Minggu, 28 Januari 2024

Kisah Seorang Haji Mabrur Padahal Tidak Berangkat ke Baitullah

KISAH SINGKAT

Tukang Sol Sepatu Berhaji Mabrur, Padahal dia Tidak Ke Baitullah

*****

Adalah seorang ulama Mekah bernama Abdurrahman ibnu Mubarok. Setelah menyelesaikan ritual ibadah haji yaitu tawaf dan sa’i, karena kecapean beliau beristirahat di sebelah hijir Ismail. Antara tidur dan terjaga, beliau mendengar dua malaikat yang turun dari langit sedang berbincang.

Malaikat satu berkata, diantara ribuan jamaah haji tahun ini hanya ada satu yang mendapatkan pahala haji mabrur, dan seluruh dosa-dosanya diampuni Allah.

Malaikat yang lain bertanya, siapa dia?

Dia tidak ada di sini. Dia adalah Ali bin al Muwaqaf, seorang tukang sol sepatu di Damsik.

Mendengar percakapan dua malaikat yang mengejutkan itu membuat Ibnu Mubarok tersadar dari mimpinya. Karena rasa penasaran maka ia bergegas pergi ke Damsik untuk mencari tahu keberadaan Muwaqaf, si tukang sol sepatu.

Setelah berkeliling kota Damsik akhirnya Ibnu Muwaqah berhasil menemukan Muwaqaf. Setelah diceritakan mimpinya maka Muwaqahpun menangis dan jatuh pingsan.


Setelah tersadar Kembali dari pingsannya, Muwaffaq pun menceritakan:

Sudah sejak lama saya ingin pergi haji. Dan selama puluhan tahun, setiap hari saya menyisihkan sebagian uang dari penghasilan saya sebagai tukang sol sepatu, hingga terkumpul 350 dirham.  Jumlah itu sudah cukup untuk berhaji, dan Saya sudah siap untuk berangkat haji.

Pada saat itu, istri saya sedang hamil tua dan sedang mengidam. Dia mencium aroma masakan lezat. Maka istri sayapun meminta agar saya minta sedikit masakan itu.

Akhirnya saya mencari sumber aroma masakan itu. Ternyata berasal dari gubuk yang tidak jauh dari rumah saya, gubuk itu hampir roboh. Di sana, ada seorang janda dan enam anaknya.

Saya mengatakan kepadanya bahwa istri saya menginginkan masakan yang dia masak, meskipun hanya sedikit.

Dengan sedikit ragu, dia mengatakan, "Maaf tidak boleh, tuan."
Saya memaksa dengan mengatakan "Berapapun harganya, saya akan membelinya."


Dengan berlinang air mata, janda itu menjawab, "Makanan ini halal bagi kami, tapi haram bagi tuan."

Saya bertanya, "Kenapa?"

Kemudian janda itu menceritakan:

Selama beberapa hari ini, kami tidak memiliki makanan. Anak-anak saya menangis kelaparan. Lalu saya pergi kelua mencari makanan. Saya melihat seekor keledai mati, jadi kami mengambil sebagian dagingnya untuk dimasak.

Jadi masakan ini adalah dari daging bangkai yang haram bagi tuan, tetapi karena terpaksa masakan ini halal bagi kami yang kelaparan.

Mendengar cerita itu, saya menangis dan pulang ke rumah. Saya menceritakan kejadian tersebut kepada istri saya, dan dia juga menangis. Akhirnya, kami memasak makanan dan pergi ke rumah janda tersebut.

Lalu kami membawakan makanan untuk mereka, dan memberikan 350 dirham untuk janda itu. Saya tidak jadi berangkat haji karena uang yang saya kumpulkan untuk berhaji, saya berikan kepada mereka agar tidak kelaparan.

Mendengar cerita itu, Abdullah Al Mubarak tidak bisa menahan air mata. Ternyata, inilah amal yang dilakukan oleh Sa'id bin Muhafah sehingga Allah menerima amalan hajinya, meskipun dia tidak berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji.

 

&&&&&

 

Kisah Seorang Haji Mabrur, Padahal Tidak Berangkat ke Baitullah

Kisah ini dikutip dari Buku Koleksi Hadits dan Kisah Teladan Muslim tulisan Ahmad Saifudin dan tulisan Mahdi berjudul Kisah Diterimanya Ibadah Haji Seorang Hamba Meski Tidak Berangkat ke Tanah Suci dalam situs resmi Kemenag.


Kisah ini diriwayatkan oleh seorang ulama Mekah bernama Abdurrahman Ibnu Mubarak. Bahwa pada suatu masa setelah menyelesaikan ritual ibadah haji, yaitu tawaf dan sa’i, Ibnu Mubarak beristirahat dan tidur. Saat tidur, dia bermimpi melihat dua Malaikat turun dari langit dan mendengar percakapan mereka.

Salah satu Malaikat bertanya kepada yang lain, "Berapa banyak orang yang datang untuk berhaji tahun ini?".

"Mereka adalah enam ratus ribu jamaah," jawab Malaikat yang ditanya.

Lalu, Malaikat pertama bertanya lagi, "Berapa banyak dari mereka yang haji mereka diterima?".

"Tidak ada satupun," jawab Malaikat yang pertama.

Percakapan itu membuat Abdullah Al Mubarak merasa gemetar.

"Dalam mimpiku," dia menangis, "Apakah semua orang ini datang dari tempat-tempat jauh dengan perjuangan dan kelelahan, melewati gurun pasir yang luas, hanya untuk semua usahanya menjadi sia-sia?".

 

Salah satu Malaikat bertanya kepada yang lain, "Berapa banyak orang yang datang untuk berhaji tahun ini?".

"Mereka adalah enam ratus ribu jamaah," jawab Malaikat yang ditanya.

Lalu, Malaikat pertama bertanya lagi, "Berapa banyak dari mereka yang haji mereka diterima?".

"Tidak ada satupun," jawab Malaikat yang pertama.

Percakapan itu membuat Abdullah Al Mubarak merasa gemetar.

"Dalam mimpiku," dia menangis, "Apakah semua orang ini datang dari tempat-tempat jauh dengan perjuangan dan kelelahan, melewati gurun pasir yang luas, hanya untuk semua usahanya menjadi sia-sia?".

Sambil gemetar, dia terus mendengarkan percakapan kedua malaikat itu.

"Namun ada seseorang yang meskipun tidak berhaji, amal perbuatan hajinya diterima oleh Allah dan semua dosanya diampuni. Berkat dia, seluruh jamaah haji diterima oleh Allah."


"Bagaimana bisa begitu?" tanya Malaikat pertama.

"Itu adalah kehendak Allah."

"Siapa orang itu?" tanya Malaikat pertama lagi.


"Orang itu adalah Ali bin Al Muwaffaq, tukang sol sepatu di Kota Damsik"

Setelah mendengar ucapan itu, Abdullah Al Mubarak terbangun dari tidurnya. Setelah pulang dari ibadah haji, dia tidak langsung kembali ke rumahnya, tetapi pergi langsung ke Damaskus, Syria. Hatinya masih gemetar dan penuh pertanyaan.

Ketika dia sampai di sana, dia mencari tukang sol sepatu yang disebutkan oleh Malaikat dalam mimpinya. Dia bertanya kepada hampir semua tukang sol sepatu apakah ada seorang tukang sol sepatu bernama Ali bin Al Muwaffaq.

"Ada, di tepi kota," jawab salah seorang tukang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya.

Setelah mencapai tempat itu, dia menemukan seorang tukang sol sepatu yang berpakaian sangat sederhana. "Apakah Anda Ali bin Al Muwaffaq?" tanya bin Al Mubarak.

"Iya, tuan. Ada yang bisa saya bantu?"

 

 

Ibnu Mubarok lalu menyampaikan mimpi yang didapatnya. Dia bertanya, "Saya ingin tahu apa yang telah Anda lakukan sehingga Anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur dan dosa-dosanya diampuni oleh Allah, padahal Anda tidak berangkat haji."

Mendengar cerita Ibnu Mubarok, maka menangislah Muwaffaq hingga akhirnya jatuh pingsan.

Dan setelah sadar, Ibnu Mubarok memohon agar Muwaffaq menceritakan pengalaman hidupnya menjelang pelaksanaan ibadah haji tahun ini, hingga ia memperoleh predikat haji mabrur tersebut.


Muwaffaq pun menceritakan, "Selama puluhan tahun, setiap hari saya menyisihkan sebagian uang dari penghasilan saya sebagai tukang sol sepatu. Saya menabung sedikit demi sedikit hingga akhirnya pada tahun ini, saya memiliki 350 dirham, jumlah yang cukup untuk berhaji. Saya sudah siap untuk berangkat haji."


"Tapi Anda tidak berangkat haji."
"Benar."

"Apa yang terjadi?"

"Pada saat itu, istri saya hamil dan sedang mengidam. Ketika saya hendak berangkat, dia sangat mengidamkan aroma masakan yang lezat."

"Suamiku, bisakah kau mencium aroma masakan yang sedap ini?"
"Iya, sayang."


"Cobalah cari siapa yang memasak, aroma masakannya begitu lezat. Tolong mintakan sedikit untukku," pintanya.

"Akhirnya, saya mencari sumber aroma masakan itu. Ternyata berasal dari gubuk yang hampir roboh. Di sana, ada seorang janda dan enam anaknya. Saya mengatakan kepadanya bahwa istri saya menginginkan masakan yang dia masak, meskipun hanya sedikit. Janda itu diam dan memandang saya, jadi saya mengulangi kata-kata saya," ungkap Ali bin Al Muwaffaq.

Akhirnya, dengan sedikit ragu, dia mengatakan, "Tidak boleh, tuan."

"Apa pun harganya, saya akan membelinya."


"Makanan ini tidak dijual, tuan," katanya sambil meneteskan air mata.
"Mengapa?" tanya Ali.

Dengan berlinang air mata, janda itu menjawab, "Makanan ini halal bagi kami, tapi haram bagi tuan."

Dalam hatinya, Ali bin Al Muwaffaq bertanya, "Bagaimana mungkin ada makanan yang halal bagi dia, tapi haram bagi saya, padahal kita sama-sama muslim?" Karena itu, dia mendesaknya lagi, "Kenapa?"

"Selama beberapa hari ini, kami tidak memiliki makanan. Di rumah kami tidak ada makanan sama sekali. Hari ini, kami melihat seekor keledai mati, jadi kami mengambil sebagian dagingnya untuk dimasak dan dimakan," janda itu menjelaskan dengan terisak.


Mendengar cerita itu, saya menangis dan pulang ke rumah. Saya menceritakan kejadian tersebut kepada istri saya, dan dia juga menangis. Akhirnya, kami memasak makanan dan pergi ke rumah janda tersebut.


"Kami membawa makanan untukmu."

Saya memberikan 350 dirham, uang yang saya kumpulkan untuk berhaji, kepada mereka. "Gunakan uang ini untuk keluarga Anda. Gunakan untuk usaha agar Anda tidak kelaparan lagi."


Mendengar cerita itu, Abdullah Al Mubarak tidak bisa menahan air mata. Ternyata, inilah amal yang dilakukan oleh Sa'id bin Muhafah sehingga Allah menerima amalan hajinya, meskipun dia tidak berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji.

 

******


 

 

 



  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar