli bidang perbandingan agama) pernah menyatakan bahwa, “Orang-orang Muslim banyak yang terjebak dalam masalah-masalah ritual, dan tidak peka terhadap masalah-masalah sosial. Padahal Allah memerintahkan untuk Hablu Minallah Wa Habluminan naas  secara seimbang”.
Dalam agama Islam, hablum minan naas mempunyai posisi yang istimewa. Kesalehan sosial lebih diutamakan daripada kesalehan individual.  Mereka yang mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk kemaslahatan Ummat daripada untuk dirinya sendiri dikatakan oleh Rasulullah sebagai sebaik-baiknya manusia.  Rasulullah bersabda,  “Khairunnas anfa'uhum linnas”- Sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak manfaatnya buat orang lain (HR. Ibnu Hajar al-Asqalani). 

-----------

Dalam konteks kecerdasan manusia, maka masing-masing dari ke-3 perbuatan itu mempunyai bidang kecerdasan yang berlainan.
1).  Ber-Iman.  Orang Islam yang telah beriman adalah mereka yang telah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan agama Islam, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan ibadah spiritual lainnya. Modal kecerdasan dalam beriman adalah kecerdasan spiritual (SQ).
(2). Ber-Amal Soleh. Orang Islam harus pula melakukan perbuatan kebajikan dengan melakukan berbagai amal shaleh, seperti tolong menolong, tolerans, ramah, menjaga kebersihan, kerukunan, dan seterusnya.  Amal shaleh ini merupakan bentuk ibadah sosial. Modal kecerdasan dalam melakukan kebajikan sosial adalah kecerdasan emosional (EQ).

(3). Saling Menasehati. Saling menasehati sesama manusia tentang kebenaran dan kesabaran. Untuk dapat memberi nasehat kepada sesama diperlukan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Modal kecerdasan dalam melakukan perbuatan yang berlandaskan ilmu ini adalah kecerdasan intelektual (IQ).

---

Pengertian amal saleh:
Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan amal saleh sebagai “segala perbuatan yang bermanfaat bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan”.
Ahli tafsir Az-Zamakhsyari mengartikan amal saleh sebagai “segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, Al-Quran, dan atau sunnah Nabi Muhammad Saw”.
Sedangkan menurut Quraish Shihab, (1997:480) amal saleh merupakan suatu pekerjaan yang dengan melakukannya diperoleh manfaat dan kesesuaian.

Dalam Islam, amal saleh merupakan modal dan bekal hidup untuk selamat dan bahagia baik di dunia maupun di akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar