KISAH SINGKAT
Tukang Sol Sepatu Berhaji Mabrur, Padahal dia
Tidak Ke Baitullah
*****
Adalah seorang ulama Mekah bernama Abdurrahman
ibnu Mubarok. Setelah menyelesaikan ritual ibadah haji yaitu tawaf dan sa’i,
karena kecapean beliau beristirahat di sebelah hijir Ismail. Antara tidur dan terjaga,
beliau mendengar dua malaikat yang turun dari langit sedang berbincang.
Malaikat satu berkata, diantara ribuan jamaah haji
tahun ini hanya ada satu yang mendapatkan pahala haji mabrur,
dan seluruh dosa-dosanya diampuni Allah.
Malaikat yang lain bertanya, siapa dia?
Dia tidak ada di sini. Dia adalah Ali bin al
Muwaqaf, seorang tukang sol sepatu di Damsik.
Mendengar percakapan dua malaikat yang mengejutkan
itu membuat Ibnu Mubarok tersadar dari mimpinya. Karena rasa penasaran maka ia bergegas
pergi ke Damsik untuk mencari tahu keberadaan Muwaqaf, si tukang sol sepatu.
Setelah berkeliling kota Damsik akhirnya Ibnu
Muwaqah berhasil menemukan Muwaqaf. Setelah diceritakan mimpinya maka
Muwaqahpun menangis dan jatuh pingsan.
Setelah tersadar Kembali dari pingsannya, Muwaffaq pun
menceritakan:
Sudah sejak lama saya ingin pergi haji. Dan selama
puluhan tahun, setiap hari saya menyisihkan sebagian uang dari penghasilan saya
sebagai tukang sol sepatu, hingga terkumpul 350 dirham. Jumlah itu
sudah cukup untuk berhaji, dan Saya sudah siap untuk berangkat haji.
Pada saat itu, istri saya sedang hamil tua dan sedang
mengidam. Dia mencium aroma masakan lezat. Maka istri sayapun meminta agar saya
minta sedikit masakan itu.
Akhirnya saya mencari sumber aroma masakan itu.
Ternyata berasal dari gubuk yang tidak jauh dari rumah saya, gubuk itu hampir
roboh. Di sana, ada seorang janda dan enam anaknya.
Saya mengatakan kepadanya bahwa istri saya
menginginkan masakan yang dia masak, meskipun hanya sedikit.
Dengan sedikit ragu, dia mengatakan, "Maaf tidak
boleh, tuan."
Saya
memaksa dengan mengatakan "Berapapun harganya, saya akan membelinya."
Dengan berlinang air mata, janda itu menjawab, "Makanan ini halal bagi kami, tapi
haram bagi tuan."
Saya bertanya, "Kenapa?"
Kemudian janda itu menceritakan:
Selama beberapa hari ini, kami tidak memiliki
makanan. Anak-anak saya menangis kelaparan. Lalu saya pergi kelua mencari
makanan. Saya melihat seekor keledai mati, jadi kami mengambil sebagian
dagingnya untuk dimasak.
Jadi masakan ini adalah dari daging bangkai yang
haram bagi tuan, tetapi karena terpaksa masakan ini halal bagi kami yang
kelaparan.
Mendengar cerita itu, saya menangis dan pulang ke
rumah. Saya menceritakan kejadian tersebut kepada istri saya, dan dia juga
menangis. Akhirnya, kami memasak makanan dan pergi ke rumah janda tersebut.
Lalu kami membawakan makanan untuk mereka, dan memberikan 350
dirham untuk janda itu. Saya tidak jadi berangkat haji karena uang yang saya
kumpulkan untuk berhaji, saya berikan kepada mereka agar tidak kelaparan.
Mendengar cerita itu, Abdullah Al Mubarak tidak
bisa menahan air mata. Ternyata, inilah amal yang dilakukan oleh Sa'id bin
Muhafah sehingga Allah menerima amalan hajinya, meskipun dia tidak
berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji.
&&&&&
Kisah Seorang Haji Mabrur, Padahal Tidak Berangkat ke Baitullah
Kisah ini dikutip dari Buku Koleksi Hadits dan Kisah Teladan Muslim tulisan Ahmad Saifudin dan tulisan Mahdi berjudul Kisah Diterimanya
Ibadah Haji Seorang Hamba Meski Tidak Berangkat ke Tanah Suci dalam situs resmi
Kemenag.
Kisah ini diriwayatkan oleh seorang ulama Mekah
bernama Abdurrahman Ibnu Mubarak. Bahwa pada suatu masa setelah
menyelesaikan ritual ibadah haji, yaitu tawaf dan sa’i, Ibnu Mubarak
beristirahat dan tidur. Saat tidur, dia bermimpi
melihat dua Malaikat turun dari langit dan mendengar percakapan mereka.
Salah satu Malaikat bertanya kepada yang lain, "Berapa banyak orang
yang datang untuk berhaji tahun ini?".
"Mereka adalah enam ratus ribu jamaah,"
jawab Malaikat yang ditanya.
Lalu, Malaikat pertama bertanya lagi, "Berapa
banyak dari mereka yang haji mereka diterima?".
"Tidak ada satupun," jawab Malaikat yang
pertama.
Percakapan itu membuat Abdullah Al Mubarak merasa
gemetar.
"Dalam mimpiku," dia menangis,
"Apakah semua orang ini datang dari tempat-tempat jauh dengan perjuangan
dan kelelahan, melewati gurun pasir yang luas, hanya untuk semua usahanya
menjadi sia-sia?".
Salah satu Malaikat bertanya kepada yang lain, "Berapa banyak orang
yang datang untuk berhaji tahun ini?".
"Mereka adalah enam ratus ribu jamaah,"
jawab Malaikat yang ditanya.
Lalu, Malaikat pertama bertanya lagi, "Berapa
banyak dari mereka yang haji mereka diterima?".
"Tidak ada satupun," jawab Malaikat yang pertama.
Percakapan itu membuat Abdullah Al Mubarak merasa
gemetar.
"Dalam mimpiku," dia menangis,
"Apakah semua orang ini datang dari tempat-tempat jauh dengan perjuangan
dan kelelahan, melewati gurun pasir yang luas, hanya untuk semua usahanya
menjadi sia-sia?".
Sambil gemetar, dia terus mendengarkan percakapan kedua malaikat itu.
"Namun ada seseorang yang meskipun tidak
berhaji, amal perbuatan hajinya diterima oleh Allah dan semua dosanya diampuni.
Berkat dia, seluruh jamaah haji diterima oleh Allah."
"Bagaimana bisa begitu?" tanya Malaikat
pertama.
"Itu adalah kehendak Allah."
"Siapa orang itu?" tanya Malaikat
pertama lagi.
"Orang itu adalah Ali bin Al Muwaffaq, tukang sol sepatu di Kota Damsik"
Setelah mendengar ucapan itu, Abdullah Al Mubarak
terbangun dari tidurnya. Setelah pulang dari ibadah haji, dia tidak langsung
kembali ke rumahnya, tetapi pergi langsung ke Damaskus, Syria. Hatinya masih
gemetar dan penuh pertanyaan.
Ketika dia sampai di sana, dia mencari tukang sol
sepatu yang disebutkan oleh Malaikat dalam mimpinya. Dia bertanya kepada hampir
semua tukang sol sepatu apakah ada seorang tukang sol sepatu bernama Ali bin Al
Muwaffaq.
"Ada, di tepi kota," jawab salah seorang
tukang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya.
Setelah mencapai tempat itu, dia menemukan seorang
tukang sol sepatu yang berpakaian sangat sederhana. "Apakah Anda Ali bin
Al Muwaffaq?" tanya bin Al Mubarak.
"Iya, tuan. Ada yang bisa saya bantu?"
Ibnu Mubarok lalu menyampaikan mimpi yang didapatnya. Dia
bertanya, "Saya ingin tahu apa yang telah Anda lakukan
sehingga Anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur dan dosa-dosanya diampuni oleh
Allah, padahal Anda tidak berangkat haji."
Mendengar cerita Ibnu Mubarok, maka menangislah Muwaffaq
hingga akhirnya jatuh pingsan.
Dan setelah sadar, Ibnu Mubarok memohon agar Muwaffaq
menceritakan pengalaman hidupnya menjelang pelaksanaan ibadah haji tahun ini, hingga
ia memperoleh predikat haji mabrur tersebut.
Muwaffaq pun menceritakan, "Selama puluhan tahun, setiap hari saya menyisihkan sebagian uang dari
penghasilan saya sebagai tukang sol sepatu. Saya menabung
sedikit demi sedikit hingga akhirnya pada tahun ini, saya memiliki 350 dirham,
jumlah yang cukup untuk berhaji. Saya sudah siap untuk berangkat haji."
"Tapi Anda tidak berangkat haji."
"Benar."
"Apa yang terjadi?"
"Pada saat itu, istri saya hamil dan sedang mengidam. Ketika saya
hendak berangkat, dia sangat mengidamkan aroma masakan yang lezat."
"Suamiku, bisakah kau mencium aroma masakan
yang sedap ini?"
"Iya, sayang."
"Cobalah cari siapa yang memasak, aroma
masakannya begitu lezat. Tolong mintakan sedikit untukku," pintanya.
"Akhirnya, saya mencari sumber aroma
masakan itu. Ternyata berasal dari gubuk yang hampir roboh. Di sana, ada seorang janda dan enam anaknya. Saya mengatakan
kepadanya bahwa istri saya menginginkan masakan yang dia masak, meskipun hanya
sedikit. Janda itu diam dan memandang saya, jadi saya mengulangi kata-kata
saya," ungkap Ali bin Al Muwaffaq.
Akhirnya, dengan sedikit ragu, dia mengatakan, "Tidak boleh, tuan."
"Apa pun harganya, saya akan membelinya."
"Makanan ini tidak dijual, tuan,"
katanya sambil meneteskan air mata.
"Mengapa?" tanya Ali.
Dengan berlinang air mata, janda itu menjawab, "Makanan ini halal bagi kami, tapi haram bagi tuan."
Dalam hatinya, Ali bin Al Muwaffaq bertanya,
"Bagaimana mungkin ada makanan yang halal bagi dia, tapi haram bagi saya,
padahal kita sama-sama muslim?" Karena itu, dia mendesaknya lagi,
"Kenapa?"
"Selama beberapa hari ini, kami tidak
memiliki makanan. Di rumah kami tidak ada makanan sama sekali. Hari ini, kami
melihat seekor keledai mati, jadi
kami mengambil sebagian dagingnya untuk dimasak dan dimakan," janda itu
menjelaskan dengan terisak.
Mendengar cerita itu, saya menangis dan pulang ke
rumah. Saya menceritakan kejadian tersebut kepada istri
saya, dan dia juga menangis. Akhirnya, kami memasak
makanan dan pergi ke rumah janda tersebut.
"Kami membawa makanan untukmu."
Saya memberikan 350 dirham, uang yang saya kumpulkan untuk berhaji, kepada
mereka. "Gunakan uang ini untuk keluarga Anda. Gunakan untuk usaha agar
Anda tidak kelaparan lagi."
Mendengar cerita itu, Abdullah Al Mubarak tidak
bisa menahan air mata. Ternyata, inilah amal yang dilakukan oleh Sa'id bin
Muhafah sehingga Allah menerima amalan hajinya, meskipun dia tidak
berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji.
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar