Tentang Nabi Musa
NABI MUSA adalah nabi yang nama dan
kisahnya paling banyak disebut dalam Al Qur’an. Nama nabi Musa
tercantum dalam Al-Qur’an lebih dari 125 kali. Sementara nabi Isa disebutkan sebanyak 25 kali,
sedangkan nama Muhammad SAW hanya disebutkan 4 kali.
Nabi Musa As merupakan salah satu dari
lima nabi yang memiliki sifat Ulil ‘Azmi (golongan nabi pilihan yang mempunyai ketabahan luar biasa dalam menyebarkan ajaran tauhid),
yang menurut urutanya menduduki
martabat ketiga (Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad).
Nabi Musa adalah nabi yang
membawakan kitab suci Taurat.
Nabi Musa adalah nabi yang mendapat
gelar “Kalimullah”, artinya nabi yang dapat wahyu langsung dari Allah (tanpa melalui
perantaraan malaikat Jibril), sedang
rasul-rasul yang lain mendapat wahyu melalui perantaraan Jibril. Kisah-kisah
nabi Musa sering diceritakan oleh para ulama.
Dialog Nabi Musa dengan Allah Ta’ala
Dalam kitab Mukasyafatul Qulub
karya Imam Al Ghazali, diceritakan dialog antara
Nabi Musa As dengan Allah
SWT;
Musa : "Wahai
Allah aku sudah selalu menunaikan ibadah untukMU. Manakah
diantara ibadahku yang membuat Engkau senang. Apakah shalatku?
Allah: "Sholat mu itu
untukmu sendiri. Karena shalat membuat engkau terpelihara dari perbuatan keji
dan munkar.”
Musa : “Apakah dzikirku?”
Allah: “Dzikirmu itu untukmu
sendiri. Karena dzikir membuat hatimu menjadi tenang.”
Musa : “Puasaku ?”
Allah : “Puasamu itu untukmu
sendiri. Karena puasa melatih diri memerangi hawa nafsumu"
Musa: ”Lalu ibadah apa yang
membuat Engkau senang ya Allah?"
Allah: ”Sedekah. Tatkala
engkau membahagiakan orang yang sedang kesusahan dengan sedekah, sesungguhnya
Aku berada disampingnya. "
Dari dialog tersebut, kita pahami
bahwa ternyata shalat, puasa dan dzikir masih belum membuat Allah menjadi senang,
meski ibadah tersebut sangat tinggi nilai pahalanya.
Kenapa demikian? Karena ibadah
tersebut hanya berdampak baik terhadap pribadi pelakunya, tetapi tidak mengandung
manfaat bagi orang lain.
Sedangkan sedekah merupakan amal
perbuatan yang bukan hanya berpahala bagi dirinya, tetapi juga membuat bahagia
orang lain.
Amal perbuatan yang
membahagiakan orang lain, terutama yang sedang mengalami kesulitan, adalah
perbuatan yang sangat disukai oleh Allah Ta’ala. Perbuatan seperti inilah yang membuat
Allah menjadi senang.
*****
Abdul Aziz bin Umair Ra berkata, “Shalat hanya mengantarkanmu sampai setengah
perjalanan surga. Puasa mengantarkanmu hingga ke depan pintu surga. Dan sedekah
memasukanmu ke dalamnya (surga)”
Menurut Abdul Aziz, bahwa seseorang
yang hanya tekun shalat dan puasa tetapi tidak bersedekah, maka ia belum memenuhi
syarat untuk masuk surga. Orang seperti ini hanya layak sampai di pintu surga
saja. Dan sedekah merupakan ibadah penyempurna untuk memasukkannya ke dalam
surga.
Oleh karenanya, para ulama
memberi warning ; Bila seseorang hanya sibuk dengan ibadah ritual saja (shalat, dzikir, puasa, haji, dsb), maka jangan dulu merasa puas dan bangga. Karena itu tandanya ia hanya mencintai
dirinya sendiri, dan belum sepenuhnya mencintai Allah.
Padahal dalam
Al-Qur’an, Allah berulang kali memerintahkan hambanya untuk bersedekah.
Bila seseorang mengabaikan perintah Allah untuk bersedekah maka itu berarti ia
tidak mencintai Allah.
*****
1. Kesalehan individual & sosial.
2. Keistimewaan org yg suka bersedekah (tawanan tak jd dihukum mati)
3. Pendusta agama
4. Amalan yg paling dicintai Allah
5. Sedekah ciri org bertaqwa
6. Dua dimensi ibadah (nilai ibadah sosial)
7. Akhlak ukuran keimanan.
- pendusta agama
- mans yg paling baik
- amal yg paling utama
- sedekah ciri org bertaqwa
- shalat & zakat
- iman dan amal shaleh
8. Hadis qudsu nabi Musa
****
1. Kesalehan
individual dan kesalehan sosial
Bentuk kesalehan ada dua macam,
yaitu kesalehan individual (untuk diri sendiri) dan kesalehan sosial (untuk orang
lain). Orang yang rajin melakukan ibadah ritual seperti shalat, puasa, dzikir
dan haji maka ia disebut orang saleh secara individual. Karena kesalehannya
hanya untuk dirinya sendiri. Perbuatannya disebut sebagai “kesalehan individual”.
Sedangkan orang yang rajin
berbuat baik kepada sesama seperti sedekah, ramah, peduli, empati, dan
perbuatan lain yang memberi manfaat bagi orang lain maka ia disebut sebagai
orang yang saleh secara sosial. Perbuatannya disebut sebagai “kesalehan sosial”.
Orang mukmin harus mempunyai 2 kesalehan
sekaligus, yaitu kesalehan individual dan kesalehan sosial. Dalam khasanah Al-Qur’an, “Hablim minallah”
dan “hablim minan
naas” harus berjalan beriringan.
Allah berfirman, “Dhuribat ‘alaihi mudh dhillatu ainamaa -
tsuqifuu illaa bi hablim minallahi wa hablim minan naas” (QS. Ali
Imran 112). Artinya “Ditimpakan atas mereka ‘kehinaan’ dimana saja mereka berada, kecuali
kalau mereka berhubungan baik dengan Allah (hablim
minallah) dan berhubungan baik dengan sesama manusia (hablim minan naas).”
Tidak dibenarkan seseorang
hanya “hablim minallah” saja, atau “hablil minan naas” saja. “Hablim minallah” dan “hablim minan naas” harus seimbang, harus
berjalan beriringan. Allah SWT secara tegas
memerintahkan kita agar masuk Islam
secara kaffah (menyeluruh). “Udkhulu
fis-silmi kaffah” (QS. Al Baqarah: 208), artinya
“Masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)”.
Sedekah merupakan implementasi
dari kesalehan sosial. Menurut
Rasulullah, orang yang mempunyai kesalehan sosial adalah orang yang paling
baik. Rasulullah bersabda, ”Khairunnas anfa’uhum linnas”, artinya ”Manusia yang paling baik (dicintai Allah Ta’ala), ialah manusia
yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.
(HR. Ibnu Hajar Al-Asqalani).
2. Keistimewaan
Orang Yang Suka Bersedekah
Terkait dengan sedekah, ada sebuah
kisah. Pada suatu peperangan yang dimenangkan oleh kaum Muslimin, banyak orang
Yahudi yang diancam hukuman mati. Ketika
tiba pada satu tawanan yang mau dihukum mati, tiba-tiba malaikat jibril datang
memberi tahukan kepada Rasulullah SAW, supaya orang Yahudi itu dibebaskan. Diberitahukan bahwa orang Yahudi yang satu
ini suka bersedekah, suka menolong fakir miskin,
suka menjamu tamu dan suka memikul beban orang lain.
Ketika Rasulullah datang
memberitahukan kepada orang Yahudi itu bahwa dia dibebaskan, dia terkejut dan bertanya:
“Mengapa?”. Nabi menjawab: “Allah baru
saja memberitahukan padaku bahwa engkau adalah orang yang suka bersedekah, suka
menolong fakir miskin, suka menjamu tamu, dan suka memikul beban orang
lain.”
Kemudian
orang Yahudi itu berkata: “Apakah Tuhanmu menyukai perilaku seperti ini?”. Nabi
menjawab : ”Betul, Tuhanku menyukai hambanya yang suka bersedekah”. Saat itu juga orang Yahudi tersebut memeluk
Islam. Dia masuk Islam karena Allah
menyukai orang yang dermawan, yang gemar bersedekah.
Keistimewaan
bagi orang yang suka bersedekah (dermawan) adalah mereka lebih dekat dan lebih
dicintai Allah Ta’ala. Rasulullah bersabda : “Orang bodoh yang dermawan lebih dicintai
Allah ketimbang ahli ibadah yang pelit.” (HR. Al-Tirmidzi dari Abu
Hurairah)
Lebih lanjut Rasulullah juga bersabda, “Orang
yang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia dan dekat dengan surga.
Sedangkan orang yang pelit (bakhil) itu jauh dari Allah, jauh dari manusia,
jauh dari surga dan dekat dengan neraka.”
(HR. Al-Tirmidzi dari Abu Hurairah)
3. Pendusta Agama
Terkait dengan “hablim minan naas” atau kepedulian
sosial, bahwa Allah Ta’ala memberi stigma (stempel) kepada orang yang tidak
mempunyai kepedulian sosial dengan sebutan “Pendusta agama”.
Allah
berfirman dalam Surah Al-Ma’un, tentang Pendusta Agama
: (1) Araitalladzi yukaddzibu biddiin, (2) Fa’dzaalikal
ladzii yadu’ul yatiim, (3) Wa laa yahudhdhu alaa tho’amil
miskin, (4) Fawailul lil musallin, (5) Allazinahum
‘an shalatihim sahun, (6) Allazinahum yuraa una,
(7) Wa yamna ‘unal maa’un.
Artinya: (1) Tahukah kamu
(orang) yang mendustakan agama?, (2) Itulah orang yang menghardik anak
yatim, (3) Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, (4) Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (5) (yaitu) orang-orang yang lalai
dari shalatnya, (6) Orang-orang yang berbuat riya, (7) Dan enggan (memberikan)
bantuan.
Sesuai
terjemahan, secara sempit bahwa pendusta agama
adalah orang yang apatis (tidak peduli) terhadap nasib
anak-anak yatim dan fakir miskin (dhuafa). Banyak orang mengira bahwa mereka tidak
peduli terhadap anak yatim dan fakir miskin berarti mereka yang “tidak berbuat kebajikan”.
Padahal sesungguhnya pendusta agama mempunyai konsekuensi yang sangat besar
terhadap amalan ibadah mahdhah yang telah dilakukan.
Menurut
para mufassir, termasuk Prof. Dr. Hamka, hakekat “pendusta agama”
adalah orang-orang yang “mendustai pilar agama”
. Kita tahu bahwa pilar agama ada 5 yaitu: syahadat, shalat, zakat, puasa dan
haji.
Jadi
bagi orang-orang yang tidak peduli (apatis) terhadap nasib anak-anak yatim dan
orang-orang miskin, maka mereka adalah pendusta agama, berarti mereka telah
mendustai syahadatnya, mendustai shalatnya, mendustai puasanya, mendustai
zakatnya, dan mendustai hajinya.
4. Amalan yang paling disukai
Allah
Ada seorang laki-laki
bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling dicintai
oleh Allah? Dan amalan apa yang paling dicintai oleh Allah?
Maka
Rasulullah bersabda: “Orang yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah yang paling bermanfaat untuk
manusia lainnya. Dan amalan yang paling dicintai oleh
Allah Azza wa Jalla adalah memasukan
kegembiraan ke dalam hati seorang mukmin, atau menghilangkan kesusahannya, atau
membayarkan hutangnya, atau menghilangkan kelaparannya. Dan aku berjalan bersama saudaraku untuk
memenuhi kebutuhannya itu lebih aku cintai daripada
ber-i’tikaf di masjid Nabawi selama sebulan lamanya.” (HR. Ath Thabrani 6/139, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2/575).
Mencermati hadits nabi tersebut, maka
ada 3 intisari, yaitu:
1. Orang yang paling dicintai oleh
Allah Ta’ala BUKANLAH orang yang rajin beribadah ritual (shalat, dzikir, puasa,
haji, dsb), tetapi adalah orang banyak dalam beribadah
sosial (bermanfaat bagi masyarakat).
2. Amalan yang paling dicintai Allah
adalah menolong saudara muslim yang mengalami
kesulitan hidup.
3. Melakukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan orang muslim, lebih baik daripada iktikaf di
masjid Nabawi selama sebulan.
5. Sedekah ciri orang bertaqwa
Sedekah
merupakan suatu perbuatan yang menjadi salah satu ciri bagi orang bertaqwa.
Allah berfirman. ”Hudallil muttaqiin – alladziina yu’minuuna bil ghaibi - wa
yuqiimuunash shalaata- wa mim maa razaqnaahum yunfiquun” (QS.
Al-Baqarah: 2-3),
artinya: ”(Al Qur’an) merupakan petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, yaitu mereka
yang beriman kepada yang ghaib,
yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami
anugerahkan kepada mereka.”
6. Dua Dimensi Ibadah
Ibadah dalam Islam dibagi dalam dua dimensi,
yaitu: ibadah Mahghah (ibadah
berdimensi ritual/individual) dan ibadah Ghair-mahdhah (ibadah
berdimensi sosial). Kedua dimensi ibadah tersebut harus dilakukan secara
keseluruhan oleh setiap Muslim.
Allah SWT secara tegas
memerintahkan kita agar masuk Islam
secara kaffah (menyeluruh). “Udkhulu
fis-silmi kaffah” (QS. Al Baqarah: 208), artinya
“Masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)”. Tidak
dibenarkan seseorang hanya melaksanakan ibadah ritual saja, sementara
mengabaikan ibadah sosial. Demikian pula sebaliknya. Ibadah ritual dan
sosial harus dilaksanakan secara keseluruhan dan berimbang.
Allah SWT juga memerintahkan kita untuk berhubungan baik dengan sesama manusia (hablim minan naas):
“Dhuribat ‘alaihi mudh dhillatu ainamaa - tsuqifuu illaa
bi hablim minallahi wa hablim
minan naas (QS. Ali Imran 112) : Ditimpakan atas mereka ”kehinaan” dimana saja
mereka berada, kecuali kalau mereka berhubungan baik dengan Allah (hablim minallah) dan berhubungan baik dengan sesama
manusia (hablim minan naas).
NILAI IBADAH SOSIAL LEBIH BESAR DARIPADA IBADAH RITUAL.
Prof. Dr. Jalaluddin Rahmad, berpendapat bahwa, Islam menekankan ibadah
dalam dimensi sosial jauh lebih besar daripada dimensi ritual. Kalau kebetulan kegiatan ibadah ritual itu bersamaan
dengan pekerjaan lain yang mengandung dimensi sosial, maka Islam memeberi pelajaran
untuk mendahulukan yang sosial.
>
|
Ketika nabi sedang shalat di rumah, beliau berhenti dan
membukakan pintu untuk tamu yang datang, kemudian beliau melanjutkan
shalatnya kembali.
|
>
|
Seseorang datang kepada rasulullah, mengadukan ada
seseorang perempuan yang shalatnya rajin tetapi dia selalu menyakiti tetangga
dengan lidahnya. Apa kata Rasulullah?,
”Perempuan itu di neraka”. (HR. Ahmad, Hakim).
|
>
|
Tidak beriman kamu, kalau
kamu tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetanggamu kelaparan. (HR.
Al-Bukhary)
|
>
|
Orang bodoh yang dermawan lebih dicintai Allah
ketimbang ahli ibadah yang pelit. (HR. Al-Tirmidzi dari Abu Hurairah)
|
>
|
Dalam suatu riwayat, Nabi pernah menjelaskan kepada
sahabat-sahabatnya tentang bangkrut.
Rasulullah menjelaskan, sesungguhnya orang yang bangkrut adalah orang yang
rajin menjalankan ritus-ritus ibadah (shalat, shaum, zakat, dan lain
sebaginya), tetapi dia tidak memiliki akhlak yang baik, dia sering merampas
hak orang lain, sering menyakiti hati orang, sering berbuat zalim, dsb. Sehingga pahala amalnya habis berpindah
ke orang lain dan dosanya bertambah banyak.
|
>
|
Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa ada seorang
wanita yang rajin shalat, berdzikir, dan berpuasa. Namun Rasulullah berkata
bahwa wanita itu akan masuk neraka, karena ia jahat terhadap tetangganya. Sebaliknya, Rasulullah bercerita tentang
wanita lain yang shalatnya biasa, puasanya biasa, dan tidak begitu banyak
shalat sunnah, Namun kata Nabi, ia akan masuk surga karena sangat baik dan sangat sopan kepada
tetangganya
|
7. Akhlak Ukuran Keimanan
Tingkat keimanan seseorang
diukur dari akhlaknya (prilaku sosial), bukan
dari ibadah mahdhah semata.
Pendusta Agama. Dalam al-Qur’an, Allah SWT mencap bagi orang-orang
yang tidak peduli terhadap nasib fakir miskin sebagai ”pendusta agama”. Ara-aitalladzii
yukadzdzibubiddiin
fadzaalikalladzi yadu’ –
’ulyatiim walaa yahudhdhu ’alaa
tha’aamill miskin (QS.
Al-Ma’un: 1-3), artinya: ”Tahukah kamu
orang yang mendustakan agama?. Mereka adalah orang yang menelantarkan anak
yatim dan tidak peduli terhadap nasib orang miskin.”
Prof. Dr. Hamka memaknai “pendusta agama” adalah orang yang
mendustai agama, yaitu mendustai shalatnya, mendustai zakatnya, mendustai
puasanya, juga mendustai ibadah hajinya. Karena ibadah spiritual yang ia
lakukan (shalat, zakat, puasa, dan haji) tidak berdampak baik pada ibadah
sosialnya, yaitu tidak peduli terhadap nasib anak yatim dan orang miskin.
Manusia yang
paling baik. Banyak hadis yang menyatakan bahwa untuk
mengukur keimanan seseorang itu adalah dari akhlaknya (prilaku sosial). Rasulullah bersabda, khairunnas anfa’uhum linnas , ”Manusia
yang paling baik (dicintai Allah Ta’ala),
ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain. (HR. Ibnu Hajar Al-Asqalani)
Amal yang paling utama. Ketika Rasulullah ditanya, ”Amal apa yang paling utama?”. Nabi yang mulia menjawab, ”Seutama-utama amal ialah
memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman, yaitu melepaskannya dari
rasa lapar, membebaskannya dari kesulitan, dan membayarkan hutang-hutangnya.” (HR. Ibnu Hajar Al-Asqalani)
Sedekah
ciri orang bertaqwa. Salah satu ciri orang yang
bertaqwa antara lain adalah menafkahkan sebagian rizki. ”Hudallil
muttaqiin – alladziina yu’minuuna bil ghaibi - wa yuqiimuunash shalaata- wa mim
maa razaqnaahum yunfiquun” (QS. Al-Baqarah: 2-3), artinya: ”(Al Qur’an) merupakan petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, yaitu mereka yang beriman
kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian
rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
Shalat dan zakat. Di dalam Al-Quran, kata “shalat”
pada umumnya digandengkan dengan kata “zakat”. “Janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata
yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan
tunaikanlah zakat.
Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu,
dan kamu selalu berpaling.” (QS.
Al-Baqarah: 83).
Iman dan amal shaleh. Di dalam Al-Quran, kata “iman”
pada umumnya digandengkan dengan kata “amal saleh”.
(1) QS. Al-Baqarah: 82 ; “Dan orang-orang
yang beriman serta beramal saleh,
mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya”.
(2) QS. Thaha: 75 ; “Dan barang siapa
datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah
orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia)”.
Jadi tingkat
keimanan seseorang itu, justru diukur
dari akhlaknya (prilaku sosial), bukan dari ibadah mahdhah semata. Namun kita sering mengukur ketaqwaan
seseorang dari ritualnya ketimbang sosialnya.
Prof. Mukti Ali : Orang-orang Muslim
banyak yang lebih peka terhadap masalah-masalah ritual keagamaan, daripada
masalah-masalah sosial. Padahal Allah memerintahkan untuk Hablu minallah wa
habluminannnas secara seimbang.
----- ----- ----- -----
8. Hadis Qudsi Nabi Musa
Dalam hadits qudsi, Allah SWT
berbicara kepada nabi Musa AS.
"Wahai hamba Ku... aku lapar,
tapi kenapa kalian tak memberi Aku makan,
Aku haus, tapi kenapa kalian tak beri
Aku minum,
Aku susah, tapi kenapa kalian tak
mengunjungi-Ku"
Ketika nabi Musa bertanya :
"Ya Rabb... di mana aku bisa
menemui-Mu?"
Allah SWT berfirman:
"Barang siapa yang ingin
menemui-Ku, maka temuilah mereka yang kehausan, mereka yang kelaparan, dan
mereka yang kesusahan. Karena sesungguhnya Aku bersamanya."
Allah SWT menambahkan firman-Nya:
"Ketahuilah, tidaklah sampai cinta-Ku
kecuali kalian mencintai sesama. Tidaklah sampai pelayanan-Ku, kecuali kalian
sudi melayani sesama."
----- ----- ----- -----
Menarik tulisannya
BalasHapusBetulkan di dalam kitab Mukasyafatul Qulub ada kisah seperti itu?
BalasHapusSemoga Allah SWT
BalasHapusmemberikan keberkahan hidup di dunia dan akherat.. Aamiiin..
Jelas2 di nash islam mengatakan bahwa Puasa itu ibadah untuk Alloh SWT, kok di sini dibilang itu untuk manusia itu sendirik?
BalasHapusJelas2 di nash islam mengatakan bahwa Puasa itu ibadah untuk Alloh SWT, kok di sini dibilang itu untuk manusia itu sendirik?
BalasHapus