1. Kisah Tukang Sepatu Haji Mabrur
Adalah seorang ulama Mekah bernama Abdurrahman
ibnu Mubarok. Setelah menyelesaikan ritual ibadah haji, yaitu tawaf dan sa’i,
karena kecapean beliau beristirahat di sebelah hijir Ismail. Antara tidur dan terjaga,
beliau mendengar dua malaikat yang turun dari langit sedang berbincang.
Malaikat satu berkata, “Diantara ribuan jamaah
haji tahun ini hanya ada satu yang mendapatkan pahala
haji mabrur, dan seluruh dosa-dosanya diampuni Allah.”
Malaikat yang lain bertanya, “Siapa dia?”
“Dia tidak ada di sini. Dia adalah Ali bin al
Muwaqaf, seorang tukang sol sepatu di Damsik.”
Mendengar percakapan dua malaikat yang mengejutkan
itu membuat Ibnu Mubarok terjaga dari mimpinya. Karena rasa penasaran maka beliaupun
bergegas pergi ke Damsik untuk mencari tahu keberadaan Muwaqaf, si tukang sol
sepatu.
Setelah berkeliling kota Damsik, akhirnya Ibnu Mubarok
berhasil menemukan Ali Muwaqaf. Setelah diceritakan mimpinya maka
Muwaqahpun menangis dan jatuh pingsan.
.
Setelah tersadar Kembali dari pingsannya, Muwaffaq pun
menceritakan:
Sudah sejak lama saya ingin pergi haji. Dan selama
puluhan tahun, setiap hari saya menyisihkan sebagian uang dari penghasilan saya
sebagai tukang sol sepatu, hingga terkumpul 350 dirham. Jumlah itu
sudah cukup untuk berhaji, dan Saya sudah siap untuk berangkat haji.
Pada saat itu, istri saya sedang hamil tua dan sedang mengidam. Dia mencium
aroma masakan lezat. Maka istri sayapun meminta agar saya minta sedikit masakan
itu.
Akhirnya saya mencari sumber aroma masakan itu.
Ternyata berasal dari gubuk yang tidak jauh dari rumah saya, gubuk itu hampir
roboh. Di sana, ada seorang janda dan enam anaknya.
Saya mengatakan kepadanya bahwa istri saya
menginginkan masakan yang dia masak, meskipun hanya sedikit.
Dengan sedikit ragu, dia mengatakan, "Maaf tidak
boleh, tuan."
Saya
memaksa dengan mengatakan "Berapapun harganya, saya akan membelinya."
Dengan berlinang air mata, janda itu menjawab, "Makanan ini halal bagi kami, tapi haram bagi tuan."
Saya bertanya, "Kenapa?"
Kemudian janda itu menceritakan:
Selama beberapa hari ini, kami tidak memiliki
makanan. Anak-anak saya menangis kelaparan. Lalu saya pergi kelua mencari
makanan. Saya melihat seekor keledai mati, jadi kami mengambil sebagian dagingnya untuk dimasak.
Jadi masakan ini adalah dari daging bangkai keledai yang haram bagi tuan, tetapi karena terpaksa masakan ini halal bagi kami yang
kelaparan.
Mendengar cerita itu, saya menangis dan pulang ke
rumah. Saya menceritakan kejadian tersebut kepada istri saya, dan dia juga
menangis. Akhirnya, kami memasak makanan dan pergi ke rumah janda tersebut.
Lalu kami membawakan makanan untuk mereka, dan memberikan 350 dirham untuk janda itu. Saya tidak jadi berangkat
haji karena uang yang saya kumpulkan untuk berhaji, saya berikan kepada mereka
agar tidak kelaparan.
Mendengar cerita itu, Abdullah Ibnu Mubarak tidak
bisa menahan air mata. Ternyata, inilah amal yang dilakukan oleh Ali bin al Muwaqaf sehingga
Allah menerima amalan hajinya, meskipun dia tidak berkesempatan untuk
menunaikan ibadah haji.
.
2. Kesalehan Sosial
> Orang yang
taat dan tekun melaksanakan perintah agama disebut sebagai orang yang shaleh. Selaras dengan dua dimensi ibadah, yaitu ibadah vertikal dan ibadah horizontal, maka kesalehan
juga ada dua, yaitu: Kesalehan Personal dan Kesalehan Sosial.
> Orang yang
tekun shalatnya, dzikirnya, baca qur’annya, dan puasanya maka dikatakan sebagai
orang yang saleh
secara personal.
> Sedangkan
orang yang suka menolong, suka bersedekah, kepedulian sosial tinggi bisa
dikatakan sebagai orang yang saleh secara sosial.
> Kesalehan sosial
mempunyai nilai
yang tinggi dalam pandangan Allah, sehingga orang yang hanya soleh
secara personal (sholat dan dzikirnya baik) tetapi tidak soleh secara sosial
(apatis dengan persoalan sosial), maka ibadah ritualnya akan sia-sia.
Pernah seorang
sahabat datang kepada Rasulullah, mengadukan ada seseorang perempuan yang
shalat rajin, tetapi dia selalu menyakiti tetangga dengan lidahnya. Rasulullah
berkata, ”Perempuan
itu di neraka”.
Sahabat berkata
lagi, ada seorang perempuan lain yang shalat nya biasa saja (hanya yang wajib)
dan sedekahnyapun hanya beberapa potong keju, tetapi dia tidak pernah menyakiti
seorang pun. Rasulullah pun berkata: “Dia penghuni surga.” (HR. Imam
al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, Beirut: Darul Basya’ir al-Islamiyyah, 1989, h.
54-55)
> Dengan begitu
maka dapat disimpulkan bahwa kesalehan personal akan sia-sia bila tidak
dibarengi dengan kesalehan sosial.
3. Dalil Kepedulian Sosial*
Ada beberapa dalil
berkaitan dengan kepedulian sosial, yaitu:
> Rasulullah
bersabda مَنْ لا يَرحم لا يُرحم , Man laa yarham walaa yurham. Artinya,
"Barangsiapa tidak menolong (sesama manusia), maka ia tidak ditolong (oleh
Allah)" (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
> Dalam riwayat
lain dikatakan, Rasulullah bersabda, لَا يَرْحَمُ اللَّهُ مَنْ لَا يَرْحَمُ
النَّاسَ “Laa
yarhamullah man laa yarhamu naas” (Allah tidak mengasihi orang yang
tidak mengasihi manusia lainnya) – (HR. Bukhari al-Adab al-Mufrad, 1989, h.48)
Makna dari hadis
tersebut adalah bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pertolongan (dari
Allah), apabila dia apatis, tidak menolong sesama manusia (yang membutuhkan
pertolongan).
> Dalam situasi
yang lain, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah beriman kepadaku orang yang tidur
dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan sampai ke
lambungnya. (HR At-Thabrani).
Ditegaskan oleh
Rasulullah bahwa orang yang tidak peduli atas nasib tetangganya (yang
kelaparan) maka ia tergolong sebagai orang yang tidak beriman.
4. Pendusta Agama
Orang yang tidak
mempunyai kepedulian sosial, atau apatis terhadap situasi sosial di sekitarnya
(terutama kepada mereka yang membutuhkan bantuan), bisa dikatakan sebagai
pendusta agama.
Dalam al-Qur’an
surah Al-Maun, Allah SWT berfirman; Ara-aitalladzii
yukadzdzibubiddiin # Fadzaalikalladzi yadu’ ’ulyatiim # Walaa yahudhdhu ’alaa
tha’aamill miskin. Artinya: ”Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?. Mereka adalah
orang yang menelantarkan anak
yatim dan tidak peduli terhadap nasib orang miskin.”
Pendusta agama
adalah orang yang tidak
punya kepedulian sosial terhadap penderitaan fakir miskin disekitarnya.
Pendusta agama,
menurut Buya Hamka adalah orang yang mendustai pilar-pilar agama, yaitu
mendustai shalatnya, mendustai puasanya, mendustai hajinya, dan mendustai
ibadah-badah mahdhah lainnya.
Bagi pendusta agama
maka ibadah-ibadah ritual yang telah dilakukannya akan gugur dan tidak
mempunyai nilai di hadapan Allah Swt.
Hal itu dijelaskan
pada surah al-Maun ayat berikutnya; Fa wailul lil mushallin # Al ladziina
hum an salaatihim sahuun # Al ladzina hum yuraa una # Wa yamna’unal maa’uun.
Artinya: Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu (1) mereka yang
lalai dari shalatnya, (2) mereka yang riya’, dan (3) mereka yang enggan memberi
pertolongan.
5. Kurangnya
Kepekaan Sosial
Mengukur tingkat
keimanan seseorang itu dari akhlaknya
(prilaku sosial), bukan dari ibadah mahdhah semata. Namun ironisnya kita sering menilai
ketaqwaan seseorang dari prilaku ritual ketimbang sosialnya.
a. Prof. Dr. KH. Mukti Ali, seorang ulama,
cendikiawan muslim dan Menteri Agama RI era tahun 1970-an pernah
mengungkapkan keprihatinannya
terhadap kondisi umat Islam saat
itu. Menurutnya umat Islam banyak yang sangat
peka terhadap masalah-masalah ritual
keagamaan, tetapi kurang peka terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Padahal Allah memerintahkan untuk Habluminallah wa habluminannnas secara
seimbang.
b. Hal senada juga disampaikan
oleh Prof. Dr. KH. Ali Musthafa. Imam Besar Masjid Istiqlal di tahun 2016 ini
menyatakan umat muslim mengalami pengingkatan spirit di bidang ibadah
individual, tetapi tidak dibarengi oleh spirit ibadah sosial. Beliau
mengingatkan bahwa ibadah sosial jauh lebih penting daripada ibadah individual.
c. Prof. KH. Buya Syakur Yasin, pengasuh pondok pesantren Candang Pingan Cirebon juga mengatakan, Kemunduran
umat Islam disebabkan oleh pemahaman yang berlebihan terhadap masalah ibadah
ritual, tetapi menganggap sepele masalah
ibadah sosial.
d. Prof. Dr. Jalaluddin
Rahmad, berpendapat bahwa, Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh
lebih besar daripada dimensi ritual. Kalau kebetulan kegiatan ibadah ritual itu
bersamaan dengan pekerjaan lain yang mengandung dimensi sosial, maka Islam memeberi pelajaran
untuk mendahulukan yang sosial.
6. Nasehat Bagi Orang Saleh
Para ulama memberi
nasehat; Janganlah seseorang hanya sibuk dengan ibadah ritual saja (shalat,
dzikir, puasa, haji, dsb), tetapi hendaklah ia juga peduli terhadap masalah
sosial.
Bila seseorang
hanya soleh secara personal tetapi tidak soleh secara sosial maka ia tidak akan
mendapatkan cinta dan kasih sayang Allah Swt.
Salah satu bentuk
kesalihan sosial adalah sedekah. Mari kita keluarkan sedekah 2,5 persen dari
rejeki yang kita terima dari Allah dan salurkan kepada mereka yang membutuhkan.
Penyalurannya bisa secara langsung kepada fakir miskin, atau melalui Lembaga
sosial atau Lembaga zakat serta masjid yang akan menyalurkan bantuan sosial
secara amanah.
MNH adalah salah
satu masjid yang mengelola infaq jamaah untuk disalurkan sebagai kegiatan dan
bantuan sosial dengan laporan secara transparan.
Semoga kita senantiasa mendapat petunjuk dan bimbingan Allah Swt. Dan semoga amal soleh kita diridhoi oleh Allah Swt.
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar