Rabu, 04 Juli 2018

Islam Nusantara


Harian al-Arab, koran berbahasa Arab yang terbit di London menurunkan tulisan panjang dengan judul: Islam Nusantara Madkhal Indonesia li Mujtama' Mutasamih (Islam Nusantara adalah gerbang Indonesia menuju masyarakat toleran)

Beberapa bulan yang lalu, harian terbesar di Mesir Al-Ahram dan al-Masry al-Youm juga memotret Islam Indonesia yang ramah dan toleran, khususnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Namun yang unik dan menarik dari liputan Harian al-Arab ini, karena secara khusus memotret Islam Nusantara yang secara resmi digaungkan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang. Islam Nusantara terus membahana di Amerika Serikat, Eropa, Asia, bahkan hingga Amerika Latin.

Kali ini, media yang berbahasa Arab tidak ketinggalan untuk mengetengahkan gerakan Islam Nusantara yang dianggap telah berhasil menghadapi paham dan kelompok-kelompok ekstremis yang kerap menggunakan jubah agama. Sebagai sebuah nama, Islam Nusantara bisa dikatakan baru. Tetapi sebagai sebuah gerakan, Islam Nusantara sudah lama sekali tumbuh dan berkembang, terutama jika merujuk kepada sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dikenal menghargai tradisi dan budaya lokal. Corak tersebut ingin menegaskan bahwa Islam yang dibawa dan datang ke Nusantara, khususnya Indonesia, adalah Islam yang ramah, moderat, dan toleran.

Ketika Islam Nusantara menjadi perbincangan di media berbahasa Arab, maka hal tersebut akan menjadi dentuman yang dahsyat. Pasalnya, dunai Arab saat ini sedang menghadapi tantangan yang cukup serius perihal maraknya ekstremisme dan terorisme.

Sejak jatuhnya Dinasti Ottoman di Turki pada 1923, dunia Arab sulit bangkit dari keterpurukan. Alih-alih bangkit, justru mereka terperosok dalam kubangan maraknya ideologi-ideologi ekstremis-radikal, yang hingga sekarang ini memecah belah dunia Arab. Mereka masih enggan untuk memasuki era demokrasi dan modernitas yang memberikan ruang pada rasionalitas. Mayoritas dunia Arab ingin kembali ke masa lalu.

Nah, munculnya Islam Nusantara merupakan wajah baru yang bisa dijadikan sebagai oase pemikiran bagi dunia Arab, dan dunia Islam pada umumnya. Mereka selama ini alergi terhadap segala hal yang berbau Barat, karena Barat identik dengan kolonialisme. Mereka pun mulai melirik wajah Islam lain yang tumbuh subur di Indonesia. Akhirnya, Islam Nusantara mendapatkan perhatian khusus.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islam Nusantara? Kiai Said Aqil Siradj dalam pidato pembukaan Muktamar NU ke-33 di Jombang menggarisbawahi beberapa karakteristik dari Islam Nusantara.

Pertama, semangat keagamaan (al-ruh al-diniyyah). Semangat keagamaan yang dimaksudkan bukan untuk mengedepankan formalisasi agama, melainkan mengutamakan akhlaqul karimah. Ini sejalan dengan misi utama kedatangan Nabi Muhammad yang membawa misi untuk menyempurnakan akhlaqul karimah.

Kedua, semangat kebangsaan (al-ruh al-wathaniyyah). Setiap umat Islam di negeri ini hendaknya mempunyai nasionalisme, cinta Tanah Air. Hal tersebut sudah terbukti dalam sejarah pra-kemerdekaan, para ulama bersama para pendiri bangsa yang lain saling bahu membahu untuk mewujudkan kemerdekaan, dan bersama-sama untuk melahirkan Pancasila sebagai falsafah bernegara. Bahkan, para ulama menegaskan Pancasila sebagai dasar negara sudah bersifat final.

Ketiga, semangat kebhinnekaan (al-ruh al-ta'addudiyyah). Setiap umat Islam harus mengenali dan menerima keragaman budaya, agama, dan bahasa. Tuhan pasti bisa jika hendak menjadikan makhluk-Nya seragam, tetapi Tuhan sudah memilih untuk menciptakan makhluk-Nya beragam agar di antara mereka saling mengenali, menghormati, serta merayakan kebhinnekaan.

Keempat, semangat kemanusiaan (al-ruh al-insaniyyah). Setiap umat Islam hendaknya mampu menjadikan prinsip kemanusiaan sebagai pijakan utamanya. Persaudaraan kemanusiaan harus diutamakan dalam rangka menjaga tatanan sosial yang damai dan harmonis. Islam pada hakikatnya adalah agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Keempat karakter tersebut memang secara distingtif menjadi unsur pembeda antara Islam Nusantara dengan Islam ala Timur Tengah. Salah satu yang mencolok perbedaannya karena Islam ala Timur Tengah cenderung bersifat politis. Sedangkan Islam Nusantara bersifat kultural.

Meskipun demikian, tantangan di masa kini dan masa mendatang tidaklah mudah. Globalisasi telah mengubah banyak hal. Karena intensitas interaksi dan pertukaran pemikiran begitu tinggi, maka diperlukan upaya-upaya serius untuk revitalisasi paradigma Islam Nusantara, terutama dalam rangka membumikan paham keagamaan yang makin dinamis.

Semua menyadari, kaum muda yang dikenal dengan 'kaum milenial' kerap menjadi sasaran utama kelompok ekstremis. Karena keterbatasan pemahaman tentang keislaman dan gairah yang meluap untuk mencari jati diri dan identitas, maka mereka mudah dicekoki dengan paham-paham transnasional yang dapat mengancam solidaritas kebangsaan. Akhirnya mereka terjerembab dalam paham khilafah.

Di era Google, setiap orang mempunyai kebebasan dan kemerdekaan untuk menganggap dirinya sebagai 'muslim sejati'. Setiap orang mempunyai kemungkinan yang sama untuk mengetahui banyak hal tentang pemahaman keislaman, meskipun hanya di permukaan, sehingga muncul istilah 'muslim google' dan 'muslim wikipedia'.

Maka dari itu, para penggiat studi keislaman harus mampu mengartikulasikan pemikiran-pemikiran keislaman kontemporer yang konstruktif dan mampu menjawab beberapa problem kemanusiaan. NU melalui diskursus Islam Nusantara berada di garda terdepan untuk senantiasa menggelorakan paham Islam Rahmatan lil 'Alamin yang mengukuhkan moderasi dan toleransi, serta nasionalisme yang tinggi.

Apresiasi media berbahasa Arab terhadap Islam Nusantara merupakan modal dan bukti nyata, bahwa keberislaman kita tidak kalah bersaing dengan paham-paham yang berkembang di Timur Tengah. Bahkan, kita bisa menyumbangkan pemikiran kita kepada Timur Tengah yang saat ini sedang galau dan kehilangan arah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar