Sangkan
Paraning Dumadi, merupakan filosofi atau ajaran dalam ilmu Kejawen
(kepercayaan tradisional Jawa) tentang bagaimana cara
manusia menyikapi kehidupan.
Dalam bahasa Jawa
kuno, sangkan berarti asal
muasal, paran adalah tujuan, dan dumadi artinya menjadi, yang menjadikan atau pencipta. Dengan
begitu bahwa yang dimaksud Sangkan
Paraning Dumadi adalah pengetahuan
tentang “Dari
mana manusia berasal dan akan kemana ia akan kembali.“
Keberadaan
manusia dan alam semesta merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi, yaitu Dzat Pencipta Alam Semesta, Tuhan Yang Maha Esa. Kelak pada akhirnya seluruh alam semesta
akan kembali kepada-Nya.
Sangkan
Paraning Dumadi dalam filosofi
Kejawen mengajarkan bahwa tujuan akhir dari kehidupan
manusia adalah Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam menjalani kehidupan
ini kita harus mendekati nilai-nilai luhur ketuhanan. Nilai-nilai luhur ketuhanan antara lain
adalah jujur, adil, tanggung-jawab, peduli, sederhana,
ramah, disiplin dan komitmen.
Karena itu, ada sebagian orang
yang mengidentikkan pengetahuan Sangkan
Paraning Dumadi dengan filosofi ‘Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un, yang artinya "Sesungguhnya kami
adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali." Bacaan tersebut biasa diucapka oleh
umat Islam apabila mendengar kabar duka cita kematian atau musibah.
Dalam
al-Quran kalimat tersebut terdapat pada surat Al-Baqarah: 155-157, "Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan, "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun." Mereka
itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk."
Filosofi Sangkan Paraning
Dumadi
Tubuh manusia terdiri dari
dua unsur, yaitu jasmaniah berupa badan tubuh, dan ruhaniah sebagai isinya.
a.
Jasmani sebagai materi benda diciptakan dari unsur alam, yaitu tanah, air, udara dan api (panas). Karena asalnya
dari bahan sari pati alam, maka kelak jasmani akan kembali ke alam
lagi. Yang tanah kembali kepada tanah, yang udara kembali kepada
udara, yang api kembali kepada api, dan yang air akan menyatu kembali kepada
air.
b.
Ruh yang didalamnya terkandung Jiwa, merupakan sesuatu yang tidak
berwujud materi, terdiri dari tiga unsur ruhaniah yaitu akal, nafsu dan hati/perasaan. Dari unsur2 itulah diri manusia bisa
melihat, mendengar, sedih, gembira, marah, benci, cinta, iba, kasih
sayang, berfikir dan sebagainya.
Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah
berfirman: “Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ruh (ciptaan) Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia
menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagi kamu”.(Q.S. As-Sajdah, 32: 9).
Ruh atau jiwa tidak akan bisa hancur
seperti jasmani. Ia akan tetap utuh sampai kapanpun. Lantas kemana kembalinya ruh apabila seseorang telah meninggal
dunia? Ilmu Jawa Kuno mempercayai
bahwa bila manusia telah meninggalkan kehidupan dunia maka ruhnya akan kembali
lagi kepada Sang Hyang Widhi, yaitu Tuhan YME.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Wahai jiwa yang
tenang. Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati
yang ridha dan di-ridhai-Nya. Kemudian masuklah ke dalam (golongan) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS.
Al-Fajr: 27-30)
Ruh dan jiwa memang sejatinya hanya
milik Allah semata dan Dia-lah yang menjaganya. Hal ini bisa kita lihat pada
kondisi tertidur. Dalam tidur jiwa kita pergi
mengembara meninggalkan jasad, sementara ruh
tetap tinggal bersama jasad untuk menghidupinya. Kemudian jiwa kembali
lagi saat kita terbangun.
Jiwa bisa menjadi kuat dan sehat jika
dilatih dan dirawat dengan baik, namun ia juga bisa menjadi rusak, sakit
dan lemah jika tidak dirawat dengan baik.
Jiwa bisa mencapai derajat yang tinggi dan mulia, bisa juga jatuh
kederajat yang amat hina, lemah tidak berdaya.
Sepuluh Filosofi Kejawen
Dalam ajaran ilmu
falsafah tradisional Jawa kuno, Sangkan Paraning Dumadi merupakan
ungkapan filosofi tertinggi dan sebagai muara dari seluruh ungkapan falsafah
jawa yang jumlahnya mencapai ratusan.
Dari ratusan ungkapan falsafah Jawa
kuno, terdapat sepuluh falsafah yang menjadi pedoman bagi orang jawa dalam
mensikapi kehidupan, yaitu :
1. Memayu Hayuning Bawana,
Ambrasta dur Hangkara (Menebar kebaikan dan memberantas kemungkaran untuk
kemakmuran dunia). Maknanya,
dalam kehidupan dunia manusia harus menebarkan kemakmuran (kedamaian dan kesejahteraan) bagi alam
semesta; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak. Dalam agama Islam, dikenal dengan “Amar makruf nahi munkar”.
2. Urip
iku urup (hidup itu menyala). Maksudnya adalah hidup itu
haruslah menjadi penerang bagaikan
lentera.
Maknanya dalam hidup orang hendaknya memberi manfaat bagi
orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu
akan lebih baik. Dalam agama Islam, Rasulullah
bersabda, khairunnas
anfa’uhum linnas , ”manusia yang paling baik
ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.
3. Ajining raga saka busana, Ajining diri
saka lathi lan budi (Kehormatan raga berasal dari busana,
Kehormatan diri berasal dari lisan dan prilaku).
Maknanya, kehormatan luar seseorang bisa dilihat dari cara
berpakaiannya. Sedangkan kehormatan diri (akhlak) dilihat dari cara
berkomunikasi dan moral prilakunya.
Dalam agama Islam, Rasulullah bersabda, “Hiyaa Rukum ’Akhaa Sinukum
Akhlaaq”, Sebaik-baik orang diantara kalian ialah orang yg
baik akhlaknya. (HR.
Bukhari & Muslim).
4.
Ngunduh wohing pakarti (Menuai hasil
dari perbuatan). Bahwa setiap perbuatan (baik atau buruk) pasti akan mendapat
balasan yang sesuai. Maknanya semua orang akan mendapatkan akibat dari
segala perilakunya (kebaikan atau keburukan) sendiri. Jadi kita harus selalu
berhati-hati dalam bersikap dan bertindak, terutama harus menghindari
tindakan-tindakan yang tidak terpuji dan merugikan orang lain. Allah SWT berfirman: “Faman ya'mal mitsqaala
dzarratin khairan yarah - Wa man Ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarah“
artinya barangsiapa yang mengerjakan kebaikan atau keburukan
meski sebesar zahrah (debu/atom), niscaya ia akan memperoleh balasannya (QS.
Al-Zalzalah: 7-8)
5. Ngluruk
Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Landhep tanpa natoni.
(Menyerbu tanpa pasukan, Menang tanpa merendahkan, dan Tajam tapi tak
melukai). Maknanya, dalam menghadapi lawan, manusia yang baik adalah yang mampu
mengalahkan dengan cara luhur penuh kebajikan.
Mereka mampu melawan tanpa membawa massa atau
pasukan. Dan mampu
memenangkan perang tanpa merendahkan atau mempermalukan lawan, bahkan lawanpun mengakui
kekalahannya tanpa terluka.
6.
Sugih Tanpa Bandha, Sekti Tanpa Aji-Aji (Menjadi kaya tanpa
harta kekayaan. Menjadi sakti tanpa ajian).
Maknanya bahwa orang kaya itu bukanlah orang yang banyak
harta tetapi orang yang besar jiwanya. Sedangkan orang bisa menjadi hebat
tidaklah dengan mantra dan jimat, tetapi dengan ilmu. Rasulullah bersabda, “Kekayaan
tidaklah diukur dengan banyaknya harta, namun kekayaan yang hakiki adalah
kekayaan hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
7. Lembah manah lan Andhap asor. Dalam bahasa jawa pengertian "lembah
manah” dan “andhap asor” mempunyai pengertian yang
mirip, yaitu bersikap rendah hati dan sopan santun. Filosofi ini bagai pepatah: "Seperti ilmu padi, kian berisi kian merunduk" artinya:
semakin tinggi ilmunya semakin rendah hatinya; kalau sudah pandai jangan
sombong, selalulah rendah hati. Dalam
Islam sikap luhur seperti itu dikenal dengan istilah "tawadhu".
8.
Datan
Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan (Jangan gampang sakit hati manakala musibah
menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).
9. Becik ketitik - Ala ketara (Perbuatan baik akan ketahuan, perbuatan buruk akan
terungkap). Maknanya bahwa bagaimanapun
juga perbuatan yang baik maupun yang jahat pasti akan terungkap juga. Maka
selalulah untuk berbuat baik.
10.
Mati sajeroning urip (Mati di dalam hidup). Mati di dalam hidup maksudnya
bukan mati secara jasad tetapi mematikan hawa nafsu (buruk) dalam menjalani
kehidupan. Dalam diri manusia terdapat empat macam nafsu. Keempatnya disebut
Amarah, Lauwwamah, Mulhimah (supiah) dan
Mutmainah.
Nafsu amarah disebut juga ego adalah nafsu yang paling
rendah, paling buruk dan paling jahat. Nafsu ini cenderung mengarah pada keirihatian. Nafsu lauwwamah memperturuti keinginan duniawi
sehingga cenderung rakus dan tak mempunyai kepedulian terhadap orang lain.
Adapun nafsu mulhiyah (sufiyah) mengarah pada
dorongan syahwat biologis.
Berbeda dari ketiga macam nafsu
tersebut, nafsu Mutmainah merupakan nafsu mulia
yang bertempat di dasar sanubari. Mutmainah bersifat sabar, beriman dan
beritikat selamat serta tawakal.
Nafsu mutmainah inilah yang senantiasa
berperang melawan ketiga nafsu lainnya. Bila mutmainah menang, selamatlah sang
hamba Tuhan. Tetapi bila pada akhirnya ketiga nafsu duniawi yang lebih
dipentingkan , maka orang tersebut akan tersungkur dalam kesengsaraan.
Ada satu nasehat dari Rasulullah yang berbunyi “Muutu qabla an tamuutu” yang artinya “matilah
sebelum mati” Mati pada hakikatnya adalah terbebasnya ruh (ruhani) dari
jasad (jasmani). Jadi upayakanlah dalam kehidupan ini ruh (ruhani) kita tidak
terkukung oleh jasmani atau hawa nafsu. Upayakanlah ruh (ruhani) kita
mengendalikan hawa nafsu bukan hawa nafsu yang mengendalikan ruh (ruhani) kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar