Sangkan Paraning Dumadi, merupakan filosofi atau ajaran dalam ilmu Kejawen
(kepercayaan tradisional Jawa) tentang bagaimana cara manusia menyikapi kehidupan.
Dalam bahasa Jawa
kuno, sangkan berarti asal muasal, paran adalah tujuan, dan dumadi artinya menjadi (segala yang diciptakan), yang menjadikan atau pencipta. Dengan
begitu bahwa yang dimaksud Sangkan
Paraning Dumadi adalah pengetahuan
tentang “Dari
mana manusia berasal dan akan kemana ia akan kembali.“
Keberadaan
manusia dan alam semesta merupakan ciptaan Gusti Kang Murbeng Dumadi atau Sang Hyang Widhi, yaitu Dzat Pencipta Alam Semesta, Tuhan Yang Maha Esa. Kelak pada akhirnya seluruh alam semesta
akan kembali kepada-Nya.
Sangkan Paraning Dumadi
dalam filosofi Kejawen mengajarkan bahwa tujuan
akhir dari kehidupan manusia adalah Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam
menjalani kehidupan ini kita harus mendekati nilai-nilai
luhur ketuhanan. Nilai-nilai
luhur ketuhanan antara lain adalah jujur, adil,
tanggung-jawab, peduli, sederhana, ramah, disiplin dan komitmen.
Karena itu, ada sebagian orang
yang mengidentikkan pengetahuan Sangkan
Paraning Dumadi dengan filosofi ‘Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un, yang artinya "Sesungguhnya kami
adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali." (QS. Al-Baqarah 155-157).
Sangkan Paraning
Dumadi adalah konsep tauhid Islam dalam
pengamalan ilmu kejawen. Tauhid dalam
bahasa arab diambil dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhidan.
Arti dari term tersebut adalah menjadikan sesuatu jadi satu saja. Secara
istilah, tauhid adalah menjadikan Allah sebagai
satu-satunya tujuan dan sesembahan.
Filosofi
Sangkan Paraning Dumadi
Tubuh manusia terdiri dari
dua unsur, yaitu jasmaniah berupa badan tubuh, dan ruhaniah sebagai isinya.
a.
Jasmani sebagai materi benda
diciptakan dari unsur alam, yaitu tanah, air, udara
dan api (panas). Karena
asalnya dari bahan sari pati alam, maka kelak jasmani akan kembali ke alam
lagi. Yang tanah kembali kepada tanah, yang udara kembali kepada
udara, yang api kembali kepada api, dan yang air akan menyatu
kembali kepada air.
b.
Ruh yang didalamnya
terkandung Jiwa, merupakan sesuatu yang tidak berwujud materi, terdiri dari
tiga unsur ruhaniah yaitu akal, nafsu dan hati/perasaan. Dari unsur2 itulah diri manusia bisa
melihat, mendengar, sedih, gembira, marah, benci, cinta, iba, kasih
sayang, berfikir dan sebagainya.
Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah
berfirman: “Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ruh (ciptaan) Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia
menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagi kamu”.(Q.S. As-Sajdah, 32: 9).
Ruh atau jiwa tidak akan bisa hancur
seperti jasmani. Ia akan tetap utuh sampai kapanpun. Lantas kemana kembalinya ruh apabila seseorang telah meninggal
dunia? Ilmu Jawa Kuno mempercayai
bahwa bila manusia telah meninggalkan kehidupan dunia maka ruhnya akan kembali
lagi kepada Sang Hyang Widhi, yaitu Tuhan YME.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Wahai jiwa yang
tenang. Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati
yang ridha dan di-ridhai-Nya. Kemudian masuklah ke dalam (golongan) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS.
Al-Fajr: 27-30)
Ruh dan jiwa memang sejatinya hanya
milik Allah semata dan Dia-lah yang menjaganya. Hal ini bisa kita lihat pada kondisi tertidur. Dalam tidur jiwa kita pergi mengembara meninggalkan
jasad, sementara ruh tetap tinggal bersama jasad
untuk menghidupinya. Kemudian jiwa kembali lagi saat kita terbangun.
Jiwa bisa menjadi kuat dan sehat jika
dilatih dan dirawat dengan baik, namun ia juga bisa menjadi rusak, sakit
dan lemah jika tidak dirawat dengan baik.
Jiwa bisa mencapai derajat yang tinggi dan mulia, bisa juga jatuh
kederajat yang amat hina, lemah tidak berdaya.
Untuk mendapatkan jiwa yang mulia dan berderajat tinggi,
maka manusia harus membiasakan diri dalam bersikap dan bertindak dalam kehidupan
sehari-hari. Metode atau cara seperti ini disebut Lelaku. Metode yang lebih intensif untuk mencapai
tujuan ini dilakukan dengan Tirakat, yaitu serangkaian kegiatan untuk
mengendalikan hawa nafsu dengan cara puasa, bersemedi, dan sebagainya.
Sepuluh Filosofi Kejawen
Dalam ajaran ilmu
falsafah tradisional Jawa kuno, Sangkan Paraning Dumadi merupakan
ajaran filosofi kejawen tertinggi dan sebagai muara dari seluruh pitutur luhur
(nasehat) berupa pepatah atau pribahasa jawa yang jumlahnya mencapai ratusan.
Dari pepatah falsafah Jawa kuno, terdapat
sepuluh falsafah yang menjadi pedoman bagi orang jawa dalam mensikapi
kehidupan, yaitu :
1. Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur
Hangkara
Memayu hayuning bawana, secara harfiah memayu artinya
memperindah, hayuning artinya keindahan, dan bawana artinya
dunia. Sehingga makna gramatikal memayu hayuning bawana adalah menebar kebaikan untuk kemakmuran dunia. Sedangkan ungkapan ambrasta dur hangkara mempunyai makna memberantas sifat kemungkaran.
Memayu hayuning
bawana.
Dunia ini dihuni oleh
mahluk-mahluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan,
tumbuhan dan alam. Dari mahluk-mahluk itu
hanya manusialah yang dilengkapi oleh Tuhan dengan akal,
nafsu, dan hati nurani. Dengan ketiga
potensi itu manusia mempunyai kemampuan untuk memelihara atau bahkan sebaliknya
merusak (kehidupan) dunia.
Tuhan menjadikan manusia
sebagai khalifah (penguasa) atas mahluk lain di bumi ini, dan memberi tugas kepada
manusia untuk mengelola dan mamakmurkan dunia agar tercipta suasana kehidupan yang
tenang, tenteram, dan damai (hayuning
bawana).
Agar tercipta suasana
yang ideal itu (hayuning bawana) maka setiap manusia diminta untuk
senantiasa berbuat baik terhadap sesama manusia maupun terhadap sesama mahluk hidup
lainnya, yaitu hewan, tumbuhan dan alam.
Manusia
tidak boleh bersikap sewenang – wenang terhadap mahluk hidup lainnya. Manusia harus menjaga hak binatang, tumbuh-tumbuhan
dan alam.
Sebagai contoh manusia
tidak boleh membunuh hewan dengan cara yang dapat merusak kelangsungan
hidupnya, seperti meracun, bom ikan, dan sebagainya. Demikian pula dalam hal
menebang pohon tidak boleh sembarangan.
Jika manusia tidak
menjaga kesejahteraan dan keselarasan mahluk hidup justru akan menimbulkan
dampak negatif pada manusia. Dalam
khasanah agama Islam, Memayu Hayuning Bawono
dikenal dengan “Rahmatan lil ‘alamin”, yaitu keberadaan manusia menjadi
rahmat bagi alam semesta.
Ambrasta dur hangkara.
Ambrasta dur hangkara
(memberantas sifat kemungkaran) mempunyai makna
bahwa untuk dapat menjalani kehidupan dengan aman dan damai maka manusia
hendaknya menjauhi serta mencegah kemungkaran (sifat negatif) yang merugikan, seperti perbuatan jahat,
serakah, tamak, dan sebagainya.
Dalam
agama Islam, dikenal dengan “Amar makruf nahi
munkar”. Secara spesifik amar ma’ruf nahi munkar lebih ditekankan pada upaya
menghilangkan kemunkaran, dengan tujuan utama menjauhkan setiap hal negatif di tengah
masyarakat agar tidak menyakiti atau merugikan satu sala lainnya.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barangsiapa
diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia menghilangkannya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Orang yang tidak mampu dengan
lisannya, maka dengan hatinya. Dan dengan hati
ini adalah lemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Makna
dari “Memayu hayuning bawana, Ambrasta dur
hangkara” adalah bahwa agar
tercipta suasana aman, tenteram, damai dan sejahtera dalam kehidupan di dunia ini, maka manusia
harus menjalankan prilaku kebajikan, serta menjauhi
dan memberantas sifat kemungkaran. Memang tidaklah mudah untuk dilaksanakan,
namun itulah pitutur yang baik sebagai pedoman hidup bagi seluruh manusia.
2.
Ngunduh wohing pakarti
Ngunduh wohing pakarti arti harfiahnya adalah menuai hasil dari
perbuatannya. Makna gramatikalnya adalah bahwa
setiap perbuatan (baik atau buruk) pasti akan mendapat
balasan atau akibat yang sesuai apa yang telah diperbuatnya.
Dalam pribahasa melayu kita kenal dengan pepatah, “Siapa menabur angin, akan menuai badai” artinya siapa
yang melakukan perbuatan (buruk), maka ia akan menanggung akibatnya.
Dan tentu berlaku kebalikannya,
siapa yang melakukan perbuatan baik, maka ia akan mendapatkan hasilnya.
Maka
dari itu hendaknya setiap orang senantiasa berbuat kebajikan secara ikhlas
tanpa pamrih, karena harus diyakini bahwa setiap kebajikan itu pasti akan
berbuah manis sebagai balasan atas perbuatannya.
Sebaliknya
semua orang hendaknya menghindari tindakan-tindakan yang tidak terpuji dan
merugikan orang lain, karena cepat atau lambat ia pasti akan mendapatkan
balasan tidak menyenangkan dari apa yang telah ia perbuat.
Allah
SWT berfirman: “Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarah - Wa
man Ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarah“
artinya barangsiapa yang mengerjakan kebaikan atau keburukan
meski sebesar zahrah (debu/atom), niscaya ia akan memperoleh balasannya (QS.
Al-Zalzalah: 7-8)
Becik
ketitik -
Ala ketara
Ungkapan
selaras dengan ngunduh wohing pakarti adalah Becik
ketitik - Ala ketara, yang
artinya perbuatan baik akan tampak, dan perbuatan buruk
akan terungkap.
Maknanya, setiap
perbuatan yang baik pasti akan diketahui oleh orang meskipun ia tidak
menampakkannya. Pepatah asing mengatakan, “Kebaikan
adalah bahasa yang dapat didengar oleh orang tuli dan dapat dilihat oleh orang
buta.”
Pun sebaliknya,
perilaku busuk cepat atau lambat juga pasti terungkap.
Serapat
atau seketat apa pun seseorang menutupi prilaku busuknya, pada akhirnya pasti
akan ketahuan juga.
Maka ungkapan “Becik
Ketitik Ala Ketara” ini mengingatkan manusia untuk senantiasa berbuat baik dan
menghindari prilaku busuk, karena perbuatan yang baik dan buruk semua akan
nampak dan mendapatkan ganjaran yang setimpal sesuai dengan perbuatannya
sendiri.
3. Ajining
salira saka busana, Ajining diri saka lathi lan budi
Ajining
salira saka busana, ajining diri saka lathi lan budi artinya : Kehormatan raga berasal dari busana,
Kehormatan diri berasal dari lisan dan prilaku.
Maknanya, kehormatan sosial
seseorang bisa dilihat dari cara berpakaian, apakah bersih, rapih, dan sopan atau
sebaliknya. Sedangkan kehormatan diri (akhlak)
bisa diketahui dari cara berkomunikasi serta cara bersikap dan
berperilaku.
Ajining
salira saka busana
Kehormatan
fisikal (sosial) seseorang bisa dilihat dari cara ia berpakaian. Semakin tinggi kelas sosial seseorang
biasanya ia berpakaian yang lebih baik.
Pakaian seseorang bukan dinilai dari mewah tidaknya, atau mahal
murahnya, tetapi dari kebersihan, kerapihan, kesopanan, dan kepantasan. Apabila
seseorang mengenakan pakaian yang mewah dengan harga mahal, tetapi apabila
tidak baik dipandang dari etika kesopanan, maka
disitulah orang akan mengaitkan dengan nilai etika
moral.
Seseorang
yang mengenakan pakaian mewah dan mahal tetapi tidak
sesuai dengan tempatnya, misal di arisan ibu-ibu RT atau ke pasar, maka
orang akan menilai bahwa ia adalah orang yang sombong.
Demikian
pula sebaliknya, seseorang yang menghadiri pesta perkawinan, namun hanya
mengenakan sandal jepit dan pakaian ala kadarnya, tentu ia bisa menjadi
perhatian dan pembicaraan negatif. Tentu ia bisa dianggap tidak menghargai atau meremehkan tuan rumah pengundang
dan tamu lainnya.
Dalam
hal berpakaian, Allah SWT berfirman, "Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami
telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu.
Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik.” (QS. Al-A’raf ayat
26)
Selanjutnya
pada surat yang sama ayat 31 Allah menegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebihan."
Ajining
diri saka ing lathi lan budi
Kehormatan
diri (akhlak) seseorang bisa diketahui dari cara ia berkomunikasi
serta cara ia bersikap dan berprilaku.
Orang
yang berakhlaq mulia (berilmu), dalam berkomunikasi ia akan menggunakan bahasa
yang santun dan tidak menyinggung perasaan orang lain. Sedangkan orang yang berakhlaq rendah
biasanya bicaranya kasar, suka bergunjing, dan
menyakiti perasaan orang lain.
Pepatah Jawa lain mengatakan “Wong apik seneng ngomongke apike liyan, Wong
ala seneng ngomongke alane liyan”
Pepatah melayu juga mengatakan “mulutmu harimaumu”, artinya ucapan-ucapan buruk dan
salah akan berakibat buruk (menerkam) diri orang yang mengucapkannya.
Dalam
agama Islam, Rasulullah bersabda, “orang beriman itu hendaklah berkata yang baik-baik, apabila tidak maka hendaklah ia diam”
(HR. Bukhari).
Rasulullah
bersabda, “Hiyaa Rukum ’Akhaa Sinukum
akhlaaq”, Sebaik-baik orang diantara kalian ialah
orang yg baik akhlaknya. (HR. Bukhari &
Muslim).
4.
Sugih Tanpa Bandha, Sekti Tanpa Aji-Aji.
Sugih tanpa bandha, sekti tanpa aji-aji, artinya menjadi kaya tanpa harta kekayaan, dan menjadi
sakti tanpa jimat ajian.
Bahwa
orang kaya (sugih) itu bukanlah orang
yang banyak harta, tetapi orang yang kaya hatinya. Sedangkan orang bisa menjadi
Sekti (hebat) tidaklah dengan mantra dan
jimat, tetapi dengan ilmu, ketrampilan dan kejujuran.
Sugih
Tanpa Bandha
Sugih tanpa bandha artinya menjadi kaya tanpa harta
kekayaan. Sesungguhnya hakikat kaya itu bukanlah
banyak harta, tetapi kaya hati.
Pengertian kaya hati adalah mempunyai hati lapang sehingga dapat
menjalani kehidupan dengan tenang, tenteram, damai dan
sejahtera.
Tenang
adalah hidup yang tidak bergejolak (selalu tidak puas). Tenteram
adalah tidak ada kecemasan/ketakutan/kesedihan. Damai adalah rukun bersatu, tidak
ada permusuhan, dan tidak ada gangguan. Dan sejahtera adalah tidak kekurangan, tetapi
berkecukupan dan penuh keceriaan.
Bagi kebanyakan orang (awam), kekayaan
selalu identik dengan segala hal yang berbau materi
atau benda, seperti uang melimpah, rumah megah, mobil berderet, pakaian
necis, dan sebagainya. Sedangkan orang miskin berarti kebalikan dari semua itu.
Padahal
sejatinya, “orang kaya” adalah orang yang selalu
merasa cukup, sehingga dia terus berbagi. Sedangkan “orang
miskin”, adalah orang yang selalu merasa kurang,
sehingga dia terus mencari.
Jadi
orang yang banyak harta tapi masih merasa kurang, dan ia terus mencari (bahkan
dengan korupsi) maka sejatinya ia itu miskin.
Sedangkan orang yang tidak banyak harta tetapi ia merasa cukup dan
banyak bersedekah, maka sejatinya ia adalah orang kaya.
Rasulullah bersabda, "Kekayaan
bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun, kekayaan adalah hati yang selalu merasa cukup."
(HR Bukhari).
Mahatma Gandhi berkata, "Kekayaan tidak tergantung berapa banyak kita punya, tetapi
seberapa banyak kita bisa memberi".
Perlu
dipahami, bahwa semua manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini mempunyai
satu keinginan yang sama, yaitu “hidup bahagia”.
Dan
ternyata hidup bahagia atau “kebahagiaan” itu tidak dapat diperoleh dengan
harta, jabatan, kedudukan, maupun popularitas. Buktinya banyak orang kaya,
banyak orang yang berkedudukan tinggi, dan banyak pula orang yang terkenal
tetapi hidupnya tidak bahagia, menderita, tertekan, bahkan ada yang sampai
bunuh diri.
Dalam
agama Islam, kebahagiaan hanya dapat direngkuh oleh orang yang pandai bersyukur (merasa cukup) dan pandai bersabar (dalam menerima ujian).
Bahwa
orang kaya (sugih) itu bukanlah orang
yang banyak harta, tetapi orang yang kaya hatinya.
Sekti
Tanpa Aji-Aji
Pada jaman dulu
kebanyakan orang ingin mempunyai kesaktian dan punya kewibawaan sehingga
terpandang bagi masyarakat. Agar bisa menjadi sakti maka orang lantas berguru
untuk mendapatkan ilmu kanuragan, lalu mengamalkan suatu amalan seperti
berpuasa, bersemedi, membaca rapalan doa, dan sebagainya.
Ada pula yang ingin
sakti tetapi dengan mengandalkan benda-benda keramat seperti wesi kuning, lembu
sekilan, jimat dan sebagainya, sehingga ia kebal terhadap senjata tajam, atau memperoleh
kewibaan.
Namun adapula yang
berpandangan lain, terutama di jaman modern seperti sekarang ini, bahwa orang
sakti adalah orang yang hebat atau sukses.
Untuk menjadi
sakti (orang hebat) tidaklah dengan menggunakan jimat ajian atau perangkat kekebalan apapun, tetapi
dengan ilmu dan ketrampilan, serta kerja keras dan kepercayaan.
Itulah
makna “sekti tanpa aji-aji,” untuk
menjadi orang yang sekti (hebat) maka tidak lagi dengan aji-aji (jimat atau
rapalan) tetapi dengan ilmu dan ketrampilan, serta kerja
keras dan kepercayaan.
Dalam ajaran Islam,
orang dinilai sukses apabila ia mampu memberi banyak manfaat kepada kebanyakan
orang. Keberadaannya mampu memberi ketenangan, ketentraman, kedamaian dan
kesejahteraan masyarakat.
Rasulullah bersabda, “Khoirunnas anfa'uhum
linnas” artinya sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain (HR.
Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni).
5. Jer
Basuki Mowo Beya
Jer basuki mawa beya,
artinya untuk bahagia (berhasil) dibutuhkan biaya. Maknanya bahwa untuk meraih kesuksesan maka dibutuhkan
sebuah perjuangan dan pengorbanan (biaya).
Jer Basuki Mawa Beya, bahwa segala sesuatu
membutuhkan biaya. Sekilas, orang akan beranggapan bahwa pepatah ini sangat
bersifat materiil.
Akibatnya, ada yang kemudian
membuat “sindiran” dengan pernyataan: “Uang memang
bukan segalanya, tapi segalanya perlu uang.”
Tak salah memang.
Tapi, pepatah Jawa tersebut sebenarnya punya nilai yang jauh dari sekadar
materi. Nilainya sungguh luhur, yakni, bahwa untuk mendapatkan sesuatu, ada proses, ada pengorbanan
yang diberikan, ada kerja keras, ada keringat yang harus dikucurkan. Dan, inilah kesejatian
hidup yang kita jalani. Tanpa kerja, hidup akan sia-sia. Tanpa bertindak, hidup
tak akan jadi apa-apa.
Ada idiom berbahasa Inggris yang kerap kita dengar,
“There’s no free
lunch” atau tidak ada makan siang yang gratis. Hal itu bisa
diartikan, bahwa di setiap hal yang kita lakukan, pasti butuh pengorbanan.
Jer basuki mawa beya,
semua butuh “biaya”. Untuk itu, mari kita siapkan diri, agar selalu mampu
membayar apa pun keinginan kita dengan perjuangan sepenuh hati. Sehingga,
dengan kesiapan “bayar harga” itu, kita akan lebih optimis dalam perjuangan
sepanjang tahun.
6. Lembah manah lan Andhap asor.
Dalam bahasa jawa pengertian "lembah manah” dan “andhap asor” mempunyai pengertian yang
mirip, yaitu bersikap rendah hati.
Sikap
andhap asor atau
rendah hati dalam Islam dikenal dengan istilah "tawadhu". Sedangkan lawan dari
kata tawadhu’ atau rendah hati adalah membanggakan
diri, sombong atau takabur.
Tawadhu adalah rendah
hati, bukan rendah diri. Rendah hati itu seperti dalam pepatah: "Seperti
ilmu padi, kian berisi kian merunduk” artinya: semakin tinggi ilmu
seseorang semakin rendah hatinya.
Sedangkan rendah diri itu minder, tidak
percaya diri, takut dan pesimis.
Orang
yang tawadhu’ itu adalah orang yang mempunyai banyak kelebihan tetapi tidak
menyombongkan diri dan tidak meremehkan orang lain. Dia penuh percaya diri, berani dan optimis, namun
tetap menghargai orang lain.
Ciri-ciri orang yang memiliki
karakter tawadhu diantaranya ialah ia sangat bersahaja dalam penampilan. Selain itu ia tidak
berambisi menjadi orang terkenal, mau bergaul dengan fakir miskin bahkan tulus
mencintai mereka dan ringan tangan membantu orang lain, serta menerima
kebenaran dari siapapun. Karakter lain dari sifat tawadhu’ adalah ia tidak akan
merasa tinggi hati ketika dipuji, dan sebaliknya tidak merasa terhina ketika
dicaci.
Hikmah seseorang yang
memiliki sikap tawadhu adalah ia senantiasa akan hidup tenang, damai dan lebih
bahagia. Karena tawadhu dapat menghilangkan kebencian, kecemburuan, iri, dengki, dan
dendam, sehingga mendatangkan
persahabatan dan menjauhkan ketidak sukaan. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Barang
siapa bertawadhu karena Allah, maka Allah akan mengangkat
derajatnya."
Islam
memerintahkan umatnya agar berendah hati tetapi melarang kita berendah diri. Allah SWT berfirman, "Dan berendah dirilah (tawadhu)
kamu terhadap orang-orang yang beriman," (QS 15: 88).
Rasulullah SAW juga bersabda:
"Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadhu, sehingga
seseorang tidak merasa bangga lagi sombong terhadap orang lain dan tidak pula
berlaku aniaya kepada orang lain." (HR Muslim)
Adapun
lawan dari tawadhu ialah sifat takabur (sombong). Ciri utama takabur ialah menolak
kebenaran dari siapa pun (bathar al-haq) dan meremehkan sesama manusia (ghamthu
an-nas). Rasulullah bersabda: “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Tawadhu’ adalah sifat yang amat
mulia, namun sedikit orang yang memilikinya. Ketika orang sudah memiliki harta melimpah, kedudukan
terhormat, berilmu tinggi, gelar mentereng, sedikit yang memiliki sifat
kerendahan hati, alias tawadhu’. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi,
yaitu “kian berisi, kian
merunduk”.
7. Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisa Rumangsa
“Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa” artinya jangan
merasa bisa, tetapi bisalah merasa.
Ungkapan “aja rumangsa bisa”
(jangan merasa bisa), maknanya adalah dalam menghadapi suatu permasalahan
atau pekerjaan yang belum pernah dijalani hendaknya kita jangan merasa sok bisa, yang terkesan meremehkannya. Dalam menghadapi pekerjaan yang belum pernah
dijalani hendaknya kita serius memahami persoalannya dan mempersiapkan diri
sebaik mungkin untuk menjalaninya.
Dalam
peribahasa ini, “rumangsa
bisa” dianggap sebagai sikap yang gegabah, dikarenakan “merasa
bisa” sama saja dengan “belum tentu bisa”. Lebih
berbahaya lagi bila “mengaku/sok bisa”, dan kemudian
berani mengatakan “pasti bisa”.
Pada sisi lain, ungkapan “bisa
rumangsa” (bisa merasa) mempunyai makna kemampuan memahami perasaan
orang lain. Merupakan landasan sikap
tenggang rasa antar sesama.
Ungkapan ini merupakan anjuran agar
kita bisa merasakan kesulitan apa yang dialami oleh
orang lain dalam menghadapi suatu permasalahan. Sikap ini adalah wujud empati
dan mendatangkan simpati dari orang lain.
Aja rumangsa bisa, nanging bisa
rumangsa merupakan sikap rendah hati (andhap asor) yang sangat
ditekankan terhadap orang Jawa, karena sikap dan sifat ini akan mendatangkan ketenangan hidup.
8. Urip
iku urup
Urip
iku Urup, arti harfiahnya hidup itu menyala. Maksudnya adalah hidup itu haruslah memberi manfaat bagi
orang-orang di sekitarnya, bagaikan lentera yang menerangi alam sekitarnya.
Menurut Aristoteles,
kodrat manusia diciptakan sebagai makluk sosial,
yaitu mahluk yang bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, sebuah hal
yang membedakan manusia dengan hewan.
Manusia tidak bisa
hidup menyendiri, antara manusia yang satu dengan yang lain saling membutuhkan,
saling melengkapi dan saling bekerja sama.
Sehingga setiap individu manusia haruslah memberi
manfaat kepada yang lainnya. Semakin banyak manfaat bagi yang lain tentu
akan semakin baik dan tinggi nilainya.
Andai kita belum mampu memberikan
manfaat kecil kepada orang lain, maka jangan sampai kita membebani, atau bahkan
meresahkan masyarakat.
Dalam agama Islam, Rasulullah bersabda, khairunnas anfa’uhum linnas , artinya
manusia yang paling baik ialah manusia yang paling bermanfaat bagi
manusia yang lain.
9. Ngluruk
Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Landhep tanpa natoni.
Ngluruk Tanpa Bala,
Menang Tanpa Ngasorake, Landhep tanpa natoni, arti harfiahnya: Menyerbu tanpa pasukan, Menang tanpa
merendahkan, dan Tajam tapi tak melukai.
Makna gramatikalnya adalah, bahwa dalam
menghadapi lawan, manusia yang baik adalah yang mampu mengalahkan dengan cara luhur penuh kebajikan.
Mereka mampu melawan
tanpa membawa massa atau pasukan. Dan mampu memenangkan perang tanpa merendahkan atau mempermalukan lawan, bahkan lawanpun mengakui
kekalahannya tanpa terluka.
Falsafah ini mengajarkan bagaimana menaklukkan lawan dengan cara yang sangat luhur penuh
kebajikan.
10.
Mati sajeroning urip
Mati
sajroning urip, arti harfiahnya mati dalam hidup. Mati
di dalam hidup maksudnya bukan mati secara jasad tetapi mematikan hawa nafsu
(buruk) dalam menjalani kehidupan. Dalam diri manusia terdapat empat macam
nafsu. Keempatnya disebut Amarah, Lauwwamah,
Mulhimah (supiah) dan Mutmainah.
Nafsu
amarah disebut juga ego
adalah nafsu yang paling rendah, paling buruk dan paling jahat. Nafsu ini cenderung mengarah pada
keirihatian. Nafsu
lauwwamah memperturuti
keinginan duniawi sehingga cenderung rakus dan tak mempunyai kepedulian
terhadap orang lain. Adapun nafsu mulhiyah (sufiyah) mengarah
pada dorongan syahwat biologis.
Berbeda dari ketiga macam nafsu
tersebut, nafsu Mutmainah merupakan nafsu mulia
yang bertempat di dasar sanubari. Mutmainah bersifat sabar, beriman dan beritikat
selamat serta tawakal.
Nafsu mutmainah inilah yang senantiasa
berperang melawan ketiga nafsu lainnya. Bila mutmainah menang, selamatlah sang
hamba Tuhan. Tetapi bila pada akhirnya ketiga nafsu duniawi yang lebih
dipentingkan , maka orang tersebut akan tersungkur dalam kesengsaraan.
Ada
satu nasehat dari Rasulullah yang berbunyi “Muutu
qabla an tamuutu” yang artinya “matilah sebelum mati” Mati
pada hakikatnya adalah terbebasnya ruh (ruhani) dari jasad (jasmani). Jadi
upayakanlah dalam kehidupan ini ruh (ruhani) kita tidak terkukung oleh jasmani
atau hawa nafsu. Upayakanlah ruh (ruhani) kita mengendalikan hawa nafsu bukan
hawa nafsu yang mengendalikan ruh (ruhani) kita.