Adalah suatu keniscayaan (qadarullah) bahwa dalam kehidupan ini, di setiap daerah dan setiap massa selalu ada orang yang mendapatkan kemudahan dan kesulitan rejeki, kelapangan dan kesempitan waktu, keluasan dan kedangkalan ilmu, serta kenikmatan sehat dan ujian sakit. Itu semua adalah ujian kehidupan dari Allah Swt. Ada yang diberi ujian kenikmatan ada pula yang diberi ujian musibah.
Dengan kondisi
seperti itu maka Allah memerintahkan hamba-hambanya untuk selalu hidup saling tolong menolong. Yang sedang
mendapatkan kemudahan berkewajiban menolong mereka yang sedang mengalami
kesulitan.
Dalam situasi
seperti ini maka kepedulian
sosial menjadi hal yang penting. Bahkan bagi umat Islam (yang sedang diberi
kenikmatan hidup) kepedulian sosial menjadi fardhu ain, kewajiban individual
yang tinggi nilainya dalam ibadah muamalah.
*Kepedulian Sosial*
Ada beberapa dalil
berkaitan dengan kepedulian sosial, yaitu:
Rasulullah bersabda
مَنْ لا يَرحم لا يُرحم , Man laa yarham walaa yurham. Artinya,
"Barangsiapa tidak menolong (sesama manusia), maka ia tidak ditolong (oleh
Allah)" (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain
dikatakan, Rasulullah bersabda, لَا يَرْحَمُ اللَّهُ مَنْ لَا يَرْحَمُ النَّاسَ
“Laa
yarhamullah man laa yarhamu naas” (Allah tidak mengasihi orang yang
tidak mengasihi manusia lainnya) – (HR. Bukhari al-Adab al-Mufrad, 1989, h.48)
Makna dari hadis
tersebut adalah bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pertolongan (dari
Allah), apabila dia apatis, tidak menolong sesama manusia (yang membutuhkan
pertolongan).
Dalam situasi yang
lain, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah beriman kepadaku orang yang tidur
dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan sampai ke lambungnya.
(HR At-Thabrani).
Ditegaskan oleh
Rasulullah bahwa orang yang tidak peduli atas nasib tetangganya (yang
kelaparan) maka ia tergolong sebagai orang yang tidak beriman.
Lantas bagaimana
kalau ia tidak tahu tetangganya kelaparan? Ketidak tahuannya terhadap nasib
tetangga yang kelaparan adalah sikap apatisme atau ketidak pedulian. Ini juga
merupakan akhlak yang tidak terpuji.
Oleh karenanya
Islam menganjurkan untuk menjalin silaturahim secara intens dengan sesama
muslim, terutama dengan tetangga dekat untuk mengetahui keadaannya.
*Pendusta Agama*
Orang yang tidak
mempunyai kepedulian sosial, atau apatis terhadap situasi sosial di sekitarnya
(terutama kepada mereka yang membutuhkan bantuan), bisa dikatakan sebagai
pendusta agama.
Dalam al-Qur’an
surah Al-Maun, Allah SWT berfirman; Ara-aitalladzii yukadzdzibubiddiin #
Fadzaalikalladzi yadu’ ’ulyatiim # Walaa yahudhdhu ’alaa tha’aamill miskin. Artinya: ”Tahukah
kamu orang yang mendustakan agama?. Mereka adalah orang yang menelantarkan anak
yatim dan tidak peduli terhadap nasib orang miskin.”
Pendusta agama
adalah orang yang tidak punya kepedulian sosial terhadap penderitaan fakir
miskin disekitarnya.
Pendusta agama,
menurut Buya Hamka adalah orang yang mendustai pilar-pilar agama, yaitu
mendustai shalatnya, mendustai puasanya, mendustai hajinya, dan mendustai
ibadah-badah mahdhah lainnya.
Bagi pendusta agama
maka ibadah-ibadah ritual yang telah dilakukannya tidak mempunyai nilai di
hadapan Allah Swt.
Hal itu dijelaskan
pada surah al-Maun ayat berikutnya; Fa wailul lil mushallin # Al ladziina hum
an salaatihim sahuun # Al ladzina hum yuraa una # Wa yamna’unal maa’uun.
Artinya: Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu (1) mereka yang
lalai dari shalatnya, (2) mereka yang riya’, dan (3) mereka yang enggan memberi
pertolongan.
*Dua Dimensi Ibadah*
Dalam hal ibadah,
Islam membagi ibadah dalam dua dimensi yaitu ibadah vertikal dan horizontal,
atau ibadah ritual dan sosial, atau hablum minallah dan hablum minannas.
Ibadah vertikal adalah ibadah yang
berhubungan secara vertikal kepada Allah, seperti shalat, dzikir, iktikaf, baca
qur’an dan sebagainya.
Sedangkan ibadah horizontal adalah ibadah yang
berhubungan secara horizontal dengan sesama manusia, seperti sedekah,
silaturahim, tolong menolong, peduli, empati, dan sebagainya.
Ibadah vertikal
disebut juga dengan istilah ibadah ritual atau hablum minallah. Sedangkan ibadah
herizontal disebut juga dengan istilah ibadah sosial atau hablum minan naas.
Kedua dimensi
ibadah itu (hablum minallah dan hablum minan naas) harus dilaksanakan secara
pararel dan seimbang. Tidak bisa orang hanya baik dalam ibadah ritual saja,
tetapi ibadah sosialnya tidak baik.
Allah Swt
berfirman, “Dhuribat
‘alaihi mudh dhillatu ainamaa tsuqifuu # illaa bi hablim minallahi wa hablim
minan naas
(QS. Ali Imran
112). Artinya, “Ditimpakan atas mereka ”kehinaan” dimana saja mereka berada,
kecuali kalau mereka berhubungan baik dengan Allah (hablum minallah) dan
berhubungan baik dengan sesama manusia (hablum minan naas).”
*Ibadah sosial lebih didahulukan ketimbang ibadah ritual*
Jika ada ibadah
ritual yang waktunya berbarengan dengan ibadah sosial, maka mana yang
diprioritaskan? Rasulullah mengajarkan dalam pelaksanaan ibadah ritual harus
memperhatikan situasi sosial.
Suatu ketika
Rasulullah mengimami shalat berjamaah di masjid Nabawi dan beliau mempercepat shalatnya. Usai shalat
sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kenapa shalat dipercepat dari yang biasanya?”
Rasulullah menjawab, “Tadi saya mendengar ada anak kecil menangis. Tentu ibunya
merasa gundah karena tangisan anaknya dan jamaah lainnya pun terganggu, maka
saya percepat shalatnya”.
Selain itu, pernah
juga suatu ketika Rasulullah terlambat melaksanakan shalat Ashar gara-gara
mendamaikan dua suku yang bertengkar. Maka hal itu mengindikasikan bahwa
Rasululllah mendahulukan kepentingan sosial ketimbang ibadah ritual.
Pada ilustrasi
lain, seorang ustadz ditanya oleh santrinya, “Misal pada waktu yang bersamaan
tiba-tiba kita menghadapi dua pilihan yang dilematis, yaitu: Pertama, pergi ke
masjid untuk menunaikan shalat jum’at. Kedua, menolong tetangga yang mengalami
kecelakaan dan mengantarkannya ke RS. Mana yang ustadz pilih?
Sang ustadz
menjawab, “Ya menolong tetangga yang kecelakaan”. “Tapi ustadz kan berdosa
tidak sholat jum’at?” kejar si penanya.
Sang ustadz
menjawab, “Ah masak Gusti Allah ndeso gitu?”
Kalau saya milih
shalat jum’at dan membiarkan tetangga menderita berarti saya egois dan apatis.
Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Bijaksana tentu tidak suka sifat egois dan
apatis.
*Kesalehan Sosial*
Orang yang taat dan
tekun melaksanakan perintah agama disebut sebagai orang yang soleh. Selaras
dengan dua dimensi ibadah, maka kesalehan juga ada dua, yaitu: kesalehan
personal dan kesalehan sosial.
Orang yang tekun
shalatnya, dzikirnya, baca qur’annya,dan puasanya dikatakan sebagai orang yang
saleh secara personal. Sedangkan orang yang suka menolong, suka bersedekah,
kepedulian sosial tinggi bisa dikatakan sebagai orang yang saleh secara sosial.
Kesalehan sosial
mempunyai nilai yang tinggi dalam pandangan Allah, sehingga orang yang hanya
soleh secara personal (sholat dan dzikirnya baik) tetapi tidak soleh secara
sosial (apatis dengan persoalan sosial), maka ibadah ritualnya akan sia-sia.
Pernah seorang
sahabat datang kepada Rasulullah, mengadukan ada seseorang perempuan yang
shalat rajin, tetapi dia selalu menyakiti tetangga dengan lidahnya. Rasulullah
berkata, ”Perempuan itu di neraka”.
Sahabat berkata
lagi, ada seorang perempuan lain yang shalat nya biasa saja (hanya yang wajib)
dan sedekahnyapun hanya beberapa potong keju, tetapi dia tidak pernah menyakiti
seorang pun. Rasulullah pun berkata: “Dia penghuni surga.” (HR. Imam
al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, Beirut: Darul Basya’ir al-Islamiyyah, 1989, h.
54-55)
Dengan begitu maka
dapat disimpulkan bahwa kesalehan personal akan sia-sia bila tidak dibarengi
dengan kesalehan sosial.
*Nasehat Bagi Orang Saleh*
Para ulama memberi
nasehat; Janganlah seseorang hanya sibuk dengan ibadah ritual saja (shalat,
dzikir, puasa, haji, dsb), tetapi hendaklah ia juga peduli terhadap masalah
sosial.
Bila seseorang
hanya soleh secara personal tetapi tidak soleh secara sosial maka ia tidak akan
mendapatkan cinta dan kasih sayang Allah Swt.
Salah satu bentuk
kesalihan sosial adalah sedekah. Mari kita keluarkan sedekah 2,5 persen dari
rejeki yang kita terima dari Allah dan salurkan kepada mereka yang membutuhkan.
Penyalurannya bisa secara langsung kepada fakir miskin, atau melalui Lembaga
sosial atau Lembaga zakat serta masjid yang akan menyalurkan bantuan sosial
secara amanah.
MNH adalah salah
satu masjid yang mengelola infaq jamaah untuk disalurkan sebagai kegiatan dan
bantuan sosial dengan laporan secara transparan.
Semoga kita senantiasa mendapat petunjuk dan bimbingan Allah Swt. Dan semoga amal soleh kita diridhoi oleh Allah Swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar