*1. Dua Dimensi Ibadah*
Dalam hal ibadah,
Islam membaginya dalam dua
dimensi yaitu ibadah Vertikal dan Horizontal, atau dalam terminologi
qur’an disebut dengan “hablum
minallah” dan “hablum
minannas”.
a. Ibadah Vertikal.
Ibadah vertikal adalah ibadah dalam konteks hubungan secara vertikal
kepada Allah, seperti shalat, dzikir, iktikaf, baca qur’an dan sebagainya. Dalam terminologi qur’an
disebut dengan “hablum minallah”
Ibadah ini disebut juga sebagai ibadah ritual. Dalam pelaksanaan
ibadah ritual ini tata caranya telah diatur secara rinci, sehingga disebut
sebagai ibadah Mahdhah.
b. Ibadah Herizontal
Ibadah horizontal adalah ibadah dalam kaitan hubungan secara sosial
dengan sesama manusia, seperti sedekah, silaturahim, tolong menolong, peduli,
empati, dan sebagainya. Dalam terminologi qur’an disebut dengan “hablum minannas”.
Ibadah ini disebut juga sebagai ibadah sosial. Dalam pelaksanaan
ibadah sosial tata caranya bersifat fleksibel, tidak diatur secara rinci,
sehingga disebut sebagai ibadah Ghoiru Mahdhah.
*2. Harus Pararel dan Seimbang*
Kedua dimensi ibadah tersebut, yaitu vertikal dan herizontal harus dilakukan secara menyeluruh (kaffah) dan seimbang, sebagaimana perintah Allah dalam al qur’an:
> QS. Al Baqarah: 208; Allah Swr berfirman: “Udkhulu fis-silmi kaffah”, artinya “Masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)”. Tidak dibenarkan seseorang hanya melaksanakan ibadah ritual saja, sementara mengabaikan ibadah sosial.
> QS. Ali Imran 112; Allah Swr berfirman: “Dhuribat ‘alaihi mudh dhillatu ainamaa - tsuqifuu illaa bi hablim minallahi wa hablim minan naas : Ditimpakan atas mereka ”kehinaan” dimana saja mereka berada, kecuali kalau mereka berhubungan baik dengan Allah (hablim minallah) dan berhubungan baik dengan sesama manusia (hablim minan naas). Tidak dibenarkan seseorang hanya baik dalam ibadah ritual saja, tetapi ibadah sosialnya tidak baik. Keduanya harus dilakukan secara seimbang.
.
*3. Ibadah Sosial Lebih Diprioritaskan Ketimbang Ibadah Ritual*
Jika ada kewajiban ritual yang waktunya berbarengan dengan kewajiban sosial, maka mana yang diprioritaskan? Rasulullah mengajarkan dalam pelaksanaan ibadah ritual harus memperhatikan situasi sosial.
> Ketika nabi sedang shalat di rumah, beliau berhenti dan membukakan pintu untuk tamu yang datang, kemudian beliau melanjutkan shalatnya kembali.
> Suatu ketika Rasulullah
mengimami shalat berjamaah di masjid Nabawi dan beliau mempercepat shalatnya. Usai shalat
sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kenapa shalat dipercepat dari yang biasanya?”
Rasulullah menjawab, “Tadi saya mendengar ada anak kecil menangis. Tentu ibunya
merasa gundah karena tangisan anaknya dan jamaah lainnya pun terganggu, maka
saya percepat shalatnya”.
> Selain itu,
pernah juga suatu ketika Rasulullah terlambat melaksanakan shalat Ashar
gara-gara mendamaikan
dua suku yang bertengkar. Maka hal itu mengindikasikan bahwa Rasululllah mendahulukan
kepentingan sosial ketimbang ibadah ritual.
> Allah Tidak Ndeso. Pada ilustrasi lain, seorang ustadz ditanya oleh santrinya, “Ustadz, misal pada waktu yang bersamaan tiba-tiba kita menghadapi dua pilihan yang dilematis, yaitu: Pertama, pergi ke masjid untuk menunaikan shalat jum’at. Kedua, menolong tetangga yang mengalami kecelakaan dan mengantarkannya ke RS. Mana yang ustadz pilih?
Sang ustadz
menjawab, “Ya menolong tetangga yang kecelakaan”. “Tapi ustadz kan berdosa
tidak sholat jum’at?” kejar si penanya.
Sang ustadz
menjawab, “Ah masak Gusti Allah ndeso gitu?”
Kalau saya milih
shalat jum’at dan membiarkan tetangga menderita berarti saya egois dan apatis.
Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Bijaksana tentu tidak suka sifat egois dan
apatis.
*4. KESALEHAN SOSIAL*
> Orang yang taat dan tekun melaksanakan perintah agama disebut sebagai orang yang soleh. Selaras dengan dua dimensi ibadah, maka kesalehan juga ada dua, yaitu: Kesalehan Personal dan Kesalehan Sosial.
> Orang yang tekun
shalatnya, dzikirnya, baca qur’annya,dan puasanya dikatakan sebagai orang yang saleh secara personal.
> Sedangkan orang
yang suka menolong, suka bersedekah, kepedulian sosial tinggi bisa dikatakan
sebagai orang yang saleh
secara sosial.
> Kesalehan sosial
mempunyai nilai
yang tinggi dalam pandangan Allah, sehingga orang yang hanya soleh
secara personal (sholat dan dzikirnya baik) tetapi tidak soleh secara sosial
(apatis dengan persoalan sosial), maka ibadah ritualnya akan sia-sia.
> Pernah seorang
sahabat datang kepada Rasulullah, mengadukan ada seseorang perempuan yang
shalat rajin, tetapi dia selalu menyakiti tetangga dengan lidahnya. Rasulullah
berkata, ”Perempuan
itu di neraka”.
> Sahabat berkata
lagi, ada seorang perempuan lain yang shalat nya biasa saja (hanya yang wajib)
dan sedekahnyapun hanya beberapa potong keju, tetapi dia tidak pernah menyakiti
seorang pun. Rasulullah pun berkata: “Dia penghuni surga.” (HR. Imam
al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, Beirut: Darul Basya’ir al-Islamiyyah, 1989, h.
54-55)
> Dengan begitu maka
dapat disimpulkan bahwa kesalehan personal akan sia-sia bila tidak dibarengi
dengan kesalehan sosial.
*5. Sebaik-baik
Manusia*
> Dalam
hadis lain Rasulullah bersabda, “Khoirunnas
anfa'uhum linnas,” artinya: “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia
lain”. Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah
memasukkan kegembiraan kedalam hati orang mukmin yang sedang mengalami kesusahan
“idkhol al-surur ‘ala qolbi al-mu’min ...“.
> Ketika musim
kemarau dan masyarakat kesulitan air, Rasulullah berkata sedekah sumur adalah amal yang paling utama
dan sangat dicintai Allah.
> Dengan begitu maka amal
perbuatan yang paling baik dan dicintai Allah bukanlah shalat, puasa atau dzikir,
tetapi berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat yang membutuhkan.
*6. Kurangnya
Kepekaan Sosial*
Mengukur tingkat
keimanan seseorang itu dari akhlaknya
(prilaku sosial), bukan dari ibadah mahdhah semata. Namun ironisnya kita sering menilai
ketaqwaan seseorang dari prilaku ritual ketimbang sosialnya.
a. Prof. Dr. KH. Mukti Ali, seorang ulama,
cendikiawan muslim dan Menteri Agama RI era tahun 1970-an pernah
mengungkapkan keprihatinannya
terhadap kondisi umat Islam saat
itu. Menurutnya umat Islam banyak yang sangat peka terhadap masalah-masalah
ritual keagamaan, tetapi kurang peka terhadap masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. Padahal Allah memerintahkan untuk Habluminallah wa
habluminannnas secara seimbang.
b. Hal senada juga disampaikan
oleh Prof. Dr. KH. Ali Musthafa. Imam Besar Masjid Istiqlal di tahun 2016 ini
menyatakan umat muslim mengalami pengingkatan spirit di bidang ibadah
individual, tetapi tidak dibarengi oleh spirit ibadah sosial. Beliau
mengingatkan bahwa ibadah sosial jauh lebih penting daripada ibadah individual.
c. Prof. KH. Buya Syakur Yasin, pengasuh pondok pesantren Candang Pingan Cirebon juga mengatakan, Kemunduran umat Islam disebabkan oleh pemahaman yang berlebihan terhadap masalah ibadah ritual, tetapi menganggap sepele masalah ibadah sosial.
d. Prof. Dr. Jalaluddin Rahmad, berpendapat bahwa, Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh lebih besar daripada dimensi ritual. Kalau kebetulan kegiatan ibadah ritual itu bersamaan dengan pekerjaan lain yang mengandung dimensi sosial, maka Islam memeberi pelajaran untuk mendahulukan yang sosial.
*7. Nasehat*
Jangan hanya sibuk dengan ibadah ritual saja, tapi harus juga peduli terhadap masalah sosial.
Salah satu bentuk kesalehan sosial adalah Swdekah
Tunaikan zakat/sedekah 2,5% dari rejeki yang kita peroleh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar