Senin, 22 Januari 2024

Menyikapi Dua Bentuk Ujian Allah (Bersyukur & Bersabar)

1. Dua Bentuk Ujian
Sebagaimana yang sering disampaikan oleh para ulama tasawuf, bahwa dalam menjalani kehidupan di dunia, seluruh manusia dan setiap manusia, kapanpun dan dimanapun berada akan selalu diuji oleh Allah Swt dengan dua bentuk ujian yang berbanding terbalik. Yaitu: kesulitan atau kemudahan; kesusahan atau kenikmatan; musibah atau berkah.
Kedua bentuk ujian itu akan silih berganti diberikan Allah kepada manusia untuk dijadikan sebagai "alat ukur keimanan" seorang hamba.
Kebanyakan dari kita memahami ujian hanya berbentuk kesusahan atau musibah saja, padahal kenikmatan juga merupakan ujian.

Allah Ta’ala berfirman:
"Kullu nafsin dzaa-iqatu almawt. Wanabluukum bisy syarri wal khayri fitnatan. Wa-ilaynaa turja'uun."
Artinya: Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami (Allah) akan menguji kamu dengan kesusahan dan kesenangan, sebagai cobaan (yang sebenar²nya). Dan hanya kepada Allah-lah kamu dikembalikan. (Qs. al-Anbiya’: 35)
Jadi jelaslah bahwa bentuk ujian Allah ada dua macam, yaitu kesusahan dan kenikmatan.
Lantas bagaimana wujud dari ujian kesusahan dan kenikmatan?
Ujian kesusahan bisa berwujud penyakit, bisa berwujud kecelakaan (dari kecelakaan kecil tertusuk duri, hingga tsunami), bisa pula berwujud kelaparan, atau kesedihan, atau kecemasan, difitnah, dibuli, dan hal² yg tidak menyenangkan lainnya.
Sedangkan ujian kenikmatan bisa berwujud harta kekayaan, bisa berwujud pangkat atau jabatan, bisa juga berwujud kesehatan, atau kecantikan, atau popularitas, dsb.

2. Sikap Sabar & Syukur
Dengan adanya dua bentuk ujian dari Allah itu, muncul pertanyaan, "Bagaimana menyikapinya?"
Islam mengajarkan, dalam menerima musibah seorang muslim diminta untuk bersabar, sedangkan dalam menerima kenikmatan seorang muslim mesti harus bersyukur.
Hal demikian sesuai dengan sabda Rasulullah:
“Sungguh mengagumkan keadaan orang yang beriman; jika mendapatkan kenikmatan dia akan bersyukur, dan jika ditimpa kesusahan dia akan bersabar. Kedua keadaan itu membawa kebaikan bagi orang yang beriman."
Jadi pada kedua bentuk ujian itu, baik kesusahan maupun kenikmatan ada kebaikan atau hikmah didalamnya.
Hikmah ujian musibah, dalam beberapa hadis menerangkan ttg hikmah ujian musibah. "Bila Allah menguji dengan musibah atau kesusahan, maka sesungguhnya Allah sedang menggugurkan dosa²nya dan meningkatkan derajatnya."
Dan bila Allah menguji dg kenikmatan, maka:
"La'in syakartum la'aziidannakum, Wa la'ing kafartum inna 'adzaabii lasyadiid", Jika kamu bersyukur Allah akan menambah nikmat, tetapi jika kamu tidak bersyukur maka azab Allah sangat pedih.

3. Iman Terbagi Menjadi Dua
Sahabat Rasulullah, Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu anhu berkata: “Iman itu terbagi menjadi dua bagian; sebagiannya adalah sabar dan sebagian lainnya adalah syukur
Dengan begitu maka bila seseorang yang diberi kenikmatan namun dia tdk bersyukur, maka dia tergolong tidaklah beriman.
Sebaliknya bila seseorang diuji dg kesusahan dan ia tdk bersabar, maka ia juga tergolong tidaklah beriman.

4. Antara ujian musibah dan kenikmatan, mana yang berat?
Kebanyakan kita beranggapan bhw ujian musibah itu lebih berat drpd ujian kenikmatan. Padahal ujian kenikmatan itu lbh berat konsekuensinya.
Bila seseorang diuji dg kesusahan, kebanyakan ia mampu bersabar, shg ia berhasil melewati ujian Allah.
Tetapi bila seseorang diuji dg kenikmatan, kebanyakan ia gagal melewati ujian itu.
Dalam AQ Allah berfirman:
"Wa qaliilum min 'ibaadiyasy-syakuur."
Artinya: “Sangat sedikit sekali di antara hamba-Ku yang mau bersyukur.”
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah senantiasa melimpahkan karunia-Nya kepada seluruh manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur". (QS. Al-Baqarah 243)
Contoh manusia yg tidak tahan diuji dg kenikmatan adalah QARUN. Kisah Qarun diabadikan dalam Alquran pada 3 surat, yaitu surah Al-Qasas, Al-'Ankabut & Al-Mu’min.
Qarun adalah saudara sepupu nabi Musa yang sangat miskin. Ia minta kepada nabi Musa agar didoakan menjadi kaya. Dan setelah didoakan kemudian Qarun kaya ia lupa tak bersyukur. Ketika diingatkan supaya Qarun mengeluarkan zakat atas karunia Tuhan, lantas dengan sombong ia berkata, kekayaanku ini adalah hasil dari kerja keras dan kepandaianku. Maka iapun enggan mengeluarkan zakat. Lalu Allah tenggelamkan Qarun dan seluruh kekayaannya dalam bumi. Qarun adalah contoh orang yang kufur nikmat.

5. Bentuk Konkrit Sabar dan Syukur
Bersyukur dan bersabar adalah dua kata yang mudah diucapkan tetapi tak mudah dipraktekkan, Kecuali ia punya pengetahuan tentangnya dan kesungguhan hati.
Bagaimana cara kita bersabar dan bersyukur sesuai tuntunan agama Islam?
A. BERSABAR
Sabar dalam menerima musibah harus disikapi denga tiga tahap (SYT), yaitu (1) sadari, (2) yakini, dan (2) tawakal.
Pertama, SADARI bahwa musibah yang menimpanya adalah kehendak Allah, dan Allah punya maksud baik terhadap kita (husnudzan).
Kedua, YAKINI bahwa bhw musibah yang diberikan Allah mengandung hikmah atau kebaikan di dalamnya.
Sejumlah hadis menjelaskan bahwa, bila Allah menimpakan kesusahan, kesedihan, rasa sakit, kecemasan, dsb kepada seorang muslim, sesungguhnya Allah sedang menggugurkan dosa²nya dan meningkatkan derajatnya. (HR. Muslim)
Al Qur'an juga mengabarkan, "Innallaha ma'a shabirin". Sesungguhnya Allah bersama orang² yg sabar.
Ketiga, TAWAKAL bukan menyerah atau putus asa, tetapi tawakal adalah berserah diri pada ketetapan Allah Swt, yang diawali terlebih dahulu dengan doa dan usaha. Sehingga biasa diungkapkan dg istilah DUIT, yaitu doa, usaha dan tawakal.
Mereka yang tidak bisa bersabar, yaitu yang berkeluh kesah atas sebuah musibah adalah tergolong sebagai orang yang tidak beriman.
*****
B. BERSYUKUR
Bersyukur tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan hamdallah.
Bersyukur dalam menerima kenikmatan dari Allah Swt harus disikapi dengan tiga tahap (SIB), yaitu (1) sadari, (2) ingat, dan (2) berbagi.
Imam Al Ghazali, ulama besar yg mendapat gelar "hujattul Islam" berkata, bukti syukur kepada Allah dilakukan dengan tiga tahap, yaitu: 1) disadari oleh hati [syukur bil qalbi], 2) diucapkan oleh lisan [Syukur bil lisan], dan 3) dibuktikan dengan perbuatan [syukur bil arkan].
Syukur bil qalbi, yaitu sadari bahwa kenikmatan yang diperoleh adalah karunia dari Allah, bukan semata mata hasil kerja keras atau kepandaiannya. Sebab tidak sedikit orang pandai yang sudah kerja keras tetapi tidak mendapatkan kelimpahan harta.
Kemudian syukur bil lisan, yaitu syukur dg mengucapkan hamdallah. Hal ini harus sering diucapkan sebagai bentuk dzikir atau ingat kepada Allah.
Dan syukur bil arkan, yaitu dibuktikan dengan amal perbuatan. Bentuknya adalah dengan berbagi atau sedekah atau mengeluarkan zakat.
Poinnya bentuk konkrit dari syukur adalah dengan sedekah, yaitu "berbagi kenikmatan" kepada mereka yang membutuhkan bantuan.
Mereka yang berbangga diri, apalagi takabur dengan capaian atau kenikmatan yang diperolehnya adalah orang yang tidak bersyukur atau kufur nikmat.
Dalam AQ Allah berfirman: "Wahai keluarga Dawud bersedekahlah sebagai bentuk syukur kepada Allah." (QS. Saba ayat 13).
Sedekah paling utama adalah sedekah harta, selanjutnya sedekah tenaga, dan berikutnya adalah sedekah pikirian (nasehat atau perkataan yang baik). Apabila tidak mampu ketiganya maka bersedekahlah dengan senyum dan silaturahmi kepada sesama.

6. Kesimpulan
Dalam kehidupan di dunia, kita tidak akan lepas dari dua ujian Allah, yaitu kesusahan dan kenikmatan.
DR. Aidh al Qarni, penulis buka La Tahzan (jangan bersedih) menasehatkan:
"Bila engkau sedang tertimpa musibah, janganlah bersedih. Bersabar dan bergembiralah, karena dengan musibah itu sesungguhnya Allah sedang menggugurkan dosa²mu dan mengangkat derajatmu"
Demikian pula sebaliknya, jika engkau sedang mendapat kenikmatan janganlah berbangga, bersyukurlah dengan berbagi. Ingatlah peringatan Allah, "Hanya sedikit diantara hambaKu yang pandai bersyukur." Maka bersyukur dengan BERBAGI. "La in syakartum la adzi danakum - Wala ingkafartum inna adzabi lasyadid"
Semoga kita menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur dan mampu bersabar.

***** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar