Jumat, 26 Oktober 2018

Sangkan Paraning Dumadi (2)

Sangkan Paraning Dumadi, merupakan filosofi atau ajaran dalam ilmu Kejawen (kepercayaan tradisional Jawa) tentang bagaimana cara manusia menyikapi kehidupan.
Dalam bahasa Jawa kuno, sangkan  berarti asal muasal, paran adalah tujuan, dan dumadi artinya menjadi, yang menjadikan atau pencipta.  Dengan begitu bahwa yang dimaksud Sangkan Paraning Dumadi  adalah pengetahuan tentang Dari mana manusia berasal dan akan kemana ia akan kembali.“
Keberadaan manusia dan alam semesta merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi, yaitu Dzat Pencipta Alam Semesta, Tuhan Yang Maha Esa.   Kelak pada akhirnya seluruh alam semesta akan kembali kepada-Nya.
Sangkan Paraning Dumadi  dalam filosofi Kejawen mengajarkan bahwa tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam menjalani kehidupan ini kita harus mendekati nilai-nilai luhur ketuhanan.  Nilai-nilai luhur ketuhanan antara lain adalah jujur, adil, tanggung-jawab, peduli, sederhana, ramah, disiplin dan komitmen.
Karena itu, ada sebagian orang yang mengidentikkan pengetahuan Sangkan Paraning Dumadi dengan filosofi ‘Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un, yang artinya "Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali."   Bacaan tersebut biasa diucapka oleh umat Islam apabila mendengar kabar duka cita kematian atau musibah. 
Dalam al-Quran kalimat tersebut terdapat pada surat Al-Baqarah: 155-157,  "Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun." Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk."

Filosofi Sangkan Paraning Dumadi
Tubuh manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasmaniah berupa badan tubuh, dan ruhaniah sebagai isinya.
a.  Jasmani sebagai materi benda diciptakan dari unsur alam, yaitu tanah, air, udara dan api (panas). Karena asalnya dari bahan sari pati alam, maka kelak jasmani akan kembali ke alam lagi. Yang tanah kembali kepada tanah, yang udara kembali kepada udara, yang api kembali kepada api, dan yang air akan menyatu kembali kepada air.
b.  Ruh yang didalamnya terkandung Jiwa, merupakan sesuatu yang tidak berwujud materi, terdiri dari tiga unsur ruhaniah yaitu akal, nafsu dan hati/perasaan.  Dari unsur2 itulah diri manusia bisa melihat, mendengar, sedih, gembira, marah, benci, cinta, iba, kasih sayang,  berfikir dan sebagainya.
Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah berfirman: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ruh (ciptaan) Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagi kamu”.(Q.S. As-Sajdah, 32: 9).
Ruh atau jiwa tidak akan bisa hancur seperti jasmani. Ia akan tetap utuh sampai kapanpun. Lantas kemana kembalinya ruh apabila seseorang telah meninggal dunia?  Ilmu Jawa Kuno mempercayai bahwa bila manusia telah meninggalkan kehidupan dunia maka ruhnya akan kembali lagi kepada Sang Hyang Widhi, yaitu Tuhan YME.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang ridha dan di-ridhai-Nya. Kemudian masuklah ke dalam (golongan) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. Al-Fajr: 27-30)
Ruh dan jiwa memang sejatinya hanya milik Allah semata dan Dia-lah yang menjaganya. Hal ini bisa kita lihat pada kondisi tertidur. Dalam tidur jiwa kita pergi mengembara meninggalkan jasad, sementara ruh tetap tinggal bersama jasad untuk menghidupinya. Kemudian jiwa kembali lagi saat kita terbangun.
Jiwa bisa menjadi kuat dan sehat jika dilatih dan dirawat dengan baik, namun ia juga bisa menjadi rusak, sakit dan lemah jika tidak dirawat dengan baik.  Jiwa bisa mencapai derajat yang tinggi dan mulia, bisa juga jatuh kederajat yang amat hina, lemah tidak berdaya. 

Sepuluh Filosofi Kejawen
Dalam ajaran ilmu falsafah tradisional Jawa kuno, Sangkan Paraning Dumadi  merupakan ungkapan filosofi tertinggi dan sebagai muara dari seluruh ungkapan falsafah jawa yang jumlahnya mencapai ratusan.
Dari ratusan ungkapan falsafah Jawa kuno, terdapat sepuluh falsafah yang menjadi pedoman bagi orang jawa dalam mensikapi kehidupan, yaitu :
1.  Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara (Menebar kebaikan dan memberantas kemungkaran untuk kemakmuran dunia).  Maknanya, dalam kehidupan dunia manusia harus menebarkan kemakmuran (kedamaian dan kesejahteraan) bagi alam semesta; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.  Dalam agama Islam, dikenal dengan Amar makruf nahi munkar.
2. Urip iku urup (hidup itu menyala).  Maksudnya adalah hidup itu haruslah menjadi penerang   bagaikan lentera. Maknanya dalam hidup orang hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik. Dalam agama Islam, Rasulullah bersabda, khairunnas anfa’uhum linnas ”manusia yang paling baik  ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain. 

3.  Ajining raga saka busana, Ajining diri saka lathi lan budi (Kehormatan raga berasal dari busana, Kehormatan diri berasal dari lisan dan prilaku).  Maknanya, kehormatan luar seseorang bisa dilihat dari cara berpakaiannya. Sedangkan kehormatan diri (akhlak) dilihat dari cara berkomunikasi dan moral prilakunya.   Dalam agama Islam, Rasulullah bersabda, “Hiyaa Rukum ’Akhaa Sinukum AkhlaaqSebaik-baik orang diantara kalian ialah orang yg baik akhlaknya. (HR. Bukhari & Muslim).
4.  Ngunduh wohing pakarti (Menuai hasil dari perbuatan).  Bahwa setiap perbuatan (baik atau buruk) pasti akan mendapat balasan yang sesuai.  Maknanya semua orang akan mendapatkan akibat dari segala perilakunya (kebaikan atau keburukan) sendiri. Jadi kita harus selalu berhati-hati dalam bersikap dan bertindak, terutama harus menghindari tindakan-tindakan yang tidak terpuji dan merugikan orang lain.  Allah SWT berfirman: “Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarah - Wa man Ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarah  artinya barangsiapa yang mengerjakan kebaikan atau keburukan meski sebesar zahrah (debu/atom), niscaya ia akan memperoleh balasannya (QS. Al-Zalzalah: 7-8)
5.  Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Landhep tanpa natoni.  (Menyerbu tanpa pasukan, Menang tanpa merendahkan, dan Tajam tapi tak melukai). Maknanya, dalam menghadapi lawan, manusia yang baik adalah yang mampu mengalahkan dengan cara luhur penuh kebajikan.  Mereka mampu melawan tanpa membawa massa atau pasukan. Dan mampu memenangkan perang tanpa merendahkan atau mempermalukan lawan, bahkan lawanpun mengakui kekalahannya tanpa terluka.
6.  Sugih Tanpa Bandha, Sekti Tanpa Aji-Aji (Menjadi kaya tanpa harta kekayaan. Menjadi sakti tanpa ajian).  Maknanya bahwa orang kaya itu bukanlah orang yang banyak harta tetapi orang yang besar jiwanya. Sedangkan orang bisa menjadi hebat tidaklah dengan mantra dan jimat, tetapi dengan ilmu.  Rasulullah bersabda, Kekayaan tidaklah diukur dengan banyaknya harta, namun kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

7. Lembah manah lan Andhap asor.  Dalam bahasa jawa pengertian  "lembah manah” dan “andhap asor”   mempunyai pengertian yang mirip, yaitu bersikap rendah hati dan sopan santun.  Filosofi ini bagai pepatah: "Seperti ilmu padi, kian berisi kian merunduk" artinya: semakin tinggi ilmunya semakin rendah hatinya; kalau sudah pandai jangan sombong, selalulah rendah hati.  Dalam Islam sikap luhur seperti itu dikenal dengan istilah "tawadhu".
8.  Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan (Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).
9.  Becik ketitik - Ala ketara (Perbuatan baik akan ketahuan, perbuatan buruk akan terungkap).  Maknanya bahwa bagaimanapun juga perbuatan yang baik maupun yang jahat pasti akan terungkap juga. Maka selalulah untuk berbuat baik.
10.  Mati sajeroning urip (Mati di dalam hidup). Mati di dalam hidup maksudnya bukan mati secara jasad tetapi mematikan hawa nafsu (buruk) dalam menjalani kehidupan. Dalam diri manusia terdapat empat macam nafsu. Keempatnya disebut Amarah, Lauwwamah,  Mulhimah (supiah) dan Mutmainah.
Nafsu amarah disebut juga ego adalah nafsu yang paling rendah, paling buruk dan paling jahat.  Nafsu ini cenderung mengarah pada keirihatian. Nafsu lauwwamah memperturuti keinginan duniawi sehingga cenderung rakus dan tak mempunyai kepedulian terhadap orang lain. Adapun nafsu mulhiyah (sufiyah) mengarah pada dorongan syahwat biologis. 
Berbeda dari ketiga macam nafsu tersebut, nafsu Mutmainah merupakan nafsu mulia yang bertempat di dasar sanubari. Mutmainah bersifat sabar, beriman dan beritikat selamat serta tawakal.
Nafsu mutmainah inilah yang senantiasa berperang melawan ketiga nafsu lainnya. Bila mutmainah menang, selamatlah sang hamba Tuhan. Tetapi bila pada akhirnya ketiga nafsu duniawi yang lebih dipentingkan , maka orang tersebut akan tersungkur dalam kesengsaraan.

Ada satu nasehat dari Rasulullah yang berbunyi “Muutu qabla an tamuutu” yang artinya “matilah sebelum mati” Mati pada hakikatnya adalah terbebasnya ruh (ruhani) dari jasad (jasmani). Jadi upayakanlah dalam kehidupan ini ruh (ruhani) kita tidak terkukung oleh jasmani atau hawa nafsu. Upayakanlah ruh (ruhani) kita mengendalikan hawa nafsu bukan hawa nafsu yang mengendalikan ruh (ruhani) kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar