Haji (/hædʒ/;[1] bahasa Arab: حج Ḥaǧǧ "ziarah")
adalah ziarah Islam tahunan ke Mekkah,
kota suci umat Islam,
dan kewajiban wajib bagi umat Islam yang harus dilakukan setidaknya sekali
seumur hidup mereka oleh semua orang Muslim dewasa yang secara fisik dan
finansial mampu melakukan perjalanan, dan dapat mendukung keluarga mereka
selama ketidakhadiran mereka.[2][3][4] Ini adalah
satu dari lima Rukun Islam, di samping Syahadat, Salat, Zakat, dan Sawm. Haji adalah
pertemuan tahunan terbesar orang-orang di dunia.[5][6] Keadaan
yang secara fisik dan finansial mampu melakukan ibadah haji disebut istita'ah,
dan seorang Muslim yang memenuhi syarat ini disebut mustati. Haji
adalah demonstrasi solidaritas orang-orang Muslim, dan ketundukan mereka
kepada Tuhan (Allah).[7][8] Kata Haji
berarti "berniat melakukan perjalanan", yang berkonotasi baik
tindakan luar dari perjalanan dan tindakan ke dalam niat.[9]
Ziarah
terjadi dari tanggal 8 sampai 12 (atau dalam beberapa kasus ke 13 [10]) dari Zulhijjah,
bulan terakhir kalender Islam. Karena kalender Islam adalah
bulan dan tahun Islam kira-kira sebelas hari lebih pendek daripada kalender Gregorian, tanggal haji Gregorian
berubah dari tahun ke tahun. Hram adalah nama yang diberikan pada keadaan
spiritual khusus dimana peziarah mengenakan dua lembar putih kain halus. Dan
menjauhkan diri dari tindakan tertentu.[7][11][12]
Haji
dikaitkan dengan kehidupan nabi Islam Muhammad dari
abad ke-7, namun ritual ziarah ke Mekkah dianggap oleh umat Islam untuk
meregangkan ribuan tahun sampai Ibraham. Selama haji, peziarah bergabung dalam
prosesi ratusan ribu orang, yang secara bersamaan berkumpul di Mekkah selama
minggu haji, dan melakukan serangkaian ritual: setiap orang berjalan berlawanan arah jarum jam
tujuh kali di sekitar Ka'bah (berbentuk
kubus Bangunan dan arah doa untuk kaum Muslim), berjalan bolak-balik antara
bukit-bukit Al-Safa dan Al-Marwah, minuman dari Sumur Zamzam,
sampai ke dataran Gunung Arafah untuk berjaga-jaga, menghabiskan satu malam
di Dataran Muzdalifah, dan melakukan rajam simbolis iblis dengan melemparkan batu ke
tiga pilar. Para peziarah kemudian mencukur kepala mereka, melakukan ritual
pengorbanan hewan, dan merayakan festival global tiga hari Idul Adha.[13][14][15][16]
Jamaah
haji juga bisa pergi ke Mekkah untuk melakukan ritual di lain waktu sepanjang
tahun. Ini kadang disebut "ziarah yang lebih rendah", atau Umrah.[17] Namun,
biarpun mereka memilih untuk melakukan umrah, mereka masih diwajibkan untuk
melakukan ibadah haji di lain waktu dalam hidup mereka jika mereka memiliki
sarana untuk melakukannya, karena Umrah bukan pengganti haji.[18]
Ibadah
Haji adalah salah satu ibadah utama yang diwajibkan bagi umat Islam yang telah
mempunyai kemampuan baik fisik maupun finansial (istita’ah), untuk melakukan perjalanan atau ziarah ke Baitullah
(Ka’bah) di kota Mekah dan beberapa kegiatan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.
Firman
Allah yang menjadi dasar kewajiban ibadah haji adalah : “Allah telah mewajibkan ibadah haji ke Baitullah atas orang-orang yang telah mampu dalam
perjalanannya” (QS. Ali Imran 97).
Kegiatan
inti ibadah haji dilaksanakan pada tanggal 8, 9 & 10 Dzulhijah, yang
diawali dengan kegiatan mabit (bermalam) di Mina (8 Dzulhijah), wukuf (berdiam diri) di padang Arafah (9 Dzulhijah), dan lontar Jumrah di Mina (10 Dzulhijah).
Sementara
ibadah tambahannya adalah tawaf (mengelilingi Ka'bah), serta sa’i (berlari-lari kecil antara bukit Safa dan bukit Marwa) di Mekah.
Sedangkan
puncak dari ibadah haji adalah Wukuf di padang Arafah. “Al-Hajju Arafah” artinya “(puncak)
ibadah haji itu adalah wukuf di Arafah”. Demikian jawaban Rasulullah ketika
ditanya oleh sekelompok orang yang datang dari Nejed saat beliau sedang “wukuf” di
padang Arafah.
Haji merupakan pertemuan tahunan terbesar bagi orang-orang Islam
dunia dengan mengedepankan kesetaraan antar orang-orang Muslim dalam ketundukan
kepada Allah, Tuhan semesta alam.
Napak Tilas Perjalanan
Spiritual Nabi Ibrahim
Ibadah haji merupakan napak tilas
perjalanan spiritual nabi Ibrahim, untuk mengenang kisah ketaatan beliau atas
perintah Allah SWT melalui mimpi-mimpinya untuk menyembelih (mengorbankan) anak
yang sangat dicintainya, Ismail. Itu adalah ujian yang “maha berat” bagi
seorang manusia. Tidak ada satu ujianpun
yang lebih berat ketimbang harus menyembelih anak semata wayang yang sangat
dicintainya.
Bermula dari perintah Allah kepada
Nabi Ibrahim untuk melakukan perjalanan dari Mekah menuju Arafah bersama
keluarganya, yaitu Siti Hajar (istrinya) dan Ismail (putra tercintanya).
Dalam perjalanan dari Mekah ke Arafah
itu, selama tiga malam berturut-turut Nabi Ibrahim bermimpi dengan mimpi yang
sama yaitu menyembelih putranya, Ismail.
Dari ketiga mimpinya itulah Nabi Ibrahim sangat yakin bahwa itu adalah
perintah Allah untuk mengorbankan anak kesayangannya.
Mimpi pertama.
Dalam perjalanan dari Mekah ke Arafah itu mereka bermalam di Mina. Pada malam 8 Dzulhijah itu Ibrahim bermimpi
dengan sangat jelas menyembelih anaknya, Ismail. Segera ia tergeragab bangun
dari tidurnya, dan termenung memikirkan makna mimpi yang terlihat sangat jelas
itu. Sampai pagi datang ia tidak mampu memejamkan kembali karena galau. Ia
meragukan mimpi itu sebagai perintah Allah. Karena Allah adalah Dzat Yang Maha
Penyayang, tak pernah menganiaya hamba-hamba-Nya.
Kelak, termenungnya Ibrahim di Mina
ini menjadi Hari Tarwiyah, dimana jamaah haji
berkumpul dan bersiap-siap menuju Arafah. Kata “Tarwiyah” bermakna “merenung dan memikirkan”. Menunjuk kepada saat-saat
awal Ibrahim memperoleh perintah lewat mimpinya, yang ia sempat termenung dan
merenunginya.
Keesokan harinya keluarga Ibrahim
meneruskan perjalanannya menuju Arafah. Ibrahim
tidak bercerita apapun kepada anak dan istrinya tentang mimpinya semalam.
Karena ia sendiri masih tidak tahu dan ragu-ragu tentang takwil mimpi tersebut.
Apakah itu sekedar kembang tidur, godaan setan, atau perintah Allah.
Mereka sampai di padang Arafah sore
hari menjelang malam. Disanalah Ibrahim
membuka tenda untuk bermalam.
Mimpi kedua.
Pada malam 9 Dzulhijah di Arafah, kembali Ibrahim bermimpi. Mimpi keduanya itu sama persis dengan mimpi
pertama saat di Mina yaitu menyembelih putranya, Ismail. Ia tergeragab kembali, terbangun dari
tidurnya. Dan seperti malam sebelumnya, ia tidak bisa memejamkan matanya
kembali sampai pagi. Mimpi itu membuat keraguannya akan perintah Allah mulai
luntur.
Tak kuat rasanya ia memendam
sendirian. Ingin diceritakannya kepada anak istrinya beban yang berat
menghimpit itu. Tetapi ia menahan diri sampai siang datang. Dalam kegundahan
itu, Ibrahim memutuskan untuk tidak menceritakan dulu kepada mereka, melainkan
akan terlebih dahulu mohon petunjuk kepada Allah.
Ibrahimpun menghentikan segala
aktivitasnya, melakukan Wukuf di dalam tenda
sambil memohon petunjuk kepada-Nya. Ia berkontemplasi,
berdzikir, dan berdoa sepanjang siang
hari hingga sore, menjelang matahari tenggelam.
Ia dapatkan rasa tenteram, dan menjadi
lebih tenang karenanya. Hatinya menjadi lebih jernih dalam menangkap tanda-tanda
dari Allah. Dan iapun memohon kepada-Nya untuk memperjelas perintah itu agar ia
mantab dan tidak ragu-ragu dalam menjalaninya.
Mimpi ketiga. Mimpi yang sama kembali terjadi pada
malam 10 Dzulhijah di Arafah. Seperti
mimpi-mimpi malam sebelumnya, dengan sangat jelas nabi Ibrahim menyembelih
Ismail, putranya. Ibrahim-pun menjadi
yakin bahwa mimpi itu adalah perintah
Allah kepadanya untuk mengorbankan putranya sebagai bukti ketaatan kepada-Nya.
Akhirnya ia memutuskan untuk
melaksanakan perintah Allah itu keesokan harinya. Sehingga tanggal 10 Dzulhijah
dikenal sebagai Hari Nahar alias Hari Berkorban.
Sedangkan tanggal 9 Dzulhijah dikenal sebagai Hari
Arafah alias Hari Pengetahuan dimana Ibrahim memperoleh pencerahan atas
makna ujian yang diberikan Allah kepadanya.
Malam itu, Ibrahim dan keluarganya
melanjutkan perjalanan meninggalkan Arafah menuju ke Mina. Tengah malam mereka
berhenti di Muzdalifah. Saat itulah Ibrahim
mulai diganggu dan dirayu oleh setan, agar membatalkan keputusannya
mengorbankan Ismail. Tapi, Ibrahim sudah mantab hati, dan teguh pada
keyakinannya untuk melaksanakan perintah Allah pada keesokan harinya. Ibrahim
lantas mengambil sejumlah batu untuk mengusir setan yang menghalanginya.
Bagi jamaah haji kini, malam hari di
Muzdalifah itu, disunahkan mengambil batu kerikil untuk
melempar jumrah keesokan harinya, sebagai simbol menghalau setan.
Siang hari Ibrahim sampai di Mina. Kemudian
Ibrahim dan keluarganya menuju ke sebuah bukit yang kemudian dikenal sebagai Jabal Qurban, dimana Ibrahim akan melaksanakan
perintah Allah mengurbankan Ismail. Iapun
minta ijin kepada Hajar untuk naik bukit, sedangkan Hajar diminta untuk
menunggu di bawah.
Dalam perjalanan ke atas bukit di Mina
itulah Ibrahim dan Ismail dihadang oleh setan, lagi-lagi merayu agar
membatalkan niat kurban itu. Tetapi, Ibrahim sekali lagi melemparinya dengan
bebatuan sampai setan itu pergi. Dan begitulah lagi sampai kali yang ketiga.
Kelak, pelemparan batu terhadap setan itu dikenang sebagai lempar Jumrah ,yakni Jumrah Aqabah, Jumar Wustho dan
Jumlah Ula.
Suatu ujian yang nyata
Sesampai di atas bukit, barulah
Ibrahim menceritakan kepada Ismail tentang mimpinya yang datang berturut-turut
dalam tidurnya selama tiga hari. Betapa beratnya pergulatan batin yang terjadi
dalam menyikapi perintah yang sangat berat itu.
Terjadi dialog yang sangat menyentuh
hati, antara seorang Ibrahim yang saleh dengan anaknya, Ismail yang santun dan penyabar. Dan akhirnya mereka memutuskan untuk
membenarkan mimpi tersebut sebagai ujian yang datang dari Allah. Kisah itu dibadikan Allah dalam
firman-firman-Nya pada QS. Ash Shafaat (37) ayat 100
sampai dengan 110.
QS.37:100. "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk
orang-orang yang saleh. ; 37:101.
Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. ;
37:102. Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai
anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar". ; 37:103.
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim
membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). ;
37:104. Dan Kami panggillah dia: "Hai
Ibrahim, ; 37:105. sesungguhnya kamu
telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. ;
37:106. Sesungguhnya ini benar-benar
suatu ujian yang nyata. ; 37:107. Dan Kami tebus anak
itu dengan seekor sembelihan yang besar. ; 37:108. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang
baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, ; 37:109. (yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas
Ibrahim". ; 37:110. Demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Karena nabi Ibrahim (dan juga Ismail)
telah menunjukkan ketaatan akan perintah-Nya dan berserah diri, maka Allah
memerintahkan Ibrahim untuk mengganti anaknya dengan seekor domba sebagai
simbol ketaatan pengorbanannya.
Bagi kita yang sedang tidak
melaksanakan ibadah haji, maka sangat dianjurkan untuk berkurban seekor hewan
berupa domba, sapi atau onta. Ibadah kurban itu sebagai symbol ketaatan kepada
Allah, meneladani ketaatan nabi Ibrahim yang rela mengorbankan putra
kesayangannya meski akhirnya diganti dengan seekor domba.
Berkorban dengan seekor domba atau
sapi bukanlah sesuatu yang berat dibandingkan dengan sesuatu yang lain yang
kita cintai, berupa harta, kekayaan, dan sebagainya. Apalah artinya bila
dibandingkan dengan harus mengorbankan anak yang sangat dicintainya.
Keluarga Ibrahim adalah
keluarga teladan yang kisahnya diabadikan Allah sampai akhir zaman. Khususnya,
berupa ritual haji yang bermula dari Arafah dan kemudian berakhir di bukit
Marwah, di Mekah. Keduanya diabadikan-Nya
sampai akhir zaman sebagai ikon hamba yang berserah diri kepada-Nya.