Harian al-Arab, koran
berbahasa Arab yang terbit di London menurunkan tulisan panjang dengan judul: Islam Nusantara Madkhal Indonesia li
Mujtama' Mutasamih (Islam Nusantara adalah gerbang Indonesia menuju masyarakat
toleran)
Beberapa bulan yang
lalu, harian terbesar di Mesir Al-Ahram dan al-Masry al-Youm juga memotret
Islam Indonesia yang ramah dan toleran, khususnya Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah.
Namun yang unik dan
menarik dari liputan Harian al-Arab ini, karena secara khusus memotret Islam
Nusantara yang secara resmi digaungkan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang.
Islam Nusantara terus membahana di Amerika Serikat, Eropa, Asia, bahkan hingga
Amerika Latin.
Kali ini, media yang
berbahasa Arab tidak ketinggalan untuk mengetengahkan gerakan Islam Nusantara
yang dianggap telah berhasil menghadapi paham dan kelompok-kelompok ekstremis
yang kerap menggunakan jubah agama. Sebagai sebuah nama, Islam Nusantara bisa
dikatakan baru. Tetapi sebagai sebuah gerakan, Islam Nusantara sudah lama
sekali tumbuh dan berkembang, terutama jika merujuk kepada sejarah masuknya
Islam ke Nusantara yang dikenal menghargai tradisi dan budaya lokal. Corak
tersebut ingin menegaskan bahwa Islam yang dibawa dan datang ke Nusantara,
khususnya Indonesia, adalah Islam yang ramah, moderat,
dan toleran.
Ketika Islam Nusantara
menjadi perbincangan di media berbahasa Arab, maka hal tersebut akan menjadi
dentuman yang dahsyat. Pasalnya, dunai Arab saat ini sedang menghadapi
tantangan yang cukup serius perihal maraknya
ekstremisme dan terorisme.
Sejak jatuhnya Dinasti Ottoman di Turki pada 1923, dunia
Arab sulit bangkit dari keterpurukan. Alih-alih bangkit, justru mereka
terperosok dalam kubangan maraknya ideologi-ideologi ekstremis-radikal, yang
hingga sekarang ini memecah belah dunia Arab. Mereka masih enggan untuk
memasuki era demokrasi dan modernitas yang memberikan ruang pada rasionalitas.
Mayoritas dunia Arab ingin kembali ke masa lalu.
Nah, munculnya Islam
Nusantara merupakan wajah baru yang bisa dijadikan sebagai oase pemikiran bagi
dunia Arab, dan dunia Islam pada umumnya. Mereka selama ini alergi terhadap
segala hal yang berbau Barat, karena Barat identik dengan kolonialisme. Mereka
pun mulai melirik wajah Islam lain yang tumbuh subur di Indonesia. Akhirnya,
Islam Nusantara mendapatkan perhatian khusus.
Apa sebenarnya yang
dimaksud dengan Islam Nusantara? Kiai Said Aqil Siradj dalam pidato pembukaan
Muktamar NU ke-33 di Jombang menggarisbawahi beberapa karakteristik dari Islam
Nusantara.
Pertama, semangat keagamaan (al-ruh
al-diniyyah). Semangat keagamaan yang dimaksudkan bukan untuk mengedepankan formalisasi agama, melainkan mengutamakan akhlaqul karimah. Ini sejalan dengan misi utama
kedatangan Nabi Muhammad yang membawa misi untuk menyempurnakan akhlaqul
karimah.
Kedua, semangat kebangsaan (al-ruh
al-wathaniyyah). Setiap umat Islam di negeri ini hendaknya mempunyai
nasionalisme, cinta Tanah Air. Hal tersebut sudah terbukti dalam sejarah
pra-kemerdekaan, para ulama bersama para pendiri bangsa yang lain saling bahu
membahu untuk mewujudkan kemerdekaan, dan bersama-sama untuk melahirkan
Pancasila sebagai falsafah bernegara. Bahkan, para ulama menegaskan Pancasila
sebagai dasar negara sudah bersifat final.
Ketiga, semangat kebhinnekaan (al-ruh al-ta'addudiyyah).
Setiap umat Islam harus mengenali dan menerima keragaman budaya, agama, dan
bahasa. Tuhan pasti bisa jika hendak menjadikan makhluk-Nya seragam, tetapi
Tuhan sudah memilih untuk menciptakan makhluk-Nya beragam agar di antara mereka
saling mengenali, menghormati, serta merayakan kebhinnekaan.
Keempat, semangat kemanusiaan (al-ruh
al-insaniyyah). Setiap umat Islam hendaknya mampu menjadikan prinsip
kemanusiaan sebagai pijakan utamanya. Persaudaraan kemanusiaan harus diutamakan
dalam rangka menjaga tatanan sosial yang damai dan harmonis. Islam pada
hakikatnya adalah agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
Keempat karakter
tersebut memang secara distingtif menjadi unsur pembeda
antara Islam Nusantara dengan Islam ala Timur Tengah. Salah satu yang
mencolok perbedaannya karena Islam ala Timur Tengah
cenderung bersifat politis. Sedangkan Islam Nusantara bersifat kultural.
Meskipun demikian,
tantangan di masa kini dan masa mendatang tidaklah mudah. Globalisasi telah
mengubah banyak hal. Karena intensitas interaksi dan pertukaran pemikiran
begitu tinggi, maka diperlukan upaya-upaya serius untuk revitalisasi paradigma
Islam Nusantara, terutama dalam rangka membumikan paham keagamaan yang makin
dinamis.
Semua menyadari, kaum
muda yang dikenal dengan 'kaum milenial' kerap menjadi sasaran utama kelompok
ekstremis. Karena keterbatasan pemahaman tentang keislaman dan gairah yang meluap
untuk mencari jati diri dan identitas, maka mereka mudah dicekoki dengan paham-paham transnasional yang dapat mengancam solidaritas
kebangsaan. Akhirnya mereka terjerembab dalam paham
khilafah.
Di era Google, setiap
orang mempunyai kebebasan dan kemerdekaan untuk menganggap dirinya sebagai
'muslim sejati'. Setiap orang mempunyai kemungkinan yang sama untuk mengetahui
banyak hal tentang pemahaman keislaman, meskipun hanya di permukaan, sehingga
muncul istilah 'muslim google' dan 'muslim wikipedia'.
Maka dari itu, para
penggiat studi keislaman harus mampu mengartikulasikan pemikiran-pemikiran keislaman kontemporer yang konstruktif dan
mampu menjawab beberapa problem kemanusiaan. NU melalui diskursus Islam
Nusantara berada di garda terdepan untuk senantiasa menggelorakan
paham Islam Rahmatan lil 'Alamin yang mengukuhkan moderasi dan
toleransi, serta nasionalisme yang tinggi.
Apresiasi media
berbahasa Arab terhadap Islam Nusantara merupakan modal dan bukti nyata, bahwa
keberislaman kita tidak kalah bersaing dengan paham-paham yang berkembang di
Timur Tengah. Bahkan, kita bisa menyumbangkan pemikiran kita kepada Timur
Tengah yang saat ini sedang galau dan kehilangan arah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar