Jaman Edan
adalah istilah yang menggambarkan situasi sosial masyarakat yang dirasakan oleh
kebanyakan orang sebagai situasi yang tidak menentu, penuh ketidak pastian dan diliputi
kecemasan.
Di jaman edan, orang pandai (berilmu) belum
tentu sukses. Kebanyakan mereka yang sukses adalah orang-orang yang cerdik dan
licik. Orang jujur malah dijauhi koleganya, karena dianggap tidak bisa diajak
kerjasama dan akhirnya terpinggirkan.
Di jaman edan, orang kaya makin kaya,
sementara orang miskin semakin sulit untuk memperoleh kehidupan. Untuk mendapatkan
pekerjaan atau jabatan orang harus mengeluarkan uang pelicin (menyuap). Maka
hanya orang-orang kayalah yang akhirnya mudah mendapatkan pekerjaan dan
jabatan. Sementara orang-orang miskin hidupnya semakin sulit dan terpuruk.
Jaman Edan telah digambarkan dan diramalkan oleh Prabu
Jayabaya (abad 12) dan Rangga Warsita (abad 19). Prabu Jayabaya, yang hidup abad 12 menyebutnya
sebagai Kalabendu
(jaman kekacauan). Sedangkan Rangga Warsita, pujangga Kasunanan
Surakarta yang hidup tahun 1860-an menyebutnya sebagai Kalatidha (jaman keraguan/edan).
1. Menurut PRABU JAYABAYA, di jaman edan nanti
paradigma hidup menjadi terjungkir-balik (wolak
walik ing jaman). Tata nilai buruk merajalela mengalahkan tata nilai
yang baik. Tanda-tanda jaman edan antara
lain sebagai berikut:
>
Wong jujur ajur – wong ala mulya. Orang
jujur nasibnya malah hancur (tidak beruntung), karena bakal ditinggalkan
orang-orang sekitar yang buruk moralnya. Dan sebaliknya orang “ala” (tak
berintegritas) malah mendapat kedudukan, karena ia berani menghalalkan segala
cara (semisal suap menyuap)
>
Wong apik ditampik - wong jahat munggah
pangkat. Orang baik
disingkirkan, sedangkan orang jahat, yang licik dan munafik justru mendapat
kedudukan.
>
Wong lugu kebelenggu - wong mulyo dikunjoro. Orang yang lurus (apa adanya)
malah terbelenggu, tidak mendapat tempat dan kepercayaan. Demikian pula orang mulia (yang menegakkan amar makruf nahi munkar) justru banyak
yang masuk penjara.
>
Ngumbar nafsu angkoro murko. Kebanyakan
manusia hanya berorientasi pada uang dan kedudukan, dengan melupakan nilai
kebajikan. Mereka inginnya hidup serba mewah dengan mengumbar
syahwat kekuasaan (nafsu angkoro murko).
>
Wani nglanggar sumpahe dhewe. Banyak
orang dan pejabat yang tidak segan-segan melanggar sumpahnya sendiri.
Mereka mudah mengumbar janji-janji namun tidak ditepati.
>
Ora ngendahake aturaning Gusti. Mereka
sudah tidak lagi takut dan taat terhadap aturan Tuhan.
>
Podho seneng nyalahke. (Untuk memenuhi ambisi) antar
mereka saling menyalahkan. Banyak orang suka mencari-cari kesalahan orang lain,
dengan berbagai fitnah dan menebar kebencian.
Menurut Jayabaya, jaman kalabendu (oleh
sebagian kecil orang) terlihat seperti Jaman Kasukan,
yaitu jaman yang menyenangkan karena penuh kenikmatan dunia, tetapi sebenarnya
jaman itu dirasakan oleh sebagian besar orang lainnya sangat berat. Jaman kalabendu merupakan jaman kehancuran
dan rusaknya dunia (jaman ajur lan bubrahing donya).
Jayabaya menasehati kita, meski pada
jaman itu kondisinya sangat berat, namun kita harus tetap berusaha, serta tetap
tabah dan tegar. Jangan terbawa
dan terbuai oleh arus jaman yang memabokkan (jo
kepranan ombyak ing jaman). Sebab jaman itu bakal
sirna dan diganti dengan jaman kemuliaan yaitu jaman Ratu Adil.
2. Sementara RANGGAWARSITA, pujangga
Kasunanan Surakarta (tahun 1860-an) menggambarkan jaman edan dalam sebuah bait
dalam Serat Kalatidha. Serat Kalatidha merupakan sebuah syair yang
sangat mashur. Ketenaran Serat Kalatidha telah mencapai kota Leiden, Belanda. Di sana petikan dari Serat
Kalatidha dilukis di tembok sebuah museum di kota Leiden.
Serat Kalatidha terdiri dari 12 bait,
berisi falsafah atau ajaran hidup Ranggawarsita. “Kala” berarti
"jaman" dan “tidha” adalah "ragu". Kalatidha berarti jaman penuh keraguan. Walau demikian
banyak yang memberi pengertian “Kalatidha adalah jaman edan” mengambil makna
dari bait ke tujuh serat ini, bait yang sangat popular.
Jaman edan dalam serat kalatidha
digambarkan secara ringkas sebagai jaman yang serba susah dalam bertindak (éwuhaya ing
pambudi). Kalau tidak mengikuti edan bakal tidak kebagian (boya kéduman mélik).
Namun sebahagia-bahagianya orang yang edan, masih lebih baik orang yang
senantiasa “ingat” dan waspada (begja-begjaning kang
edan luwih begja kang éling klawan waspada).
Bait ke-7 Serat Kalatidha adalah
sebagai berikut:
> Amenangi jaman édan (mengalami jaman
edan) ;
> Ewuhaya ing pambudi (serba susah dalam
bertindak);
> Mélu ngédan nora tahan (ikut edan tidak sampai
hati);
> Yén tan mélu anglakoni boya
kéduman (tapi kalau tidak mengikuti edan tidak kebagian);
> Ndilalah kersaning Gusti Allah (sudah menjadi
kehendak Allah);
> Begja-begjaning kang édan (seberuntungnya orang
yang edan);
> Luwih begja kang éling klawan waspada (akan lebih beruntung/bahagia
orang yang tetap ingat dan waspada).
3. SUNAN KALIJAGA (yang
hidup sekitar tahun 1450M), juga telah meramalkan datangnya zaman edan. Sunan menggubah sebuah tembang yang sekarang
sering didendangkan para dalang wayang kulit untuk menggambarkan situasi
“goro-goro” atau kekacauan. Tembang
tersebut adala sebagai berikut:
> Kali ilang kedunge (Sungai
sudah kehilangan lubuknya, karena kerusakan alam);
> Pasar ilang kumandange (Pasar
kehilangan gaungnya,karena sistem ekonomi sudah berubah);
> Wong wadon ilang wirange (Kaum perempuan sudah
tidak punya rasa malu, karena kerusakan moralitas);
> Wong lanang ilang wibawane (Para
pria sudah hilang kewibawaannya);
> Wong jujur tambah kojur (orang
jujur justru celaka) ;
> Wong clutak tambah galak (Orang
serakah semakin menjadi-jadi, karena budi baik dikalahkan oleh kejahatan,
ketidakadilan merajalela, tatanan hukum kacau balau),
Di jaman edan, moral tidak
dipentingkan lagi. Tidak ada persahabatan dan tidak ada kawan abadi, yang ada
adalah kepentingan. Kawan bisa menjadi lawan, dan yang tadinya lawan bisa
menjadi kawan asalkan menguntungkan.
Saat sekarang ini kita saksikan
bersama, korupsi terus terjadi dimana-mana. Korupsi justru dilakukan oleh orang
yang sudah kaya. Mereka terus menerus menguras uang negara. Harta mereka sudah
bertumpuk namun masih saja merasa kurang Mereka tak peduli dengan
penderitaan orang miskin. Keserakahan telah menutupi hati nuraninya.
Empati dan kepedulian sudah luntur dari qalbunya Apakah ini jaman edan?.
Jayabaya dan Ranggawarsita menasehati
kita, meski pada jaman itu kondisinya sangat berat, namun kita harus tetap
berusaha, serta tetap tabah dan tegar. Karena sebahagia-bahagianya
orang yang edan, masih lebih baik orang yang senantiasa “ingat” dan waspada (begja-begjaning
kang edan luwih begja kang éling klawan waspada). Jangan terbawa
dan terbuai oleh arus jaman edan. Sebab jaman itu bakal
sirna dan diganti dengan jaman kamulyan yaitu jaman Ratu Adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar