Ada
sebuah surat dalam Al Qur’an yang pendek (hanya 3 ayat) dan telah banyak
dihafal oleh kaum muslimin. Namun sayangnya (kata para ulama), hanya sedikit di antara kaum muslimin yang memahami
dan melaksanakannya. Padahal surat ini memiliki kandungan makna yang sangat
dalam, sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, ”Seandainya setiap
manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” Surat
itu adalah Al ‘Ashr (QS. 103)
Dalam
Surat Al ‘Ashr, Allah ta’ala berfirman: (1) Demi masa. (2) Sesungguhnya manusia
itu benar-benar berada dalam kerugian. (3) Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan
saling menasihati supaya menetapi kesabaran (QS. Al ‘Ashr).
Ada
3 hal penting yang harus kita cermati dan renungkan dalam kandungan surat ini,
yaitu:
Pertama; Surat itu merupakan sebuah statemen Allah
SWT yang diawali dengan kalimat penegasan yang sangat serius (semacam sumpah),
yaitu “Demi masa”.
Kedua; Substansi surat itu adalah sebuah
statemen dari Allah, bahwa “Manusia itu
benar-benar berada dalam kerugian, kecuali…”
Ketiga: Manusia akan merugi apabila ia tidak melakukan
3 hal/perbuatan sekaligus, yaitu (1) beriman, (2) beramal shalih, dan (3) saling
menasehati tentang kebenaran dan kesabaran.
Dengan
demikian maka apabila seseorang hanya beriman saja (seperti shalat, dzikir,
iktikaf, puasa, dan ibadah mahdhah lainnya), tetapi tidak beramal shaleh (seperti
sedekah, tolong menolong, peduli bencana, memakmurkan masjid, dst) maka ia akan
mengalami kerugian. Kerugian disini bisa kerugian di dunia maupun di akhirat.
Demikian
pula apabila seseorang telah beriman dan beramal shaleh tetapi tidak melakukan “amar makruf nahi munkar” (menasehati
antar sesama), maka ia juga akan mengalami kerugian.
Esensi
dari surat Al-Ashr adalah memerintahkan manusia untuk melakukan 3 hal, yaitu (1)
beriman, (2) beramal shaleh, dan (3) saling menasehati. Dalam konteks hablum minallah wa hablum minan naas, maka bagian pertama, yaitu
beriman adalah hablum minallah (kesalehan individual). Sedangkan hal kedua dan
ketiga, yaitu beramal shaleh dan saling menasehati adalah hablum minan naas (kesalehan
sosial).
Kesalehan
individual dan kesalehan sosial harus dilakukan secara bersamaan. Tidak dibenarkan seseorang yang hanya tekun shalat,
dzikir, iktikaf, dan puasa, tetapi apatis dengan masalah sosial, karena oleh
Allah Ta’ala akan ditimpakan kepadanya kehinaan. Allah berfirman, “Dhuribat ‘alaihi mudh dhillatu
ainamaa - tsuqifuu illaa bi hablim minallahi wa hablim minan naas.
Ditimpakan atas mereka ”kehinaan” dimana saja mereka
berada, kecuali kalau mereka berhubungan baik dengan Allah (hablim minallah) dan berhubungan baik pula
dengan sesama manusia (hablim minan
naas). (QS. Ali Imran 112).
Dengan
demikian maka, manusia selain harus beriman, ia juga dituntut untuk beramal
shaleh dan saling menasehati tentang amar
makruf nahi munkar. Yang demikian
itu baru dikatakan sebagai beragama Islam (memahami dan mengamalkan) secara Kaffah (menyeluruh). Allah berfirman: “Ya ayyuhal ladzina amanud fis silmi kaffah” artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh.”(QS. Al Baqarah: 208).
Menyeluruh berarti beriman, beramal shaleh dan saling nasehat menasehati.
Pertanyaan besarnya
adalah, Apakah benar sinyalemen para ulama bahwa hanya sedikit di
antara kaum muslimin yang memahami dan melaksanakannya surat Al-Ashr ? Jawabannya adalah kita kembalikan kepada diri
kita untuk introspeksi.
Prof. HA. Mukti Ali (mantan Menteri Agama RI, ulama ahli
bidang perbandingan agama) pernah menyatakan bahwa, “Orang-orang Muslim banyak
yang terjebak dalam masalah-masalah ritual, dan tidak peka terhadap masalah-masalah
sosial. Padahal Allah memerintahkan untuk Hablu
Minallah Wa Habluminan naas secara
seimbang”.
Dalam agama Islam, hablum minan naas
mempunyai posisi yang istimewa. Kesalehan sosial lebih diutamakan daripada
kesalehan individual. Mereka yang
mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk kemaslahatan Ummat daripada untuk
dirinya sendiri dikatakan oleh Rasulullah sebagai sebaik-baiknya manusia. Rasulullah bersabda, “Khairunnas
anfa'uhum linnas”- Sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak manfaatnya
buat orang lain (HR. Ibnu Hajar al-Asqalani).
-----------
Dalam
konteks kecerdasan manusia, maka masing-masing dari ke-3 perbuatan itu mempunyai
bidang kecerdasan yang berlainan.
1). Ber-Iman.
Orang Islam yang telah beriman adalah mereka yang telah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan
agama Islam, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan ibadah spiritual
lainnya. Modal kecerdasan dalam beriman adalah kecerdasan spiritual (SQ).
(2). Ber-Amal Soleh. Orang Islam harus
pula melakukan perbuatan kebajikan dengan melakukan berbagai amal shaleh,
seperti tolong menolong, tolerans, ramah, menjaga kebersihan, kerukunan, dan
seterusnya. Amal shaleh ini merupakan
bentuk ibadah sosial. Modal kecerdasan dalam melakukan kebajikan sosial adalah kecerdasan
emosional (EQ).
(3). Saling Menasehati. Saling menasehati
sesama manusia tentang kebenaran dan kesabaran. Untuk dapat memberi nasehat
kepada sesama diperlukan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Modal kecerdasan
dalam melakukan perbuatan yang berlandaskan ilmu ini adalah kecerdasan intelektual
(IQ).
---
---
Pengertian
amal saleh:
Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan amal saleh sebagai “segala perbuatan yang
bermanfaat bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan”.
Ahli tafsir Az-Zamakhsyari mengartikan amal saleh sebagai “segala perbuatan yang sesuai
dengan dalil akal, Al-Quran, dan atau sunnah Nabi Muhammad Saw”.
Sedangkan menurut Quraish Shihab,
(1997:480) amal saleh merupakan suatu pekerjaan yang dengan melakukannya
diperoleh manfaat dan kesesuaian.
Dalam Islam, amal saleh merupakan modal dan bekal hidup
untuk selamat dan bahagia baik di dunia maupun di akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar