Minggu, 28 Januari 2024

Kesalehan Sosial

1. Kisah Tukang Sepatu Haji Mabrur

Adalah seorang ulama Mekah bernama Abdurrahman ibnu Mubarok. Setelah menyelesaikan ritual ibadah haji, yaitu tawaf dan sa’i, karena kecapean beliau beristirahat di sebelah hijir Ismail. Antara tidur dan terjaga, beliau mendengar dua malaikat yang turun dari langit sedang berbincang.

Malaikat satu berkata, “Diantara ribuan jamaah haji tahun ini hanya ada satu yang mendapatkan pahala haji mabrur, dan seluruh dosa-dosanya diampuni Allah.”

Malaikat yang lain bertanya, “Siapa dia?”

“Dia tidak ada di sini. Dia adalah Ali bin al Muwaqaf, seorang tukang sol sepatu di Damsik.”

Mendengar percakapan dua malaikat yang mengejutkan itu membuat Ibnu Mubarok terjaga dari mimpinya. Karena rasa penasaran maka beliaupun bergegas pergi ke Damsik untuk mencari tahu keberadaan Muwaqaf, si tukang sol sepatu.

Setelah berkeliling kota Damsik, akhirnya Ibnu Mubarok berhasil menemukan Ali Muwaqaf. Setelah diceritakan mimpinya maka Muwaqahpun menangis dan jatuh pingsan.

.
Setelah tersadar Kembali dari pingsannya, Muwaffaq pun menceritakan:

Sudah sejak lama saya ingin pergi haji. Dan selama puluhan tahun, setiap hari saya menyisihkan sebagian uang dari penghasilan saya sebagai tukang sol sepatu, hingga terkumpul 350 dirham.  Jumlah itu sudah cukup untuk berhaji, dan Saya sudah siap untuk berangkat haji.

Pada saat itu, istri saya sedang hamil tua dan sedang mengidam. Dia mencium aroma masakan lezat. Maka istri sayapun meminta agar saya minta sedikit masakan itu.

Akhirnya saya mencari sumber aroma masakan itu. Ternyata berasal dari gubuk yang tidak jauh dari rumah saya, gubuk itu hampir roboh. Di sana, ada seorang janda dan enam anaknya.

Saya mengatakan kepadanya bahwa istri saya menginginkan masakan yang dia masak, meskipun hanya sedikit.

Dengan sedikit ragu, dia mengatakan, "Maaf tidak boleh, tuan."
Saya memaksa dengan mengatakan "Berapapun harganya, saya akan membelinya."

Dengan berlinang air mata, janda itu menjawab, "Makanan ini halal bagi kami, tapi haram bagi tuan."

Saya bertanya, "Kenapa?"

Kemudian janda itu menceritakan:

Selama beberapa hari ini, kami tidak memiliki makanan. Anak-anak saya menangis kelaparan. Lalu saya pergi kelua mencari makanan. Saya melihat seekor keledai mati, jadi kami mengambil sebagian dagingnya untuk dimasak.

Jadi masakan ini adalah dari daging bangkai keledai yang haram bagi tuan, tetapi karena terpaksa masakan ini halal bagi kami yang kelaparan.

Mendengar cerita itu, saya menangis dan pulang ke rumah. Saya menceritakan kejadian tersebut kepada istri saya, dan dia juga menangis. Akhirnya, kami memasak makanan dan pergi ke rumah janda tersebut.

Lalu kami membawakan makanan untuk mereka, dan memberikan 350 dirham untuk janda itu. Saya tidak jadi berangkat haji karena uang yang saya kumpulkan untuk berhaji, saya berikan kepada mereka agar tidak kelaparan.

Mendengar cerita itu, Abdullah Ibnu Mubarak tidak bisa menahan air mata. Ternyata, inilah amal yang dilakukan oleh Ali bin al Muwaqaf sehingga Allah menerima amalan hajinya, meskipun dia tidak berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji.

.

2. Kesalehan Sosial

> Orang yang taat dan tekun melaksanakan perintah agama disebut sebagai orang yang shaleh. Selaras dengan dua dimensi ibadah, yaitu ibadah vertikal dan ibadah horizontal, maka kesalehan juga ada dua, yaitu: Kesalehan Personal dan Kesalehan Sosial.

> Orang yang tekun shalatnya, dzikirnya, baca qur’annya, dan puasanya maka dikatakan sebagai orang yang saleh secara personal.

> Sedangkan orang yang suka menolong, suka bersedekah, kepedulian sosial tinggi bisa dikatakan sebagai orang yang saleh secara sosial.

> Kesalehan sosial mempunyai nilai yang tinggi dalam pandangan Allah, sehingga orang yang hanya soleh secara personal (sholat dan dzikirnya baik) tetapi tidak soleh secara sosial (apatis dengan persoalan sosial), maka ibadah ritualnya akan sia-sia.

Pernah seorang sahabat datang kepada Rasulullah, mengadukan ada seseorang perempuan yang shalat rajin, tetapi dia selalu menyakiti tetangga dengan lidahnya. Rasulullah berkata, ”Perempuan itu di neraka”.

Sahabat berkata lagi, ada seorang perempuan lain yang shalat nya biasa saja (hanya yang wajib) dan sedekahnyapun hanya beberapa potong keju, tetapi dia tidak pernah menyakiti seorang pun. Rasulullah pun berkata: “Dia penghuni surga.” (HR. Imam al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, Beirut: Darul Basya’ir al-Islamiyyah, 1989, h. 54-55)

> Dengan begitu maka dapat disimpulkan bahwa kesalehan personal akan sia-sia bila tidak dibarengi dengan kesalehan sosial.

 

3. Dalil Kepedulian Sosial*

Ada beberapa dalil berkaitan dengan kepedulian sosial, yaitu:

> Rasulullah bersabda مَنْ لا يَرحم لا يُرحم , Man laa yarham walaa yurham. Artinya, "Barangsiapa tidak menolong (sesama manusia), maka ia tidak ditolong (oleh Allah)" (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

> Dalam riwayat lain dikatakan, Rasulullah bersabda, لَا يَرْحَمُ اللَّهُ مَنْ لَا يَرْحَمُ النَّاسَ “Laa yarhamullah man laa yarhamu naas” (Allah tidak mengasihi orang yang tidak mengasihi manusia lainnya) – (HR. Bukhari al-Adab al-Mufrad, 1989, h.48)

Makna dari hadis tersebut adalah bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pertolongan (dari Allah), apabila dia apatis, tidak menolong sesama manusia (yang membutuhkan pertolongan).

> Dalam situasi yang lain, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah beriman kepadaku orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan sampai ke lambungnya. (HR At-Thabrani).

Ditegaskan oleh Rasulullah bahwa orang yang tidak peduli atas nasib tetangganya (yang kelaparan) maka ia tergolong sebagai orang yang tidak beriman.

 

4. Pendusta Agama

Orang yang tidak mempunyai kepedulian sosial, atau apatis terhadap situasi sosial di sekitarnya (terutama kepada mereka yang membutuhkan bantuan), bisa dikatakan sebagai pendusta agama.

Dalam al-Qur’an surah Al-Maun, Allah SWT berfirman; Ara-aitalladzii yukadzdzibubiddiin # Fadzaalikalladzi yadu’ ’ulyatiim # Walaa yahudhdhu ’alaa tha’aamill miskin. Artinya: ”Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?. Mereka adalah orang yang menelantarkan anak yatim dan tidak peduli terhadap nasib orang miskin.”

Pendusta agama adalah orang yang tidak punya kepedulian sosial terhadap penderitaan fakir miskin disekitarnya.

Pendusta agama, menurut Buya Hamka adalah orang yang mendustai pilar-pilar agama, yaitu mendustai shalatnya, mendustai puasanya, mendustai hajinya, dan mendustai ibadah-badah mahdhah lainnya.

Bagi pendusta agama maka ibadah-ibadah ritual yang telah dilakukannya akan gugur dan tidak mempunyai nilai di hadapan Allah Swt.

Hal itu dijelaskan pada surah al-Maun ayat berikutnya; Fa wailul lil mushallin # Al ladziina hum an salaatihim sahuun # Al ladzina hum yuraa una # Wa yamna’unal maa’uun. Artinya: Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu (1) mereka yang lalai dari shalatnya, (2) mereka yang riya’, dan (3) mereka yang enggan memberi pertolongan.

 

5. Kurangnya Kepekaan Sosial

Mengukur tingkat keimanan seseorang itu dari akhlaknya (prilaku sosial), bukan dari ibadah mahdhah semata.  Namun ironisnya kita sering menilai ketaqwaan seseorang dari prilaku ritual ketimbang sosialnya.  

a. Prof. Dr. KH. Mukti Ali, seorang ulama, cendikiawan muslim dan Menteri Agama RI era tahun 1970-an pernah mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi umat Islam saat itu. Menurutnya umat Islam banyak yang sangat peka terhadap masalah-masalah ritual keagamaan, tetapi kurang peka terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Padahal Allah memerintahkan untuk Habluminallah wa habluminannnas secara seimbang.

b. Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Dr. KH. Ali Musthafa. Imam Besar Masjid Istiqlal di tahun 2016 ini menyatakan umat muslim mengalami pengingkatan spirit di bidang ibadah individual, tetapi tidak dibarengi oleh spirit ibadah sosial. Beliau mengingatkan bahwa ibadah sosial jauh lebih penting daripada ibadah individual.

c. Prof. KH. Buya Syakur Yasin, pengasuh pondok pesantren Candang Pingan Cirebon juga mengatakan, Kemunduran umat Islam disebabkan oleh pemahaman yang berlebihan terhadap masalah ibadah ritual, tetapi menganggap sepele masalah ibadah sosial.

d. Prof. Dr. Jalaluddin Rahmad, berpendapat bahwa, Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh lebih besar daripada dimensi ritual. Kalau kebetulan kegiatan ibadah ritual itu bersamaan dengan pekerjaan lain yang mengandung dimensi sosial, maka Islam memeberi pelajaran untuk mendahulukan yang sosial.

6. Nasehat Bagi Orang Saleh

Para ulama memberi nasehat; Janganlah seseorang hanya sibuk dengan ibadah ritual saja (shalat, dzikir, puasa, haji, dsb), tetapi hendaklah ia juga peduli terhadap masalah sosial.

Bila seseorang hanya soleh secara personal tetapi tidak soleh secara sosial maka ia tidak akan mendapatkan cinta dan kasih sayang Allah Swt.

Salah satu bentuk kesalihan sosial adalah sedekah. Mari kita keluarkan sedekah 2,5 persen dari rejeki yang kita terima dari Allah dan salurkan kepada mereka yang membutuhkan. Penyalurannya bisa secara langsung kepada fakir miskin, atau melalui Lembaga sosial atau Lembaga zakat serta masjid yang akan menyalurkan bantuan sosial secara amanah.

MNH adalah salah satu masjid yang mengelola infaq jamaah untuk disalurkan sebagai kegiatan dan bantuan sosial dengan laporan secara transparan.

Semoga kita senantiasa mendapat petunjuk dan bimbingan Allah Swt. Dan semoga amal soleh kita diridhoi oleh Allah Swt. 

*******


Tidak ada komentar:

Posting Komentar