Minggu, 28 Januari 2024

Ref. Ibadah Sosial

*1. Dua Dimensi Ibadah*

Dalam hal ibadah, Islam membaginya dalam dua dimensi yaitu ibadah Vertikal dan Horizontal, atau dalam terminologi qur’an disebut dengan “hablum minallah” dan “hablum minannas”.

a. Ibadah Vertikal.

Ibadah vertikal adalah ibadah dalam konteks hubungan secara vertikal kepada Allah, seperti shalat, dzikir, iktikaf, baca qur’an dan sebagainya. Dalam terminologi qur’an disebut dengan “hablum minallah

Ibadah ini disebut juga sebagai ibadah ritual. Dalam pelaksanaan ibadah ritual ini tata caranya telah diatur secara rinci, sehingga disebut sebagai ibadah Mahdhah.

b. Ibadah Herizontal

Ibadah horizontal adalah ibadah dalam kaitan hubungan secara sosial dengan sesama manusia, seperti sedekah, silaturahim, tolong menolong, peduli, empati, dan sebagainya. Dalam terminologi qur’an disebut dengan “hablum minannas”.

Ibadah ini disebut juga sebagai ibadah sosial. Dalam pelaksanaan ibadah sosial tata caranya bersifat fleksibel, tidak diatur secara rinci, sehingga disebut sebagai ibadah Ghoiru Mahdhah.

*2. Harus Pararel dan Seimbang*

Kedua dimensi ibadah tersebut, yaitu vertikal dan herizontal harus dilakukan secara menyeluruh (kaffah) dan seimbang, sebagaimana perintah Allah dalam al qur’an:

QS. Al Baqarah: 208; Allah Swr berfirman: “Udkhulu fis-silmi kaffah”, artinya “Masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)”. Tidak dibenarkan seseorang hanya melaksanakan ibadah ritual saja, sementara mengabaikan ibadah sosial.

QS. Ali Imran 112; Allah Swr berfirman: “Dhuribat ‘alaihi mudh dhillatu ainamaa - tsuqifuu illaa bi hablim minallahi wa hablim minan naas  : Ditimpakan atas mereka ”kehinaan” dimana saja mereka berada, kecuali kalau mereka berhubungan baik dengan Allah (hablim minallah) dan berhubungan baik dengan sesama manusia (hablim minan naas). Tidak dibenarkan seseorang hanya baik dalam ibadah ritual saja, tetapi ibadah sosialnya tidak baik. Keduanya harus dilakukan secara seimbang.

.

*3. Ibadah Sosial Lebih Diprioritaskan Ketimbang Ibadah Ritual*

Jika ada kewajiban ritual yang waktunya berbarengan dengan kewajiban sosial, maka mana yang diprioritaskan?  Rasulullah mengajarkan dalam pelaksanaan ibadah ritual harus memperhatikan situasi sosial.

> Ketika nabi sedang shalat di rumah, beliau berhenti dan membukakan pintu untuk tamu yang datang, kemudian beliau melanjutkan shalatnya kembali.

> Suatu ketika Rasulullah mengimami shalat berjamaah di masjid Nabawi dan beliau mempercepat shalatnya. Usai shalat sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kenapa shalat dipercepat dari yang biasanya?” Rasulullah menjawab, “Tadi saya mendengar ada anak kecil menangis. Tentu ibunya merasa gundah karena tangisan anaknya dan jamaah lainnya pun terganggu, maka saya percepat shalatnya”.

> Selain itu, pernah juga suatu ketika Rasulullah terlambat melaksanakan shalat Ashar gara-gara mendamaikan dua suku yang bertengkar. Maka hal itu mengindikasikan bahwa Rasululllah mendahulukan kepentingan sosial ketimbang ibadah ritual.

> Allah Tidak Ndeso. Pada ilustrasi lain, seorang ustadz ditanya oleh santrinya, “Ustadz, misal pada waktu yang bersamaan tiba-tiba kita menghadapi dua pilihan yang dilematis, yaitu: Pertama, pergi ke masjid untuk menunaikan shalat jum’at. Kedua, menolong tetangga yang mengalami kecelakaan dan mengantarkannya ke RS. Mana yang ustadz pilih?

Sang ustadz menjawab, “Ya menolong tetangga yang kecelakaan”. “Tapi ustadz kan berdosa tidak sholat jum’at?” kejar si penanya.

Sang ustadz menjawab, “Ah masak Gusti Allah ndeso gitu?”

Kalau saya milih shalat jum’at dan membiarkan tetangga menderita berarti saya egois dan apatis. Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Bijaksana tentu tidak suka sifat egois dan apatis.


*4. KESALEHAN SOSIAL*

> Orang yang taat dan tekun melaksanakan perintah agama disebut sebagai orang yang solehSelaras dengan dua dimensi ibadah, maka kesalehan juga ada dua, yaitu: Kesalehan Personal dan Kesalehan Sosial.

> Orang yang tekun shalatnya, dzikirnya, baca qur’annya,dan puasanya dikatakan sebagai orang yang saleh secara personal.

> Sedangkan orang yang suka menolong, suka bersedekah, kepedulian sosial tinggi bisa dikatakan sebagai orang yang saleh secara sosial.

> Kesalehan sosial mempunyai nilai yang tinggi dalam pandangan Allah, sehingga orang yang hanya soleh secara personal (sholat dan dzikirnya baik) tetapi tidak soleh secara sosial (apatis dengan persoalan sosial), maka ibadah ritualnya akan sia-sia.

> Pernah seorang sahabat datang kepada Rasulullah, mengadukan ada seseorang perempuan yang shalat rajin, tetapi dia selalu menyakiti tetangga dengan lidahnya. Rasulullah berkata, ”Perempuan itu di neraka”.

> Sahabat berkata lagi, ada seorang perempuan lain yang shalat nya biasa saja (hanya yang wajib) dan sedekahnyapun hanya beberapa potong keju, tetapi dia tidak pernah menyakiti seorang pun. Rasulullah pun berkata: “Dia penghuni surga.” (HR. Imam al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, Beirut: Darul Basya’ir al-Islamiyyah, 1989, h. 54-55)

> Dengan begitu maka dapat disimpulkan bahwa kesalehan personal akan sia-sia bila tidak dibarengi dengan kesalehan sosial.

 

*5. Sebaik-baik Manusia*

> Dalam hadis lain Rasulullah bersabda, Khoirunnas anfa'uhum linnas,” artinya: “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain”. Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah memasukkan kegembiraan kedalam hati orang mukmin yang sedang mengalami kesusahan “idkhol al-surur ‘ala qolbi al-mu’min ...“.

> Ketika musim kemarau dan masyarakat kesulitan air, Rasulullah berkata sedekah sumur adalah amal yang paling utama dan sangat dicintai Allah.

> Dengan begitu maka amal perbuatan yang paling baik dan dicintai Allah bukanlah shalat, puasa atau dzikir, tetapi berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat yang membutuhkan.

 

*6. Kurangnya Kepekaan Sosial*

Mengukur tingkat keimanan seseorang itu dari akhlaknya (prilaku sosial), bukan dari ibadah mahdhah semata.  Namun ironisnya kita sering menilai ketaqwaan seseorang dari prilaku ritual ketimbang sosialnya.  

a. Prof. Dr. KH. Mukti Ali, seorang ulama, cendikiawan muslim dan Menteri Agama RI era tahun 1970-an pernah mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi umat Islam saat itu. Menurutnya umat Islam banyak yang sangat peka terhadap masalah-masalah ritual keagamaan, tetapi kurang peka terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Padahal Allah memerintahkan untuk Habluminallah wa habluminannnas secara seimbang.

b. Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Dr. KH. Ali Musthafa. Imam Besar Masjid Istiqlal di tahun 2016 ini menyatakan umat muslim mengalami pengingkatan spirit di bidang ibadah individual, tetapi tidak dibarengi oleh spirit ibadah sosial. Beliau mengingatkan bahwa ibadah sosial jauh lebih penting daripada ibadah individual.

c. Prof. KH. Buya Syakur Yasin, pengasuh pondok pesantren Candang Pingan Cirebon juga mengatakan, Kemunduran umat Islam disebabkan oleh pemahaman yang berlebihan terhadap masalah ibadah ritual, tetapi menganggap sepele masalah ibadah sosial. 

d. Prof. Dr. Jalaluddin Rahmad, berpendapat bahwa, Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh lebih besar daripada dimensi ritual. Kalau kebetulan kegiatan ibadah ritual itu bersamaan dengan pekerjaan lain yang mengandung dimensi sosial, maka Islam memeberi pelajaran untuk mendahulukan yang sosial.


*7. Nasehat*

Jangan hanya sibuk dengan ibadah ritual saja, tapi harus juga peduli terhadap masalah sosial.

Salah satu bentuk kesalehan sosial adalah Swdekah

Tunaikan zakat/sedekah 2,5% dari rejeki yang kita peroleh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar